• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEWENANGAN APARAT KEPOLISIAN DALAM

A. Pengawasan Internal Terhadap Aparat Kepolisian Yang Melakukan

Setiap aparat kepolisian dalam menjalankan tugasnya diberikan suatu wewenang sesuai dengan fungsinya. Wewenang yang dimiliki oleh aparat kepolisian ini disebut sebagai Diskresi Kepolisian, dimana aparat Kepolisian diberikan kebebasan mengambil suatu tindakan menurut penilaiannya sendiri. Namun kewenangan itu bukanlah kewenangan tanpa batas, karena setiap kewenangan yang digunakan oloeh aparat kepolisian dalam bertugas harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan peraturan berlaku terkait.

Aparat kepolisian yang bertugas di lapangan akan memberikan warna citra polisi di mata masyarakat. Pandangan masyarakat terhadap Polri tergantung dari penampilan para petugas lapangan tersebut. Kepada mereka diharapkan untuk dapat melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan kebutuhan dalam menghadapi setiap masalah. Dan kepada mereka juga dituntut untuk dapat melakukan tindakan-tindakan yang arif dan bijaksana atau dengan kata lain para aparat kepolisian yang bertugas di lapangan akan banyak menggunakan diskresi.56 Dan tak jarang pula aparat kepolisian melakukan kekeliruan dalam menggunakan wewenang diskresi yang dimilikinya sehingga menimbulkan suatu penyimpangan.

56

Penyimpangan pekerjaan polisi adalah perilaku menyimpang kriminal dan non kriminal yang dilakukan selama kegiatan tugas normal atau dilakukan dengan memanfaatkan wewenang petugas polisi.57 Menurut Carter, penyalahgunaan wewenang dapat didefinisikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan polisi tanpa mengindahkan motif, maksud atau rasa dendam yang cenderung untuk melukai, menghina, menginjak-injak martabat manusia, menunjukkan perasaan merendahkan, dan/ atau melanggar hak-hak hukum seorang penduduk dalam pelaksanaan pekerjaan polisi.58

Menurut Robbins, Diskresi kepolisian takkan pernah dapat dihilangkan, dan tidak seharusnya dihilangkan. Tidaklah mungkin untuk menulis hukum, kebijakan, prosedur, dan peraturan yang dapat mencakup begitu banyak situasi yang dihadapi petugas kepolisian. Diskresi merupakan suatu bagian integral dari peran polisi. Meskipun begitu, perintah tertulis dalam bentuk kebijakan dan prosedur menentukan batas-batas diskresi bagi para pengambil keputusan tanpa mengindahkan tingkatnya dalam organisasi, bukannya menentukan keputusan yang harus diambil.59

Dengan kekuasaan diskresi-fungsional, maka hukum ditangan polisi menjadi hidup. Secara sosiologi yang terjadi adalah terjemahan-terjemahan aparat kepolisian atas hukum ke dalam tindakan-tindakan nyata itu merupakan realitas hukum yang sebenarnya.Bagi aparat kepolisian yang kurang memiliki integritas

57

Thomas Barker.1999., Op.Cit., hal.8

58

Ibid, hal.10

59

moral yang cukup, kekuasaan itu tentunya sangat menggoda untuk dipergunakan ke arah lain yang bukan untuk tegaknya hukum dan keadilan masyarakat.60

Secara umum, satu-satunya ruang bagi diskresi yang berkenaan dengan suatu peraturan apakah peraturan tersebut sesuai dengan situasi tertentu atau tidak. Perintah tertulis tidak seharusnya menghilangkan pemakaian diskresi oleh petugas polisi. Meskipun begitu, perintah tertulis harus menyusun dan menuntun tindakan-tindakan diskresi.

Perintah tertulis penting bagi Kepolisian karena perintah tertulis tersebut:61 a. Memberitahu petugas tentang standar-standar perilaku yang diharapkan.

b. Memberitahu masyarakat tentang misi, tujuan, nilai, kebijakan, prosedur kepolisian, dan standar perilaku petugas yang diharapakan.

c. Mengembangkan suatu dasar untuk proses eksekusi polisi untuk memperkuat konsistensi operasional, perlindungan yang sepadan, dan proses yang tepat. d. Memberikan dasar-dasar untuk disiplin dan bimbingan kepada polisi yang

menyeleweng.

e. Memberikan standar bagi petugas pengawasan. f. Memberikan arah untuk pelatihan petugas.

Ditinjau dari penyelewengan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, ada suatu aspek penting yang harus diperhatikan sebelum menilai sanksi perbaikan yaitu memahami sifat pelanggaran prosedural tersebut. Hal ini harus ditinjau secara matang dalam menentukan apakah perilaku petugas tersebut merupakan

60

Anton Tabah. Membangun Polri………., Op.Cit., hal.360

61

penyalahgunaan, penyalahgunaan kekuasaan hukum, kegagalan melaksanakan kuasa hukum atau tidak melaksanakan tugas sesuai dengan kuasa hukum.62

Perintah memainkan suatu peran inti dalam pengendalian administrative organisasi. Jika perilaku petugas melewati batas-batas yang diijinkan oleh perintah, maka organisasi harus mengambil bentuk tindakan perbaikan berkenaan dengan petugas yang menyeleweng tersebut. Tindakan itu mungkin bersifat menghukum, perbaikan, atau kombinasi keduanya.63

Pengawasan, peraturan, dan proses disipliner dirancang untuk memastikan aparat kepolisian memegang tanggung jawab standar tersebut. Pertanggungjawaban ini harus dipastikan oleh Manajemen Kepolisian melalui disiplin, pengawasan administratif, dan pengembangan nilai-nilai yang tepat diantara aparat kepolisian.64

Kebijakan untuk memperkuat pengawasan administratif dalam masalah perilaku aparat kepolisian dan standar integritas:65

1. Kepolisian harus secara tegas menyampaikan posisinya bahwa berlaku suatu standar perilaku dan integritas yang lebih tinggi untuk polisi dari standar untuk penduduk biasa. Pernyataan kebijakan seperti ini harus didukung dengan suatu definisi yang jelas tentang konsep dan kutipan kepustakaan yang mendukung untuk memperlihatkan logika posisi kepolisian.

2. Harapan-harapan tentang perilaku aparat kepolisian harus ditegaskan dalam kebijakan dan prosedur tertulis dan hal ini harus dijelaskan secara terperinci 62 Ibid., 63 Ibid., 64 Ibid,, hal. 50 65 Ibid,,hal. 65

dalam kebijakan tertulis tersebut, dan Kepolisian harus memberi kompensasi, perlindungan dan hak-hak istimewa kepada aparat kepolisian yang menjalankan tugasnya.

3. Sesuai dengan konsep profesionalisme dan standar perilaku etis, semua aparat kepolisian memiliki kewajiban di dalam maupun diluar tugas untuk melaporkan semua pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian baik saat menjalankan tugasnya maupun tidak sedang bertugas. Pelanggaran tersebut termasuk pelanggaran pidana dan peraturan Kepolisian. Kewajiban ini harus ditulis dan digabungkan dalam kebijakan dan prosedur Kepolisian.

4. Jika Polisi akan merumuskan Kode Etik Penegak hukum, standar tersebut harus seecara formal digunakan sebagai bagian dari kebijakan Departemen 5. Apabila Departemen belum menyampaikan pernyataan nilai-nilai perilaku

yang jelas, hal ini harus tetap dilakukan secara efektif dengan memberitahu petugas dan masyarakat tentang filsafat dan standar operasional Kepolisian.

Bukanlah hal yang mudah bagi institusi Kepolisian untuk membentuk aparat Kepolsian yang ideal. Pelatihan serta pembelajaran yang diberikan kepada aparat kepolisian selama masa pendidikan tidak cukup menjadi jaminan bahwa aparat kepolisian akan melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai fungsinya masing-masing. Tentunya dibutuhkan suatu pengawasan dari pihak institusi Kepolisian untuk mengontrol perilaku aparat Kepolisian yang bertugas. Institusi Kepolisian sendiri memiliki Divisi Propam sebagai pengawas perilaku aparat kepolisian. Propam bertugas untuk memastikan bahwa aparat kepolisian telah

bertindak sesuai prosedur dan tidak menyalahgunakan wewenang yang diberikan terhadapnya.

Menurut Bapak Rama Pratama selaku Kapolsek Medan Area, Penggunaan Kekuatan oleh aparat kepolisian telah diatur dalam Peraturan kapolri Nomor 1 Tahun 2009, dimana dari isi Pasal 2 peraturan tersebut dapat dilihat bahwa aparat kepolisian diberikan wewenang untuk menggunakan kekuatan dalam mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, termasuk melakukan tembak ditempat terhadap terhadap tersangka tersebut. Aparat kepolisian dapat melakukan tindakan tembak ditempat ini manakala tersangka membahayakan nyawa aparat kepolisian tersebut ataupun masyarakat umum disekitarnya. Tindakan tembak ditempat ini haruslah sesuai prosedur, dimana mengenai prosedurnya telah diatur dalam Pasal 48 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009, dimana sebelum menggunakan senjata apinya aparat kepolisian tersebut harus menyebutkan dirinya sebagai petugas polri yang bertugas, memberi peringatan dengan ucapan dapat juga disertai tembakan peringatan ke udara sebanyak 3 kali. Jika tersangka tidak mengindahkan aparat kepolisian tersebut, maka aparat kepolisian tersebut dapat menggunakan kekuatan dengan melakukan tindakan tembak ditempat. Namun dalam hal yang sangat mendesak, dimana apabila aparat kepolisian tidak dengan segera mengambil tindakan dapat mengakibatkan seseorang luka berat bahkan meninggal akibat perbuatan tersangka, maka aparat kepolisian tersebut dapat melakukan tembak ditempat tanpa harus memberikan peringatan terlebih dahulu.

Dalam hal pengawasannya, setiap aparat kepolisian yang telah menggunakan senjatanya wajib melaporkan tindakannya tersebut kepada Provost yang dalam hal ini bertindak sebagai pengawas. Aparat kepolisian yang menggunakan senjata api wajib mengisi suatu form, dimana isi dari form itu menjelaskan alasan mengapa aparat kepolisian tersebut mengambil tindakan tembak ditempat, bagaimana keadaan saat tindakan tembak ditempat berlangsung, berapa jumlah peluru yang digunakan dan siapa yang menjadi sasaran penembakan.

Pengawasan terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tidak hanya pengawasan internal saja, melainkan terdapat juga pengawasan eksternal. Pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional, Ombudsman, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Media. Dengan adanya pengawasan eksternal ini, maka aparat kepolisian dituntut untuk bertindak sesuai dengan prosedur sebagaimana mestinya dalam menjalankan tugasnya, agar tidak memberikan citra buruk Polisi di mata masyarakat. Karena dengan adanya pengawas eksternal ini, segala tindakan kepolisian dapat diketahui oleh masyarakat luas, apalagi mengenai tindakan tembak ditempat. Tindakan tembak ditempat ini menyangkut nyawa seseorang, karena itu tentulah menjadi suatu perhatian khusus. Jadi apabila aparat kepolisian melakukan tindakan tembak ditempat tidak sesuai dengan prosedur, pastilah diketahui oleh masyarakat.

Aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tidak sesuai dengan prosedur akan mendapat tindakan disiplin, ditindak sesuai dengan kode etik kepolisian bahkan dituntut pertanggungjawaban pidana umum. Namun jika

aparat kepolisian tersebut melakukan tembak ditempat dalam keadaan terpaksa dan sesuai prosedur penggunaan senjata api, seperti tercantum dalam pasal 48 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009, maka aparat kepolisian tersebut tidak dapat dihukum sesuai dengan Pasal 49 dan Pasal 50 KUHP.

Pada Pasal 49 KUHP dinyatakan bahwa : (1) tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat ituyang melawan hukum. (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Pasal 50 menyatakan bahwa : barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan undang-undang, tidak dipidana.

Berangkat dari kedua pasal tersebutlah maka aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat terhadap tersangka pelaku tindak pidana yang sesuai prosedur, maka tidak dapat dihukum.

1. Propam Polri

Propam adalah singkatan dari Profesi dan Pengamanan yang dipakai oleh organisasi Polri pada salah satu struktur organisasinya sejak 27 Oktober 2002 ( Kep Kapolri Nomor : Kep/54/X/2002), sebelumnya dikenal Dinas Provost atau Satuan Provost Polri yang organisasinya masih bersatu dengan ABRI, dimana Provost Polri merupakan satuan fungsi pembinaan dari Polisi Organisasi Militer / 99 POM atau istilah Polisi Militer / PM. Propam adalah salah satu wadah

organisasi Polri berbentuk Divisi yang bertanggung-jawab kepada masalah pembinaan profesi dan pengamanan dilingkungan internal organisasi Polri disingkat Divisi Propam Polri sebagai salah satu unsur pelaksana staf khusus Polri di tingkat Markas Besar yang berada di bawah Kapolri.

Tugas Propam secara umum adalah membina dan menyelenggarakan fungsi pertanggung jawaban profesi dan pengamanan internal termasuk penegakan disiplin dan ketertiban di lingkungan Polri dan pelayanan pengaduan masyarakat tentang adanya penyimpangan tindakan anggota/PNS Polri, yang dalam struktur organisasi dan tata cara kerjanya Propam terdiri dari 3 (tiga) bidang/wadah fungsi dalam bentuk sub organisasi disebut Pusat/Pus (Pus Paminal, Pus Bin Prof dan Pus Provost) :

a) Fungsi Pengamanan dilingkungan internal organisasi Polri dipertanggungjawabkan kepada Pus Paminal

b) Fungsi pertanggung-jawaban profesi diwadahi/dipertanggungjawabkan kepada Pus Bin Provost

c) Fungsi Provost dalam penegakan disiplin dan ketertiban dilingkungan Polri dipertanggungjawabkan kepada Pus Provost

Divisi Propam Polri dalam pelaksanaan tugasnya mempunyai kewajiban melaksanakan/ menyelenggarakan berbagai kegiatan sebagai berikut :

a) Pembinaan fungsi PROPAM bagi seluruh jajaran POLRI, meliputi :

1) Perumusan/pengembangan sistem dan metode termasuk petunjuk-petunjuk pelaksanaan fungsi PROPAM.

2) Pemantauan dan supervisi staf termasuk pemberian arahan guna menjamin terlaksananya fungsi PROPAM.

3) Pemberian dukungan (back-up) dalam bentuk baik bimbingan teknis maupun bantuan kekuatan dalam pelaksanaan fungsi PROPAM.

4) Perencanaan kebutuhan personil dan anggaran termasuk pengajuan saran/pertimbangan penempatan/pembinaan karier personil pengemban fungsi PROPAM.

5) Pengumpulan, pengolahan dan penyajian serta statistik yang berkenaan dengan sumber daya maupun hasil pelaksanaan tugas satuan-satuan organisasi PROPAM.

6) Penyelenggaraan fungsi pelayanan berkenaan dengan pengaduan/ laporan masyarakat tentang sikap dan perilaku anggota/PNS POLRI, termasuk pemusatan data secara nasional dan pemantauan/pengendalian terhadap penanganan pengaduan/laporan masyarakat oleh seluruh jajaran POLRI. b) Pelaksanaan registrasi penelitian terhadap proses penanganan kasus dan

menyiapkan proses/ keputusan rehabilitasi bagi anggota/PNS POLRI yang tidak terbukti melakukan pelanggaran,atau pengampunan/pengurangan hukuman (disiplin/administrasi) serta memantau, membantu proses pelaksanaan hukuman dan menyiapkan keputusan pengakhiran hukuman bagi personil yang sedang/telah melaksanakan hukuman (terpidana).

c) Pembinaan dan penyelenggaraan fungsi pertanggungjawaban profesi yang meliputi perumusan/pengembangan standar dan kode etik profesi,

penilaian/akreditasi penerapan standar profesi, serta pembinaan dan penegakan etika profesi termasuk audit investigasi.

d) Pembinaan dan penyelenggaraan fungsi pengamanan internal, yang meliputi : pengamanan personil, materil, kegiatan dan bahan keterangan, termasuk penyelidikan terhadap kasus pelanggaran/dugaan pelanggaran/penyimpangan dalam pelaksanaan tugas Polri pada tingkat pusat dalam batas kewenangan yang ditetapkan.

e) Pembinaan dan penyelenggaraan fungsi provost yang meliputi pembinaan/pemeliharaan disiplin/tata tertib, serta penegakan hukum dan penyelesaian perkara pelanggaran disiplin pada tingkat pusat dalam batas kewenangan yang ditetapkan.

Kewenangan yang diberikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia itu dapat menyebabkan banyak terjadinya penyimpangan maupun penyalahgunaan tugas dan wewenang oleh anggota polri dalam pelaksanaan tugasnya sebagai aparat penegak hokum di tengah masyarakat. Oleh karena itu harus ada sebuah kontrol baik dari internal Polri maupun dari eksternal Polri sebagai upaya pengawasan terhadap perilaku anggota Polri dilapangan. Maka dari itu, Divisi Pertanggungjawaban Profesi dan Pengamanan Internal ( Div Propam ). Fungsi dan Peran Divpropam Polri tersebut diatas, diselenggarakan secara terkoordinasi, terintegrasi dan efektif selaras dengan kewenangan yang telah ditetapkan baik oleh Unsur Staff Pimpinan dan Unsur Pelaksana Utama Divpropam Polri. Selain itu, penyimpangan perilaku polisi bisa mendatangkan malapetaka. Seorang polisi yang terlibat dalam penyalahgunaan wewenang bukan

hanya melanggar hukum pidana serta menodai wewenangnya tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap polisi dan merusak hubungan antara masyarakat dan seluruh sistem peradilan pidana.66

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Aparat Kepolisian Yang

Dokumen terkait