• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMIKIKAN TOKOH-TOKOH YANG MEMENGARUHI SERTA

A. Pengaruh Pemikiran al-Ghazālī terhadap penafsiran Shaleh

Menurut penelitian yang dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa penafsiran Shaleh Darat banyak terpengaruh dengan pemikiran beberapa tokoh penting dalam tasawuf dan tafsir, yaitu Al-Ghazālī, Ibnu `Arābī ar-Rāzī dan al-Baiḍāwī. Statemen ini didasarkan pada fakta beberapa penemuan kutipan dari penjelasan Al-Ghazālī, Ibnu `Arābī, ar-Rāzī dan al-Baiḍāwī dalam karyanya. Pada bab IV ini juga akan dijelaskan beberapa kelebihan dan kekurangan tafsir Faiḍ ar-Raḥmān.

A. Pengaruh Pemikiran al-Ghazālī terhadap Penafsiran Shaleh Darat

Penafsiran Sufistik Shaleh Darat sangat kental diwarnai dari pendapatnya al-Ghazālī, bahkan dalam salah satu karyanya yang lain Shaleh Darat menerjemahkan kitab Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn yang merupakan karya monumental al-Ghazālī dengan judul Munjiyāt Metīk Saking Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn al-al-Ghazālī.1

Penafsiran ayat: x‚$−ƒÎ) ߉ç7÷ètΡ y‚$−ƒÎ)uρ Ú⎥⎫ÏètGó¡nΣ ∩∈∪

Shaleh Darat menjelaskan tentang manusia yang terkumpul dari nafsun, qalbun, rūh, sir, pada pembahasan ini sudah penulis terangkan pada bab III.2

      

1 Lihat, Muhammad Shaleh bin Umar as-Samarani, Kitāb Munjiyāt Metīk Saking Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn al-Ghazālī (Semarang: Toha Putra, t.th)

Permasalah nafsun, qalbun, rūh, sir, Shaleh Darat terpengaruh oleh pendapatnya al-Ghazālī, dalam kitab Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, al-Ghazālī menjelaskan:

Qalbu atau kalbu diartikan menjadi dua pengertian:

Pertama, kalbu yang diartikan dengan kerat daging yang berbentuk buah shaunabar, yang posisinya berada pada sebelah kiri dada bagian atas (jantung). Yaitu kerat daging yang khusus, dan didalamnya terdapat berbagai lubang (kapiler, rongga). Di dalam lubang-lubang itu mengalir darah yang sangat pekat, dan menjadi sumber kehidupan, dan sekaligus muaranya. Kalbu yang dimaksud disini berkaitan erat dengan ilmu kedokteran. Dan tidak berkaitan dengan dengan pemahaman agama.3

Kedua, kalbu yang diartikan dengan sesuatu yang halus, yang bersifat rabbaniyah, ruhaniyah (keruhanian). Kalbu jenis ini mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kalbu yang bersifat jasmani (yang bertubuh). Kalbu yang halus itulah hakikat dari keberadaan manusia. Kalbu jenis ini yang mengetahui, mengerti, dan mengenal jati diri manusia.4

Kemudian, makna kata ruh (nyawa). Ada dua makna yang bisa disebutkan: Pertama, tubuh yang halus, sumbernya adalah lubang kalbu yang jasmani. Kemudian tersebar dengan perantara urat-urat yang merasuk ke bagian-bagian tubuh lainnya. Ruh pada tubuh diselimuti cahaya-cahaya kehidupan, perasaan, penglihatan, pendengaran, dan penciuman dari seluruh sisinya atas semua anggota

      

3 Imam Al-Ghazālī, Iḥyā’ Ulūm ad-Dīn, terj. Ibnu Ibrāhīm Ba’adillāh (Jakarta: Republika, 2004), h. 4.

tubuh itu, seperti (menyerupai) menyuarakkan cahaya dari lampu yang dinyalakan ke sudut-sudut ruangan.5

Kedua, pemahaman yang halus dari manusia yang mengerti tentang makna kata ruh, dan yang mengetahui dari sisi kemanusiaannya sendiri. Ruh adalah urusan yang mengherankan, perkara rabbani (transenden) yang melemahkan kebanyakan dari fungsi akal manusia, dan sekaligus usaha yang dilakukan untuk memahaminya di luar porsi yang diizinkan dari mengetahui hakikatnya.6

Selanjutnya adalah an-Nafs. Makna an-Nafs disini ada dua:

Pertama, makna kata an-Nafs adalah sesuatu yang memiliki daya fungsi untuk menghimpun kekuatan, sikap marah, dan nafsu syahwat pada manusia. Kata al-Nafs merupakan asas yang menghimpun sifat-sifat yang tercela dari manusia. Bahwa manusia harus mampu mengarahkan dan mengolah hawa nafsunya.7

Kedua, an-Nafs pada hakikatnya adalah eksistensi manusia itu sendiri. An-Nafs disifati dengan beragam karakteristiknya, sesuai kondisi dan situasi dimana ia berada. Apabila nafs itu berada pada kondisi tenang, dibawah kontrol diri, maka itu disebabkan karena adanya penentangan terhadap syahwat, disebut nafs al-muṭmainnah (nafsu yang tenang).8

Jadi, nafs yang dimaksud makna yang pertama adalah tercela, dan yang dimaksud makna kedua adalah terpuji.

Yang terakhir adalah akal (al-Aql). Dimaknai menjadi dua arti:

       5 Ibid., h. 5.

6 Ibid., h. 6.

7 Ibid.

Pertama, makna kata akal disebutkan secara umum, yaitu adalah ilmu (pengetahuan) tentang hakikat-hakikat perkara. Akal ibarat sifat ilmu yang tempat bersemayamnya kalbu.9

Kedua, makna kata akal terkadang dikatakan secara khusus. Yaitu, upaya yang dipergunakan di dalam mengetahui ilmu-ilmu dimaksud, melalui kerja kalbu yang halus.10

Penafsiran Shaleh Darat:

“Ingkang aran insān iku kumpule patang perkoro, nafsun wa qalbun wa rūhun wa sirrun.

Moko utawi an-nafsu iku bongso dunyo moko nyembah nafsun ing hawane kang bangsa dunyo. Qāla Ta’ālā: “afara’aita manit takhaża ilāhahū hawāhu.” Maka utawi anapun lamun moko bangso akhirat moko nyembah qalbun ing surgane. Qāla Ta’ālā: “wanaha an-nafsa an al hawā fainna al-jannata hiya al-ma’wā.”

Maka utawi anapun rūh moko iku rūh bongso qurbah anyembah ing qurbah lan ‘ināyah. Qāla Ta’ālā: “fī maq’adi ṣidqin ‘inda mālikim muqtadir.”

Moko utawi anapun sir, moko iku bongso huḍūr nyembah kelawan haq tabārak wa ta’ālā. Qāla SAW “qāla Ta’ālā“al-ikhlāṣu sirrun bainī wa baina ‘abdī lā yasma’uhū fīhi malikun muqarrabun walūā nabiyyun mursalīn.”11

Terjemahnya:

Yang dinamakan manusia itu kumpulnya empat perkara: nafsun, qalbun, rūh, dan sir.

Adapun nafsun itu perkara dunia, maka menyembah nafsun kepada hawa nafsunya perkara dunia. Qâla ta’âlâ: “afara’aita manit takhaża ilāhahū hawāhu.” Adapun perkara akhirat, maka menyembah qalbun pada surga. Qāla ta’ālā: “wanaha an-nafsa an al hawā fainna jannata hiya al-ma’wā.”

Adapun rūh, maka rūh itu perkara qurbah, menyembah kepada qurbah dan ‘inayah. Qāla ta’ālā: “fī maq’adi ṣidqin ‘inda mālikim muqtadir.” Adapun sir adalah perkara huḍūr menyembah dengan haq tabārak. Qāla       

9 Ibid., h. 8.

10 Ibid.

11 Muhammad Shaleh bin Umar as-Samarani, Tafsir Faiḍ ar-Rahmān Fī Tarjamāt Tafsīr Kalām al-Malik ad-Dayyān, Jilid I (Singapura: Percetakan Haji Muhammad Amin, 1309 H/ 1893), h. 17.

SAW “qâa ta’ālā“al-ikhlāṣu sirrun bainī wa baina ‘abdī lā yasma’uhū fīhi malikun muqarrabun walūā nabiyyun mursalīn.”

Intinya dari pendapat al-Ghazālī dan Shaleh Darat sama, yaitu sama-sama mengartikan nafsun dengan asas-asas perbuatan tercela, mengartikan qalbun dengan sifat rabbaniyyah, ruhaniyah,  perbuatan terpuji yang mengantarkaan menuju surga. Mengartikan ruh dengan perkara Rabbani (trensenden).

Selain terpengaruh tentang insān yang terbagi dari kumpulan Nafsun, qalbun, rūh, sir, Shaleh Darat juga terpengaruh dengan pemikiran al-Ghazālī tentang ‘aqabah.12

Dokumen terkait