• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Pengelolaan Hutan Lestari dan Pengurangan Emisi Karbon

Prinsip kelestarian menyatakan bahwa hutan produksi harus dikelola secara lestari untuk membatasi kerusakan yang tidak diinginkan sebanyak mungkin terhadap tegakan tinggal dan ekosistem secara keseluruhan. Saat ini, pengelolaan hutan lestari (SFM) dikombinasikan dengan penebangan berdampak rendah (RIL) dan sertifikasi hutan telah diterapkan di beberapa hutan alam produksi. RIL terdiri atas perencanaan sebelum pemanenan yang dilaksanakan secara berhati-hati dan teknik panen yang lebih baik serta perawatan pasca panen melalui tindakan silvikultur (Imai et al, 2009). Biaya produksi hutan lestari lebih tinggi dari hutan tidak lestari. Besar kenaikan biaya produksi hutan lestari berkisar antara IDR 26.000-44.000/m3 atau sekitar 4-6,5% dari biaya produksi hutan tidak lestari (Darusman dan Bahruni 2004).

Kollert dan Lagan (2005) melakukan pengamatan selama 5 tahun mulai bulan Januari 2000 sampai bulan November 2004. Pengamatan dilakukan pada tiga unit pengelolaan hutan yang berbeda di Sabah Malaysia. Rata-rata harga kayu pada 3 unit pengelolaan tersebut bervariasi, tetapi secara keseluruhan harga kayu pada unit pengelolaan yang memiliki sertifikat FSC lebih tinggi daripada harga kayu pada unit pengelolaan yang tidak memiliki sertifikat.

Tabel 3 Rata-rata harga kayu bersertifikat dan tidak bersertifikat

Sumber: Walter Kollert dan Peter Lagan, 2005.

Kehadiran sertifikasi pengelolaan hutan lestari merupakan arah baru dalam sejarah panjang upaya untuk meningkatkan pengelolaan hutan tropis. Sertifikasi menuai kecaman dan mekanismenya tidak mulus tetapi telah mempertimbangkan segi sosial, ekologi, dan ekonomi sehingga menghindari beberapa kekurangan dari kebijakan sebelumnya (misalnya, Tropical Forestry Action Plan dan the International Tropical Timber Organization’s Year 2000 Objective). Perbedaan utama antara sertifikasi pengelolaan hutan lestari dan tindakan lain ialah bahwa sertifikasi mendorong pengaruh pasar yang menguntungkan secara sosial dan lingkungan terhadap pengelolaan hutan. Walaupun “hadiah hijau” yang diharapkan dari sertifikasi terlalu dilebih-lebihkan. Pengelola hutan menjadi semakin sadar bahwa sertifikasi sangat meningkatkan akses pasar mereka (Auld, 2008). Kebijakan yang mengaitkan pengurangan emisi karbon yang telah dibuktikan dengan sertifikasi kayu dan hasil hutan lain akan mendapat manfaat dari REDD+.

Mendukung sertifikasi pengelolaan hutan lestari tampaknya merupakan cara penggunaan dana REDD+ yang efektif dan efisien. Program-program sertifikasi yang memajukan pengelolaan hutan dan penyimpanan karbon memiliki keterbatasan. Masalah utamanya ialah penebangan liar yang menyebabkan banyak degradasi akibat pembalakan yang buruk tidak mungkin memperoleh sertifikasi. Perusahaan tertentu juga memanen kayu tanpa memperhatikan

Spesies

Harga kayu bersertifikat FSC

(FMU 1)

Harga kayu tidak bersertifikat

(FMU 2)

Harga kayu tidak bersertifikat

(FMU 3)

USD USD USD

Selangan Batu 193,35 121,77 108,93 Keruing 160,17 104,34 107,13 Kapur 143,29 96,35 107,13 Seraya 117,82 101,35 108,22 Seraya Merah 141,14 97,95 110,96 Jenis campuran 87,71 70,42 83,88

dampak negatif pada tegakan yang tersisa karena mereka tidak mengharapkan memanen di lokasi yang sama lagi. Bagi perusahaan ini, biaya untuk meningkatkan efisiensi melalui teknik RIL (misalnya, pemilihan petak dan rencana panen tahunan) mungkin melebihi keuntungannya. Selain itu, penting untuk mengenali bahwa sertifikasi bukan sekadar peningkatan efisiensi melalui penggunaan teknik RIL yang berarti bahwa bahkan sebagian perusahaan dan masyarakat yang mengelola hutan dengan baik mungkin harus menanggung biaya sertifikasi yang terlalu tinggi. FSC sedang berupaya untuk mengurangi biaya sertifikasi bagi hutan kecil yang dikelola dengan intensitas rendah, khususnya yang dikelola oleh masyarakat, tetapi cara ini akan memerlukan subsidi lebih lanjut. Dana REDD+ untuk sertifikasi dan audit sertifikasi dapat menyediakan insentif ini (Angelsen, 2010).

Pengelolaan hutan lestari mampu mempertahankan sumber daya kayu dan menjaga kelestarian cadangan karbon hutan (

Rainforest Alliance (2009), beberapa hal yang berbeda dari pengelolaan hutan bersertifikat (contoh kasus hutan bersertifikat FSC) dan tidak bersertifikat, antara lain:

Imai et al. 2009). Beberapa praktek kehutanan yang dilaksanakan pada hutan bersertifikat (contoh kasus hutan yang memiliki sertifikat dari FSC) dapat mereduksi emisi karbon sekurang-kurangnya 10% dibandingkan dengan hutan tidak bersertifikat (Putz etal. 2008).

a. Pengurangan volume panen

Dibandingkan dengan hutan yang ditebang secara konvensional, hutan tropis bersertifikat umumnya melakukan pemanenan lebih rendah per satuan luas hutan yang ditebang. Sebuah skenario yang umum dilakukan pada hutan tidak bersertifikat adalah melakukan praktek penebangan kembali 10 sampai 15 tahun siklus. Akibatnya terjadi penurunan biomassa hidup, kurangnya sumber benih untuk regenerasi jenis-jenis kayu dan penurunan simpanan karbon melalui penebangan konvensional. Hutan bersertifikat melakukan praktek pemanenan berkelanjutan jangka panjang dan tingkat panen yang berkelanjutan dengan melakukan inventarisasi secara sistematis serta pemantauan pertumbuhan (Applegate 2001, diacu dalam Rainforest Alliance

2009).

b. Peningkatan kawasan hutan konservasi dan restorasi.

Hutan bersertifikat mempertahankan biomassa lebih besar melalui penyediaan kawasan konservasi yang lebih besar, kawasan lindung di

sepanjang sungai, kawasan lindung hutan bernilai konservasi tinggi dan daerah untuk restorasi hutan.

c. Pengurangan dampak kerusakan akibat kegiatan pemanenan.

Praktek-praktek pada hutan bersertifikat diperkirakan telah mengurangi emisi sekurang-kurangnya 10% (Putz et al. 2008). Hutan alam produksi bersertifikat menerapkan Reduced Impact Logging (RIL) dalam operasional dukupemanenan dan hutan tidak bersertifikat menerapkan metode penebangan konvensional.

RIL adalah pemanenan kayu berdasarkan perspektif hutan dan survey hutan dalam rangka memperoleh data yang diperlukan untuk mendesain lay out

petak-petak tebangan, unit-unit inventarisasi dan merencanakan operasi pemanenan kayu. Konsep RIL adalah menekan atau meminimalkan kerusakan akibat pemanenan kayu yang dilakukan mulai dari saat perencanaan, pada saat proses pelaksanaan dan sesudah proses pemanenan kayu selesai, dengan memanfaatkan teknik-teknik perencanaan, teknik-teknik pelaksanaan, teknologi/teknik baru pemanenan kayu dan penerapan prinsip-prinsip ilmiah keteknikan hutan yang dikombinasikan dengan pendidikan dan pelatihan. Pemanenan konvensional adalah praktek pemanenan yang umum dilakukan di hutan tropika Indonesia hingga sat ini. Pemanenan kovensional memiliki ciri-ciri perencanaan yang kurang cukup/akurat, penerapan teknik pemanenan kayu yang kurang tepat dan pengawasan yang kurang. Penerapan teknik reduced impact wood harvesting dapat mengurangi kerusakan hingga 50% (Elias 2002).

d. Pemecahan masalah hak milik.

Hutan bersertifikat memperhatikan dan menyelesaikan konflik sosial yang mungkin sering menyebabkan degradasi, seperti sengketa kepemilikan dan klaim tanah.

e. Langkah-langkah untuk mencegah kegiatan yang illegal dan kebakaran. Hutan bersertifikat menerapkan sistem manajemen pencegahan, langkah-langkah monitoring dan mitigasi yang mengurangi dampak perambahan, ekstraksi illegal, penebangan liar, kebakaran hutan serta hama dan penyakit (FSC 2002).

Uraian di atas menunjukkan bahwa hutan yang menerapkan pengelolaan hutan lestari dapat meningkatkan simpanan karbon atau penurunan emisi karbon. Berdasarkan hal tersebut, hutan produksi bersertifikat berpotensi untuk

dapat ikut serta dalam perdagangan karbon skema REDD+. Informasi tentang kelayakan untuk mengikuti REDD+ sangat diperlukan oleh pengelola hutan. Tabel berikut memberikan informasi tentang perbandingan keuntungan bersih berbagai pilihan penggunaan lahan hasil studi Sasaki dan Yoshimoto (2010).

Tabel 4 Keuntungan bersih dari berbagai pilihan penggunaan lahan

Pilihan Penggunaan lahan ($ ha

-1 )

Pendapatan Biaya Keuntungan

BAU-timber 6.556,83 5.125,63 1.431,19

- Company 4.312,20 5.054,87 -742,67

- Government 2.244,63 70,76 2.173,87

REDD-plus 7.820,57 5.419,92 2.400,65

Hutan tanaman Jati 1.000,00 41,25 958,75

Hutan Tanaman Eucalyptus dan Akasia 61,60 688,88 -627,28 Kebun Karet - Kasus 1 (MAFF, 2006) - Kasus 2 (Marubeni, 2004) 1.200,00 1.200,00 211,93 250,50 988,07 949,50

Kebun Kelapa Sawit 747,60 852,49 -104,89

Harga karbon untuk kalkulasi pendapatan pada REDD+ adalah $ 2,00t-1 CO2 Sumber: Sasaki dan Yoshimoto 2010

Keuntungan bersih pengelolaan hutan produksi lestari dengan REDD+ lebih besar dari pengelolaan hutan konvensional. Besarnya perbedaan keuntungan bersih mencapai 67,74% dari keuntungan besih pengelolaan hutan konvensional. Pendapatan dari kegiatan pengelolaan hutan produksi lestari dan REDD+ diperoleh dari penebangan kayu yang masak tebang sebesar 30% dan kompensasi dari kemampuan mempertahankan simpanan karbon (Sasaki dan Yoshimoto 2010).

Hasil penelitian Antinori dan Sathaye (2007) di Cameroon menunjukkan bahwa besarnya biaya transaksi untuk penerapan REDD+ masih kurang menentu. Tercatat dari 11 hutan produksi yang menjadi contoh dalam penelitian tersebut, biaya transaksinya berkisar antara US$ 0,03 sampai US$ 1,23/ton CO2.

Titik impas (break event) mengikuti REDD+ pada harga US$ 2,85 /tCO2