• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Pengaturan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan

Pemanfaatan sumberdaya ikan umumnya didasarkan pada konsep “hasil maksimum yang lestari” (Maximum Sustainable Yield) atau juga disebut dengan “MSY”. Konsep

MSY berangkat dari model pertumbuhan biologis yang dikembangkan oleh seorang ahli biologi bernama Schaefer pada tahun 1957. Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang.

Pengelolaan sumberdaya ikan seperti ini lebih berorientasi pada sumberdaya (resource oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan “Maximum Sustainable Yield” mempunyai kelemahan antara lain : (i) tidak bersifat stabil, karena perkiraan stock yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok, (ii) tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen, dan (iii) sulit

diterapkan pada kondisi di mana perikanan memiliki ciri ragam jenis (Fauzy, 2004). Di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya menggunakan konsep-konsep biologis dalam pendugaan stok sumberdaya ikannya yaitu dengan menggunakan pendekatan MSY. Kelebihan dari pendekatan ini adalah diperlukan data yang terbatas, sederhana dalam analisis, murah serta hasilnya mudah dimengerti oleh siapa saja termasuk para penentu kebijakan (Ghofar., 2003).

Pada perairan dimana tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya telah mengalami

overfishing perlu segera diatasi untuk mencegah kerusakan sumberdaya ikan yang semakin parah. Upaya untuk mengatasi terjadinya overfishing dapat ditempuh dengan menetapkan jumlah ikan yang diperbolehkan ditangkap atau biasa dikenal dengan istilah

Total Allowable Catch (TAC). Besarnya TAC di Indonesia secara nasional adalah 80% dari MSY atau sekitar 5 juta ton ikan yang dapat diproduksi per tahun agar kelestarian sumberdaya ikannya tetap terjaga baik.

Menurut Nikijuluw (2002), ada tiga cara mengimplementasikan pendekatan TAC. Pertama, paling mudah dan langsung dilakukan adalah menentukan TAC secara keseluruhan pada skala nasional atas jenis ikan tertentu atau perairan terentu. TAC

tersebut kemudian diumumkan kepada setiap nelayan. Selanjutnya pemerintah sebagai pemegang otoritas menetapkan aturan pemanfaatan sumberdaya ikan melakukan pemantauan jumlah ikan yang ditangkap serta memberhentikan penambahan alat tangkap ikan apabila TAC telah tercapai. Kedua, membagi TAC kepada setiap nelayan, kapal atau armada. Untuk itu pemerintah sebagai manajer dapat menentukan keberpihakan kepadanelayan atau jenis kapal ikan tertentu.

Sebagai contoh di Norwegia, pemerintah menetapkan persentase TAC tertentu kepada perikanan skala kecil. Sisa TAC yang belum dibagi kemudian dialokasikan kepada nelayan pukat cincin skala besar. Dengan cara ini perbedaan pendapatan antar nelayan dapat diperkecil.

Cara ketiga adalah membatasi kegiatan atau mengurangi efisiensi penangkapan ikan sedemikian rupa sehingga TAC tidak terlampaui. Cara ini secara ekonomis tidak efisien dan juga sering tidak akurat dilaksanakan karena kesulitan dalam mengatur penangkapan ikan serta memprediksi jumlah ikan yang mungkin ditangkap setiap kapal. Akibatnya cara ini seringkali membuat TAC terlampaui.

Nikijuluw (2005) mengemukakan pentingnya mengelola perikanan secara empiris dapat ditunjukkan dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan Indonesia pada saat ini. Yang dimaksudkan tingkat pemanfaatan adalah nisbi antara jumlah yang ditangkap dengan estimasi potensi sumberdaya. Sederhananya apabila tingkat pemanfaatan terlalu tinggi, lebih dari 50% dan mendekati 100%, maka sering dikatakan bahwa sumberdaya sudah tinggi tingkat pemanfaatannya. Tingkat pemanfaatan penuh atau sumberdaya telah jenuh pemanfaatannya bila prosentase pemanfaatan sudah mendekati atau pada tingkat 100%. Lebih dari 100% dinamakan dengan tingkat pemanfaatan lebih, sementara kurang dari 50% disebut dengan tingkat pemanfaatan yang rendah. Secara nasional, potensi lestari (Maximum Sustainable Yield) sumberdaya perikanan diperkirakan 6,4 juta ton per tahun. Potensi ini sebetulnya aman untuk dieksploitasi. Akan tetapi dengan prinsip kehati-hatian terhadap kelangsungan sumberdaya, maka potensi itu direduksi menjadi sekitar 5,12 juta ton atau 80% dari potensi lestari. Angka 5,12 juta ton disebut dengan jumlah tangkapan yang

diperbolehkan (JTB). Bila yang menjadi rujukan itu JTB maka sebetulnya pemanfaatan sumberdaya telah mencapai sekitar 90%. Namun bila yang menjadi rujukan itu adalah potensi lestari 6,4 juta ton maka tingkat pemanfaatan telah mencapai sekitar 72%. Dari kedua angka tersebut, tingkat pemanfaatan ini dapat dikatakan bahwa sumberdaya perikanan laut Indonesia secara nasional, yang berarti pada seluruh perairan, mencakup semua jenis ikan, dan berada baik di laut pedalaman, laut wilayah dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) telah mengalami kondisi pemanfaatan yang tinggi, hampir jenuh. Posisi ini sebetulnya adalah posisi kritis yang berarti bahwa pengelolaan sumberdaya ikan sudah sangat diperlukan.

Selanjutnya Nikijuluw (2005) menuliskan bahwa menurut Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), pengelolaan perikanan adalah suatu kebutuhan besar, kebutuhan dunia. Hal ini karena banyak manusia di muka bumi ini yang bergantung pada perikanan sebagai mata pencahariannya. Namun pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia yang begitu penting itu mengalami beberapa kejadian berikut ini yang menjadi dasar atau alasan untuk dikelola pemanfaatannya :

(1) Sebagian besar sumberdaya perikanan dunia telah mengalami tangkap penuh, tangkap lebih, deplesi atau pada kondisi di mana sumberdaya itu harus diselamatkan. Selain karena penangkapan, sumberdaya ikan mengalami degradasi karena kerusakan ekologi dan polusi lingkungan.

(2) Kelebihan pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia ikut ditentukan oleh perkembangan teknologi yang begitu cepat terutama pemanfaatan Geographical Positioning System (GPS), radar, echosounders, mesin kapal yan lebih kuat dan besar serta berkembangnya teknologi pengolahan ikan.

(3) Status pemanfaatan secara berlebihan sumberdaya perikanan dunia ini adalah suatu resultante dari kegagalan kepemerintahan perikanan (fisheries governance) yang mencakup di dalamnya kegagalan masyarakat, peneliti dan ahli perikanan serta pemerintah sebagai suatu lembaga.

Di Indonesia, otoritas pengelolaan adalah pemerintah melalui Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang perikanan. Akan tetapi dalam kerangka otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan, otoritas dan wewenang tersebut didelegasikan (desentralisasi) ke daerah (UU 32/2004). Selain itu, pengelolaan perikanan harus mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat (pasal 6 UU 31/2004). Karena begitu pentingnya kedudukan manusia dalam memberi arti dan manfaat bagi sumberdaya ikan maka pengelolaan sumberdaya perikanan (fisheries resource management) pada hakekatnya bukanlah sekedar suatu upaya atau proses mengelola sumberdaya ikan (managing of fish resources) tetapi sesungguhnya adalah proses mengelola manusia (managing of fishers) sebagai pengguna, pemanfaat dan pengelola sumberdaya ikan. Karena mengelola manusia ternyata tidak lebih mudah dari pada mengelola sumberdaya ikan, maka pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi sulit. Lebih sulit lagi karena ternyata interaksi antara manusia dan sumberdaya ikan merupakan suatu kondisi yang komplikatif yang menyangkut aspek-aspek bioteknologi, teknologi, sosial dan ekonomi. Dengan demikian maka pendekatan sosial ekonomi mendapat tempat yang penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan, di samping pendekatan bioekologi dan teknologi.

Dahuri (2000) yang diacu dalam Mulyadi (2005) menjelaskan bahwa kelemahan dalam pengelolaan pembangunan perikanan dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu :

(1) Permasalahan yang bersifat teknis

Permasalahan pembangunan perikanan di Indonesia yang bersifat teknis meliputi hal-hal berikut. Pertama, kemampuan kita di dalam memproduksi komoditas perikanan yang berdaya saing tinggi secara lestari, baik melalui usaha penangakapan maupun budidaya masih rendah. Hasil tangkapan ikan per-satuan upaya di laut masih relatif rendah, bersifat fluktuatif atau tak menentu. Kedua, kemampuan kita memasarkan produk atau komoditas perikanan dengan harga yang menguntungkan nelayan baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor masih juga lemah. Harga jual produk-produk perikanan sangat cepat berubah dan sering kali mengalami market glut, yakni suatu kondisi pasar yang harga jual suatu komoditasnya menurun drastis ketika pasokan komoditas tersebut melimpah (hasil tangkapan sedang baik dan harga jual membaik manakala sedang paceklik). Kondisi ini turut mengakibatkan nelayan terjebak dalam kemiskinan. Ketiga, harga faktor-faktor produksi relatif mahal dan bersifat fluktuatif.

(2) Permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan

Keberhasilan perikanan tidak hanya ditentukan oleh tiga subsistem utamanya, yaitu 1) produksi; 2) pascapanen (penanganan dan pengolahan): dan 3) pemasaran, tetapi juga oleh subsistem penunjangnya yang meliputi prasarana dan sarana, keuangan, sumberdaya manusia dan iptek serta hukum dan kelembagaan. Kebijakan pemerintah di bidang agrobisnis perikanan belum mendukung kemajuan pembangunan perikanan. Minimal ada tiga kelemahan kebijakan yang mendasar. Pertama, belum ada kebijakan yang membatasi jumlah (tingkat atau kuota) penangkapan stok ikan di suatu kawasan perairan. Semua nelayan secara bebas

dapat menangkap ikan di suatu wilayah perairan. Akibatnya terjadi overfishing

yang pada gilirannya merugikan usaha perikanan tangkap dan nelayan menjadi miskin. Kedua, belum ada tata ruang yang mengakomodasi lahan perikanan sebagai kawasan khusus/tertentu yang mendapat perlindungan dari konservasi dan bahaya pencemaran. Ketiga, belum ada kebijakan tentang kredit murah dan lunak, misalnya sekitar sepuluh persen seperti KUT, untuk mendukung usaha perikanan tangkap, budidaya, ataupun industri pengolahan.

(3) Permasalahan yang berkaitan dengan aspek hukum dan kelembagaan

Instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai diperlukan untuk menerapkan kebijakan pembangunan perikanan. Menurut para pengamat dan pakar pembangunan perikanan, implementasi dan penegakan hukum (law enforcement) di bidang perikanan di Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak lingkungan belum cukup membuat perusak menjadi jera atau minimal berpikir berkali-kali untuk melakukan tindakan perusakan. Sebagai contoh, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang bersifat destruktif, yaitu penggunaan bahan-bahan peledak, bahan beracun dan aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai dan kegiatan pariwisata yang kurang bertanggung jwab dan sedimentasi akibat meningkatnya erosi dari lahan atas.

(4) Permasalahan yang berkaitan dengan kondisi ekonomi politik

Meskipun potensi pembangunan perikanan Indonesia sangat besar dan sumbangannya terhadap perekonomian nasional pun tidak kecil (berupa penyediaan protein hewani, perolehan devisa, penyerapan tenaga kerja, pengembangan wilayah

dan multiplier effects lainnya), tetapi pada kenyataannya perikanan kurang mendapat perhatian dari para pembuat kebijakan dan pengambilan keputusan baik di kalangan pemerintah maupun swasta.

Dalam hal pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh pemerintah, menurut Lawson (1984) pemerintah dapat mengambil beberapa bentuk kebijakan dalam rangka pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan sebagai berikut : (1).Pembatasan alat tangkap (restriction on gears)

Kebijakan ini pada dasarnya ditujukan untuk melindungi sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak atau destruktif. Disamping itu, kebijakan ini juga dapat dilakukan dengan alasan sosial politik untuk melindungi nelayan yang menggunakan alat tangkap yang kurang atau tidak efisien.

(2). Penutupan musim (closed season)

Penutupan musim penangkapan ikan merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan, yang umumnya dilakukan di negara dimana sistim penegakan hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini didasarkan pada sifat sumberdaya ikan yang sangat tergantung pada musim, dan sering kali hanya ditujukan pada satu species saja dalam kegiatan perikanan yang bersifat multi species. Beddington and Rattig (1983) yang diacu dalamNikijuluw (2002) mengemukakan adanya dua bentuk penutupan musim, yaitu :

¾ Penutupan musim penangkapan ikan pada waktu tertentu, untuk memungkinkan ikan melakukan aktivitas pemijahan dan berkembang biak.

¾ Penutupan kegiatan penangkapan ikan dengan alasan sumberdaya ikan telah mengalami degradasi dan ikan yang ditangkap semakin sedikit. Oleh karena itu,

dilakukan kebijakan ini untuk membuka peluang pada sumberdaya ikan yang masih tersisa memperbaiki populasinya.

(3).Penutupan area (closed season)

Kebijakan ini pada dasarnya mempunyai pengertian menghentikan kegiatan penangkapan ikan di suatu perairan. Kebijakan ini dapat bersifat permanent, atau dapat juga berlaku dalam kurun waktu tertentu. Dampak dari kebijakan ini relatif sama dengan kebijakan penutupan musim. Dalam hal ini terdapat beberapa negara menerapkan kebijakan ini untuk kapal ikan dengan ukuran tertentu dan atau alat tangkap tertentu.

(4). Kuota penangkapan

Kuota penangkapan adalah suatu cara yang dapat dilakukan dalam rangka melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan. Kebijakan ini pada dasarnya adalah pemberian hak kepada industri atau perusahaan perikanan untuk menangkap atau mengambil sejumlah ikan tertentu dari perairan. Dengan kata lain, kuota adalah alokasi dari hasil tangkapan yang diperbolehkan diantara unit individu dari effort yang ada. Berdasarkan ketentuan ini, instansi pemerintah yang berwenang mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan mengeluarkan hak kepada perusahaan atau industri bukan saja dalam hal ijin menangkap ikan, akan tetapi juga hak untuk menangkap ikan dalam jumlah tertentu (kuota). Hak kuota ini dapat berupa jumlah ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap (Total Allowable Catch), yang dapat dibagi per nelayan, per kapal atau per armada perikanan. Hak kuota tersebut pada hakekatnya juga dapat dialihkan atau ditransfer kepada nelayan lain.

(5). Pembatasan ukuran ikan yang didaratkan

Bentuk kebijakan ini pada hakekatnya lebih ditujukan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok ikan. Hal ini dilakukan dalam rangka memberi kesempatan pada ikan yang masih muda untuk tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya serta kemungkinan berproduksi sebelum ikan tersebut ditangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada komposisi dari hasil tangkapan dan ukuran individu ikan yang tertangkap.

Keterlibatan pemerintah didalam pengelolaan sumberdaya ikan, menurut (Nikijuluw, 2002) diwujudkan dalam tiga fungsi, yaitu :

(1) Fungsi Alokasi, yang dijalankan melalui regulasi untuk membagi sumberdaya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

(2) Fungsi Distribusi, dijalankan oleh pemerintah agar terwujud keadilan dan kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul oleh setiap orang, disamping adanya keberpihakan pemerintah kepada mereka yang tersisih atau lebih lemah.

(3) Fungsi Stabilisasi, ditujukan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak berpotensi menimbulkan instabilitas yang dapat merusak dan menghancurkan tatanan sosial ekonomi masyarakat.

Pengelolaan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh masyarakat telah dipraktekan di beberapa daerah di Indonesia seperti Sasi di Pulau Saparua dan pengelolaan sumberdaya ikan di Jemluk Bali. Nikijuluw (2004) menjelaskan bahwa penerapan sistem sasi di Pulau Saparua telah berhasil mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan sekitar Pulau Saparua dengan tetap mejaga kelestariannya. Pelaksanaan sasi dilakukan dengan cara menutup musim dan daerah penangkapan ikan. Untuk itu masyarakat desa

tidak diizinkan menangkap ikan selama periode waktu terentu di kawasan perairan tertentu. Periode penutupan penangkapan ikan ini dikenal dengan nama tutup sasi. Sementara itu periode penangkapan ikan dikenal dengan nama buka sasi.

Mulyadi (2005) menjelaskan bahwa co-management perikanan dapat dirumuskan sebagai pengaturan kemitraan kedinasan pemerintah, nelayan, LSM dan stakeholder

lainnya (pedagang ikan, pemilik perahu, para pengusaha dan sebagainya) berbagi tanggung jawab dan otoritas untuk melakukan manajemen perikanan. Co-management

meliputi berbagai bentuk kemitraan dan tingkat pembagian kekuasaan dan keterpaduan lokal (informal, tradisional, adat istiadat) dengan sistem manajemen pemerintahan terpusat ataupun otonomi daerah, sedangkan Community Based Coastal Resource Management (CBCRM) ialah sentral co-management sebagai proses di mana msyarakat pantai sendiri diberikan peluang dan tanggung jawab mengatur sumberdaya alam pantai yang mendaftarkan sendiri kebutuhannya serta menentukan arah dan tujuan aspirasinya. Turner et al. (1998) mengemukakan bahwa perikanan ke arah masa depan akan suram jika tanpa disertai pengelolaan yang baik. Pertumbuhan populasi dunia dan peningkatan produksi perikanan berhubungan dengan peningkatan pendapatan yang dampaknya dapat meningkatkan permintaan jumlah ikan yang tidak dapat dipenuhi oleh sumberdaya. Pengelolaan yang lestari dapat diterapkan dengan mengadopsi pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) untuk pengelolaan perikanan dan dapat mendukung penelitian berikutnya serta dapat digunakan sebagai informasi untuk mengurangi faktor-faktor ketidakpastian yang mempengaruhi produktivitas. Selanjutnya untuk jangka panjang yang perlu diperhatikan adalah beberapa persayaratan untuk mendukung kelestarian lingkungan yang didasarkan pada prinsip ekonomi dengan

skala optimal, distribusi hukum yang adil, partisipasi dan legitimasi. Isu utama dalam meningkatkan resiko lingkungan adalah luasnya distribusi dari resiko, biaya dan manfaat. Barkin et al. (2000) menuliskan bahwa dalam melestarikan sumberdaya terdapat 3 kriteria utama, yaitu :

(1) Teknologi

Perbedaan secara nasional dijumpai pada teknologi eksploitasi sumberdaya utama yang ada untuk dapat disubstitusi dengan sumberdaya lainnya. Kasus yang dapat digunakan adalah adanya perbedaan teknologi terutama perbedaan pada teknologi penangkapan yang tinggi, dan penggunaan modal yang besar yang dapat menjangkau daerah penangkapan lebih jauh sehingga dapat memberikan pilihan yang bervariasi dimana ikan berada dan jenis-jenis ikan apa yang akan ditangkap.

(2) Perbedaan tingkatan pemanfaatan sumberdaya

Ketika suatu negara memanfaatkan sumberdaya untuk lebih dari satu tujuan, negara tersebut akan mempunyai kesulitan untuk mensubstitusi sumberdaya tersebut. Sebagai contoh, Canada memperoleh keuntungan dari salmon sport fishery, sementara United States memanfaatkan perikanan salmon sebagai perikanan komersil. Untuk mensubstitusi stok tersebut, Canada menemukan alternatif untuk turis dan nelayan untuk meningkatkan perikanan komersil. Penggunaan sumberdaya yang berbeda dapat dengan cara mensubsitusi sumberdaya tersebut, dalam kasus ketika satu negara meningkatkan keuntungan dari salah satu sumberdaya dan negara lain tidak melakukan hal itu.

(3) Perbedaan arah pemanfaatan sumberdaya

Ketika sumberdaya mempunyai arah yang berbeda, kemampuan negara maju untuk mensubstitusi sumberdaya alam biasanya lebih besar daripada negara-negara yang kurang maju. Isu-isu lingkungan yang masuk ke dalam kategori ini adalah isu-isu yang berkaitan dengan udara, perairan dan migrasi spesies ikan.

Peraturan internasional tentang Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995) telah mulai disiapkan untuk diimplementasikan, yang memuat beberapa aspek yaitu :

(1) Aspek pengelolaan perikanan (Fisheries Management). (2) Aspek operasi penangkapan ikan (Fishing Operations). (3) Aspek pembangunan akuakultur (Aquaculture Development).

(4) Aspek integrasi perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir (Integration of Fisheries into Coastal Area Management).

(5) Aspek praktek-praktek pasca panen dan perdagangan (Post Harvest Practices and Trade).

(6) Aspek penelitian perikanan (Fisheries Research).

Pengaturan dan pengendalian sumberdaya perikanan di Indonesia saling berkaitan antara aspek operasi penangkapan dengan ke-lima aspek lainnya dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries.

Beberapa peraturan umum yang terkandung dalam CCRF (1995) antara lain : (1) Negara dan pengguna sumberdaya perikanan harus menjaga ekosistem perairan,

hak menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban menangkap menggunakan cara-cara yang bertanggungjawab.

(2) Pengelolaan perikanan harus mendorong terjaminnya sumberdaya perikanan untuk generasi sekarang maupun yang akan datang.

(3) Negara harus mencegah penangkapan yang berlebihan (overfishing) dan menjaga agar upaya penangkapan sesuai dengan kapasitas dari sumber itu sendiri.

(4) Kebijaksanaan konservasi dan pengelolaan perikanan harus berdasarkan bukti ilmiah yang tersedia, dengan memperhatikan habitat, lingkungan dan faktor sosial ekonomi.

(5) Negara dan organisasi perikanan regional/sub regional harus mengimplementasikan ”pendekatan kehati-hatian” (precautionary approach) dalam rangka konservasi, pengelolaan dan eksploitasi sumberdaya perairan; tidak tersedia data dan informasi ilmiah yang cukup yang tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda mengambil keputusan dalam pengelolaan.

(6) Alat penangkapan yang selektif dan ramah lingkungan agar dikembangkan dalam rangka menjamin biodiversitas dan menjaga struktur populasi dalam ekosistem perairan.

(7) Penangkapan dan penanganan pasca panen dan distribusi ikan harus menjamin kualitas nilai nutrisi ikan dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. (8) Perlunya perlindungan terhadap habitat yang kritis dan upaya rehabilitasi.

(9) Negara harus menjamin bahwa kepentingan perikanan diperhatikan dalam rangka perencanaan pembangunan pantai terintegrasi.

(10) Negara harus menjamin terlaksananya pengawasan dan kepatuhan dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan.

(11) Negara pemberi ijin penangkapan harus menjamin pengawasan yang efektif agar dapat terlaksananya kode etik ini.

(12) Negara harus bekerja sama dalam tingkat sub regional dan regional dalam rangka pengelolaan perikanan disesuaikan dengan kemampuannya.

(13) Negara harus menjamin pelaksanaan pengelolaan perikanan yang transparan, mendorong adanya konsultasi dan partisipasi dari para pengguna sumberdaya perikanan.

(14) Perdagangan ikan secara internasional harus mengacu kepada prinsip, hak dan kewajiban yang sudah digariskan oleh organisasi perdagangan dunia (WTO).

(15) Negara harus bekerja sama untuk menghindari konflik dan harus menghormati upaya pemecahan konflik.

(16) Negara harus meningkatkan penyuluhan tentang perikanan yangg bertanggungjwab melalui pendidikan latihan.

(17) Negara harus berupaya agar fasilitas penangkapan dan peralatan lainnya menjamin keselamatan para pekerja.

(18) Negara harus melindungi hak-hak para nelayan dan para pekerja perikanan yang terlibat dalam perikanan skala kecil untuk mempertahankan kehidupannya.

(19) Negara harus menempatkan akuakultur sebagai upaya diversifikasi dan menjamin agar akuakultur tidak mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan.

Pengelolaan perikanan secara khusus di jelaskan pada Pasal 3.1, antara lain : (1) Negara-negara harus menjamin agar suatu kerangka hukum dan kelembagaan yang

(2) Sektor perikanan haruslah merupakan suatu bagian integrasi dari tatanan pengelolaan kawasan pesisir untuk menjamin agar :

1). Perhatian agar diberikan pada hak dari komunitas penangkapan ikan pesisir dan praktek yang biasa mereka lakukan sejalan dengan pembangunan lestari berkelanjutan dan,

2). Sektor perikanan, bersama dengan komunitas penangkapan ikan dikonsultasikan dalam proses pengambilan keputusan berkenaan dengan proyek terkait perikanan, demikian pula melengkapi masukan sektor perikanan berikut komunitas penangkapan ikan ke dalam kegiatan non-perikanan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan pesisir.

(3) Negara-negara harus mengambil ketentuan untuk menetapkan dan menyusun badan pengelolaan yang efektif pada tingkat-tingkat Pangkalan Pendaratan Ikan atau Pelabuhan Ikan untuk memastikan :

1). Ketaatan pada hukum peraturan perundang-undangan dan aturan lain yang mengatur kewajiban suatu Negara berkaitan dengan fasilitas Pelabuhan Perikanan atau fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan;

2). Ketaatan pada ketentuan konservasi dan pemantauan lingkungan yang telah diadopsi oleh otoritas yang kompeten pada tingkat nasional demikian pula ketentuan yang diadopsi atas dasar regional atau subregional;

3). Pengintegrasian dengan para pengguna lain (seperti dalam hal fasilitas yang biasa untuk kapal penangkap ikan); dan

(4) Dalam menetapkan penugasan suatu badan pengelolaan, otoritas yang kompeten harus memastikan bahwa badan tersebut :

1) Disediakan dana secukupnya agar berfungsi seperti yang diharapkan;