• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Sanksi Pidana Ditinjau dari Tujuan Pemidanaan

Penerapan pidana dalam perampasan kemerdekaan menurut perundang- undangan di Indonesia, menyebutkan bahwa pidana penjara diancamkan terhadap tindak pidana kejahatan. Sedangkan terhadap tindak pidana

44

Barda Nawawi Arief, Ma salah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Op. Cit., hlm.182.

45

pelanggaran pada umumnya hanya di ancam dengan pidana perampasan kemerdekaan yang lebih ringan berupa pidana kurungan. Garis kebijakan seperti itu diikuti oleh pembentuk undang-undang pemerintahan daerah dalam membuat ketentuan umum yang kemudian dijadikan pedoman oleh legislatif daerah dalam membuat aturan pemidanaan Peraturan Daerah. Ketentuan umum demikian ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 143 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 yang selanjutnya telah dilakukan perubahan ke dua dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa:

“Peraturan Daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”.

Garis kebijakan legislatif yang demikian tersebut mengikuti dan bersumber dari sistem KUHP yang membagi tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran.

Menurut Memorie van Toelichting dimasukkannya pidana kurungan ke dalam

KUHP itu terdorong oleh dua macam kebutuhan, yaitu:

a. Kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana yang sangat sederhana berupa

suatu pembatasan kebebasan bergerak atau suatu vrijheidsstraaf yang sangat

sederhana bagi delik-delik yang sifatnya ringan; dan

b. Kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana berupa suatu pembatasan

kebebasan bergerak yang sifatnya tidak begitu mengekang bagi delik-delik yang menurut sifatnya “tidak menujukkan adanya suatu kebobrokan mental

atau adanya suatu maksud yang sifatnya jahat pada pelakunya”, ataupun

yang sering disebut sebagai suatu custodial honesta belaka.46

Berdasarkan kedua pertimbangan di atas, maka dapat di asumsikan bahwa pembentuk undang-undang pemerintahan daerah juga beranggapan bahwa delik-delik yang diatur dalam peraturan daerah adalah delik yang menurut sifatnya ringan, tidak menunjukkan adanya suatu kebobrokan mental serta tidak menunjukkan adanya sifat jahat pada pelakunya, sehingga hanya diancam dengan pidana kurungan.

Pasal 18 ayat (1) KUHP dinyatakan bahwa pidana kurungan paling sedikit 1 hari dan paling lama 1 tahun, selanjutnya ayat (2) dinyatakan bahwa dalam hal ada pemberatan kurungan dapat ditambah menjadi 1 tahun 4 bulan. Berdasarkan waktu menjalani pidana tersebut, maka pidana kurungan sebenarnya termasuk dalam kategori pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek.

Pidana perampasan kemerdekaan jangka waktu pendek ini menurut beberapa kalangan memiliki kelemahan-kelemahan. Salah satu kritik-kritik berkenaan dengan pidana penjara jangka pendek ini dikemukakan oleh Johannes

Andenaes dalam bukunya berjudul Punishment and Deterrence” seperti yang

dikutip oleh Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa:

…Pidana pendek seperti itu tidak memberikan kemungkinan untuk merehabilitasi si pelanggar, tetapi cukup mencap dia dengan stigma

46

penjara dan membuat kontak-kontak yang tidak menyenangkan… Ada 2 keterbatasan dari pidana pejara pendek, yaitu:

a. Tidak membantu/menunjang secara efektif fungsi membuat tidak

mampu (“it does not effectively serve an incapacitative function”)

dan

b. Sebagai suatu pencegahan umum, ia lebih rendah mutunya daripada

pidana lama (“as a general deterrent it is inferior to longer

sentences”).47

Kelemahan-kelemahan tersebut tentunya secara tidak langsung akan menghambat maksud dijatuhkannya pidana itu sendiri. Menurut Soedarto maksud dijatuhkannya pidana perampasan kemerdekaan adalah dengan pidana agar dapat dilakukan pembinaan sedemikian rupa sehingga setelah selesai

menjalani pidana, terpidana menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya.48

Sedangkan menurut Soemadi Pradja tujuan dan alasan pembenar dari pidana perampasan kemerdekaan adalah untuk melindungi masyarakat. Tujuan ini hanya bisa dicapai bila masa hilangnya kemerdekaan itu diarahkan secara

maksimal agar terpidana dapat kembali ke masyarakat atau resosialisasi.49

Penerapan ancaman pidana kurungan terhadap delik-delik yang menurut sifatnya ringan dan tidak menunjukkan adanya suatu kebobrokan mental atau adanya suatu maksud yang sifatnya jahat pada pelakunya, perlu dibahas efektifitasnya apabila di tinjau dari aspek pokok tujuan pemidanaan yakni untuk perlindungan masyarakat dan pembinaan individu pelaku. Alasannya adalah tujuan pemidanaan ini merupakan pengendalian atau kontrol dan sekaligus

47 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op. Cit., hlm. 36-38. 48 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Op. Cit., hlm. 81.

49

Soemadi Praja, S. Achmad dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Bina Cipta, Badung, hlm. 2.

memberian dasar filosofis, dasar moralitas dan motivasi yang terarah dan jelas berkenaan dengan pidana kurungan/denda yang bersangutan.

Dilihat dari aspek perlindungan kepentingan masyarakat, maka suatu pidana dikatakan efektif apabila pidana ini dapat mencegah atau mengurangi kejahatan. Efektifitasnya dilihat dari seberapa jauh frekuensi kejahatan dapat

ditekan. Kriterianya terletak pada seberapa jauh efek “pencegahan umum”

(general prevention) dari pidana perampasan kemerdekaan dalam mencegah

warga masyarakat pada umumnya tidak melakukan kejahatan.50

Berkenaan dengan aspek general prevention dari pidana kurungan (yang

juga merupakan bagian dari pidana perampasan kemerdekaan), perlu dikemukakan kesimpulan dari Barda Nawawi Arief yang didasarkan pada pendapat dari Schultz, Roger Hood, dan Richard Sparks maupun Karl O.

Christiansen, pada saat membahas aspek general prevention dari pidana penjara,

sebagai berikut:51

“bahwa indikator naik turunnya frekuensi kejahatan tidak dapat begitu saja digunakan sebagai ukuran untuk menentukan efektif tidaknya pidana penjara (pidana kurungan-pen). Terlebih lagi ada sisi lain dari aspek perlindungan masyarakat, yaitu pemidanaan bertujuan juga untuk “memulihkan keseimbangan masyarakat”. Seberapa jauh efektifitas pidana penjara/kurungan untuk mencapai tujuan ini jelas tidak dapat diukur dengan indikator naik turunnya kejahatan yang lebih bersifat kuantitatif. Indikator telah pulihnya keseimbangan masyarakat antara lain: telah ada penyelesaian konfik, telah ada kedamaia dan rasa aman dalam masyarakat, telah hilangnya noda-noda di masyarakat atau telah pulihnya kembali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Indikator-indikator ini

50 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. Cit., hlm. 247. 51

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Op. Cit., hlm. 100.

lebih bersifat kualitatif dan hal ini pula lah yang menurut Roger Hood dan

Richard Sparks merupakan aspek lain dari general prevention yang sulit

diteliti”.

Berkenaan dengan aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektifitas

terletak pada aspek pencegahan khusus (special prevention) suatu pidana.

Ukurannya terletak seberapa jauh pidana itu (pidana kurungan) mempunyai pengaruh terhadap si pelaku. Ada 2 aspek pengaruh pidana terhadap terpidana,

yaitu aspek pencegahan awal (deterrent aspect) dan aspek perbaikan

(reformative aspect)52

Aspek pertama pencegahan awal biasanya diukur dengan menggunakan indikator residivis. Berdasarkan indikator inilah R.M. Jackson sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa suatu pidana adalah efektif apabila si pelanggar tidak dipidana lagi dalam suatu periode tertentu. Penelitian dengan indikator residivis ini sulit dilakukan di Indonesia, karena data yang ada

bisanya sangat summir, yaitu hanya mengemukakan jumlah residivis pada tiap

akhir bulan atau akhir tahun.53 Aspek kedua, yaitu aspek perbaikan (reformatif

aspect) yang berhubungan dengan perubahan sikap dari terpidana. Dalam aspek yang kedua inipun sangat sulit diteliti mengingat adaya problem metodologis dalam menetapkan ukuran untuk menentukan adanya perubahan sikap maupun lamanya periode tertentu. Berdasarkan masalah-masalah metodologis yang dikemukakan di atas, dapatlah dinyatakan bahwa penelitian-penelitian selama ini

52

Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm. 251-252.

53

belum dapat membuktikan secara pasti apakah pidana penjara/kurunganitu efektif atau tidak.54

Sehubungan dengan hal tesebut diatas, perlu diperhatikan rekomendasi

Kongres ke-2 PBB mengenai “The Prevention of Crime and Treatment of

Offenders” tahun 1960 di London menyatakan antara lain:

1. Kongres mengakui bahwa dalam banyak hal, pidana penjara pendek

dapat berbahaya, yaitu si pelanggar dapat terkontaminasi dan/atau tidak memberi kesempatan untuk menjalani pelatihan yang konstruktif, oleh karena itu penggunaannya secara luas tidak dikehendaki. Namun demikian Kongres mengakui bahwa dalam hal-hal tertentu penjatuhan pidana penjara pendek diperlukan dilihat dari tujuan keadilan.

2. Kongres menyadari bahwa dalam praktiknya penghapusan menyeluruh

pidana penjara pendek tidak dapat dilakukan, pemecahannya yang realistis hanya dicapai dengan mengurangi jumlah penggunaannya.

3. Pengurangan berangsur-angsur itu dengan meningkatkan bentuk-bentuk

pengganti (pidana bersyarat, pengawasan/probation, denda, pekerjaan

diluar lembaga dan tindakan-tindakan lain yang tidak mengandung perampasan kemerdekaan).

4. Dalam hal pidana penjara pendek tidak dapat dihindari pelaksanaannya

harus terpisah dari yang dijatuhi pidana penjara untuk waktu lama dan

54

pembinaannya harus konstruktif, pribadi dan dalam lembaga terbuka (open institution).55

C. Pengaturan Sanksi Pidana dalam Peraturan Daerah ditinjau dari

Dokumen terkait