• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. Perlindungan Kerja bagi Pekerja Outsourcing

3.1 Macam-Macam Perlindungan Kerja Bagi Pekerja

3.1.2 Pengaturan Waktu Istirahat dan Cuti

Waktu istirahat dan cuti merupakan salah satu bentuk perlindungan bagi pekerja yang harus diberikan oleh perusahaan. Pemberian waktu istirahat dan cuti ini bertujuan untuk mengembalikan kesegaran dan kesehatan baik fisik, mental maupun sosial pekerja. Pekerja yang merupakan bagian dari masyarakat tentu saja mempunyai fungsi dan kewajiban sosial. Dengan adanya pengaturan waktu istirahat dan cuti tentu saja pekerja mempunyai banyak waktu atau kesempatan untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya dan tentu untuk keluarga intinya. Dengan adanya waktu berinteraksi seperti ini maka pekerja akan menjadi sehat, baik secara fisik maupun secara mental, hal ini juga berpengaruh pada produktivitas kerja dan hubungan harmonis antara pekerja dengan manajemen perusahaan. Hal tersebut tentu saja tidak dapat digantikan atau dikompensasikan dalam bentuk uang.

19

Pengaturan tentang istirahat dan cuti ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu dalam pasal 79 sampai dengan pasal 84, selain itu terdapat pula Kepmenakertrans No. KEP-51/Men/IV/2004 tentang istirahat panjang pada perusahaan tertentu. Dalam pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan berisi tentang kewajiban dari pengusaha untuk memberikan waktu istirahat kepada pekerja/buruh. Di ayat (2) disebutkan beberapa jenis waktu istirahat dan cuti, yaitu istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja. Jadi, setelah pekerja yang bekerja selama 4 (empat) jam secara terus menerus, harus diberikan istirahat di antara jam kerja paling tidak sebanyak setengah jam. Jika pekerja tidak diberi waktu istirahat, maka akan membahayakan pekerja terhadap pekerjaannya itu sendiri, karena ada faktor kelelahan akibat bekerja secara terus menerus.

Istirahat mingguan diberikan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Istirahat mingguan ini tidak harus diberikan pada hari sabtu atau minggu, istirahat mingguan dapat dilakukan di hari lain selain hari itu, sesuai dengan kebutuhan perusahaan, tapi tentu saja hal ini harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yang dapat diatur dalam perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama.

Cuti tahunan diberikan kepada pekerja/buruh sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus. Maksud dari terus menerus adalah pekerja/buruh tidak pernah terputus hubungan kerjanya, sehingga seorang

pekerja/buruh yang di putus hubungan kerja (PHK) sebelum bekerja selama 12 (dua belas) bulan tidak mendapat hak cuti tahunan. Pengaturan tentang cuti tahunan ini diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Istirahat panjang diberikan sekurang kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. Namun, ketentuan ini tidak dapat diberlakukan bagi semua perusahaan, hak istirahat panjang ini hanya berlaku bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan tertentu. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa belum setiap perusahaan dapat melakukan hal tersebut.

Dalam Kepmenakertrans No. KEP-51/Men/IV/2004 yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 telah menetapkan perusahaan mana yang berkewajiban untuk melaksanakan istirahat panjang, dalam pasal 2 Kepmenakertrans tersebut dijelaskan bahwa yang berkewajiban melaksanakan istirahat panjang adalah perusahaan yang telah melaksanakan istirahat panjang sebelum ditetapkannya keputusan menteri ini. Jadi, perusahaan yang sebelum dikeluarkannya Keputusan Menteri ini belum melaksanakan istirahat panjang maka tidak berkewajiban untuk melaksanakannya. Ketentuan pasal 7 ayat (2) Kepmenakertrans tersebut menyebutkan, dalam hal perusahaan telah memberikan istirahat panjang kepada pekerja/buruh tetapi lebih

rendah dari ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan keputusan menteri ini, maka perusahaan yang wajib menyesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selama menjalankan istirahat panjang pekerja diberi uang kompensasi hak istirahat tahunan tahun kedelapan sebesar setengah bulan gaji dan bagi perusahaan yang telah memberlakukan istirahat panjang yang lebih baik dari ketentuan undang-undang ini tidak boleh mengurangi dari ketentuan yang sudah ada.

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 80, diatur mengenai kesempatan yang secukupnya untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agama pekerja/buruh. Kesempatan yang secukupnya yaitu menyediakan tempat untuk melaksanakan ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan ibadahnya dengan baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan.

Khusus untuk pekerja perempuan juga diatur mengenai cuti yang berkaitan dengan fungsi reproduksi. Dalam pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diberikan cuti haid. Cuti ini diberikan kepada pekerja perempuan yang berada dalam masa haid dan merasakan sakit. Pada kondisi seperti itu pekerja perempuan dapat memberitahukan kepada pengusaha, dan pekerja perempuan tersebut tidak wajib untuk bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Namun, dalam prakteknya banyak pekerja perempuan yang menyalahgunakan ketentuan tersebut. Selain cuti haid juga terdapat cuti hamil, melahirkan dan gugur kandungan khusus bagi pekerja perempuan yang diatur dalam pasal 82 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan. Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum melahirkan dan 1,5 (satu setengah) bulan setelah melahirkan. Lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik setelah maupun sebelum melahirkan. Pekerja perempuan yang keguguran kandungan juga memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan ketentuan dokter.

Selain hak untuk cuti haid, melahirkan dan gugur kandungan, pekerja perempuan juga mempunyai hak untuk diberi kesempatan menyususi anaknya jika hal itu harus dialakukan selama waktu kerja. Hal ini diatur dalam pasal 83 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dokumen terkait