• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEDUDUKAN HUKUM BADAN PENYELENGGARAAN

A. Pengaturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nomor

Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Kesehatan; Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan; Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.

Pelaksanaan program BPJS berdasarkan pada :30

1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 34 mengamanatkan ayat (1) bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, sedang ayat (3) bahwa negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

30

4. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan;

6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.

7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);

8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286);

9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 No. 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355);

10.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4400); 11.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran (Lembaran Negara Tahun 2004 No. 116, Tambahan Lembaran Negara No. 4431);

12.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 4437), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara No. 4548);

13.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3637);

14.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4778);

15.Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1996 No.49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3637);

16.Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antar Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);

17.Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perayatt Daerah (Lembaran Negara Tahun 2007 No.89, Tambahan Lembaran Negara No. 4741);

18.Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden No. 94 Tahun 2006; dan

19.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan31.

B. Jaminan Sosial Kesehatan

Hak-hak dasar atau hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau Negara, jadi bukan berdasarkan hokum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Pada umumnya dikenal dua jenis hak asasi atau hak dasar manusia yaitu hak dasar sosial dan hak dasar individual.”Dua asas hokum yang melandasi hukum kesehatan yaitu the right to health care atau hak atas pelayanan kesehatan (bukan hak atas kesehatan) dan the right of self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan hak dasar atau hak primer di dalam bidang kesehatan”.32

31

Ibid. hlm. 4.

32

Nasution, Bader Johan. Hukum Kesehatan: Pertanggungjawaban Dokter.(Jakarta : Rhineka cipta, 2005) hlm 36.

Yang disebut pertama umumnya dianggap merupakan hak dasar social sedangkan yang kedua merupakan hak dasar individual, meskipun batasan atara keduanya agak kabur. Hal ini disebabkan karena hak dasar individual atau hak menentukan nasib sendiri juga ada pada hak dasar social.

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kita tidak dapat lepas dari Kebijakan Publik. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat kita temukan dalam bidang kesejahteraan sosial, bidang kesehatan, perumahan rakyat, pendidikan nasional dan bidang-bidang lainnya yang menyangkut hajat hidup masyarakat.

Kebijakan publik (public policy) adalah tindakan yang diterapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat pada hakikatnya kebijakan publik mendasarkan pada paham bahwa kebijakan publik harus mengabdi kepada kepentingan masyarakat.33

Implementasi kebijakan sebagai: “Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk men-strukturkan atau mengatur proses implementasinya34

Secara garis besar model implementasi kebijakan menjadi empat yaitu: Untuk menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung maka dapat dilihat dari berbagai model implementasi kebijakan. Pandangan mengenai model (teori) implementasi kebijakan banyak kita temukan dalam berbagai literatur.

35

1) The Analysis of failure (model analisis kegagalan),

33

Islamy, Irfan. M. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm 20.

34

Agustino, Leo. Dasar-Dasar Kebijakan Publik.( Bandung: Alfabeta, 2008) hlm 139

35

2) Model rasional (top-down) untuk mengidentifikasi faktor-faktor mana yang membuat implementasi sukses,

3) Model pendekatan (bottom-up) kritikan terhadap model pendekatan top-down dalam kaitannya dengan pentingnya faktor-faktor lain dan interaksi organisasi, 4) Teori-teori hasil sintesis (hybrid theories).

Model yang digunakan sebagai dasar tema penelitian ini ialah turunan model implementasi top-down yang disebut Direct and Indirect Impact on

Implementation yaitu Model teori yang dikembangkan oleh George C.Edwards

III. Menurut pandangan Edwards III dalam Subarsono, implementasi kebijakan di-pengaruhi oleh empat variabel yang saling berhubungan satu sama lain, di antaranya: a) Komunikasi, b) Sumber daya, c) Disposisi dan d) Struktur Birokrasi36

Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat.

37

Lingkungan pelayanan kesehatan me-liputi sistem pembiayaan kesehatan, peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintah dalam pelayanan kesehatan, kebijakan pembiayaan dan peraturan ke-uangan, serta sistem regulasi kesehatan. Seluruh sistem yang berlaku di masyarakat sangat berpengaruh terhadap sistem organisasi pelayanan kesehatan dan sistem mikro pelayanan kesehatan.

36

Subarsono, AG. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta, (Jakarta:Pustaka Pelajar,2011), hlm 90.

37

Azwar, Asrul. Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm 35.

BPJS Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim diterima lengkap. Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Dalam hal tidak ada kesepakatan atas besaran pembayaran, Menteri Kesehatan memutuskan besaran pembayaran atas program JKN yang diberikan. Asosiasi Fasilitas Kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Dalam JKN, peserta dapat meminta manfaat tambahan berupa manfaat yang bersifat non medis berupa akomodasi. Misalnya: Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi daripada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan, yang disebut dengan iur biaya (additional charge). Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi peserta PBI.

Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya, BPJS Kesehatan wajib menyampaikan pertanggungjawaban dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan (periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember). Laporan yang telah diaudit oleh akuntan publik dikirimkan kepada Presiden dengan tembusan kepada SJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya. Laporan tersebut dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif melalui media massa elektronik dan melalui paling sedikit 2 (dua) media

massa cetak yang memiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya.38

38

Ada 2 (dua) jenis pelayanan yang akan diperoleh oleh Peserta JKN, yaitu berupa pelayanan kesehatan (manfaat medis) serta akomodasi dan ambulans (manfaat non medis). Ambulanshanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan. Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama-tama harus memperoleh pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama. Bila Peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, maka hal itu harus dilakukan melalui rujukan oleh Fasilitas Kesehatan tingkat pertama, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan medis.

Bila di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi, yang dapat berupa: penggantian uang tunai, pengiriman tenaga kesehatan atau penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu. Penggantian uang tunai hanya digunakan untuk biaya pelayanan kesehatan dan transportasi.

Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan baik fasilitas kesehatan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta yang memenuhi persyaratan melalui proses kredensialing dan rekredensialing.

2014

Jaminan Kesehatan Nasional diselenggarakan oleh BPJS yang merupakan badan hukum publik milik Negara yang bersifat non profit dan bertanggung jawab kepada Presiden. BPJS terdiri atas Dewan Pengawas dan Direksi.39

1) Fungsi Dewan Pengawas adalah melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas BPJS.

Dewan Pengawasterdiri atas 7 (tujuh) orang anggota: 2 (dua) orang unsur Pemerintah, 2(dua) orang unsur Pekerja, 2 (dua) orang unsur Pemberi Kerja, 1 (satu) orang unsur Tokoh Masyarakat. Dewan Pengawas tersebut diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Direksiterdiri atas paling sedikit 5 (lima) orang anggota yang berasal dari unsur profesional. Direksi sebagaimana dimaksud diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Dalam melaksanakan pekerjaannya, Dewan Pengawas mempunyai fungsi, tugas, dan wewenangpelaksanaan tugas BPJS dengan uraian sebagai berikut:

2) Dewan Pengawas bertugasuntuk:

a. melakukan pengawasan atas kebijakan pengelolaan BPJS dan kinerja Direksi;

b. melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan Dana Jaminan Sosial oleh Direksi;

c. memberikan saran, nasihat, dan pertimbangan kepada Direksi mengenai kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan BPJS; dan

39

d. Menyampaikan laporan pengawasan penyelenggaraan Jaminan Sosial sebagai bagian dari laporan BPJS kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memang baru saja bergulir awal 2014. Badan ini merupakan sebuah transformasi dari PT Askes (Persero) yang diamanatkan sesuai amanat Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS.

C. Kedudukan Hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan

Dalam Jaminan Sosial Nasional

Jaminan kesehatan yang mendapat prioritas untuk diselenggarakan untuk seluruh penduduk sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang tentang SJSN guna memenuhi hak konstitusional rakyat Indonesia untuk “memperoleh pelayanan kesehatan” dan “jaminan sosial yang memugkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”, “belum berjalan sebagaimana yang diharapkan”.40

Akibatnya tentu, tanggung jawab Negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, semakin jauh dari harapan. Padahal apabila para petinggi di Republik ini secara serius, terarah dan terencana menangani berbagai perangkat yang diperlukan untuk implementasi undang-undang tentang

40

SJSN, waktu 5 tahun dalam ketentuan peralihan Undng-undang Tentang SJSN, untuk meyesuaikan semua ketentuan yang mengatur mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang ada sekarang ini adalah cukup.

Namun sayang, waktu yang tersedia tidak dimanfaatkan secara efekif dan efisien untuk mensinkronisasikan penyelenggaraan program jaminan sosial yang dilaksanakan selama ini dengan jiwa dan semangat Undang-Undang SJSN.41 Para penentu kebijakan malah terjebak dalam polemik yang berkepanjangan tanpa arah penyelesaian yang jelas. Selain itu “syndrome last minute” telah menghinggapi mereka, sehingga pada saat-saat terakhir mencoba menyelesaikan “pekerjaan rumah”yang sebetulnya jauh-jauh hari bisa dikerjakan dengan cermat, penuh pertimbangan untuk kepentingan bersama dan dengan agenda kerja yang terencana dengan baik.42

Tugas pokok BPJS sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang SJSN adalah:

Sebelum membicarakan kedudukan BPJS dalam SJSN, terlebih dahulu perlu diketahui apa yang dimaksud dengan BPJS, tugas dan kewajibannya sebagiamnan diatur dalam Undang-Undang tentang SJSN. Menurut Pasal 1 angka 6 Undang-undang tentang SJSN yang dimaksud dengan BPJS adalah : Badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Kemudian dalam Pasal 5 ditentukan bahwa BPJS harus dibentuk dengan Undang-undang. Dari kedua ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa BPJS adalah Badan Hukum yang bersifat khusus

41

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, Pasal 52 ayat (2)

42

1. Mengelola dana jaminan sosial untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan jaminan.43

2. Menerima pendaftaran pemberi kerja dan pekerjanya sebagai peserta program jaminan sosial, yang dilakukan secara bertahap oleh pemberi kerja.44

3. Menerima pendaftaran penerima bantuan iuran sebagai peserta yang dilakukan secara bertahap oleh Pemerintah45

4. Menerima pembayaran iuran secara berkala dari pemberi kerja dan Pemerintah.

.

46

5. Mengelola pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.47 Kewajiban BPJS sebagaimana diatur dalam Undang-undang SJSN adalah: 1. Memberikan nomor identitas tunggal kepada setiap peserta dan anggota

keluarganya.48

2. Memberikan informasi tentang hak dan kewajiban kepada peserta untuk mengikuti ketentuan yang berlaku.49

3. Mengelola dan mengembangkan dana jaminan sosial secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.50

43

Udang-Undang Nomor 40 Tahun 2004, Op.Cit, Pasal 1 angka 7

44

Ibid, Pasal 13 ayat (1)

45

Ibid, Pasal 14 ayat (1)

46

Ibid, Pasal 14 ayat (2) dan (4)

47

Ibid, Pasal 49 ayat (1)

48

Ibid, Pasal 15 ayat (1)

49

Ibid, Pasal 15 ayat (2)

50

4. Membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktek aktuaria yang lazim dan berlaku umum.51

Kedudukan BPJS dalam implementasi Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN, terlebih dahulu perlu dikemukakan pengertian SJSN. Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 menentukan yang dimaksud dengan SJSN adalah “suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial”. Pengertian SJSN seperti tersebut diatas menitikberatkan pada metode atau tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial, tidak menekankan pada suatu keseluruhan atau satu unsur yang saling bergantung untuk mewujudkan tujuan52

Secara etimologi pengertian sistem selain sebagai metode, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah “perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas”. Pengertian yang senada mengenai sistem atau sistem yang merupakan kata benda dalam bahasa Inggris, dapat ditemukan dalam Oxford English Refrence Dictionary, sebagai berikut: “Sistem 1a. a complex whole; set of connected things or parts”.53

Secara teoritis, pengertian sistem menurut Tatang M. Amirin dapat digolongkan pada dua golongan pemakaian saja, yaitu yang menunjuk pada sesuatu “entitas”, sesuatu wujud benda (abstrak maupun konkrit, termasuk juga

51 Ibid, Pasal 20 52 Ibid 53

Balai Pustaka, Departemen pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta, 2005), hlm 107

yang konseptual) dan sebagai suatu metode atau ata cara”. Sistem dalam arti wujud (entitas) bersifat preskriptif.54

Kedudukan BPJS dalam implementasi Undang-Undang SJSN yaitu sebagai salah satu bagian atau unsur atau sub sistem SJSN. BPJS merupakan sub sistem SJSN yang tugas pokoknya adalah menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS menyelenggarakan fungsi :55

a. Memungut dan menghimpun iuran menjadi Dana Jaminan Sosial b. Mengelola dan mengembangkan Dana Jaminan Sosial

c. Melakukan pembayaran manfaat program jaminan sosial kepada peserta. Kedudukan BPJS dalam implementasi Undnag-Undang SJSN sangat penting, karena dari kinerja BPJS, baik buruknya penyelenggaraan program jaminan sosial secara nyata dirasakan oleh para peserta. BPJS merupakan motor penggerak penyelenggaraan program jaminan sosial, berdasarkan prinsip-prinsip yang ditentukan dalam Undang-Undang SJSN. Pilar kelembagaan SJSN lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah : Pemerintah dengan fungsi pokok sebagai regulator, DJSN dengan fungsi sebagai penentu kebijakan umum penyelenggaraan SJSN, dan Pemberi Kerja sebagai pengumpul iuran dari pekerjanya dan menambah iuran sesuai ketentuan yang berlaku untuk dibayarkan kepada BPJS.56

54

Tatang M. Amirin, Kumpulan Pertauran Pemerintah Mengenai Jaminan Sosial Tenaga Kerja( Jakarta, Graha Kencana, 2004), hlm 39

55

Ibid

56

Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi antara lain menyatakan sebagai berikut:”terdapat rumusan yang saling bertentangan serta berpeluang menimbulkan ketidakpastian (reehtsonzekherheid) karena pada ayat (1) dinyatakan bahwa BPJS harus dibentuk dengan Undang-undang, sementara pada ayat (3) dikatakan bahwa Persero Jamsostek, Persero Taspen, Persero ASABRI, dan Persero ASKES adalah BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal tidak semua badan-badan tesebut dibentuk dengan Undang-undang”. Selanjutnya dikemukakan : “Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 52 UU SJSN justru dibutuhkan untuk mengisi kekosongan (reehtsvacuum) dan menjamin kepastian (rechtszekerheid) karena belum adanya badan penyelenggara jaminan sosial yang memenuhi persyaratan agar UU SJSN dapat dilasanakan”

Dalam hal tertampung dalam pasal 52 ayat (1) Undang-Undang tentang SJSN yang pada intinya menentukan bawa ke 4 Persero tersebut “tetap berlaku sepanjang belum disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini” kemudian dalam Pasal 52 ayat (2) ditentukan : “Semua ketentuan yang mengatur mengenai BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan Undang-undang ini paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan”. BPJS mengelola dana amanat dan bersifat nirlaba. Tujuan utamanya adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta.

Dana amanat, hasil pengembangannya dan surplus anggaran akan diamnfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. Sebagai badan penyelenggara yang bersifat nirlaba BPJS berorientasi pada aktivitas pelayanan kepada peserta(stakeholders), sebagai dasar untuk perlakuan akuntansinya.

Filosofi Persero sebagai badan usaha adalah mengejar keuntungan dan berorientasi kepada pemegang saham sebagai pemilik perusahaan57

Bentuk badan hukum BPJS tidak secara tegas ditentukan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004. Undang-Undang-Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 hanya menentukan BPJS mengelola dana amanat dan bersifat nirlaba. BPJS tidak mengelola dana pemegang saham. BPJS mengelola dana amanat yang terkumpul dari iuran peserta dan merupakan titipan kepada BPJS untuk dikelola sebaik-baiknya untuk kesejahteraan peserta. Oleh karena itu badan hukum BPJS adalah badan hukum khusus yang ditetapkan dalam Undang-Undang BPJS atau badan hukum Trust fund.58

Masing-masing BPJS yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang BPJS masih menyelenggarkan program jaminan sosial seperti apa yang diselenggarakan oleh Persero Jamsostek, Taspen, ASABRI dan Persero ASKES dengan pertimbangan praktis, efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan program jaminan sosial. Peneyesuaian spesifikasi masing-masing program yang diselenggarakan oleh masing- masing BPJS secara efektif akan terlaksana apabila peraturan Undang-Undang No. 40 tahin 2004 yang berkaitan dengan masing-masing program jaminan sosial sudah ditetapkan.59

BPJS sebagai badan hukum pengelola dana amanat yang bersifat nirlaba, bukan merupakan pesekutuan modal, karena iu dalam BPJS tidak ada pemegang saham. Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tidak menentukan struktur organisasi

57

http://kebijakansosial.wordpress.com/2010/02/09/jaminan-sosial-merupakan-tanggung-jawab-kita-semua/ diakses 1 Mei 201 4

58

Sony Yuwono, Petunjuk Praktis Penyusunan UU BPJS Organisasi Yang Berfokus Pada strategi, Gramedia Pustaka Utama, (Jakarta, 2003) hlm 58.

59

BPJS. Karena itu dalam UU BPJS, struktur BPJS disesuaikan dengan kedudukan BPJS sebagai badan hukum pengelola dana amanat yang bersifat nirlaba. Struktur organisasi BPJS terdiri dari rapat Tahunan/Akhir Masa Jabatan, Direksi dan Dewan Pengawas. Dalam UU BPJS perlu diatur secara jelas pembagian tugas, kewenangan dan tanggung jawab dari masing-masing organ yang membenuk struktur BPJS dan mekanisme kerja dan interaksi aktual diantara organ-organ tersebut60

Fungsinya adalah merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN dan berwenang melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial. Selain itu DJSN bertugas :

Salah satu institusi yang penting dalam penyelenggaraan SJSN menurut Undang-Undang No. 40 tahun 2004 adalah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). DJSN bertanggung jawab kepada Presiden.

61

1. Melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial

2. Mengusulkan kebijakan investasi Dana Jaminan Sosial,dan

3. Mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan tersedianya anggaran operasional kepada Pemerintah.

Hubungan kerja dan mekanisme interaksi antara DJSN dengan BPJS perlu diatur secara jelas dalam Undang-Undang BPJS. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Persero di bidang jaminan sosial mengatur hubungan

60

Ibid

61

Purwoko, Bambang, Membangun sistem jaminan sosial yang insklusif”, Makalah disampaikan dalam acara kuliah umum pada Program Studi MKM FKMUI, Kampus Depok UI, pada tanggal 29 Oktober 2009,

DJSN dengan Persero, karena DJSN memang merupakan instansi baru yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2004.

BPJS sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang tentang SJSN tampaknya belum akan menjadi kenyataan sampai dengan berakhirnya masa peralihan yang ditentukan dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang tentang SJSN.

Dokumen terkait