• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENGOLAHAN PANAS TERHADAP ZAT GIZI

Dalam dokumen EVALUASI GIZI DALAM PENGOLAHAN PANGAN (Halaman 27-33)

PENGARUH PEMANENAN DAN PENANGANAN TERHADAP SUSUNAN PANGAN

PENGARUH PENGOLAHAN PANAS TERHADAP ZAT GIZI

Pengaruh pengukusan, pasteurisasi, dan pensterilan

Pengolahan panas merupakan salah satu cara paling penting yang telah dikembangkan untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan. Walaupun demikian pengolahan panas juga mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap zat gizi, karena degradasi panas dapat terjadi pada zat gizi. Karena itu pengolahan panas dapat memperpanjang dan menaikkan ketersediaan bahan pangan untuk konsumen, tetapi bahan pangan tersebut mungkin mempunyai kadar gizi yang rendah (dibandingkan dengan keadaan segarnya). Tantangan bagi industri pengolahan pangan adalah memperkecil susut gizi selama pengolahan panas tetapi cukup menjamin umur simpan yang lebih lama.

Beberapa pengolahan panas banyak diterapkan beberapa diantaranya bertujuan untuk menaikkan kelezatan makanan tersebut. Contohnya adalah pemasakan, termasuk pembakaran dalam oven atau langsung di atas arang atau api, pendidihan, penggorenagan, dan perebusan. Untuk pengolahan panas lain, tujuannya adalah menaikkan umur simpan bahan pangan dan memperkecil timbulnya penyakit yang berasal dari makanan. Contohnya, pengukusan, pasteurisasi, dan pensterilan.

Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan pada sistem jaringan sebelum pembekuan, pengeringan, atau pengalengan. Tujuan proses pengukusan bergantung kepada perlakuan lanjutan terhadap bahan pangan. Misalnya pengukusan sebelum pembekuan atau pengeringan bertujuan untuk menginaktifkan enzim yang akan menyebabkan perubahan warna, cita rasa, atau nilai gizi yang tidak dikehendaki selama penyimpanan. Pengukusan sebelum pengalengan mempunyai beberapa fungsi , termasuk

pelayuan jaringan sebelum penutupan kaleng, dan menginaktifkan enzim. Yang penting dalam pengukusan bahwa tujuan utama bukanlah perusakan mikroba.

Pasteurisasi adalah pengolahan panas yang dirancang untuk untuk menginaltifkan enzim sebagian saja mikroorganisme vegetatif yang terdapat dalam pangan. Karena makanan tidak steril, maka pasteurisasi sebagaimana pengukusan harus juga digunakan secara bersamaan dengan cara pengawetan lain seperti fermentasi , pendinginan (misalnya susu ), mempertahankan kondisi anerob ( misalnya bir ), atau harus digunakan pada produk sari buah yang sangat asam yang lingkungannya tidak cocok untuk pertumbuhan mikroba yang berbahaya bagi kesehatan.

Steril adalah istilah yang menunjukkan kondisi tanpa mikroorganisme hidup. Penstrerilan merupakan istilah untuk setiap proses yang menghasilkan kondisi steril dalam makanan. Beberapa mikroorganisme dan sporanya sangat tahan panas dan biasanya tidak praktis untuk menterilkan makanan dengan pengolahan panas. Apabila hal ini dilakukan maka organoleptik dan nilai gizi makanan akan rusak sehingga tidak dapat diterima. Karena itu pensterilan yang digunakan pada pengolahan panas makanan dibarengi dengan cara pengawetan lain, misalnya pengemasan dan pengaturan suhu penyimpanan. Cara tersebut dimaksudkan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme atau sporanya dalam lingkungan kondisi penyimpanan. Makanan yang telah diproses dengan panas dan memenuhi persyaratan ini disebut steril komersil.

Beberapa parameter kinetik telah digunakan untuk menggambarkan pengaruh perlakuan waktu atau suhu pada laju tingkat kerusakan zat gizi. Pada dasarnya diperlukan dua parameter, (1) laju kerusakan zat gizi pada suhu acuan dan (2) ketergantungan laju kerusakan pada suhu. Untuk industri pengolahan pangan, kedua parameter ini dinyatakan sebagai waktu untuk menurunkan konsentrasi komponen sebesar 90% (Dr) pada suhu acuan Tr, dan perubahan suhu derajat Faranheit yang diperlukan untuk menyebabkan perubahan 10 kali nilai D (nilai Z).

Mengoptimumkan proses panas untuk retensi zat gizi

Salah satu perkembangan dalam pengolahan panas adalah upaya mengoptimumkan proses panas untuk retensi zat gizi. Hal ini terutama bersumber dari peningkatan kenaikan kesadarn masyrakat terhadap kandungan zat gizi makanan olahan.

Untuk menentukan kondisi optimum retensi zat gizi, persaan yang menggambarkan keadaan waktu atau suhu suatu produk harus dikaitkan dengan parameter yang menggambarkan kinetika reaksi perusakan zat gizi dan faktor lain. Hal ini memungkinkan pengoptimunan proses, ditinjau dari retensi zat gizi.

Pengoptimuman proses pengukusan ditinjau dari retensi zat gizi meliputi pertimbangan susut gizi akibat degradasi termal. Misalnya pengukusan dalam air panas dapat mengakibatkan susut gizi akibat penelusan. begitu pula susut akibat oksidasi dapat terjadi selama pengukusan dalam udara panas. Jadi apabila kita hanya memperhatikan degradasi termal zat gizi untuk mengoptimumkan pengukusan, sukar untuk memperkirakan suatu proses yang optimum, karena dasar untuk untuk proses )enzim tahan panas) dan faktor gizi menunjukkan ketergantungan pada suhu yang hampir sama. Karena itu pengukusan lama dan suhu yang rendah tidak mempunyai keuntungan yang nyata dinadingkan dengan pengukusan dengan sebentar pada suhu tinggi. Tetapi jika terjadi penelusan yang berarti atau susut akibat oksidasi, maka pengukusan pada suhu tinggi waktu singkat (STWS) akan menghasilkan retensi zat gizi yang lebih besar.

Untuk pasteurisasi dan pensterilan komersil, ada pekuang untuk mengoptimumkan proses untuk retensi zat gizi. Untuk makanan atau makanan berbentuk cair yang dipasteurisasi, proses STWS menghasilkan retensi zat gizi yang maksimum. Hal ini dapat diperkirakan dengan cara membandingkan energi pengaktifan mikroorganisme terhadap energi pengaktifan zat gizi tersebut. Kenaikan suhu proses (dengan semakin singkatnya waktu proses) akan sangat mempengaruhi laju perusakan mikroba dibandingkan dengan pengaruhnya pada tingkat perusakan zat gizi. Akibatnya STWS menghasilkan retensi zat gizi yang lebih besar.

Untuk sterilisasi komersil, pengoptimuman proses panas tidak bersifat langsung. Untuk sterilisasi komersil, baik diluar wadah (pengolahan panas aseptik), ataupun di dalam wadah dengan pemanasan konveksi, proses suhu tinggi waktu singkat akan menghasilkan retensi zat gizi dan faktor mutu yang maksimum. Sebagaimanan dalam perlakuan pasteurisasi hal ini disebabkan oleh perbedaan tanggapan suhu terhadap laju kerusakan mikroba dibandingkan dengan tanggapan terhadap laju perusakan zat gizi dan faktor mutu. Hal ini menguntungkan unit pengalengan aseptik yang dapat menggunakan

suhu sampai 1770C. Namun dalam pengolahan pangan yang mungkin mengandung enzim alami, ada pembatas suhu maksimum yang dapat digunakan. Batas maksimum ini adalah apabila proses panas tersebut mematikan mikroba tetapi tidak merusak enzim. Hal ini merupakan perbedaan konsekuensi perbedaan tanggapan laju degradasi mikroba dan enzim terhadap suhu.

Pada suhu pengolahan panas yang nisbih rendah, laju perusakan enzim lebih besar daripada perusakan mikroorganisme, tetapi dengan naiknya suhu proses, laju perusakan mikoba naik lebih cepat dibandingkan dengan perusakan enzim. Dengan demikian terdapat suatu suhu yang menyebabkan laju perusakan enzim yang tahan panas sama dengan laju perusakan mikroba yang digunakan sebagai dasar proses tersbut. Di atas suhu tersebut, ketidak aktifan enzim harus digunakan sebagai dasar proses, karena laju perusakan enzim lebih rendah dari perusakan mikroba. Apabila hal ini tidak diperhatikan dalam pengolahan produk yang mengandng enzim tahan panas alami, mutu produk dapat rusak selama penyimpanan karena aktifitas dari sisa dari enzim. Kisaran suhu yang laju perusakan enzimnya samadengan laju perusakan mikroba biasanya antara 132-1430C. Karena itu untuk produk yang mengandung enzim tahan panas, proses di atas persimpangan suhu ini harus didasarkan pada ketidak aktifan enzim.

Dalam situasi ini pengoptimuman proses untuk retensi gizi sukar diduga karena laju perusakan zat gizi dan faktor mutu menunjukkan kebergantungan suhu yang besarnya mirip dengan laju perusakan enzim tahan panas.

Pengoptimuman proses panas untuk retensi zat gizi ditentukan oleh kebergantungan relatif pada suhu, yaitu antara laju perusakan enzim atau mikroba dengan laju perusakan zat gizi. Tabel berikut menunjukkan ringkasan cara mengoptimumkan pengukusan, pasteurisasi, dan pensterilan niaga, dilihat dari retensi zat gizi.

Tabel. Pengoptimuman tiga proses panas untuk retensi zat gizi

Proses Cara mengoptimumkan

Pengukusan Berdasarkan tinjauan selain karena susut karena panas (misalnya susut akibat penelusan, susut akibat degradasi oksidati, kerusakan produk)

Pensterilan niaga Pemanasan konveksi bahan pangan dan pengolahan aseptik, STWS sampai pengaruh enzim tahan panas menjadi penting Bahan pangan penghantar panas, tidak selalu perlu STWS, sukar tetapi dapat dihitung.

Pengaruh pemanggangan dengan oven terhadap zat gizi

Perusakan zat gizi terhadap makanan yang dipanggang dengan (terutama roti dan kue) terutama berkaitan dengan suhu oven dan lamanya pemanggangan, serta pH adonan. Nampaknya tidak ada susut vitamin yang berarti dalam tahap pencampuran, fermentasi, dan pencetakan. Bahkan kadar beberapa vitamin dapat meningkat sedikit selama fermentasi, yaitu vitamin yang disintesa oleh sel kamir.

Mineral

Secara keseluruhan unsur ini tidak diharapkan berubah hanya karena pemanggangan, tetapi ketersediaan zat gizi mineral tertentu memang dapat berubah. Fitin yang ada dalam bekatul gandum dapat mengkompleks kalsium dengan erat dan mungkin kation lain, membuat zat ini tidak tersedia bagi gizi manusia. Oleh sebab itu jika diperlukan roti yang terbuat dari tepung gandum murni sebagai makanan pokok, disarankan penambahan kalsium ( misalnya dengan menambahkan kapur kepada roti )

Vitamin

Dalam lingkungan agak asam di dalam bahan yang difermentasi (roti, roti manis dll ), tiamin hanya susut sedikit dari jumlah yang tersisa berkaitan dengan intentitas panas perlakuan panas.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa roti yang dipanggang sampai kulitnya berwarna pucat, sedang atau gelap masing-masing menyisakan 83,80%, dan 78% tiamin dalam adonan. Lebih jauh diungkapkan bahwa retensi terbesar terjadi dalam potongan adonan yang dipanggang dalam waktu singakat.

Apabila pH meningkat sampai diatas 6, hampir semua tiamin dapat hilang. Hal ini berlangsung untuk kebanyakan bahan makanan yang diadoni dengan bahan kimia seperti bolu panggang, cake, roti jagung, dan berbagai jenis donat.

Protein dan asam amino

Yang menjadi perhatian adalah lisina, karena asam amino ini sangat terbatas dalam tepung serealia. Tingkat kerusakan asam amino bebas ternyata berkaitan dengan banyaknya gula pereduksi yang ada.

Dari hasil penelitian dilaporkan susut lisin rata-rata 15% dalam pemanggangan roti. Lisin (yang ditambahkan dalam bentuk asam amino ) juga susut dengan laju yang sama.

Dalam dokumen EVALUASI GIZI DALAM PENGOLAHAN PANGAN (Halaman 27-33)

Dokumen terkait