HASIL DAN PEMBAHASAN
2. Pengaruh Pupuk Hayati terhadap Pertumbuhan Tanaman Jarak Pagar selama Pembibitan
CMA merupakan pupuk hayati yang berperan dalam penyediaan hara, khususnya fosfat, dan membantu penyerapan air bagi tumbuhan melalui hifa- hifanya (Smith & Read 1997). Demikian juga PGPR mampu menjadi promotor
pertumbuhan tanaman dengan menyediakan hara N, P, dan K, serta zat pengatur tumbuh pada rhizosfer (Gray & Smith 2005; Han & Lee 2005). Efektivitas kedua pupuk hayati ini terhadap tanaman jarak pagar akan terlihat dari respon pertumbuhan dan serapan haranya. Penelitian ini hanya mengamati asosiasi CMA di dalam perakaran tanaman jarak pagar, sedangkan asosiasi PGPR di rhizosfer tidak diamati, sehingga diasumsikan bahwa CMA dan PGPR yang diberikan pada penelitian ini bekerja dalam kondisi normal.
Respon pertumbuhan tanaman jarak pagar yang diamati selama pembibitan I, yaitu berupa tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, luas daun, dan bobot kering tajuk menunjukkan nilai lebih tinggi akibat perlakuan CMA, baik pada P1 maupun P3 (Tabel 5). Pertumbuhan ini diikuti oleh tingkat kolonisasi CMA yang lebih tinggi pada P1 dan P3, walaupun pada tanaman kontrol juga terdapat kolonisasi akibat terkolonisasi dari alam. Hasil analisis terhadap serapan hara N, P, dan K juga menunjukkan nilai yang nyata lebih tinggi pada perlakuan CMA (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan CMA yang diberikan cukup efektif dalam meningkatkan laju pertumbuhan bibit. Keberadaan struktur CMA di dalam akar terbukti mendukung penyediaan hara bagi tanaman inang jarak pagar yang menyebabkan peningkatan pertumbuhan.
Aplikasi PGPR 7 g pada tahap pembibitan I tanaman jarak pagar tidak memberikan respon yang lebih baik dibandingkan kontrol negatif maupun positif. Sementara pada tanaman lain telah dilaporkan bahwa perlakuan pupuk hayati PGPR dengan konsentrasi 50 g/tanaman dapat meningkatkan ukuran tongkol dan bobot biji jagung serta jumlah dan bobot buah tomat (Hamim et al. 2007). Oleh karena itu diperlukan aplikasi pupuk PGPR dalam konsentrasi yang lebih tinggi.
Pada tahap pembibitan II, aplikasi PGPR dengan konsentrasi 10 g mampu meningkatkan respon pertumbuhan tanaman jarak pagar berupa tinggi tanaman, bobot kering tajuk, dan panjang akar sekunder yang lebih baik dibandingkan pada kedua kontrol. Secara umum, peningkatan lebih lanjut konsentrasi PGPR, yaitu menjadi 30 dan 50 g mampu meningkatkan respon pertumbuhan daripada konsentrasi 10 g, namun hanya pada konsentrasi 30 g yang responnya lebih baik, sedangkan peningkatan konsentrasi menjadi 50 g menunjukkan kecenderungan penurunan respon pertumbuhan kembali dibandingkan pada konsentrasi 30 g.
Belum diketahui secara jelas mengapa hal itu terjadi. Diduga hal itu terkait dengan pengaruh hormonal yang ditimbulkan oleh aplikasi PGPR, khususnya auksin. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, auksin cenderung menghambat pertumbuhan tanaman (Taiz & Zeiger 2002; Arteca & Arteca 2008). Peningkatan konsentrasi PGPR berpeluang menyebabkan kompetisi antar mikroba PGPR dalam menggunakan sumber karbon dan eksudat akar. Keterbatasan ini memungkinkan menurunkan peran PGPR pada konsentrasi 50 g/tanaman. Konsentrasi PGPR tunggal maupun kombinasi dengan CMA yang menghasilkan respon pertumbuhan lebih baik adalah pada perlakuan dengan PGPR 30 g per pot (Tabel 8).
Peningkatan konsentrasi PGPR pada pembibitan II menunjukkan respon pertumbuhan tanaman jarak pagar yang lebih baik dibandingkan kontrol. Hasil ini dapat digunakan sebagai dasar dalam aplikasi PGPR terhadap tanaman jarak pagar selama pembibitan, khususnya konsentrasi yang sesuai, yaitu sebanyak 30 g. Demikian juga, aplikasi PGPR dengan konsentrasi 30 g yang dikombinasikan dengan CMA mampu menghasilkan respon lebih baik pada diameter batang, panjang akar sekunder, dan bobot kering akar jika dibandingkan dengan PGPR tunggal (Tabel 8). Variasi konsentrasi PGPR dan kombinasinya dengan CMA pada pembibitan II memberikan penguatan bahwa aplikasi PGPR pada tanaman jarak pagar mampu memacu pertumbuhn sehingga direkomendasikan meskipun masih perlu dilakukan pengujian sampai pada tahap produksi biji untuk mengetahui respon produktivitasnya, mengingat pada penelitian ini percobaan dengan PGPR pada konsentrasi paling optimum hanya dilakukan sampai pada tahap pertumbuhan saja.
Tingkat kolonisasi CMA paling tinggi pada perlakuan pupuk CMA tunggal (P2). Kombinasi CMA dengan PGPR menurunkan tingkat kolonisasi dalam perakaran (Tabel 10). Menurunnya tingkat kolonisasi ini mungkin diakibatkan peranan PGPR dalam penyediaan hara bagi tanaman sehingga aktivitas kolonisasi CMA menjadi turun. Ketersediaan hara, khususnya P pada rhizosfer akan menurunkan kolonisasi CMA dalam perakaran tanaman (Smith & Read 1997).
Hasil serapan hara N menunjukkan bahwa kombinasi CMA dengan PGPR 10 dan 30 g menghasilkan nilai serapan paling tinggi, sedangkan serapan hara P
dan K paling tinggi pada CMA tunggal dan PGPR 30 g, sementara kombinasi keduanya cenderung menghasilkan serapan hara P dan K yang lebih rendah atau konstan dibandingkan perlakuan tunggal (Tabel 11). Kombinasi CMA dengan PGPR 30 g yang mampu meningkatkan beberapa komponen pertumbuhan memperkuat dugaan bahwa kombinasi antara CMA dengan PGPR tidak bersifat saling antagonis. Aktivitas CMA pada perakaran semakin menurun akibat penyediaan hara, khususnya hara P oleh PGPR menyebabkan tingkat kolonisasi CMA di dalam akar menjadi semakin rendah bila dibandingkan perlakuan CMA tunggal. Peranan rhizobacteria di rizosfer sebagai bentuk pertahanan terhadap patogen karena bakteri-bakteri ini lebih sensitif terhadap invasi patogen daripada CMA sendiri (Lioussanne et al. 2010), sehingga kedua jenis mikroba ini ketika diaplikasikan secara bersama tidak menunjukkan pengaruh berlawanan.
Berdasarkan pembibitan I dan II diketahui bahwa peranan CMA pada konsentrasi 70 g sampai 36 g masih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan dan serapan hara tanaman jarak pagar dibandingkan kedua kontrol. Efektivitas CMA selama pembibitan ini terlihat lebih baik dibandingkan kontrol dan perlakuan dengan PGPR konsentrasi 7 g karena CMA membentuk simbiosis mutualisme dengan perakaran tanaman sedangkan PGPR ialah bakteri yang hidup bebas di sekitar perakaran sehingga CMA lebih efektif dalam penyediaan hara pada tanaman. Kemampuan CMA dalam penyediaan hara karena CMA dapat menyerap unsur hara dari dalam tanah dan mentransfer hara tersebut langsung ke dalam akar tanaman. Sedangkan unsur hara yang tersedia dari aktivitas PGPR tidak langsung ditransfer ke dalam akar tanaman. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya peran PGPR pada pembibitan I ini diduga akibat rendahnya konsentrasi yang diberikan. Hasil pembibitan II menunjukkan bahwa perlakuan PGPR dengan konsentrasi 10, 30, dan 50 g selama pembibitan mampu berperan memberikan respon pertumbuhan lebih baik dari kedua kontrol. Konsentrasi PGPR yang optimum untuk pertumbuhan tanaman jarak pagar adalah sebanyak 30 g.
Aplikasi PGPR yang terdiri dari isolat bakteri Azotobacter sp., Azospirillum sp., Bacillus subtilis, dan Pseudomonas beteli mampu memberikan suplai hara bagi tanaman karena aktivitasnya sebagai bakteri penambat N, pelarut P dan K. Bakteri Azotobacter dan Azospirillum merupakan mikroba yang mampu mengikat
N bebas, sedangkan Bacillus dan Pseudomonas merupakan bakteri pelarut P dan pemobilisasi K serta mampu menghasilkan zat pengatur tumbuh berupa IAA (Gray & Smith 2005). Penggunaan bakteri penambat N, pelarut P dan K yang dikombinasikan dengan CMA telah dilaporkan secara signifikan meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung (Wu et al. 2005). Namun aplikasi PGPR dan CMA untuk masyarakat memerlukan produksi secara massal sehingga mampu mengurangi komponen biaya produksi karena teknik produksinya seringkali sulit terlepas dari perangkat laboratorium kecuali pupuk CMA dapat dilakukan perbanyakan secara massal langsung di lahan pertanian (on farm production) (Douds Jr et al. 2006).
3. Pengaruh Media Tumbuh Tailing terhadap Pertumbuhan Tanaman Jarak