• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pelatihan Goal setting Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 25-36)

Setiap siswa yang menjalani pendidikan formal tidak akan terlepas dari kegiatan belajar. Oleh karena itu setiap siswa diharapkan dapat bersemangat, tekun, dan rajin dalam melaksanakan kegiatan belajarnya. Semangat, ketekunan, maupun perilaku rajin belajar ini hanya dapat muncul ketika seorang siswa memiliki motivasi belajar. Namun demikian, tidak semua siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi. Motivasi belajar yang tinggi ini dapat dilihat berdasarkan indikator-indikatornya yaitu : adanya hasrat dan keinginan berhasil, adanya dorongan dan kebutuhan untuk belajar, adanya harapan dan cita-cita masa depan, adanya penghargaan dalam belajar, adanya kegiatan yang menarik dalam belajar, dan adanya lingkungan belajar yang kondusif (Uno, 2016). Siswa yang memiliki motivasi belajar rendah tidak memenuhi indikator-indikator tersebut.

Menurut Sardiman (2014) motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Prawira (2014) juga mengatakan bahwa motivasi belajar adalah segala sesuatu yang ditujukan untuk mendorong atau memberikan semangat kepada seseorang yang melakukan kegiatan belajar agar menjadi lebih giat lagi dalam belajarnya untuk memperoleh prestasi yang lebih baik lagi. Indikator yang paling menggambarkan keadaan

motivasi belajar siswa adalah indikator harapan dan cita-cita masa depan. Menurut Mc.Donal (Sardiman, 2014) adanya cita-cita atau tujuan di dalam diri siswa merupakan perangsang munculnya motivasi belajar dalam diri siswa.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk melatih siswa agar dapat menetapkan harapan dan cita-cita atau tujuannya adalah melalui pelatihan goal setting sebab di dalam pelatihan goal setting seorang siswa akan diajarkan suatu kemampuan untuk merancang atau menetapkan suatu tujuan dengan baik agar tujuannya dapat dicapai (Weinberg dalam Rahayu & Mulyana, 2015).

Senada dengan pemaparan di atas bahwa pelatihan goal setting juga bermanfaat untuk mengarahkan perhatian, mengarahkan usaha, meningkatkan ketekunan dan berguna untuk meningkatkan motivasi (Locke, dkk., 1981). Siswa yang dapat membuat tujuannya dengan baik akan lebih termotivasi untuk meraih tujuannya karena suatu tujuan yang baik (realistis) adalah motivator yang penting bagi diri siswa untuk meraih tujuannya (Bandura, 1977).

Bertolak dari penyebutan tujuan sebagai motivator yang penting bagi diri siswa nampaknya sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Morisano, dkk. (2010) pada 85 siswa yang mengalami kesulitan akademis. Para siswa yang mengalami kesulitan akademis menunjukkan bahwa setelah diberikan intervensi goal setting, siswa menunjukkan peningkatan dalam prestasi akademis dan motivasi belajarnya. Adapun penelitian yang

dilakukan oleh Lutfianawati, Nugraha dan Rachmahana (2014) menunjukkan bahwa pelatihan goal setting dapat meningkatkan motivasi belajar bahasa inggris pada siswa kelas XII SMK “X” yang didapatkan dengan menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif.

Adanya penentuan tujuan (goal setting) yang dilatihkan melalui pelatihan goal setting nampaknya menjadi hal yang sangat penting bagi diri para siswa untuk meningkatkan motivasi belajarnya. Melalui penelitiannya, Kativasalampi dkk. (dalam Lutfianawati, Nugraha & Rachmahana, 2014) menunjukkan bahwa siswa yang memiliki tujuan yang jelas terhadap pendidikannya cenderung mempunyai minat terhadap sekolah dan memiliki motivasi belajar yang tinggi sedangkan siswa yang tidak memiliki tujuan yang jelas terhadap pendidikannya cenderung tidak mempunyai minat terhadap sekolah dan memiliki motivasi belajar yang rendah. Penemuan ini diperkuat lagi berdasarkan penelitian Kauffman dan Husman (2004) yang menemukan adanya pengaruh secara positif antara persepsi murid tentang bagaimana mereka menetapkan tujuan belajar untuk masa depan dengan motivasi belajar.

Berdasarkan penelitian-penelitian mengenai pengaruh pelatihan goal setting terhadap motivasi belajar yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan goal setting memiliki pengaruh positif untuk meningkatkan motivasi belajar. Maka dari itu, berdasarkan penelitian-penelitian di atas dan indikator terkuat yang muncul, peneliti memutuskan untuk menggunakan intervensi dalam

bentuk pelatihan goal setting untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. Pelatihan goal setting untuk meningkatkan motivasi belajar siswa disusun berdasarkan teori Locke, dkk. (1981) yang menjelaskan mengenai lima komponen utama teori goal setting yaitu: clarity (kejelasan), challenge (tantangan), commitment (komitmen), feedback (umpan balik), dan task complexity (kerumitan tugas). Lima komponen tersebut dijadikan dasar untuk menyusun pembuatan modul pelatihan. Di bawah ini dijelaskan mengenai peran komponen-komponen goal setting tersebut dalam mempengaruhi motivasi belajar siswa.

Komponen pertama dalam pelatihan goal setting ini adalah clarity (kejelasan). Kejelasan dalam hal ini adalah kejelasan mengenai suatu tujuan. Artinya tujuan yang disampaikan harus spesifik. Tujuan yang spesifik atau jelas secara otomatis akan mengarahkan siswa untuk menyusun rencana dan strategi yang pantas guna membantu dirinya meraih tujuannya tersebut (Locke, dkk., 1981). Strategi itu dapat berupa langkah-langkah yang dibutuhkan untuk meraih tujuannya. Apabila siswa memiliki langkah-langkah yang jelas maka dapat memudahkan siswa dalam melakukan usaha-usaha pencapaian tujuan secara efektif dan terarah, siswa menjadi yakin dan mantap dalam melangkah maupun berusaha dan hal tersebut secara positif dapat meningkatkan motivasi yang ada dalam diri seorang siswa untuk terus berjuang meraih tujuannya (Locke & Latham dalam Smitth & Hitt, 2005. Tujuan yang jelas dan spesifik juga dapat membantu seorang siswa untuk menemukan sisi yang

menarik dari aktivitas tugas tersebut (Harackiewicz, Manderlink, & Sansone, dalam Locke & Latham, 2002). Apabila seorang siswa merasa tertarik dengan tujuannya, maka akan timbul minat dalam dirinya terhadap tujuannya tersebut (Syah, 2013). Setelah itu, siswa akan memusatkan perhatiannya secara lebih mendalam dan berusaha secara intensif sehingga hal tersebut dapat memunculkan dorongan atau motivasi dalam dirinya yaitu motivasi belajar untuk meraih tujuannya (Syah, 2013). Menurut Schunk, dkk. (2012) jika siswa sudah memiliki ketertarikan dan minat terhadap tujuan belajarnya, hal tersebut akan berdampak positif pada motivasi dan keefektifan dirinya yang semakin tinggi.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwa adanya tujuan yang jelas dan spesifik akan memudahkan siswa untuk merancang strategi pencapaian tujuan salah satunya berupa langkah-langkah yang dibutuhkan untuk meraih tujuannya dan meningkatkan ketertarikan siswa terhadap suatu tugas serta untuk menemukan sisi yang menarik dari aktivitas tugas tersebut sehingga motivasi belajar siswa akan meningkat. Oleh karena itu tujuan harus dengan baik ditentukan dengan batasan yang jelas dan tepat agar motivasi belajar dapat meningkat.

Locke, dkk. (1981) menemukan sebanyak 99 penelitian dari total 110 penelitian yang ada mengatakan bahwa tujuan yang spesifik dan sulit membuahkan suatu performa yang lebih baik dibandingkan dengan tujuan yang sedang, mudah, “do your best”, atau tanpa tujuan sama sekali, sehingga dapat dikatakan terdapat 90% penelitian yang menunjukkan

bahwa suatu tujuan yang spesifik dan sulit berpengaruh positif terhadap usaha seseorang dalam mencapai tujuannya dimana usaha tersebut muncul karena adanya motivasi di dalam diri siswa yang terangsang karena adanya tujuan yang spesifik. Berdasarkan pemaparan di atas, maka komponen clarity diharapkan dapat berguna untuk membantu para siswa untuk membuat suatu tujuan yang jelas dan spesifik beserta langkah-langkah pencapaiannya yang jelas dan spesifik sehingga motivasi belajarnya dapat meningkat.

Komponen yang kedua dalam pelatihan goal setting adalah Challenge (tantangan). Tujuan yang sulit menghadirkan suatu tantangan yang dapat membangkitkan dorongan untuk mencapai tujuan dalam diri siswa, tetapi target ini dalam batas masih dapat dicapai (Davis & Newstroom, 1989). Terkadang seorang siswa memiliki tujuan belajar yang terlampau sulit atau terlampau mudah sehingga membuat dirinya tidak bergairah untuk meraihnya, karena mencapai tujuan yang terlampau sulit adalah hal yang mustahil untuk diraih, sedangkan untuk mencapai tujuan yang terlampau mudah tidaklah memerlukan usaha yang berlebih untuk meraihnya. Tujuan yang paling baik adalah tujuan yang memiliki tingkatan tantangan yang tinggi dan realistis sehingga dapat mengoptimalkan potensi dirinya dan meningkatkan motivasi belajarnya. Maka dari itu, suatu tujuan harus memiliki tantangan yang cukup untuk memotivasi siswa agar meletakkan usaha lebih untuk menggapai tujuannya tersebut (Latham & Locke, 1991).

Siswa yang menentukan tujuannya dengan tingkat tantangan yang sulit namun realistis dapat memunculkan perasaan bangga dan puas dibandingkan jika siswa tidak menentukan tujuan atau menentukan tujuan dengan tingkat tantangan yang mudah (Latham & Locke, 1991). Perasaan bangga dan puas tersebut muncul karena seorang siswa berpikir bahwa tujuan yang menantang tersebut akan menghasilkan lebih banyak keuntungan bagi dirinya dibandingkan ketika siswa tidak menentukan suatu tujuan sama sekali atau menentukan tujuan yang mudah untuk diraih (Locke, dkk., 1981). Adanya perasaan bangga dan puas ini tentunya dapat meningkatkan keyakinan diri bahwa dirinya mampu untuk meraih tujuannya (Bandura, 1997). Semakin siswa tersebut merasa yakin dapat meraih tujuannya, maka semakin tinggi pula motivasi belajar yang dimiliki untuk meraih tujuannya (Pervin & John dalam Bandura, 1977).

Menurut Latham & Locke (1991) terdapat hubungan yang konsisten antara kesulitan suatu tujuan dengan usaha yang dilakukan seorang siswa dimana siswa yang memiliki tujuan sulit akan memiliki motivasi belajar yang lebih tinggi sehingga usaha yang dilakukannya pun lebih tinggi daripada siswa yang memiliki tujuan mudah, sedang, atau do your best goal. Penentuan tujuan yang memiliki tingkatan tantangan sulit disini haruslah bersifat realistis dengan kata lain masih dapat dicapai. Hal itu dikarenakan ketika sebuah tujuan itu sulit namun masih dapat dicapai, maka kemungkinan gagal dalam usaha pencapaiannya dapat diminimalisir sehingga keyakinan para siswa akan tercapainya tujuan tinggi yang pada

akhirnya membuat siswa termotivasi untuk berusaha dan berjuang meraih tujuannya tersebut (Kanfer & Gaelick dalam Latham & Locke, 1991). Komponen challenge ini diharapkan dapat berguna untuk membantu siswa dalam menentukan tujuannya dengan baik, yaitu tujuan yang memiliki tingkat tantangan yang tinggi namun masih dapat dicapai sehingga membuat motivasi belajarnya dapat meningkat.

Komponen ketiga penyusun pelatihan goal setting adalah commitment (komitmen). Seorang siswa akan menunjukkan komitmen mereka jika siswa merasa bahwa siswa merupakan bagian dari pencapaian suatu tujuan. Locke & Latham (Schunk, dkk., 2012) berpendapat bahwa komitmen dapat menggambarkan seberapa kuat individu melekat pada tujuan yang dimilikinya, seberapa antusias individu terhadap tujuannya, dan seberapa teguh individu untuk mencapainya. Jika seorang siswa memiliki ketertarikan yang tinggi, antusiasme yang tinggi, serta keteguhan diri dalam pencapaian tujuan maka siswa akan bersemangat untuk meraih tujuannya. Munculnya semangat ini tentunya akan menjadi sebuah pendorong bagi para siswa untuk melakukan segala usaha-usaha yang berkaitan dengan pencapaian tujuannya agar tujuannya tersebut dapat tercapai (Latham & Locke, 1991). Dorongan-dorongan ini terus meningkat seiring tingginya komitmen siswa hingga menyebabkan munculnya motivasi yang ada dalam diri siswa yaitu motivasi belajarnya untuk berbuat dan berusaha terus menerus guna meraih tujuannya (Sardiman, 2014). Berbeda dengan siswa yang memiliki komtimen yang rendah, siswa

yang memiliki komitmen rendah tidak akan terdorong untuk melakukan hal-hal maupun usaha untuk meraih tujuan yang telah ditentukan yang berarti tidak ada pula kemunculan motivasi belajar dalam dirinya (Latham & Locke, 1991). Berdasarkan pemaparan mengenai komponen komitmen tersebut, maka diharapkan para siswa dapat memiliki komitmen yang tinggi sehingga motivasi belajar siswa pun dapat meningkat untuk meraih tujuan belajarnya.

Komponen keempat penyusun pelatihan goal setting adalah feedback (umpan balik). Isi dari umpan balik harus terfokus pada pengontrolan kemajuan, menyadari rintangan yang ada, usulan dan solusi. Umpan balik bisa memberikan standar pengukuran yang jelas guna menuntun para siswa untuk evaluasi diri. Melalui umpan balik, seorang siswa dapat mengetahui seberapa jauh standar atau patokannya sudah terpenuhi (Latham & Locke, 1991).

Menurut Schunk dkk. (2012) ketika standar patokannya sudah terpenuhi, maka akan memunculkan perasaan positif dalam diri siswa. Perasaan positif tersebut dapat menjadi suatu pendorong terkait dengan usaha-usaha yang sedang dilakukan dalam pencapaian tujuan (Latham & Locke, 1991). Seorang siswa yang memiliki perasaan positif setelah diberikan umpan balik yang tepat tentang usaha pencapaian tujuan akan mengalami peningkatan pada keefektifan diri, motivasi, dan keterampilannya (Anderws & Debus dalam Schunk, dkk., 2012). Perasaan positif tersebut membuat motivasi belajar siswa meningkat yang berguna

untuk memberikan sumber energi bagi siswa agar dapat menentukan tujuan perbaikan guna mendapatkan performa yang lebih baik agar tujuan belajarnya dapat tercapai (Latham & Locke, 1991). Pemberian umpan balik terkait usaha-usaha pencapaian tujuannya dapat berupa pujian, pemberian informasi mengenai langkah-langkah pencapaian tujuan, usulan atau solusi (Schunk, dkk., 2012). Komponen umpan balik diharapkan dapat membantu para siswa untuk meningkatkan motivasi belajarnya melalui umpan balik yang diberikan oleh orang lain atau dirinya sendiri.

Komponen kelima adalah task complexity (kerumitan tugas). Seorang siswa akan lebih baik jika diberikan tugas yang simpel dan jelas daripada diberikan tugas yang terlalu rumit karena hal ini akan mempengaruhi usaha siswa untuk mencapai tujuannya (Locke & Latham dalam Smith & Hitt, 2005). Tujuan-tujuan yang sulit atau menantang seringkali akan dibarengi dengan adanya kerumitan tugas yang tinggi (Locke, dkk., 1981). Maka dari itu, untuk membuat siswa terdorong untuk meraih tujuan-tujuannya, kerumitan tugasnya harus dibuat sesederhana mungkin dan semudah mungkin untuk dapat dimengerti dan dipahami (Latham & Locke, 1991). Tugas yang terlampau rumit membuat siswa menjadi tidak tertarik untuk mengerjakannya sehingga tidak timbul motivasi belajar yang ada pada dirinya, sedangkan tugas yang sederhana, mudah dipahami dapat membuat siswa menjadi lebih antusias untuk mengerjakannya sehingga motivasi belajar dan keefektifan dirinya dalam belajar meningkat (Schunk, dkk., 2012). Maka dari itu tingkat kerumitan

suatu tugas akan sangat berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa dimana tugas yang sederhana dan mudah dipahami dapat membuat siswa antusias mengerjakannya sehingga motivasi belajarnya dapat meningkat. Komponen kelima ini diharapkan dapat membantu siswa dalam menentukan tujuannya dengan tugas-tugas pencapaian yang sederhana dan mudah dipahami sehingga akan menyebabkan motivasi belajarnya meningkat.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan goal setting berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Harapannya motivasi belajar siswa dapat meningkat dengan adanya pelatihan goal setting. Adanya pengaruh antara pelatihan goal setting terhadap motivasi belajar siswa ini didukung oleh pelbagai penelitian yaitu penelitian yang dilakukan oleh Morisano, dkk. (2010) pada 85 siswa yang mengalami kesulitan akademis menunjukkan bahwa setelah diberikan intervensi goal setting, siswa menunjukkan peningkatan dalam prestasi akademis dan motivasi belajarnya. Kemudian penelitian Lutfianawati, Nugraha dan Rachmahana (2014) menunjukkan bahwa pelatihan goal setting dapat meningkatkan motivasi belajar bahasa inggris pada siswa kelas XII SMK “X” yang didapatkan dengan menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif. Kesimpulannya, pelatihan goal setting merupakan sebiuah pelatihan yang secara signifikan dapat meningkatkan motivasi belajar para siswa.

D. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat motivasi belajar pada siswa setelah diberikan pelatihan goal setting dibandingkan dengan tingkat motivasi belajar pada siswa sebelum diberikan pelatihan goal setting. Tingkat motivasi belajar siswa setelah diberikan pelatihan goal setting lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat motivasi belajar siswa sebelum diberikan pelatihan goal setting.

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 25-36)

Dokumen terkait