• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Face dalam Komunikasi Antarpribadi

3) Psikologikal. Melihat karakter spesifik stranger yang membedakannya

1.7. Pengelolaan Face dalam Komunikasi Antarpribadi

Face didefinisikan atas bagaimana kita ingin terlihat dan diperlakukan

orang lain, serta bagaimana kita memerlakukan orang lain sesuai konsep diri yang

mereka bangun. Sedangkan facework adalah bagaimana tindakan verbal dan

nonverbal yang menyelamatkan face diri (self-face), face orang lain (other-face),

atau face bersama (mutual-face) (Littlejohn & Foss, 2009 : 371).

Asumsi teori ini adalah sebagai berikut :

(1) Seseorang dalam budaya manapun berusaha menjaga dan menegosiasikan

face dalam seluruh situasi komunikasi;

(2) Face biasanya bermasalah ketika dalam situasi yang membahayakan secara

emosional atau memmertanyakan kerentanan identitas;

(3) Spektrum nilai budaya individualistik-kolektivistik dan small-large power

distance memengaruhi perhatian dan gaya facework

(4) Nilai individualistik dan kolektivistik memengaruhi preferensi self-face,

others-face, atau mutual-face;

(5) Jarak kekuasaan memengaruhi preferensi horizontal-based atau

vertical-based facework;

(6) Dimensi nilai, dalam hubungannya dengan faktor individual, relasional, dan

situasional, memengaruhi tindakan facework tertentu dalam satu budaya tertentu;

(7) Kompetensi facework antarbudaya terkait dengan integrasi pengetahuan,

kesadaran, dan ketrampilan komunikasi dalam mengelola situasi konflik yang

rentan identitas secara tepat, efektif, dan adaptif (Littlejohn & Foss, 2009 : 372).

Face sebagai citra menjadi konsep pribadi yang diinterpretasi diri sendiri

memertahankan, menghilangkan, atau memerkuat face demi tujuan komunikasi

(Goffman, 1967 : 161). Citra face juga menjadi penghargaan diri dalam sebuah

hubungan melampaui dimensi lintas budaya (Ting-Toomey, 1988:162). Artinya,

semua individu dari budaya manapun selalu memiliki dan mengelola face.

Namun demikian, keragaman budaya merepresentasi, mengelola, dan

menginterpretasi konsep face secara berbeda :

 Face concern : kepentingan diri dan orang lain untuk memertahankan face sendiri atau orang lain. Contohnya, keinginan kita untuk diperhatikan atau

diindahkan.

 Face need : keinginan atas keterlibatan diri agar diasosiasikan atau tidak diasosiasikan dengan orang lain. Contohnya, keinginan untuk dianggap sebagai

orang Indonesia, atau sekedar mahasiswa baru di luar negeri.

Seseorang kadang membutuhkan persepsi face positif (keinginan disukai

atau dikagumi) dan negatif di saat lain (keinginan untuk bebas dan otonom).

Strategi tersebut kemudian tampak dalam sebuah facework, strategi verbal atau

nonverbal untuk memelihara, memertahankan, atau meningkatkan citra diri demi

menghadapi citra sosial orang lain (Ting-Toomey & Chung, 2005:163).

1.7.1. Cultural Membership dan Face Concerns

Kecenderungan pada Self-face adalah perhatian untuk memberi

perlindungan citra identitas diri sendiri ketika terancam dalam situasi konflik.

Sedangkan perhatian pada other-face adalah upaya akomodasi citra orang lain

dalam situasi konflik, sebagaimana mutual-face adalah kepedulian menjaga citra

Masyarakat dari budaya individualis, cenderung mementingkan konsep

diri-sendiri (self-face). Seseorang yang menonjol, berbeda, atau inovatif

dipandang sebagai individu yang positif. Sedangkan dalam budaya kolektivis,

seorang dengan pribadi menonjol atau berbeda kadang diasosiasikan negatif.

Dalam budaya kolektivis, nilai kebersamaan dan keselarasan sangat diutamakan.

Bahkan dalam penyelesaian konflik, citra diri orang lain dan kelompok

(other-face dan mutual-face) tetap dijaga agar tidak melukai harga diri.

1.7.2. Face Threatening Process Conditions

Ketika dalam situasi konflik proses yang mengancam face (Face

Threatening Process) potensial terjadi. Premis-premis FTP antara lain :

(1) Semakin penting aturan budaya atas facework dilanggar, semakin FTP

dirasakan.

(2) Semakin luas jarak budaya dari pihak yang berkonflik, semakin besar salah

paham atau salah pengertian pada FTP.

(3) Semakin penting topik atau permintaan dalam konflik pada angle budaya

yang berbeda, semakin besar FTP dirasakan.

(4) Semakin besar kekuatan inisiator konflik, semakin besar FTP dirasakan.

(5) Semakin besar atau menyakitkan FTP, usaha dan waktu untuk memerbaiki

semakin lama (Littlejohn & Foss, 2009:372).

1.7.3. Konsep Pribadi, Situasi, dan Kompetensi Facework

Melalui facework, seseorang selalu berusaha konsisten menjaga face diri

Individual Personality Factors. Meliputi self-construal (penafsiran diri)

untuk berlaku mandiri atau bergantung dengan identitas kelompok/orang lain.

Independent self-construal diasosiasikan positif di dalam budaya individualistik.

Nilai-nilai demokratis, kebebasan, menonjol, dan kemandirian adalah karakter

masyarakat tersebut. Sedangkan dalam masyarakat kolektivistik, dependent

self-construal mengasumsikan karakter kerukunan, gotong royong, keselarasan,

kesepakatan; dipandang sebagai dasar kehidupan bersama.

Situational Appraisal Factors. Untuk mengaktivasi kemandirian atau

kebergantungan diri adalah memerlukan situasi penilaian peran dan anggapan

apakah kita menjadi bagian kelompok (in-group) atau di luar kelompok

(out-group). Faktor situational appraisal meliputi seting formalitas konflik, iklim

interaksi, dari situasi, peran hubungan, dan tujuan yang diharapkan dari sebuah

negosiasi facework (Littlejohn & Foss, 2009:373).

Kompetensi Interaksi Facework. Negosiator facework yang kompeten

mempunyai kesadaran atas budaya diri dan orang lain serta proses

mengkondisikan facework. Kompetisi tersebut berupa pengetahuan, sensitivitas

budaya, kesadaran, dan ketrampilan komunikasi adaptif. Sensitivitas budaya

menghindarkan diri dari potensi konflik etnosentrisme. Sedangkan tanpa

pengetahuan, negosiator tidak bisa menginterpretasi situasi konflik secara akurat

berdasarkan perspektif budaya lain. Terakhir, kesadaran membuat kita mampu

mengetahui asumsi, kognisi, dan emosi orang lain dalam memahami konflik.

Karenanya, negosiator tidak boleh terlalu dini menilai tindakan asing secara

reaktif, melainkan harus memelajari dan berusaha menjadi pendengar yang baik

1.7.4. Identifikasi Facework

Identitas, citra, atau atribut karakter pribadi selalu dipresentasikan dalam

sebuah interaksi. Seseorang selalu berharap, orang lain akan mendefinisikan

identitas sebagaimana ia presentasikan. Identitas tersebut bersumber dari

pengalaman, pemikiran, ide, memori, atau rencana. Dalam presentasi tersebut,

seseorang akan terikat dengan lokasi, intelektual, sosial, atau politik dimana

dimensi identitas muncul.

Identifikasi atas facework berkaitan dengan :

(1) Tact facework; batas seseorang menghargai otonomi orang lain

(2) Solidarity facework; menerima orang lain sebagai bagian dari kelompoknya

(in-group)

(3) Approbation facework; lebih fokus pada aspek positif daripada aspek negatif.

Konflik memicu rusaknya face sosial dan kedekatan hubungan. Di lain

sisi, budaya juga mengilhami bagaimana seseorang mengelola konflik. Negosiasi

face dengan memerhatikan latar belakang budaya masing-masing menjadi acuan

bagaimana seharusnya konflik diselesaikan. Asumsi terakhir berkaitan dengan

dampak atas tindakan terhadap face. Tindakan tersebut bisa berupa :

(1) Face-saving : usaha untuk meminimalisir kerentanan atau kerusakan citra

(2) Face restoration : strategi memertahankan otonomi dan kehilangan muka.

Dokumen terkait