I. PENDAHULUAN
4.3 Pengaruh Penggunaan Restraining Box terhadap Keempukan
air yang terikat oleh daging semakin baik kualitasnya. Daya ikat air dapat dipengaruhi oleh pH dan rigormortis sehingga faktor penanganan sebelum pemotongan merupakan hal yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap daya ikat air daging. Penanganan yang buruk sebelum pemotongan akan mengakibatkan stres sehingga cadangan glikogen otot akan berkurang.
Dilihat dari segi ekonomi dan kesehatan masyarakat, penurunan daya ikat air pada daging dapat merugikan konsumen karena daging tersebut berat dan kandungan nutrisinya berkurang sehingga tanpa disadari kepuasan konsumen terhadap kualitas daging yang diharapkan tidak terpenuhi.
4.3 Pengaruh Penggunaan Restraining box terhadap Keempukan Daging (tendernes)
Secara umum penggunaan restraining box dan non-restraining box di RPH terhadap tingkat keempukan daging sapi yang dihasilkan menunjukkan hasil yang berbeda. Nilai keempukan daging pada sapi yang difiksasi menggunakan
restraining box memiliki rata-rata 2.98 ± 0.17, sedangkan pada daging sapi yang tidak difiksasi menggunakan restraining box memiliki rata-rata 3.65 ± 0.24. Seperti yang terlihat pada Tabel 4, nilai keempukan daging sapi yang dicerminkan oleh perubahan daya putus Warner Bratzler (WB) pada daging yang dihasilkan oleh RPH yang menggunakan restraining box (2.98 ± 0.84) lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata daya putus WB yang dipotong tanpa menggunakan restraining box (3.65 ± 1.21). Daya putus WB yang rendah dapat diartikan bahwa daging memiliki nilai keempukan yang tinggi dan sebaliknya daya putus WB yang tinggi dapat diartikan bahwa daging memiliki nilai keempukan yang rendah.
Tabel 4 Perbedaan keempukan contoh daging dengan restraining box dan
non-restraining box (kg/cm2)
restraining box
(kg/cm2)
non-restraining box
(kg/cm2)
23
Daging sapi yang dihasilkan oleh RPH yang menggunakan restraining box
memiliki nilai keempukan yang lebih tinggi. Hasil ini berbeda nyata (p<0.05) dengan daging sapi yang dihasilkan oleh RPH yang tidak menggunakan
restraining box. Hal ini dapat dikarenakan sapi yang difiksasi dengan restraining box sebelum dipotong memiliki kemungkinan stres yang lebih kecil daripada sapi yang tidak difiksasi dengan restraining box. Sapi yang mengalami stres biasanya lebih banyak bergerak pada saat pemotongan. Banyaknya gerakan yang dilakukan oleh sapi dapat berpengaruh pada penurunan atau habisnya kadar glikogen otot. Pada saat yang bersamaan terjadi penurunan kadar ATP dan keratin fosfat akibat tidak tersedianya oksigen yang cukup. Hal ini dapat memicu terjadinya
rigormortis otot dan berakibat pada kualitas keempukan daging sapi yang dihasilkan.
Menurut Bate-Smith, Bendall (1960), rigormortis terjadi setelah cadangan energi otot menjadi habis atau otot sudah tidak lagi mampu mempergunakan cadangan energi. Rigormortis berkaitan dengan semakin habisnya ATP dari otot. Dengan tidak adanya ATP, filamen aktin dan filamen miosin saling menindih dan terkunci bersama-sama membentuk ikatan aktomiosin yang permanen. Penurunan kadar ATP ini juga mengakibatkan terjadinya penurunan daya regang otot dengan cepat. Hilangnya kemampuan daya regang otot dan pembentukan kompleks aktomiosin menyebabkan kekakuan pada otot. Kekakuan yang terjadi akan diikuti dengan pemendekan otot yang merupakan penyebab utama dari ketidakempukan daging.
Penurunan nilai keempukan pada daging yang dihasilkan dari RPH yang tidak menggunakan restraining box juga dapat dipengaruhi oleh penurunan pH
postmortem daging. Keadaan sapi yang mengalami stres sebelum pemotongan dapat memicu penurunan pH postmortem daging yang dihasilkan. Kontraksi otot yang dialami sapi sebelum pemotongan menyebabkan defisiensi glikogen otot yang dapat merangsang tubuh untuk melakukan proses glikolisis anaerob. Glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat yang dapat terakumulasi di otot sehingga pH otot menjadi menurun (Lukman et al. 2007). Daya putus WB
24
mempunyai korelasi linear dengan pH. Sehingga dapat dikatakan, terjadinya penurunan pH pada umumnya dapat menurunkan keempukan daging. (why???)
Besarnya nilai keempukan daging juga dipengaruhi oleh proses penyimpanan dan pemasakan daging. Penyimpanan daging dapat menyebabkan peningkatan keempukan daging yang diindikasikan dengan tidak terjadinya pemendekan otot selama rigormortis. Pemendekan otot memiliki hubungan yang erat dengan kealotan daging. Daging yang telah mengalami proses rigormortis
kemudian disimpan dingin pada suhu yang sesuai tidak akan mengalami pemendekan otot. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyimpanan daging (aging, refrigerasi) dapat meningkatkan nilai keempukan daging. Giles (1969) serta Hegarty dan Allen (1975) dalam Soeparno (1994) menyatakan bahwa daging sapi postrigor yang dimasak pada suhu lebih tinggi dari 60oC akan mengalami kontraksi dan perubahan kualitas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Soeparno
et al. (1987) mengenai pengaruh pelayuan dan perebusan terhadap perubahan pH, retensi cairan, keempukan dan gizi daging sapi peranakan Friesien Holstein
(PFH) jantan. Pada umumnya, suhu pemasakan untuk memperoleh tingkat keempukan daging yang maksimum, berbeda diantara otot dan ternak dan terutama berhubungan dengan jumlah serta kekuatan jaringan ikat (Lawrie 1979).
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Daging yang dipotong dengan menggunakan restraining box
mempunyai pH rata-rata relatif lebih tinggi dari pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box. Namun perbedaan tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05) dan masih dalam kondisi normal yang dikarenakan sapi yang potong tanpa menggunakan restraining box mengalami stress akut sedikit lebih lama dibandingkan sapi yang dipotong menggunakan restraining box.
2. Daya ikat air pada daging yang menggunakan restraining box dengan pengujian cooking loss dan drip loss mempunyai nilai lebih rendah dibandingkan dengan daging tanpa restraining box. Perbedaan ini disebabkan sapi yang dipotong tanpa menggunakan restraining box mengalami stress akut yang menyebabkan peningkatan asam laktat yang menyebabkan denaturasi protein yang berakibat hilangnya daya ikat air oleh daging
3. Daging yang dihasilkan dari RPH yang menggunakan restraining box
lebih empuk dibandingkan dengan daging dari RPH yang tidak menggunakan restraining box. Perbedaan ini disebabkan sapi yang dipotong tanpa menggunakan restraining box mengalami stress akut yang menyebabkan peningkatan asam laktat yang menyebabkan denaturasi protein yang berakibat hilangnya daya ikat air oleh daging sehingga daging menjadi keras.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, disarankan :
1. Dalam pembangunan restraining box perlu diperhatikan desain dan ukuran yang disesuaikan dengan besarnya sapi yang akan dipotong, sehingga ini dapat dijadikan sebagai saran/masukan bagi pemerintah
28
maupun stakeholder yang lain dalam pembangunan restraining box di RPH.
2. Perlu adanya standard operating procedures (SOPs) yang baku mengenai penggunaan restraining box di RPH, sehingga pekerja memahami dengan baik penggunaan restraining box dengan baik dan benar.
3. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai aspek kualitas daging lainnya seperti kualitas sensorik dan masa simpan daging dari sapi yang dipotong dengan menggunakan restraining box di RPH.
4. Penggunaan restraining box di RPH dinilai sangat penting agar hewan yang akan dipotong mudah ditangani dan dirobohkan supaya tidak mengalami stres yang berdampak pada kualitas daging dan keamanan pekerja
29
DAFTAR PUSTAKA
Anonymus, 2007. Manual Report Restraining Box Project Apfindo: MLA and Livestock Press
Bouton PE. Harris PV, Shorthose WR. 1971. J. Food Sci. 36, 435.
Bratzler LJ. 1971. The Science of Meat and Meat Products.2nd ed. W.H. Freeman and Co., San Francisco.
Davey CL, Kutiel H and Gilbert KV. 1967.J. Fd.Tecnol.2,53
Departemen Pertanian. 1992. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 413/Kpts/TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya; Deptan;1992.
Dodge JW. Peters FE. 1960. Temperature and pH change in poultry breast muscle at slaughter. Poultry Sci. 39: 765-768.
Forrest JC. Aberle ED, Hendrick HB, Judge MD dan Merkel RA. 1975.
Principles of Meat Science. San Fransisco: WH Freeman and Company. Grandin 1991. Double Restrainer for Handling Beef Cattle. USA : American
Society Agricultural Engineering.
Kementerian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging; Kepmentan;2010.
Lawrie RA. 1979. Meat Science. 3rd ed. Edinburgh: Pergamon Pr.
Lukman DW et al. 2008. Penuntun Praktikum Higiene Pangan. Bogor : Kesmavet FKH IPB
Lukman DW et al. 2007. Higiene Pangan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Prodjodiharjo S. 2002. Pengelolaan Daging. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian
Swatland HJ. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs. New Jersey
Soeparno 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Weir CE. 1960. The Science of Meat and Meat Product. Ed. Amer.Meat Inst.Found. Reinhold Publishing Co. .New York
Lampiran I. Nilai Rataan, Galat baku dan Hasil Uji t-Student
Perlakuan N Mean
Std.
Error
Mean
Hasil
Uji
t-Student
pH jam ke-1 Restraining Box 30 6.31 0.04 tn
Non Restraining Box 30 6.23 0.08
pH jam ke-6 Restraining Box 30 5.69 0.03 tn
Non Restraining Box 30 5.67 0.04
pH jam ke-8 Restraining Box 30 5.58 0.02 tn
Non Restraining Box 30 5.53 0.03
pH jam ke-10 Restraining Box 30 5.69 0.03 *
Non Restraining Box 30 5.58 0.04
Drip loss jam ke-6 Restraining Box 30 6.39 0.60 tn
Non Restraining Box 30 6.67 0.50
Drip loss jam ke-8 Restraining Box 30 5.89 0.51 tn
Non Restraining Box 30 6.75 0.43
Drip loss jam ke-10 Restraining Box 30 6.62 0.35 tn
Non Restraining Box 30 7.30 0.52
Cooking loss jam ke-6 Restraining Box 30 41.61 0.24 *
Non Restraining Box 30 43.68 0.38
Cooking loss jam ke-8 Restraining Box 30 40.98 0.27 *
Non Restraining Box 30 42.95 0.49
Cooking loss jam
ke-10
Restraining Box 30 41.54 0.36
*
Non Restraining Box 30 44.89 0.61
Keempukan Restraining Box 30 2.98 0.17 *
Non Restraining Box 30 3.65 0.24
Keterangan:
tn : Tidak ada perbedaan nyata antara perlakuan restraining box dan non restraining box pada
α=0.05
* : Terdapat perbedaan nyata antara perlakuan restraining box dan non restraining box pada
α=0.05
Lampiran II. Hasil Uji T Dan Selang Kepercayaan 95% Selisih Rataan Antara Perlakuan
Restraining Box Dan Non Restraining Box
t derajat
bebas
Sig.
(2-tailed)
Selisih nilai
tengah*)
Galat baku
selisih
nilai
tengah
Selang kepercayan
95% selisih dua nilai
tengah
batas
bawah
Batas
atas
pH jam ke-1 0.90 48 0.38 0.08 0.09 -0.10 0.25
pH jam ke-6 0.55 48 0.59 0.03 0.05 -0.07 0.12
pH jam ke-8 1.23 48 0.22 0.05 0.04 -0.03 0.13
pH jam ke-10 2.07 48 0.04 0.11 0.05 0.00 0.22
Drip loss jam ke-6 -0.35 48 0.73 -0.28 0.78 -1.85 1.30
Drip loss jam ke-8 -1.28 48 0.21 -0.86 0.67 -2.22 0.49
Drip loss jam ke-10 -1.07 48 0.29 -0.67 0.63 -1.94 0.59
Keempukan -2.27 48 0.03 -0.67 0.30 -1.26 -0.08
Cooking loss jam ke-6 -4.58 38 0.00 -2.07 0.45 -2.98 -1.15
Cooking loss jam ke-8 -3.52 38 0.00 -1.97 0.56 -3.12 -0.84
Cooking loss jam ke-10 -4.75 38 0.00 -3.35 0.71 -4.78 -1.92
Keterangan :
*)Selisih antara rataan perlakuan restraining box dan non restraining box
Jika nilai selisih nilai tengah dan selang kepercayaan 95%-nya bernilai negatif, artinya perlakuan
non restraining box menghasilkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan restraining box.