• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan dan Penguasaan Sumber Daya Kelautan

Istilah pengelolaan merupakan terjemahan dari istilah management, yang mencakup kegiatan-kegiatan perencanaan, penataan, pelaksanaan atau pemanfaatan, dan pengawasan.34 Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 1 butir (2) undang-undang ini mengemukakan perumusan tentang pengelolaan lingkungan hidup, yaitu:

“Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup”. Prinsip pengelolaan sumber daya alam, sesungguhnya sudah ditetapkan dalam Deklarasi Stockholm 1972 (Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment). Prinsip 17 dari Deklarasi tersebut menyinggung masalah pengelolaan sumber daya alam, dengan menyatakan:

“Appropriate national institutions must be entrusted with the task of planning,

34Bambang Iriana Djaatmika, Op. cit, h. 8.

managing or controlling the environmental resources of States with a view to enchancing environmental quality”.35

Pengelolaan sumber daya kelautan terkait langsung dengan dengan wilayah negara terutama wilayah laut. Laut mempunyai karakteristik yang berbeda dengan daratan laut tidak dapat dikuasai dan secara mutlak dipagari secara permanen dan mendirikan bangunan dan menjaganya selama sehari penuh.36 Laut tidak mungkin dipagari secara fisik sebagai tanda batas wilayah atau pun diduduki sepanjang tahun sebagai penguasaan.37

Dari tahun 30 sebelum Masehi sampai tahun 117 sesudah Masehi Kekasisaran Romawi menguasasi hampir seluruh pesisir laut tengah sehingga secara “de facto” Kekaisaran Romawi dapat mengontrol sebagian besar laut tengah sehingga bangsa Romawi menyebut laut tengah sebagai “Mare Nostrum”

atau laut kami. Dengan kekuatan dan pengaruh kekaisaran Romawi memberikan keamanan bagi pelayaran dilaut tengah, perompak laut disingkirkan sehingga prompakan dan perampokan dilaut tidak terjadi laut tengah menjadi aman dilayari sehingga perdagangan romawi sangat maju.38 Kekaisaran Romawi menerapakan laut sebagai hak bersama seluruh umat manusia atau “res communis omnius”, walau dalam situasi tertentu diterapkan laut sebagai wilayah tertutup atau “mare clausum” misalnya pada saat perang.

35Ibid.

36Lihat Wahyono Suroto Kusumo Projo, Indonesia Negara Maritim, Teraju, Jakarta, 2009, h. 30.

37Ibid

38Retno Windari et. al, Hukum Laut dan Zona-Zona Maritim, Badan Kordinasi Keamanan Laut, Jakarta, 2009, h. 10.

Dengan kemunduran kekuatan Kekaisaran Romawi demikan juga terhadap penguasaan diwilayah laut juga mengalami kemunduran yang kemudian diisi oleh negara-negara baru yang juga ingin menguasai dilautan, maka konsep “res communnis omnius” diartikan sebagai kebebasan untuk menguasai wilayah laut tertentu “res nullius”39, bahwa laut merupakan wilayah tak bertuan yang dapat dimiliki oleh siapa saja yang mampu dan kuat menguasainya.

Pada abad ke-15 Spanyol dan Portugis adalah negara dengan kekuatan maritim terkuat, dalam Traktat Tordesillas 1494, Spanyol dan Portugis membagi kepemilikan wilayah laut antara keduanya dengan menetapkan garis demarkasi sepanjang meridian atau garis bujur yang melewati sebelah barat Cape Verde di lepas pantai Afrika. Garis demarkasi ini berjarak sama antara kepulauan Cape Verde yang saat itu sudah dikuasai Portugis dan kepulauan yang ditemukan Christopher Columbus pada pelayaran pertamanya yang diklaim sebagai milik Spanyol, Semua daratan di Timur garis demarkasi adalah milik Portugis sedangkan semua daratan di barat adalah milik Spanyol. Dengan demikian laut menjadi wilayah tertutup bagi kekuasaan yang lain “mare clausum”. Namun dengan munculnya kekuatan maritim baru Inggris dan Belanda keduanya menolak konsep “mare clausum”, Hugo Grotius fisuf sekaligus ahli hukum Belanda pada tahun 1609 menyatakan konsep kebebasan di laut atau “mare liberum” dalam

39Lihat Wahyono, h. 30., lihat juga Hasyim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Bina Cipta, Jakarta, 1979, h. 1.

bukunya The Freedom of the Sea, bahwa semua negara bebas menggunakan laut“.40

Hugo Grotius mengatakan dalam prinsip hukumnya, “bahwa semua bangsa bebas berlayar di lautan dan tidak ada satu bangsa pun di dunia yang dapat mengklaim hak kepemilikan atas lautan hanya karena para pelautnyalah yang pertama kali berlayar di lautan tersebut”.41Pernyataan Hugo Grotius ini kemudian ditentang oleh seorang ahli hukum Inggris bernama John Selden yang menulis buku berjudul “Mare Clausum” (1635), yang menegaskan sebuah doktrin bahwa perairan di perbatasan pantai dengan Negara yang bersangkutan harus berada dalam kedaulatan Negara tersebut.42

Dengan demikian jika diambil jalan tengah antara pendapat Hugo Grotius dan John Selden maka terdapat wilayah laut yang tidak dapat dimiliki dan wilayah laut yang bisa dimiliki. Teluk dan selat merupakan wilayah laut yang dapat dimiliki, karena sifatnya yang mirip dengan sungai dan laut pedalaman yang terkurung oleh daratan (inland sea).43hal inilah yang kemudian mengarah kepada konsep Laut Teritorial.

40Lihat Mochtar Kusumaatmaja, Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Jakarta, 1978, h.

28. (selanjutnya disebut Mochtar Kusumaadmaja 1978)

41Farthing, Bruce, Mark Brownrigg, Farthing on International Shipping, LLP London Business of Shipping Series, 3rd Ed, 1997, dalam Retno Windari et. al, Hukum Laut dan Zona-Zona Maritim, Badan Kordinasi Keamanan Laut, Jakarta, 2009, h. 13

42Retno Windari, Op cit, h. 13., lihat juga Moctar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1982, h. 13. (selanjutnya disebut Mochtar Kusumaadmaja 1982).

43Wohyono, Op cit, h. 32.

Pembahasan masalah laut teritorial dalam suatu konvensi pertama kali dilakukan dalam Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 yang dibawah naungan liga bangsa-bangsa dihadiri delegasi dari 47 negara. Dalam Konferemsi ini terdapat perdebatan tentang batas terjauh laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai, yaitu ada yang menyatakan laut teritorial terjauh ialah 3 mil ada yang mengangap 6 mil dan ada yang 4 mil. Hindia belanda menganut batas laut teritorial sejauh 3 mil laut menurut “Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939” yang dimuat dalam Staatsblad 1939 Nomor 442.

Batas laut teritorial sejauh 3 mil laut tersebut di gunakan juga oleh Negara Indonesia namun kelemahan TZMKO yang mengatur mengenai wilayah laut (perairan) di Wilayah Negara Republik Indonesia sejauh 3 mil laut, kemudian pemerintah RI mengeluarkan pengumuman pada tanggal 13 Desember 1957 yang dikemudian dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda, menyatakan bahwa laut teritorial Indonesia sejauh 12 mil laut. Kemudian pada tanggal 18 Februari 1960 dikuatkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (LN. 1960. No. 22) dengan maksud agar klaim tersebut memiliki kekuatan hukum dan mengikat. Kemudian Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang tersebut diatas, dikukuhkan menjadi Undang-undang No. 4 Prp. Tahun 1960 berdasarkan Ketetapan MPRS No.

XIX/MPRS/1966. Perubahan mendasar selanjutnya terhadap perairan Indonesia yaitu UNCLOS 1982 dalam UNCLOS 1982 Lebar laut territorial yang dahulu adalah 3 mil laut berdasarkan jarak tembakan meriam saat itu sekarang menjadi 12 mil.

Terkait dengan laut teritorial Mochtar Kusumaatmaja44 menyatakan antara lain bahwa penetapan batas laut teritorial merupakan tindakan sepihak yang sepenuhnya menjadi wewenang suatu negara, namun untuk keabsahannya menurut hukum internasional harus diperhatikan beberapa hal sebagai pertimbangan pokok antara lain:

1. Eratnya hubungan laut teritorial dengan wilayah darat

2. Bagian-bagian laut terletak pada sisi dalam garis pangkal cukup erat hubungannya dengan daratan untuk dapat tunduk pada ketentuan-ketentuan negara perairan pedalam

3. Atas kepentingan-kepentingan ekonomi setempat yang khas didasarkan atas adanya kebiasaan-kebiasaan yang cukup lama.

Indonesia pada 13 Desember 1957 mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan "Deklarasi Djoeanda" antara lain berbunyi:

“Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang rnenghubungkan pulau-pulau atau bagaian pulau-pulau-pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik lndonesia dan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulalan mutlak dari negara Repubtik Indonesia”

Pertimbangan lain yang mendorong Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia adalah:

1. Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri yang memerlukan pengaturan tersendiri,

2. Bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari pemerintah kolonial sebagaimana temaktub dalam “Territoriale zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939" Pasal I ayat (l) tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia.

3. Bahwa setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandang perlu untuk melindungi kebutuhan dan keselamatan negaranya.45

44Moctar Kusumaatmaja, 1982, Loc cit.

45Ibid, h. 26.

Konsep deklarasi Djuanda tersebut memandang kepulauan Indonesia yang terdiri atas wilayah pulau-pulau, wilayah perairan, serta dasar laut di dalamnya sebagai suatu kesatuan historis, geografis, ekonomis, dan politis dikenal dengan

"Wawasan Nusantara", dituangkan dalam Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (LNRI Nomor 22 Tahun 1960-TLNRI Nomor 22), yang diganti oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (LNRI Nomor 73 Tahun 1996-TLNRI Nomor 3647) selanjutnya disebut UU Perairan Indonesia. Wawasan Nusantara tersebut merupakan wawasan kebangsaan yang mengetengahkan diteguhkannya asas Negara Nusantara

"archipelagic state".46 1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Tipe Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu proses Untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.47 Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.48 Berdasarkan isu hukum yang dikaji, penelitian ini diarahkan pada kekhasan ilmu hukum yang sifatnya normatif,49 sehingga tipe penelitian disertasi ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang

46Lihat Andi Iqbal Burhanuddin, Op cit, h. 62.

47Lihat Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, cet ke-5. 2009, h.

35.

48Ibid, h. 93.

49Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Jogyakarta, 2005, h. 1

mengkaji ketentuan hukum positif tertulis secara sitematis terkait dengan pengelolaan kelautan perspektif hukum agraria.

Dokumen terkait