• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENGERINGAN TERHADAP PENYUSUTAN DAN MUTU SIMPLISIA

Pendahuluan

Pengeringan merupakan cara yang paling umum digunakan untuk meningkatkan stabilitas bahan dengan mengurangi kandungan air bahan sehingga aktivitas airnya menurun. Pengeringan juga mengurangi aktivitas mikroba serta meminimalkan perubahan fisik dan kimiawi selama bahan kering disimpan (Mayor & Sereno 2004). Perubahan kadar air selama pengeringan bahan-bahan yang mengandung air tinggi akan menyebabkan perubahan bentuk, densitas dan porositas bahan. Perubahan bentuk dan ukuran ini mempengaruhi sifat-sifat fisik dan akhirnya juga berdampak pada berubahnya tekstur dan sifat transport (transport properties) produk yang dihasilkan (Yan et al. 2008).

Salah satu perubahan fisik yang penting selama pengeringan adalah pengurangan volume eksternal bahan. Kehilangan air dan pemanasan menyebabkan tekanan terhadap struktur sel bahan diikuti dengan perubahan bentuk dan pengecilan ukuran. Penyusutan bahan yang dikeringkan mempunyai akibat negatif pada kualitas produk keringnya. Perubahan bentuk, pengurangan volume dan peningkatan kekenyalan atau kekerasan bahan adalah hal-hal yang kurang disukai konsumen. Keretakan bahan yang dikeringkan adalah fenomena lain yang dapat terjadi selama proses pengeringan. Hal ini dapat terjadi bila penyusutan yang terjadi tidak seragam dan laju pengeringan terlalu tinggi. Penyusutan telah dipelajari dengan cara pengukuran secara langsung menggunakan mistar atau mikrometer atau secara tak langsung dengan mengukur parameter yang terkait dengan penyusutan seperti porositas dan massa jenis (Yadollahinia & Jahangiri 2009).

Penyusutan bahan yang mengalami pengurangan kandungan air yang tinggi disarankan tidak diabaikan dan dimasukkan dalam perhitungan pendugaan profil kadar air bahan selama pengeringan. Untuk keperluan ini sudah ada berbagai tipe model untuk memprediksi perubahan volume yang dapat digunakan. Beberapa penulis telah berhasil mengkaji proses penyusutan beberapa produk pertanian baik secara eksprimen maupun teori.

Temu putih (Curcuma zedoaria Rosc.) dan temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat yang memiliki kadar air cukup tinggi saat dipanen yaitu berkisar 80-90%, sedangkan kadar air akhir yang diinginkan adalah 10%. Dengan demikian perubahan volume irisan temu putih dan temu lawak yang dikeringkan cukup besar dan tidak dapat diabaikan. Salah satu faktor yang dipengaruhi oleh penyusutan bahan adalah difusivitas. Efektifitas difusi merupakan kombinasi berbagai mekanisme perpindahan massa seperti kapilaritas, difusivitas gas dan cairan serta perbedaan tekanan. Difusivitas efektif adalah proses utama yang mengontrol pengeringan temu putih dan temu lawak yang terjadi pada periode laju menurun.

Crank (1975) telah mengembangkan model matematika untuk menentukan difusivitas efektif berdasarkan hukum Fick kedua yang dipengaruhi oleh bentuk atau geometri bahan. Persamaan matematika yang dikembangkan oleh Crank kemudian diselesaikan oleh beberapa peneliti yang pada umumnya hanya mempertimbangkan suku pertama dari ruas kanan persamaan tersebut. Persamaan pengeringan yang diturunkan kemudian didapatkan melalui metode pendekatan empiris, teoritis maupun semi-teoritis.

Model-model teoritis dan semi teoritis pengeringan yang sudah dikenal seperti model Lewis dan Henderson-Pabis disusun berdasarkan asumsi tidak terjadi penyusutan selama proses pengeringan berlangsung. Penggunaan model teoritis menyebabkan kesalahan dalam menentukan profil pengeringan, hal ini dapat dilihat dari lebih baiknya model empiris dalam mewakili data pengeringan dibandingkan model teoritis. Jayas et al. (1991) menyatakan walaupun model empiris dapat lebih baik menggambarkan data pengeringan tetapi sulit untuk memaknai parameter-parameternya dibandingkan variabel(-variabel) dari model pengeringan teoritis. Pada penelitian ini sebelumnya baik model semi teoritis Lewis dan Henderson-Pabis maupun yang empiris yaitu model Page telah digunakan dalam menduga profil pengeringan. Model Page memiliki koefisien korelasi yang tinggi dan dapat mewakili data empiris lebih baik daripada model teoritis. Walaupun demikian, mengingat bahwa temu putih dan temu lawak mengalami penyusutan yang cukup besar maka pada studi ini faktor penyusutan akan dipertimbangkan dalam penyusunan model teoritisnya.

Untuk mengetahui seberapa besar penyusutan irisan simplisia temu putih dan temu lawak selama pengeringan digunakan bantuan pengolahan citra (image processing) dengan menggunakan kamera digital. Pengolahan citra merupakan proses pengolahan piksel-piksel dalam citra digital untuk suatu tujuan tertentu. Beberapa alasan dilakukannya pengolahan citra antara lain untuk memperoleh citra dengan karakteristik tertentu dan cocok secara visual yang dibutuhkan untuk tahap pemrosesan analisis citra, yang kemudian akan ditransformasikan dalam suatu representasi numerik. Hasil pengamatan penyusutan bahan yang diperoleh dengan bantuan pengolahan citra sebagai suatu parameter dapat digunakan untuk mempelajari fenomena penyusutan selama pengeringan.

Perubahan lain yang terjadi selama pengeringan adalah berkurangnya kandungan bahan lainnya seperti vitamin, protein, enzim dan zat aktif. Selain itu pengeringan juga mengakibatkan perubahan tampilan fisik produk seperti warna, tekstur dan aroma. Suhu, kadar air dan aktivitas air merupakan faktor yang mempengaruhi sifat kimia dan biokimia bahan selama pengeringan dan penyimpanan. Air bukan hanya media transfer panas dan penyimpanan energi tetapi juga berperan dalam berbagai reaksi biokimia di dalam produk. Molekul air menyediakan proton (H+), ion hidroksida (OH-), atom hidrogen (H), oksigen (O) dan radikal (H•, •OH). Oleh karena itu, air dapat bertindak sebagai pelarut, pereaksi atau pendispersi di dalam bahan (Ong & Law 2010)

Simplisia temu putih dan temu lawak mengandung senyawa aktif yang harus dipertahankan keberadaannya selama produk ini diproses hingga menjadi bahan baku obat tradisional atau jamu. Salah satu tahapan proses tersebut adalah pengeringan. Proses pengeringan harus dilakukan secara benar karena penggunaan suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan hilang atau berkurangnya zat aktif bahan. Proses pengeringan tentunya tidak dapat meningkatkan mutu simplisia (kuantitas zat aktifnya) karena hal itu tergantung pada aspek budidaya tanaman tersebut. Akan tetapi hubungan kondisi pengeringan dengan kadar zat aktif produk keringnya perlu dipelajari agar diketahui kondisi proses pengeringan yang terbaik.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh berbagai kondisi pengeringan terhadap penyusutan dan mutu simplisia temu putih dan temu lawak

selama proses pengeringan konvektif dengan menggunakan bantuan program pengolahan citra.

Tinjauan Pustaka

Mekanisme Penyusutan

Penyusutan bahan pada saat pengeringan tidak dapat dihindari karena adanya proses pemanasan dan keluarnya air dari bahan. Pada saat air keluar dari bahan terjadi ketidakseimbangan antara tekanan di dalam bahan dengan di luar bahan yang menimbulkan kontraksi dan memicu terjadinya penyusutan, perubahan bentuk dan kadang-kadang terjadi pecah atau keretakan bahan (Mayor & Sereno 2004). Penyusutan meningkat dengan semakin banyaknya air yang keluar dari dalam bahan. Pada beberapa kasus keseimbangan terjadi ketika penyusutan bahan sama dengan volume air yang keluar seperti pada pengeringan wortel yang dilaporkan oleh Krokida & Maroulis (1997) dan Lozano et al. (1983) (Gambar 3-1). Pada kasus yang lain volume air yang keluar lebih besar daripada penyusutan bahan seperti pada pengeringan kentang dan ubi jalar (Wang & Brennan 1995) serta apel (Krokida & Maroulis 1997; Figueiredo & Sereno 2000) (Gambar 3-2). Hal ini disebabkan adanya penurunan mobilitas (kelenturan) material padat bahan pada kondisi kadar air rendah.

Gambar 3-1. Rasio volume air yang keluar terhadap penyusutan volume sampel wortel selama pengeringan

Gambar 3-2. Rasio volume air yang keluar terhadap penyusutan volume sampel apel selama pengeringan

Mobilitas bahan padat sangat terkait dengan keadaan fisik yaitu sifat viskoelastik, dimana kelenturan yang tinggi berhubungan dengan rubbery state sedangkan yang rendah dengan glassy state. Levi & Karel (1995) menemukan bahwa mobilitas bahan padat merupakan suatu proses dinamis yang lajunya tergantung pada selisih suhu pengeringan dengan suhu transisi gelas. Pada kadar air tinggi dan bahan dalam kondisi rubbery, hampir seluruh penyusutan merupakan kompensasi dari hilangnya air dari dalam bahan, dan pada saat itu penyusutan bahan terjadi secara linier mengikuti penurunan kadar air. Pada kadar air rendah suhu transisi gelas meningkat dan kondisi bahan berubah dari rubbery ke glassy dan laju serta besarnya penyusutan berkurang secara signifikan. Ketika pengeringan berlangsung pada selang kadar air rendah terjadi transisi fase dari rubbery ke glassy, maka kekakuan (rigidity) bahan akan menghentikan penyusutan dan akan terbentuk pori-pori bahan (Mayor & Sereno 2004).

Laju pengeringan yang tinggi akan membuat adanya gradien kandungan air pada seluruh bahan, sehingga permukaan luar yang berkadar air rendah akan berada pada fase transisi dan membentuk lapisan permukaan yang keras dan berpori sehingga volume bahan tidak berubah lagi walaupun dibagian dalam masih berada pada fase ruberry. Fenomena ini dikenal juga sebagai efek pengerasan lapisan permukaan (case hardening effect). Pengerasan lapisan tidak

terjadi jika kondisi pengeringan di lapisan luar bahan tidak melewati fase transisi walaupun laju pengeringannya tinggi. Bila digunakan laju pengeringan rendah, difusi air dari dalam keluar bahan akan terjadi dengan laju yang sama dengan penguapan air di permukaan bahan dan penyusutan terjadi secara seragam hingga tahap akhir pengeringan.

Beberapa peneliti sudah mempelajari pengaruh dari kondisi pengeringan yang berbeda terhadap perubahan volume bahan selama pengeringan. Pada umumnya analisis tersebut dilakukan untuk mempelajari pengaruh setiap satu kondisi proses seperti suhu (Mcminn & Magee 1997 dengan komoditas kentang), kecepatan udara (Ratti 1994 dengan komoditas kentang, apel dan wortel) ataupun kelembaban nisbi (Ratti 1994 dengan komoditas kentang, apel dan wortel). Hasil studi tersebut tidak secara jelas menyatakan bagaimana pengaruh kondisi ini terhadap penyusutan. Pada beberapa kasus kenaikan suhu pengeringan menyebabkan penyusutan yang lebih sedikit. Pada kasus lain kenaikan laju udara pengeringan juga berpengaruh lebih kecil pada penyusutan yang besarannya tergantung pada jenis bahan yang dikeringkan (Mayor & Sereno 1995).

Perbedaan konsentrasi secara kimiawi merupakan tenaga penggerak bagi terjadinya transfer massa yang diekspresikan melalui bilangan Biot untuk pindah massa sebagai berikut (Ratti 1994):

� = �� 0

�1�

(3.1) koefisien kg umumnya independen dari kelembaban nisbi udara (Treybal 1980) dan karena variabel ini memiliki pengaruh yang kecil terhadap P, pada rentang kelembaban nisbi menengah (dari 0.2-0.8 untuk sebagian besar bahan makanan), maka bilangan Bi yang didefinisikan dalam persamaan (3.1) tidak berubah secara signifikan dalam kisaran kelembaban udara yang disebutkan. Oleh karena itu efek kelembaban relatif pada penyusutan dapat diabaikan, kecuali pada nilai-nilai yang sangat rendah. Pada saat pengeringan berada pada kondisi kelembaban yang sangat rendah dimana bilangan Bi meningkat tajam, terjadi fenomena pengerasan permukaan (case hardening) untuk membatasi susut. Suhu hanya berpengaruh sedikit pada kg dan P1 sehingga pengaruhnya pada penyusutan juga kecil. Efek kecil suhu terhadap penyusutan yang teramati dalam praktek dapat dikaitkan

dengan pengaruh suhu terhadap sifat elastisitas dan mekanikal bahan (Kowalski 1996).

Difusivitas Efektif

Difusivitas sangat tergantung pada suhu pengeringan dan kadar air bahan. Untuk bahan berpori (porous material) fraksi void juga sangat mempengaruhi difusivitas demikian pula dengan kondisi struktur dan sebaran porinya. Ketergantungan difusivitas terhadap suhu secara umum dapat digambarkan oleh persamaan Arhenius (Marinos-Kouris & Maroulis 1995; Madamba et al. 1996) berikut:

= 0 �� −��

� ∙ � (3.2) dimana 0 adalah koefisien yang berhubungan dengan kondisi pengeringan atau disebut juga Arhenius factor (m2/detik), Ea adalah energi aktivasi untuk difusi (kJ/mol), R adalah konstanta gas ideal (kJ/mol•K) dan T adalah suhu mutlak (K). Ketergantungan difusivitas terhadap kadar air dapat dinyatakan dalam persamaan Arhenius dengan memasukkan energi aktivasi ataupun Arhenius factor sebagai fungsi dari kadar air. Hubungan kadar air dan difusivitas bahan juga dapat menggunakan persamaan empiris lainnya, seperti yang digunakan Kiranoudis et al. (1992b) untuk komoditas kentang dan wortel berikut,

= 0 �� −�0

� ��

0

(3.3) Migrasi air selama proses pengeringan merupakan hal kompleks yang melibatkan satu atau lebih mekanisme transport seperti difusi cair, difusi uap, difusi Knudsen, difusi permukaan dan perbedaan tekanan hidrostatik (Mujumdar & Devahastin 2008). Difusi efektif (Def) didefinisikan untuk menggambarkan laju perpindahan air di dalam bahan tanpa memandang mekanisme transport yang terjadi. Persamaan difusi diturunkan dari hukum Fick kedua,

��

Dengan mengansumsikan koefisien difusivitas konstan untuk seluruh proses pengeringan, kadar air bahan seragam dan tidak terjadi perubahan volume (shrinkage) maka persamaan (3.4) dapat ditulis menjadi:

��

� = ∇2� (3.5)

Def adalah difusivitas efektif (m2/detik). Pemecahan persamaan 3.5 dilakukan untuk berbagai bentuk standard (datar, silinder dan bola) dengan kondisi batas sesuai bentuk masing-masing (Crank 1975). Untuk bentuk datar (slab) pemecahan persamaan tersebut berupa deret persamaan berikut,

��= � − � �0− � = 82 1 2�+ 1 2 �� −(2�+ 1)2 2 ∙ 4 2 ∞ �=0 (3.6)

Dalam banyak kasus, difusivitas efektif dihitung hanya berdasarkan suku pertama dari penyelesaian umumnya, sehingga persamaan (3.6) menjadi:

��= 82 �� −

2

4 2 (3.7)

Karathanos et al. (1990) membuat tahapan untuk menghitung difusivitas efektif bahan secara terinci. Pada kebanyakan kasus, difusivitas total merupakan penjumlahan dari difusivitas fase uap dan fase cair sebagaimana Gambar 3-3. Pada kadar air tinggi difusivitas cairan lebih dominan sebagai mekanisme transport dibandingkan difusivitas uap dan sebaliknya.

Pada umumnya koefisien difusivitas berada pada selang 10-13 dan 10-6

m2/detik dimana mayoritas (sekitar 92%) berada pada selang 10-12 dan 10-8 m2/detik (Zogzas & Maroulis 1996). Dari berbagai studi yang telah dilakukan diketahui bahwa difusivitas efektif meningkat dengan meningkatnya suhu tetapi

dengan kecenderungan yang bervariasi sesuai kadar air bahan. Pada suhu tinggi ikatan molekul air dengan zat lain di dalam bahan lebih mudah terlepas sehingga diperlukan energi yang lebih sedikit untuk mengeluarkan air dibandingkan pada suhu rendah.

Gambar 3-3. Variasi difusivitas terhadap kadar air (Karathanos et al. 1990) Hal sebaliknya, kemudahan pergerakan air dalam bahan sangat tergantung pada struktur bahan. Selain itu fraksi void juga diketahui sangat mempengaruhi difusivitas, dimana bahan dengan porositas rendah cenderung mengalami difusi cair sedangkan untuk biji-bijian/butiran dan produk yang banyak mengandung pori cenderung mengalami difusi uap melalui rongga kosong (void space) (Karathanos et al. 1990).

Model Penyusutan

Berbagai studi telah dilakukan untuk mendapatkan model pendugaan yang menjelaskan perilaku penyusutan buah-buahan dan sayuran. Lozano et al. (1983) mendapatkan hubungan untuk menduga penyusutan pada buah-buahan dan sayuran berdasarkan perubahan kadar air. Al-Muhtaseb et al. (2004) dan Hernandez et al. (2000) menyatakan bahwa penyusutan dan perubahan kadar air berbanding lurus. Hatamipour & Mowla (2002) melaporkan bahwa perubahan volume wortel juga berbanding lurus dengan penyusutan arah sumbu selama pengeringan, sedangkan Yang et al. (2001) melaporkan bahwa penyusutan kentang tidak berpola (non-isotropic or irregular).

Teknik pengolahan citra adalah cara yang mudah diterapkan untuk melihat perubahan bentuk bahan. Yan et al. (2008) menggunakan pengolahan citra untuk menganalisis perubahan dimensi nenas, mangga dan pisang selama pengeringan. Perubahan parameter seperti luas, perimeter, diameter dan bentuk bahan diukur

dengan analisis citra dan dihubungkan dengan perubahan kadar air memakai persamaan polinomial ordo dua. Fernandez (2005) menggunakan pengolahan citra untuk menganalisis pengaruh pengeringan terhadap penyusutan, warna dan tekstur irisan apel. Semua parameter tersebut turun secara landai menurut waktu pengeringan dan nilainya berubah cepat pada 6 jam pertama pengeringan dan setelah itu relatif stabil.

Ada dua substansi pendekatan yang berbeda dalam membuat model penyusutan bahan pangan selama pengeringan. Yang pertama disusun berdasarkan model empiris dari data penyusutan sebagai fungsi kadar air. Pendekatan kedua yang lebih fundamental didasarkan pada interpretasi fisik dari sistem pangan yang kemudian digunakan untuk menduga perubahan bentuk bahan berdasarkan hukum kekekalan massa dan volume. Pada kedua pendekatan tersebut dihasilkan baik model linier maupun non-linier untuk menjelaskan perilaku penyusutan terhadap kadar air (Mayor & Sereno 2004)

Perubahan dimensi dan bentuk bahan terjadi secara simultan dan difusi air mempengaruhi laju kehilangan air pada saat pengeringan. Para peneliti telah menunjukkan bahwa proses perubahan volume adalah salah satu unsur pokok sumber kesalahan dalam simulasi model pengeringan produk biologis (Lang & Sokhansanj 1993). Sebagian besar model matematika yang digunakan untuk simulasi pengeringan proses produk pertanian telah mengabaikan perubahan volume pada saat proses pengeringan (Brooker et al. 1981). Namun, model- model tersebut dapat diperbaiki dengan memasukkan fenomena penyusutan (Lang et al. 1994).

Pada umumnya model penyusutan didasarkan pada geometri standar yaitu bentuk bola, silinder, kubus dan datar (slab). Sedangkan dimensi yang dikaitkan dengan perubahan kadar air bahan adalah ketebalan, diameter, area atau volume bahan.

Pengolahan Citra

Pengolahan citra adalah suatu metode yang digunakan untuk memproses atau memanipulasi gambar dalam bentuk 2 dimensi. Pengolahan citra juga dikatakan sebagai operasi untuk memperbaiki, menganalisa, atau mengubah suatu gambar. Pada umumnya, tujuan dari pengolahan citra adalah mentransformasikan

atau menganalisis suatu gambar sehingga informasi baru tentang gambar dibuat lebih jelas. Terdapat empat klasifikasi dasar dalam pengolahan citra yaitu point, area, geometri, dan frame (Niblack 1986). Pada operasi point, pemrosesan nilai piksel suatu citra dilakukan berdasarkan nilai dan posisi dari piksel tersebut. Termasuk di dalam operasi point ini adalah pengaturan brightness, kontras, color balance, negatif, gray scaling serta sephia. Pada operasi area, pemrosesan nilai piksel suatu citra dilakukan berdasarkan nilai piksel tersebut beserta nilai piksel sekelilingnya. Termasuk di dalam operasi area ini adalah sharpening dan smoothing. Operasi geometri digunakan untuk mengubah posisi dari sebuah piksel menjadi posisi lain yang dikehendaki. Termasuk di dalam operasi geometri ini adalah translasi, scaling, rotasi dan flip.

Proses pengolahan citra mempunyai ciri data masukan dan informasi keluaran yang berbentuk citra. Istilah pengolahan citra digital secara umum didefinisikan sebagai pemrosesan citra dua dimensi dengan komputer. Dalam definisi yang lebih luas, pengolahan citra digital juga mencakup semua data dua dimensi. Citra digital adalah barisan bilangan nyata maupun kompleks yang diwakili oleh bit-bit tertentu. Umumnya citra digital berbentuk persegi panjang atau bujur sangkar (pada beberapa sistem pencitraan ada pula yang berbentuk segi enam) yang memiliki lebar dan tinggi tertentu. Ukuran ini biasanya dinyatakan dalam banyaknya titik atau piksel sehingga ukuran citra selalu bernilai bulat. Setiap titik memiliki koordinat sesuai posisinya dalam citra. Koordinat ini biasanya dinyatakan dalam bilangan bulat positif, yang dapat dimulai dari 0 atau 1 tergantung pada sistem yang digunakan. Setiap titik juga memiliki nilai berupa angka digital yang merepresentasikan informasi yang diwakili oleh titik tersebut (Putra 2010).

Satuan atau bagian terkecil dari suatu citra disebut piksel (pixel atau picture element). Umumnya citra dibentuk dari kotak-kotak persegi empat yang teratur sehingga jarak horizontal dan vertikal antar piksel adalah sama pada seluruh bagian citra (Ahmad 2005). Kebanyakan kamera menangkap citra dalam bentuk gelombang analog yang kemudian dilakukan pengambilan sampel dan dikuantisasi untuk mengkonversinya ke dalam bentuk citra digital. Pada proses selanjutnya representasi tersebutlah yang akan diolah secara digital oleh

komputer. Pengolahan citra pada umumnya sangat erat kaitannya dengan computer aided analysis yang umumnya bertujuan untuk mengolah suatu objek citra dengan cara mengekstraksi informasi penting yang terdapat di dalamnya. Dari informasi tersebut dapat dilakukan proses analisis dan klasifikasi secara cepat memanfaatkan algoritma perhitungan komputer. Pengolahan citra sangat berhubungan dengan teknologi komputer dan algoritma matematik untuk mengenali, membedakan serta menghitung gambar. Perolehan citra dan segmentasi sistem pengambilan citra (gambar) terdiri dari empat komponen dasar yaitu : illuminasi, kamera, hardware dan software.

Format data citra digital berhubungan erat dengan warna. Pada kebanyakan kasus, terutama untuk keperluan penampilan secara visual, nilai data digital merepresentasikan warna dari citra yang diolah. Format citra digital yang banyak dipakai adalah citra biner (monokrom), citra skala keabuan (gray scale), citra warna (true color), dan citra warna berindeks.

Proses segmentasi suatu objek citra dilakukan dengan menerapkan threshold dan mengurangi latar belakang untuk memperoleh citra biner. Thresholding atau binerisasi yaitu pengelompokan piksel-piksel dalam citra berdasarkan batas nilai intensitas tertentu. Pada operasi ini hasil proses suatu titik atau piksel tidak tergantung pada kondisi piksel-piksel disekitarnya. Dalam operasi binerisasi, satu piksel pada citra asal akan dipetakan menjadi piksel objek atau latar belakang. Operasi thresholding dapat dilakukan dengan hanya melihat nilai-nilai intensitas sinyal merah, sinyal hijau, atau sinyal biru, ataupun dengan citra grayscale yang dihasilkan dengan merata-ratakan nilai intensitas ketiga sinyal diatas. Keempat cara thresholding ini di gunakan untuk memberi keleluasaan kepada pengguna untuk menghasilkan citra terbaik berdasarkan kondisi citra warna yang akan diproses. Cahaya di dalam ruangan harus datang dari segala arah agar tidak menimbulkan bayangan, dan tidak terlalu kuat agar tidak menimbulkan efek pantulan pada permukaan obyek, terutama untuk obyek-obyek yang mempunyai permukaan licin dan berkilap (Ahmad 2005).

Komposisi Kimia dan Mutu Simplisia Temu Putih dan Temu Lawak

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga berupa bahan yang dikeringkan.

Simplisia dapat berasal dari tanaman utuh atau bagian dari tanaman, hewan, bahan mineral yang diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni (Depkes 2008, 1978). Simplisia dari tanaman harus bebas dari serangga, fragmen hewan atau kotoran, tidak boleh menyimpang bau dan warnanya, tidak mengandung lendir, jamur/cendawan dan bahan lain yang beracun atau berbahaya. Temu putih merupakan tanaman semak dengan tinggi sekitar 2 m dan memiliki batang semu, batang di dalam tanah membentuk rimpang berwarna kuning-hijau. Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat adalah umbi akar yang diiris dan dikeringkan. Rimpang temu putih mengandung zat warna kuning yaitu kurkuminoid (diarilheptanoid) dan senyawa kimia lain, seperti: minyak atsiri, zingiberen, sineol, polisakarida, dan golongan lain. Kurkuminoid yang telah diketahui meliputi kurkumin, desmektosikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin (Gambar 3-4). Selain itu, bagian minyak temu putih yang mudah menguap (1- 1.5%) juga mengandung epikurzerenon, kurdion, dan zedoaron (BPOM, 2007).

Chen et al. (2011) menyatakan bahwa komponen yang dominan di dalam Curcuma zedoaria adalah minyak atsiri. Beberapa penelitian melaporkan bahan aktif temu putih bersifat anti kanker (Chen et al. 2011; Seo et al.2005) dan sudah diuji menjadi anti oksidan (Mau et al. 2003).

Temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia yang tumbuh liar di hutan-hutan di dataran rendah hingga 1500 m di

Dokumen terkait