• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Variabel-variabel Kebijakan terhadap Inflasi di Daerah

Dalam dokumen Volume 9 Number 4 Article 2 (Halaman 35-38)

Dalam mempengaruhi inflasi kebijakan yang di analisis dalam penelitian ini adalah dua kebijakan penting yaitu kebijakan moneter yang sifatnya sentralistis dan kebijakan fiskal yang desentralistis terutama pada periode setelah penerapan kebijakan otonomi daerah. Secara keseluruhan periode penelitian, signifikannya variabel dummy krisis dan otonomi daerah menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh kebijakan moneter dan kebijakan fiskal terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi selama periode penelitian. Sehingga diperlukan pembedaan analisis, sesuai dengan adanya dua fenomena ekonomi tersebut. Secara umum terdapat perbedaan pengaruh tiap-tiap variabel dalam perode yang berbeda, adapun perbandingan untuk tiap-tiap periode penelitian dapat di rangkum sebagai berikut :

Total Pra Krisis Krisis Pra Otonomi Otonomi

Tabel IV.7

Arah Hubungan Variabel-variabel Kebijakan dengan Laju Inflasi Regional di Jawa Timur

GPAD - - - Tidak signifikan Tidak signifikan

GER Tidak signifikan Tidak signifikan + Tidak signifikan +

GED + + Tidak signifikan Tidak signifikan Tidak signifikan

GDPK + - + + Tidak signifikan

GKREDIT Tidak signifikan + Tidak signifikan - Tidak signifikan

BUNGA - - - -

-Sumber : Otput Eviws 4.1. diolah kembali

Untuk keseluruhan periode penelitian dengan tanpa membedakan periode penelitian, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal relatif berimbang dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan inflasi regional di Jawa Timur. Dari sisi kebijakan fiskal, PAD memeiliki pengaruh negatif terhadap laju inflasi di Jawa Timur, demikian pula dengan suku bunga. Setiap kenaikan PAD dan suku bunga membawa implikasi pada turunnya inflasi di Jawa Timur.

Disisi lain, pertumbuhan pengeluaran pembangunan dan pertumbuhan DPK memiliki pengaruh positif terhadap inflasi regional di Jawa Timur. Pengeluaran pembangunan selama periode penelitian memiliki pengaruh positif terhadap stabilitas harga dikarenakan kenaikan pengeluaran pembangunan meningkatkan agregat demand, sehingga mendorong inflasi dari sisi permintaan (cost push inflation). Demikian pula dengan kenaikan DPK yang memiliki pengaruh positif dikarenakan fungsi intermediasi yang dapat dikatakan berjalan relatif baik.

Membaiknya fungsi intermediasi perbankan membawa pengaruh pada jumlah uang beredar di wilayah Jawa Timur yang pada akhirnya juga berimplikasi pada stabilitas harga yang berlaku di Jawa Timur.

Selama periode sebelum krisis, keseluruhan variabel moneter signifikan dalam mempengaruhi inflasi regional, sedangkan terdapat dua variabel fiskal yang signifikan dalam mempengaruhi inflasi di daerah, yaitu pertumbuhan PAD dan pertumbuhan pengeluaran pembangunan. Dalam periode sebelum krisis masing-masing kebijakan masih bersifat sentralistis ditentukan atas kewenangan pemegang kebijakan pusat. Pada masa tersebut otoritas fiskal sepenuhnya dipegang oleh departemen keuangan sedangkan ototitas fiskal dipegang oleh Bank Indonesia dengan intervensi dari pemerintah. Sehingga penyesuaian antara dua kebijakan untuk mencapai tujuan pembangunan lebih mudah dilakukan, hingga ke daerah-daerah. Secara rata-rata kebijakan moneter pada masa sebelum krisis ekonomi lebih dominan dalam mempengaruhi inflasi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya variabel kebijakan moneter yang mempengaruhi inflasi dibanding variabel kebijakan fiskal.

Arah hubungan antara PAD, DPK dan suku bunga riil adalah negatif (trade off) dengan inflasi. Hubungan negatif tersebut menunjukkan bahwa besarnya PAD pada masa sebelum krisis relatif menurunkan inflasi dari sisi permintaan (demand pull inflation). Sedangkan DPK cenderung menurunkan inflasi melalui penurunan jumlah uang yang beredar di masyarakat.

Kebijakan suku bunga yang dilakukan Bank Indonesia efektif mempengaruhi laju inflasi, semakin dinaikkan suku bunga oleh otoritas moneter di respon oleh turunnya laju inflasi daerah-daerah di Jawa Timur.

Pertumbuhan pengeluaran pembangunan dan kredit menunjukkan arah hubungan positif dengan inflasi selama periode sebelum krisis. Pada periode ini, pengeluaran pembangunan direspon oleh naiknya inflasi regional. Hal ini menunjukkan bahwa inflasi yang terjadi adalah inflasi dari sisi permintaan akibat naiknya aggregat demand. Sedangkan pertumbuhan kredit menujukkan arah positif mendorong laju inflasi dari sisi penawaran. Semakin naik suku bunga yang berlaku atas kredit, semakin mendorong biaya yang dikeluarkan untuk investasi sehingga inflasi dari sisi penawaran (cost push inflation) terjadi pada periode ini.

Selama periode krisis ekonomi, dominasi kebijakan dalam mempengaruhi inflasi regional sedikit berbeda dengan periode sebelum krisis. Secara rata-rata, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal relatif berimbang dalam mempengaruhi inflasi. Perbedaan tersebut dikarenakan selama periode krisis ekonomi terdapat pula periode diterapkannya kebijakan otonomi daerah, sehingga secara tidak langsung maupun secara langsung, kebijakan desentralisasi fiskal tersebut berimplikasi pada signifikannya kebijakan fiskal regional dalam mempengaruhi perekonomian di daerah.

Pertumbuhan PAD dan suku bunga riil menunjukkan arah negatif (trade off) dengan laju inflasi pada periode krisis. Pada periode ini turunnya laju inflasi dari sisi penawaran dipengaruhi oleh pertumbuhan PAD, sedangkan laju inflasi juga turun dipengaruhi oleh suku bunga riil. Instrumen suku bunga untuk upaya mempengaruhi inflasi oleh otoritas moneter menujukkan efektifnya pemakaian instrumen ini. Arah hubungan positif dengan inflasi pada periode krisis di tunjukkan oleh pertumbuhan pengeluaran rutin dan pertumbuhan dana yang dihimpun oleh perbankan didaerah. Inflasi dari sisi permintaan didorong naik oleh pertumbuhan pengeluaran rutin, akibat naiknya aggregat demand.

Aggregat demand yang diikuti dengan turunnya jumlah uang yang beredar di masyarakat juga menyebabkan inflasi.

Pada periode sebelum otonomi daerah, variabel-variabel kebijakan moneter berupa suku bunga dan kredit lebih dominan dalam mempengaruhi inflasi di daerah. Hal ini ditunjukkan oleh signifikannya nilai t statistik dari kedua variabel tersebut. Lebih dominannya kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi dimungkinkan karena dalam periode ini terjadi perubahan mendasar dari kebijakan moneter yang lebih fokus dalam menjaga stabilitas harga. Hal ini juga didasarkan oleh keluarnya Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Independensi Bank Indonesia, dalam artian Bank Indonesia lebih berada pada posisi sebagai partner pemerintah dalam mencapai tujuan pembangunan tanpa adanya intervensi dari pemerintah.

Pertumbuhan kredit dan suku bunga selama periode sebelum otonomi daerah memiliki arah hubungan negatif (trade off) dengan laju inflasi di daerah penelitian. Suku bunga selama periode sebelum otonomi daerah menurunkan laju inflasi dari sisi penawaran, sedangkan pertumbuhan kredit menurunkan laju inflasi dari sisi permintaan. Sedangkan arah hubungan antara pertumbuhan dana yang dihimpun dari masyarakat menunjukkan hubungan positif.

Semakin naik DPK akan semakin menurunkan jumlah uang yang beredar di daerah, sehingga pada akhirnya mendorong laju inflasi jika aggregat demand naik.

Selama periode penerapan kebijakan otonomi daerah hanya pengeluaran rutin (ER) dan suku bunga yang signifikan dalam mempengaruhi inflasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa selama periode penerapan kebijakan otonomi daerah tidak terdapat dominasi kebijakan dalam mempengaruhi inflasi, meskipun taraf signifikansi kedua variabel tersebut berbeda. Variabel belanja rutin yang tidak dikendalikan berpotensi memicu terjadinya inflasi. Dengan demikian dapat dikatakan pengeluaran rutin tersebut dapat memicu kenaikan aggregat demand, yang kemudian menciptakan inflasi dari dorongan permintaan (demand pull inflation). Sedangkan suku bunga riil dapat dikatakan mampu menurunkan tingkat inflasi. Setiap kenaikan 1% dari suku bunga, secara hitungan statistik ekonometrika mampu menurunkan inflasi di daerah sebesar 0,35%.

Dalam dokumen Volume 9 Number 4 Article 2 (Halaman 35-38)

Dokumen terkait