• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan-pengaturan Asas Pemisahan Horizontal dan

BAB III KONSISTENSI ASAS PEMISAHAN HORIZONTAL DALAM

B. Pengaturan-pengaturan Asas Pemisahan Horizontal dan

Menurut Djuhaendah Hasan74, salah satu aspek yang penting dalam hukum tanah adalah hubungan antara tanah dengan benda yang melekat padanya. Kepastian akan kedudukan hukum dari benda yang melekat pada tanah itu sangat penting karena hal ini menyangkut pengaruh yang sangat luas terhadap segala hubungan hukum yang menyangkut tanah dan benda yang melekat padanya. Kepastian hukum akan kedudukan HMSRS sangat penting dalam kerangka hukum tanah. Berdasarkan hal

tersebut, Djuhaendah Hasan membedakan status rumah berdasarkan asas pemisahan horizontal dengan status rumah berdasarkan asas pelekatan vertikal. Status rumah berdasarkan asas pelekatan vertikal adalah mengikuti status tanahnya. Rumah tertancap menyatu dengan tanah dan tidak dapat lepas dari tanah dimana rumah itu berdiri. Berbeda dengan status rumah berdasarkan pemisahan horizontal, bahwa tanah akan terpisah dari segala sesuatu yang melekat pada tanah tersebut atau pemilik atas tanah terlepas dari benda yang berada di atas tanah itu, sehingga pemilik hak atas tanah dapat berbeda dengan pemilik benda tersebut. Berdasarkan asas pemisahan horizontal, kepemilikan rumah tidak selalu harus sama dengan kepemilikan tanah.

Asas pemisahan horizontal merupakan asas atau dasar pemikiran yang melandasi atau merupakan latar belakang hukum pertanahan dalam pengaturan hukum adat dan asas ini dianut oleh UUPA. Asas pelekatan vertikal merupakan asas pemikiran yang melandasi hukum pertanahan dalam pengaturan KUHPerdata. Dewasa ini pengaruh asas pelekatan vertikal yang merupakan dasar hukum pertanahan barat masih besar dalam kehidupan masyarakat perkotaan. Misalnya, SRS selalu menyatu dengan tanah (tanah bersama) merupakan pengaruh alam pikiran Barat dan bukan alam pikiran UUPA ataupun hukum adat. Di masyarakat pedesaan anggota masyarakat masih berpikir berdasarkan hukum adat, dimana pemilikan rumah terpisah dari pemilikan atas tanah.

Menurut Yakob Mohsin,75 penerapan asas pemisahan horizontal di dalam hukum pertanahan Indonesia tidak dilakukan secara absolut dan konsisten, yaitu terlihat dalam Surat Menteri Pertanian dan Agraria No. 9/1/4 tanggal 8 Februari 1964 yang menginstruksikan kepada PPAT agar tidak membuat akta pemindahan hak atas tanah tanpa sekaligus mengalihkan hak bangunan-bangunan yang ada di atasnya. Dengan adanya surat tersebut, tampak dalam praktik asas pelekatan vertikal juga diterapkan terutama untuk tanah-tanah yang bersertifikat, termasuk untuk sertifikat HMSRS sehingga aspek kepemilikan hak tanah pada SRS (baik secara empiris dan normatif) menjadi tidak konsisten dengan semangat Pasal 5.

Sementara itu, menurut Saleh Adiwinata,76 dengan berlakunya UUPA yang berlandaskan asas pemisahan horizontal/hukum adat, baik yang masih sederhana sebelum berlakunya UUPA maupun yang sekarang yang sudah “dimodernisasikan”, sama sekali tidak mengenal asas asesi/pelekatan vertikal dan hak eigendom atas tanah yang kini sudah dikonversikan menjadi salah satu hak dalam hukum tanah adat, yaitu Hak Kini Milik. Persoalan accessie hanya penting bagi tanah yang tunduk kepada hukum Eropa (hak eigendom) dan tidak mungkin terjadi di atas tanah yang tunduk kepada hukum adat, sebab hukum adat dulu maupun sekarang tidak mengenal asas

accessie, bahkan justru mengenal lembaga hukum kebalikannya yaitu numpang,

megersari atau lindung.

75

Yakob Mohsin, Pranata-pranata Hukum yang Baru dan Tinjauan Terhadap Rumah Susun, Hukum dan Pembangunan Tahun ke XVI, FHUI, Rawamangun, Agustus 1986, hlm. 361.

76 Bachtiar Efendi, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, Alumni, 1982, Bandung, hlm. 88-91.

Gow Giok Siong77 menyatakan bahwa apabila pemilikan tanah tidak dengan sendirinya harus membawa pula pemilikan apa yang dibangun atau ditanam di atas tanah itu. Sebagai analogi, misalnya peraturan pemerintah Hindia Belanda (di luar KUHPerdata) yaitu “Bataviase Grandhuur” yakni suatu peraturan yang

memperkenankan seseorang mempunyai hak eigendom dari bangunan di atas tanah

eigendom negara atau orang lain tanpa adanya hak opstal. Dalam konsiderannya

menyatakan peraturan ini dikeluarkan guna melindungi pemilik bangunan di atas tanah eigendom orang lain terhadap tindakan sewenang-wenang dari pada pemilik tanahnya.

Muchtar Kusumaatmadja78 berpendapat bahwa dalam hukum tanah, khususnya yang berkaitan dengan gedung, konsep hukum tanah adat yang memisahkan pemilikan atas tanah dari bangunan di atasnya dapat kiranya memberikan jalan keluar pada pembangunan gedung atas tanah milik orang lain khususnya dalam pembangunan rumah susun. Konsep pemisahan horizontal ini akan banyak memecahkan atau mencegah timbulnya masalah “pembebasan tanah” yang dipaksakan, agar pemilikan tanah dan bangunan ada di satu tangan.

Permasalahan selanjutnya, dengan adanya hak bersama atas tanah dalam kepemilikan SRS maka dapat menimbulkan permasalahan kepemilikan SRS bagi orang asing/WNA, karena pada umumnya pengembang membangun HMSRS di atas tanah HGB. Implikasi hukumnya, sering terjadi penyelundupan hukum atas

77 Bactiar Efendi, Ibid, hlm. 88-91.

78 Muchtar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional di

kepemilikan SRS oleh WNA di Indonesia. Sebaliknya, dengan tidak harus memiliki tanah dalam hal kepemilikan rumah, WNA dapat memiliki rumah/benda di atas tanah hak pakai atau dapat memiliki bangunan di atas tanah hak milik/HMSRS. Namun, di dalam praktik pembangunan rumah susun menengah ke atas, WNA kurang suka memilih rumah di atas tanah hak pakai, kecuali hak milik (freehold title). Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penyelundupan hukum yang dilakukan WNA atas kepemilikan SRS (strata unit right) di dalam kerangka hukum benda/benda tanah, sehingga dapat mengganggu ketertiban umum. Oleh karena itu, menurut penulis seyogianya UUPA dan UURS di-reform/diubah/diamandemen dalam rangka merespon kepentingan semua pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait

dengan praktik pelaksanaan pembangunan rumah susun/apartemen/kondominium di Indonesia.

Sebaliknya, menurut Boedi Harsono79 ketentuan Pasal 8 UURS tersebut di atas tidak berarti tidak konsisten atas asas pemisahan horizontal dan

menggantikannya dengan asas accessie/pelekatan vertikal yang digunakan dalam Hukum Barat. Justru sebaliknya merupakan penerapan asas hukum adat pada fenomena modern. Dalam hukum Barat. Justru sebaliknya merupakan penerapan asas hukum adat pada fenomena modern. Dalam hukum adat berlaku asas bahwa dibangunnya sebuah rumah oleh warga masyarakat hukum adat di atas tanah Hak

79 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan

Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi, 2003,

Ulayat yang merupakan tanah bersama, membuat hak pribadi pemilik rumah yang bersangkutan.

Demikian juga apabila seseorang anggota masyarakat hukum adat memberikan suatu tanda pemilikan pada pohon tertentu di hutan, yang sebelumnya belum ada pemiliknya, maka bukan hanya pohon itu menjadi miliknya, melainkan juga bagian tanah di bawah naungan dedaunan pohon tersebut menjadi hak pribadinya. Sebagai warga masyarakat, menurut hukumnya ia memang berhak dengan meminta izin Kepala Adatnya untuk membangun rumah di atas tanah bersama tersebut. Demikian juga untuk memberi tanda kepemilikan pada pohon yang berada dalam wilayah tanah ulayatnya.

Hak ulayat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat adat yang berhubungan dengan tanah terletak dalam lingkungan wilayahnya merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa. Wewenang dan kewajiban tersebut ada yang meliputi bidang hukum perdata, yaitu yang berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah bersama; ada juga yang meliputi bidang hukum publik berupa tugas dan kewenangan mengelola, mengatur, dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya. Dengan demikian, di dalam hak ulayat terkandung dua unsur, yaitu : unsur kepunyaan yang termasuk bidang hukum perdata dan unsur kewenangan yang termasuk bidang hukum publik.

Mengenai hak ulayat ini diatur dalam Pasal 3 UUPA. Namun, hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu masyarakat adat tertentu, sepanjang menurut

kenyataannya masih ada. Sebaliknya, hak ulayat yang pada kenyataannya sudah tidak lagi tidak perlu dihidupkan lagi oleh orang yang menduduki tanah tanpa hak atau izin dari yang berhak, kecuali melalui perjanjian sewa atau leasing dengan pemilik tanah. Budi Harsono80 berpendapat bahwa asas pemisahan horizontal di kota-kota tidak dapat dipertahankan lagi secara mutlak. Sebab, dikota-kota, bangunan-bangunan pada umumnya permanen dan sulit bagi orang untuk mengetahui siapa pemilik bangunan.

Untuk kelancaran lalu lintas hukum, pemilik tanah dianggap pemilik bangunan di atasnya selama tidak dibuktikan orang lain pemiliknya. Sebaliknya, di daerah

pedesaan masih berlaku asas pemisahan horizontal antara tanah dan bangunan/tanaman di atasnya. Pemilik tanah dapat terpisah dari pemilik bangunan/tanaman di atasnya. Di desa-desa masih berlaku asas pemisahan horizontal. Di kota-kota besar yang dinamis dan modern azas pemisahan horizontal tidak dapat dipertahankan lagi secara mutlak.

C. Sistem Kondominium Sebagai Dasar Pembangunan Rumah Susun

Rumah Susun/Apartemen/Kondominium/HMSRS yang dibangun di Indonesia semuanya berdasarkan sistem Kondominium sebagaimana yang diatur dalam UURS. Dengan sistem ini terdapat pemilikan individual dan juga pemilikan bersama. Dalam sistem kondominium ini terdapat pemilikan individual atas SRS yang merupakan hak penghuni. Di samping itu terdapat hak pemilikan bersama atas tanah dimana bangunan tersebut terletak (common areas), hak milik bersama atas sarana-sarana

80 Bactiar Efendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Alumni, 1982, Bandung, hlm. 88-91.

bangunan (common elements), misalnya : koridor, lift, instalasi listrik, kebun, tempat rekreasi, kolam renang, lobi, garasi, dan lain sebagainya yang digunakan bersama oleh para penghuni. Sistem kondominium ini dapat terlihat jelas dalam Pasal 1 (4, 5 dan 6) UURS dimana dalam rumah susun terdapat bagian bersama yang tidak terpisahkan untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi rumah susun dan terdapatnya benda bersama yang bukan merupakan bagian dari rumah susun tetapi dimiliki bersama untuk pemakaian bersama dan terdapat tanah bersama dimana bangunan rumah terletak. Juga dapat dilihat dalam Pasal 9 UURS. Pengertian SRS berdasarkan Pasal 1 (2) UURS adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.

Rumah susun/SRS dapat dibangun di atas tanah hak milik, HGB, hak pakai atas tanah negara atau HPL (Pasal 7 (1) UURS). Adapun SRS merupakan milik perorangan dikelola sendiri oleh pemiliknya sedangkan hak bersama karena menyangkut kepentingan dan kehidupan orang banyak dikelola oleh Perhimpunan Penghuni yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk mengelola hak milik bersama berdasarkan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang pembentukannya berdasarkan Kepmen Menpera No. 06/KPTS/BPKP4N/1995. Untuk kepentingan bersama ini dipungut “service charge”. Sementara itu,

Permendagri No. 3 Tahun 1992 tentang Pedoman Penyusunan Perda tentang rumah susun tidak konsisten dengan Kepmen Menpera ini karena dibuka kemungkinan para

di samping perhimpunan penghuni. Kondominium Rajawali dan Apartemen Taman

Rasuna sudah menerapkan Kepmen Menpera dan Mendagri tersebut. Namun, di rumah susun Sarijadi Kotamadya Bandung hanya dibentuk RT/RW untuk

mengelola hak milik bersama dengan alasan PERUMNAS Cabang Bandung sudah menyerahkan fasos dan fasum tersebut kepada Pemda berdasarkan Permendagri No. 1 Tahun 1987 yang merupakan dasar hukum penyerahan fasos dan fasum untuk perumahan horizontal dan bukan vertikal/rumah susun. Hak milik bersama rumah susun Sarijadi kurang terkelola dan terpelihara dengan baik karena hak milik bersamanya sudah diserahkan kepada pihak Pemda Kotamadya Bandung. Dengan sistem kondominium ini jelas sulit sekali memisahkan bangunan rumah susun/SRS dengan tanahnya. Rumah susun/SRS termasuk dalam jenis benda bukan tanah.

Istilah kondominium, apartemen dan rumah susun merupakan istilah yang digunakan untuk membedakan jenis bangunan bertingkat dari segi fasilitas dan kemewahan dari gedung tersebut. Pada kondominium dan apartemen pada umumnya memiliki fasilitas yang sangat lengkap dan kemewahan yang dapat dilihat dari material bangunan yang digunakan. Pada rumah susun fasilitas yang digunakan untuk menunjang bangunan gedung bertingkat yang berbentuk rumah sederhana tersebut dapat dikatakan cukup sederhana.81 Pada prinsipnya istilah kondominium, apartemen dan rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalan satu lingkungan yang terdiri dari bagian-bagian distrukturnya secara fungsional dalam

81 M. Rizal Alif, Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun, Nuansa Aulia, Bandung, 2009, hlm. 26.

asas horizontal atau vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, baik sederhana maupun mewah, perkantoran yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.82 Konsep strata title lahir atas kebutuhan untuk hidup bersama dalamsatu kompleks gedung bertingkat, mengingat konsepsi kepemilikan properti (sebelum berlakunya UURS) hanyalah atas tanah HGB, Hak Milik atau HGU. Strata title tidak dibatasi masa berlakunya, karena dengan sendirinya secara alamiah bangunan bertingkat tersebut akan runtuh sendiri, atau tidak layak huni lagi. Tetapi tanah dimana bangunan gedung strata title berdiri tetap tunduk pada ketentuan yang dimaksud dalam UUPA, sehingga dibatasi masa berlakunya dan bisa diperpanjang dalam waktu tertentu sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya.

82 Erwin Kallo, Panduan Hukum Untuk Pemilik/Penghuni Rumah Susun, Minerva Athena Pressindo, Jakarta, 2009, hlm.15.

Dokumen terkait