• Tidak ada hasil yang ditemukan

Financial Incentive of Sustainable Natural Production Forest Management from Scheme of REDD+ Carbon Trading

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Financial Incentive of Sustainable Natural Production Forest Management from Scheme of REDD+ Carbon Trading"

Copied!
218
0
0

Teks penuh

(1)

INSENTIF FINANSIAL PENGELOLAAN HUTAN ALAM

PRODUKSI LESTARI DARI PERDAGANGAN KARBON

SKEMA REDD+

RINA MUHAYAH NOOR PITRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Insentif Finansial Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari dari Perdagangan Karbon Skema REDD+ adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

(3)

ABSTRACT

RINA MUHAYAH NOOR PITRI. Financial Incentive of Sustainable Natural Production Forest Management from Scheme of REDD+ Carbon Trading. Under direction of BAHRUNI and DUDUNG DARUSMAN.

Carbon trading mechanism for sustainable natural production forest management in REDD+ is part of forestry sector participation in reducing carbon emission. Nevertheless, studies of relationship between carbon stock in sustainable forest management and incentive from REDD+ were limited, therefore the financial benefit from REDD+ could not be predicted. The objective of this research is to know incentive financial REDD+ value toward sustainable natural forest management. Objects of this research are management of natural production forest before getting sustainable certificate (A1), management of natural production forest after getting sustainable certificate (A2), and management of natural production forest have not got sustainable certificate. In general terms, data analysis consisted two major steps: (1) Calculating carbon stock and carbodioxide emission (2) Calculating economic value of carbon. Carbon stock was resulted from comparing A2-1 is 532.807 ton C/year, A2-B is 717.450 ton C/year. Carbondioxide emission was resulted from comparing A2-1 is 1.955.403 ton CO2/year, A2-B is 2.633.041 ton CO2/year. This results indicate

that sustainable natural production forest management (A2) have much more carbon stock and Carbondioxide than unsustainable natural production forest management (A2 and B). Financial incentive could received by A2-1, A2-B at level price over US$ 3,52/tCO2 and US$ 1,01/tCO2

Keywords: Sustainable forest management, financial incentive, carbon trading, REDD+

(4)

RINGKASAN

RINA MUHAYAH NOOR PITRI. Insentif Finansial Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari dari Perdagangan Karbon Skema REDD+. Dibimbing oleh BAHRUNI DAN DUDUNG DARUSMAN.

Pengelolaan hutan alam produksi mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mempertahankan simpanan karbon hutan atau mereduksi emisi karbon. Perbedaan tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan praktek pengelolaan hutan seperti kegiatan pemanenan, penanaman dan perlindungan hutan. COP XIII UNFCCC memasukkan pengelolaan hutan lestari sebagai salah satu mekanisme pengurangan emisi karbon dalam REDD+ sehingga membuka peluang bagi pengelolaan hutan alam produksi lestari untuk memperoleh tambahan insentif dari REDD+. Pengelolaan hutan alam produksi lestari diharapkan mampu mereduksi emisi karbon dan mempertahankan simpanan tegakan atau karbon yang lebih besar daripada pengelolaan hutan tidak lestari karena perbedaan dalam pengelolaannya.

Keterbatasan kajian tentang hubungan antara simpanan karbon pengelolaan hutan alam produksi lestari dan biaya mengikuti REDD+ menyebabkan perolehan insentif finansial dari REDD+ belum dapat diprediksi. Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui besar insentif finansial dari REDD+ terhadap pengelolaan hutan alam produksi lestari.

Penelitian ini dilaksanakan di hutan alam produksi bersertifikat (IUPHHK A) dan hutan alam produksi tidak bersertifikat (IUPHHK B). Pada hutan bersertifikat diambil data sebelum memiliki sertifikat (A1) dan sesudah memiliki sertifikat (A2). Hutan alam produksi bersertifikat mewakili pengelolaan hutan alam produksi lestari dan hutan alam produksi yang belum dan tidak bersertifikat mewakili pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Komparasi antara IUPHHK A2 dengan IUPHHK A1 diberi symbol A2-1 dan komparasi IUPHHK A2 dengan IUPHHK B diberi symbol A2-B.

Metode perhitungan terdiri dari (1) perhitungan simpanan biomassa, karbon dan CO2

Rasio produksi pengelolaan hutan lestari dan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari 0,2-07 terhadap AAC. Rasio produksi pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari cenderung menurun dan rasio produksi pengelolaan hutan alam produksi lestari cenderung meningkat. Kecenderungan produksi pengelolaan hutan alam produksi lestari dalam jangka panjang memiliki tingkat produksi yang relatif meningkat menunjukkan bahwa kelestarian produksi pengelolaan hutan lestari relatif dapat dipertahankan dan kelestarian produksi pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari tidak dapat dipertahankan.

(2) perhitungan nilai ekonomi karbon untuk mengikuti REDD+. Fokus perhitungan simpanan biomassa, karbon dan karbondioksida berasal dari tiga kegiatan yaitu kegitan produksi, kegiatan perlindungan hutan dan kegiatan penanaman. Kegiatan produksi difokuskan pada kegiatan pemanenan (berdasarkan indikator pohon tersedia dan pohon dipanen) dan kerusakan tegakan tinggal. Kegiatan perlindungan hutan menggunakan indikator penutupan lahan dan kegiatan penanaman berdasarkan penanaman yang dilakukan. Struktur biaya dalam perhitungan nilai ekonomi karbon adalah biaya oportunitas dan biaya transaksi.

(5)

lestari. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hutan lestari memiliki stok tegakan atau karbon hutan lebih besar daripada hutan tidak lestari sehingga mampu mereduksi kehilangan tegakan akibat kegiatan pemanenan. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mengurangi kehilangan biomassa atau karbon sebesar 0,72%-16,85%/tahun dibandingkan dengan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Hasil komparasi tegakan tinggal memberikan gambaran bahwa pengelolaan hutan alam produksi lestari lebih mampu mereduksi emisi karbon sebesar 234.158 ton CO2/tahun untuk A2-1 dan sebesar 373.625 ton

CO2/tahun

Kerusakan tegakan tinggal pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari menyebabkan kehilangan biomassa sebesar 135,55-323,58 ton/ha/tahun. Kerusakan tegakan tinggal pengelolaan hutan alam produksi lestari sebesar 69,43 ton/ha/tahun. Perbedaan teknik yang digunakan untuk pemanenan menyebabkan perbedaan tingkat kerusakan tegakan. Teknik pemanenan

Reduce Impact logging (RIL) yang di gunakan pada pengelolaan hutan alam produksi lestari memberikan dampak kerusakan yang lebih rendah daripada teknik konvensional yang digunakan pada pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu meminimalkan kerusakan tegakan tinggal sehingga mampu mengurangi kehilangan karbon sebesar 90,5-190,2 ribu ton C/tahun atau mampu mereduksi emisi karbon 39%-57%/tahun.

untuk A2-B dibandingkan dengan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari.

Perhitungan biomassa tutupan hutan menunjukkan adanya penurunan total biomassa setiap tahunnya. Kecenderungan perubahan tutupan lahan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari menunjukkan laju perubahan tutupan lahan yang rendah dibandingkan dengan perubahan tutupan lahan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mereduksi emisi karbon sebesar 1,39-1,56 juta ton C/tahun atau mampu mengurangi laju degradasi sebasar 1,11-1,20%/tahun dari pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Upaya dan komitmen pengelola hutan lestari untuk melakukan kegiatan perlindungan hutan terhadap degradasi lebih baik daripada unit manajemen hutan tidak lestari antara lain dibuktikan dari biaya perlindungan dan pengamanan hutan yang lebih besar; membuat menara kebakaran; melakukan pengawasan dan membuat rambu-rambu peringatan dilarang membakar, berladang dan berburu hewan yang dilindungi.

Kegiatan penanaman yang dilakukan pengelolaan hutan alam produksi lestari lebih besar dari pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Rata-rata simpanan biomassa kegiatan penanaman pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari sebesar 0,195-0,978 ton/tahun dan simpanan biomassa pengelolaan hutan produksi lestari sebesar 2,544 ton/tahun. Kegiatan penanaman pengelolaan hutan alam produksi lestari yang lebih besar mencerminkan bahwa upaya yang dilakukan untuk meningkatkan stok tegakan dengan menerapkan teknik silvukultur intensif lebih baik dari pengeloaan hutan alam produksi tidak lestari. Hasil komparasi biomassa penanaman menunjukkan bahwa hutan yang dikelola secara lestari mampu meningkatkan stok karbon hutan sebesar 0,78-1,16 tC/tahun.

Kemampuan reduksi emisi karbon pengelolaan hutan lestari dari kegiatan produksi, perlindungan hutan dan penanaman sebesar 1,955-2,633 juta ton CO2/tahun. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mereduksi emisi

karbon hutan sebesar 1,76%/tahun hingga 2,37%/tahun atau sebesar 9,03-12,16 ton CO2

Perhitungan nilai ekonomi karbon terdiri dari perhitungan biaya oportunitas, biaya transaksi dan insentif dari REDD+. Biaya oportunitas diperoleh

(6)

dari perbedaan keuntungan antara pengelolaan hutan alam produksi lestari dan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Biaya oportunitas untuk mengikuti REDD+ antara (12,57) milyar rupiah/tahun dan 24,45 milyar rupiah/tahun. Perhitungan biaya transaksi berdasarkan besarnya transaksi CO2 yang

ditawarkan. Biaya transaksi menggunakan tiga pendekatan yaitu US$ 0,03; US$ 0,63; dan US$ 1,23/tCO2

Insentif yang dapat diperoleh dari perdagangan karbon skema REDD+ dipengaruhi oleh biaya yang harus ditanggung untuk mengikuti REDD+ dan penerimaan dari kompensasi reduksi emisi karbon. Harga kompensasi CO

. Biaya transaksi untuk mengikuti REDD+ sebesar 0,52-28,76 milyar rupiah/tahun. Total biaya mengikuti REDD+ sebesar (4,376)-61,155 milyar rupiah/tahun

2 yang

disimulasikan dalam penelitian ini sebesar US$ 6, US$ 9 dan US$ 12/tCO2

Perhitungan nilai ekonomi karbon menunjukan adanya peluang bagi IUPHHK bersertifikat lestari untuk memperoleh insentif tambahan dari perdagangan karbon skema REDD+. Peluang tersebut diterima pada semua harga kompensasi yang disimulasikan. Insentif finansial paling rendah yang diterima sebesar 43 milyar rupiah/tahun untuk A2-1 dan sebesar 116,6 milyar rupiah/tahun untuk A2-B pada harga kompensasi US$6 dan beban biaya transaksi tertinggi. Insentif finansial tertinggi sebasar 168 milyar rupiah/tahun untuk A2-1 dan sebesar 284,95 milyar rupiah/tahun untuk A2-B pada harga kompensasi US$12/tCO

. Penerimaan dari REDD+ sebesar 104,18-280,58 milyar rupiah/tahun.

2-e dan beban biaya transasksi paling rendah (US$

0,03/tCO2-e). Titik impas tertinggi terjadi pada harga US$ 3,52/tCO2 untuk A2-1

dan US$ 1,01/tCO2 untuk A2-B.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

INSENTIF FINANSIAL PENGELOLAAN HUTAN ALAM

PRODUKSI LESTARI DARI PERDAGANGAN KARBON

SKEMA REDD+

RINA MUHAYAH NOOR PITRI

Tesis

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Judul Tesis : Insentif Finansial Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari dari Perdagangan Karbon Skema REDD+

Nama : Rina Muhayah Noor Pitri

NRP : E151090021

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Bahruni, MS. Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA

Ketua Anggota

.

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof.Dr.Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS. Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

KATA PENGANTAR

Pengelolaan hutan alam produksi lestari menganut prinsip bahwa hutan harus dikelola secara lestari untuk membatasi kerusakan terhadap tegakan dan ekosistem secara keseluruhan. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mempertahankan sumberdaya kayu untuk kelestarian produksi jangka panjang dan reduksi emisi karbon.

Pertemuan UNFCCC pada COP XIII tahun 2007 menyepakati bahwa pengelolaan hutan lestari menjadi salah satu mekanisme pengurangan emisi karbon dalam skema REDD+ sebagai suatu bentuk apresiasi terhadap kemampuan pengelolaan hutan lestari dalam mempertahankan simpanan karbon dan mengurangi emisi karbon. Kesepakatan tersebut membuka peluang bagi pengelolaan hutan alam produksi lestari untuk memperoleh insentif finansial dari perdagangan karbon skema REDD+.

Keterbatasan kajian tentang hubungan antara simpanan karbon pada hutan alam produksi lestari dan insentif REDD+ menyebabkan perolehan manfaat finansial REDD+ bagi pengelolaan hutan alam produksi lestari belum dapat diprediksi. Diperlukan pendugaan simpanan karbon dan biaya untuk memperoleh insentif REDD+ pada hutan alam produksi yang dikelola secara lestari.

Lokasi dalam penelitian ini tidak disebutkan secara detil untuk menghargai kerahasiaan informasi perusahaan. Keterbatasan informasi tempat penelitian yang dapat ditampilkan dalam tulisan ini juga berkaitan dengan sedikitnya unit manajemen pengelolaan hutan alam produksi yang memiliki sertifikat pengelolaan hutan lestari sehingga relatif mudah diidentifikasikan. Kerahasiaan ini juga diperlukan untuk tetap membina hubungan baik dalam pelaksanaan penelitian antara Perguruan Tinggi dan Pengelola Hutan Alam Produksi.

Tulisan dalam tesis ini menampilkan dua komponen utama, yaitu: (1) Perhitungan pendugaan simpanan biomassa, karbon dan karbondioksida (2) Perhitungan nilai ekonomi karbon dari REDD+. Fokus utama kegiatan pengelolaan yang diperhitungkan adalah kegiatan produksi, kegiatan perlindungan hutan dan kegiatan penanaman.

Ucapan terima kasih dan penghargaan Penulis sampaikan kepada:

(11)

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Elias yang mendukung pendanaan penelitian dari program penelitian Hibah Pascasarjana IPB dan sekaligus sebagai penguji dalam ujian tesis.

3. Ayah H. Mugeni Masda dan Ibu Hj. Taniah atas doa dan kasih sayangnya; suami dan anakku Anita zulfa; serta seluruh keluarga atas dukungan dan bantuannya.

4. Seluruh pimpinan dan karyawan IUPHHK A dan IUPHHK B yang telah berkenan menerima dan memfasilitasi penulis untuk melakukan penelitian 5. Seluruh civitas akademik Institut Pertanian Bogor dan Universitas Lambung

Mangkurat, Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional melalui bantuan biaya pendidikan BPPS dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini.

Semoga tesis ini bermanfaat dan berguna bagi pengembangan pengelolaan hutan lestari.

Bogor, Januari 2012

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gambut (Kalimantan Selatan) pada tanggal 6 Februari 1979 dari ayah Mugeni Masda dan ibu Taniah. Penulis merupakan anak bungsu dari empat bersaudara.

Tahun 1997 penulis lulus dari MAN 1 Banjarmasin dan pada tahun 2002 lulus pada program studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat. Kesempatan melanjutkan ke program Magister pada program studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

I. PENDAHULUAN ……….. 1

1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Perumusan Masalah ………. 3

1.3. Tujuan ……… 4

1.4. Hipotesis Penelitian ……… 4

1.5. Manfaat Penelitian ……… 4

1.6. Ruang Lingkup Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ………. 6

2.1. Biomassa dan Karbon Hutan ……….. 6

2.2. Perdagangan Karbon di Sektor Kehutanan ……….. 9

2.3. Pengelolaan Hutan Lestari dan Pengurangan Emisi Karbon …. 14 2.4. Nilai Ekonomi Karbon Hutan………. 18

III. METODOLOGI PENELITIAN ……….. 20

3.1. Lokasi Penelitian ………. 20

3.2. Alur Pikir Penelitian ...……... 20

3.3. Metode Penelitian ………. 22

3.3.1. Rancangan Penelitian ... 22

3.3.2. Perhitungan Biomassa, Karbon dan Karbondioksida .... 24

3.3.3. Perhitungan Nilai Ekonomi Karbon ... 27

3.3.4. Perhitungan harga kayu bersertifikat dan kompensasi harga karbon... 28

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 29

4.1. IUPHHK A ... 29

4.1.1. Letak Geografis dan Luas IUPHHK A ... 29

4.1.2. Tanah dan Geologi ... 29

4.1.3. Topografi ... 30

4.1.4. Iklim dan Curah Hujan ... 30

4.1.5. Keadaan Hutan ... 30

4.1.6. Sistem Silvikultur ... 31

(14)

4.2. IUPHHK B... 32

4.2.7. Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat ... 34

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

5.1. Deskripsi Simpanan Karbon IUPHHK A1 ... 37

5.1.1. Kegiatan Produksi ... 37

5.1.2. Kegiatan Perlindungan Hutan ... 40

5.1.3. Kegiatan Penanaman ... 41

5.2. Deskripsi Simpanan Karbon IUPHHK A2 ... 42

5.2.1. Kegiatan Produksi ... 42

5.2.2. Kegiatan Perlindungan Hutan ... 46

5.2.3. Kegiatan Penanaman ... 47

5.3. Deskripsi Simpanan Karbon IUPHHK B ... 49

5.3.1. Kegiatan Produksi ... 50

5.3.2. Kegiatan Perlindungan Hutan ... 53

5.3.3. Kegiatan Penanaman ... 53

5.4. Perbedaan Simpanan Biomassa, Karbon dan CO2 5.4.1. Perbedaan Simpanan Biomassa, Karbon dan CO A2-1 dan A2-B ... 54

2 5.4.2. Perbedaan Simpanan Biomassa, Karbon dan CO kegiatan Produksi ... 55

2 5.4.3. Perbedaan Simpanan Biomassa, Karbon dan CO kegiatan Perlindungan Hutan ... 57

2 5.4.4. Total Biomassa, Karbon dan CO kegiatan Penanaman ... 59

2 5.5. Nilai Ekonomi dalam Perdagangan Karbon Skema REDD+ ... 61

... 60

5.5.1. Biaya, Pendapatan dan Keuntungan Pengelolaan Hutan 61 5.5.2. Biaya, Penerimaan dan Insentif Finansial REDD+ 62 5.5.3. Peluang Insentif berupa Manfaat Finansial bagi

(15)

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 68

6.1. Simpulan ... 68

6.2. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA...……….. 69

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Sumber Karbon Hutan ………. 7

2. Berbagai elemen pada pendekatan bertahap menuju REDD+ ... 14

3. Rata-rata harga kayu bersertifikat dan tidak bersertifikat ... 15

4. Keuntungan bersih dari berbagai pilihan penggunaan lahan……… 18

5. Rancangan penelitian pada kegiatan produksi... 22

6. Rancangan penelitian pada kegiatan perlindungan hutan ... 23

7. Rancangan penelitian pada kegiatan penanaman ... 23

8. Rancangan analisis ekonomi karbon... 24

9. Kerusakan tegakan tinggal pada pemanenan konvensional dan RIL .... 26

10. Jenis-jenis tanah pada IUPHHK A... 29

11. Distribusi kelas lereng areal IUPHHK A ... 30

12. Penutupan lahan IUPHHK A ... 31

13. Rincian formasi geologi di areal kerja IUPHHK B ... 32

14. Tanah-tanah di areal kerja IUPHHK B ... 32

15. Kondisi tofografi IUPHHK B ... 33

16. Kondisi penutupan lahan di areal kerja IUPHHK B ... 34

17. Biomassa, karbon dan CO2 IUPHHK A1 ... 39

pohon tersedia dan pohon dipanen 18. Potensi biomassa dan karbon IUPHHK A ... 39

19. Biomassa, karbon dan CO2 20. Biomassa tiap tutupan lahan IUPHHK A1 ... 41

yang hilang akibat kerusakan tegakan A1 40

21. Kegiatan penanaman IUPHHK A1 ... 41

22. Biomassa kegiatan penanaman IUPHHK A1... 42

23. Biomassa, karbon dan CO2 24. Biomassa, karbon dan CO pohon tersedia, pohon dipanen IUPHHK A2 44 2 25. Biomassa tiap tutupan lahan pada IUPHHK A2 ... 46

yang hilang akibat kerusakan tegakan A2.. 46

26. Kegiatan penanaman IUPHHK A2 ... 47

27. Biomassa pada kegiatan penanaman IUPHHK A2 ... 48

28. Biomassa pohon tersedia dan pohon dipanen pada IUPHHK B... 50

29. Potensi biomassa dan karbon pada IUPHHK B ... 51

30. Biomassa yang hilang pada IUPHHK B akibat kerusakan tegakan ... 52

31. Biomassa tiap tutupan lahan IUPHHK B ... 53

(17)

33. Simpanan karbon dan CO2

34. Perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO2 tegakan tinggal ... 55 tegakan tinggal ... 54

35. Perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO2

tegakan tinggal ... 56 dari kerusakan

36. Biomassa, karbon dan CO2

37. Perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO

akibat degradasi hutan ... ... 57

2

38. Perbedaan simpanan biomassa, Karbon dan CO

kegiatan perlindungan hutan ... 57

2

39. Total biomassa, karbon dan CO2 ... 59 kegiatan penanaman 58

40. Biaya, Pendapatan dan keuntungan pengelolaan hutan ... 60 41. Biaya transaksi pada A2-1 dan A2-B... 61 42. Biaya total A2-1 dan A2-B ... 61 43. Penerimaan dari konpensasi simpanan CO2

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Emisi karbon tanpa REDD, dengan REDD dan REDD+ ... 12

2. Kerangka pemikiran penelitian ... 21

3. Kecenderungan produksi pada IUPHHK A1 ... 38

4. Kecenderungan produksi pada IUPHHK A2 ... 43

5. Kerusakan tegakan tinggal pada IUPHHK A2 ... 45

6. Penanaman yang dilakukan IUPHHK A2 ... 48

7. Rasio produksi terhadap AAC pada IUPHHK B ... 49

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Wood density yang digunakan dalam penelitian ... 75

2. Target dan realisasi produksi IUPHHK A1... 77

3. Target dan realisasi produksi IUPHHK A2 ... 78

4. Target dan realisasi produksi IUPHHK B... 79

5. Pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK A1 ... 80

6. Pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK A2 ... 80

7. Pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK B ... 81

8. Persentase biaya, pendapatan dan keuntungan pengelolaan hutan alam produksi ... 81

14. Perhitungan simpanan biomassa kegiatan produksi berdasarkan beda persentase... 83

15. Simpanan biomassa, karbon dan CO2 16. Simpanan biomassa, karbon dan CO kegiatan perlindungan hutan berdasarkan persentase laju degradasi hutan... 83

2 17. Total simpanan biomassa, karbon dan CO kegiatan penanaman berdasarkan persentase penanaman... 85

2 18. Biaya, penerimaan dan insentif finansial berdasarkan perhitungan persentase simpanan biomassa, karbon dan CO berdasarkan persentase perbandingan total... 85

2

(20)

26. Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat pancang pada IUPHHK A tahun 2011 ... 92 27. Jenis tingkat semai pada hutan primer IUPHHK A tahun 2011 ... 93 28. Jenis tingkat semai pada hutan bekas tebangan IUPHHK A tahun 2011 93 29. Potensi tegakan dan biomassa tingkat semai IUPHHK A tahun 2011 .. 94 30. Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat pohon pada

IUPHHK B tahun 2011 ... 94 31. Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat pohon

pada IUPHHK B tahun 2011 ... 95 32. Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat tiang pada

IUPHHK B tahun 2011 ... 95 33. Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat tiang

pada IUPHHK B tahun 2011 ... 96 34. Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat pancang pada

IUPHHK B tahun 2011 ... 96 35. Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat pancang

(21)

1

1.1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro 1992 telah disepakati beberapa komitmen, salah satunya adalah menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim melalui konvensi PBB untuk perubahan iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change - UNFCCC). Pertemuan UNFCCC pada COP III tahun 1997 menghasilkan Protokol Kyoto yang mengatur perdagangan karbon sebagai

Hutan berfungsi sebagai sumber emisi khususnya CO

mekanisme pasar yang diperuntukkan untuk menanggulangi pemanasan global. Pada COP XIII tahun 2007 dihasilkan Bali Road Map dan salah satu kesepakatannya adalah memasukkan pengelolaan hutan lestari menjadi salah satu mekanisme pengurangan emisi karbon dalam skema REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation Plus).

2, tetapi juga dapat

berfungsi sebagai penyerap karbon (Ari wibowo dan Rufii 2009). Menurut IPCC (2007), deforestasi dan degradasi hutan menyumbang 12% - 20% emisi karbon dunia. Praktek pengelolaan hutan yang dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi laju peningkatan karbondioksida di atmosfer (Brown et al. 1996; Watson et al. 1996), yaitu (1) pengelolaan untuk mengkonservasi karbon (2) pengelolaan untuk pengambilan dan penyimpanan karbon (3) pengelolaan untuk mencari substitusi karbon. Strategi yang dapat dilakukan agar pengelolaan hutan dapat berkontribusi terhadap perubahan iklim sebagai strategi penyerapan CO2

(22)

pengelolaan hutan lestari cukup banyak, namun tantangan yang dihadapi untuk mencapai pengelolaan hutan lestari juga cukup besar.

Luas kawasan hutan di Indonesia berdasarkan data Statistik Bina Produksi Kehutanan tahun 2009 sebesar 133.453.366 hektar dan luas hutan alam produksi yang dibebani hak (IUPHHK_HA) seluas 25.770.887 hektar. Hutan alam produksi di Indonesia yang memiliki sertifikat dari FSC hanya 5 unit manajemen dengan luas 632.345 hektar atau 2,45% dari total luas hutan alam produksi (FSC 2011). Hutan alam produksi yang memiliki sertifikat dari LEI (3 unit; 2 unit diantaranya juga memiliki sertifikat FSC) seluas 502.000 hektar (LEI 2011) dan sertifikat dari Departemen Kehutanan (48 unit) seluas 6.517.489 hektar. Jumlah keseluruhan areal hutan yang memiliki sertifikat lestari seluas 7.904.962 hektar atau mewakili 29,69% dari total hutan alam produksi.

Rendahnya persentase luas hutan alam produksi yang memiliki sertifikat pengelolaan hutan lestari di Indonesia mengindikasikan rendahnya motivasi pengelola hutan untuk melakukan pengelolaan hutan lestari. Hasil studi Bahruni (2011) menyatakan bahwa kendala yang menyebabkan rendahnya motivasi pengelola hutan untuk melaksanakan pengelolaan hutan lestari disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) faktor tata kelola dan regulasi yang tidak mampu menumbuhkan perilaku pengusahaan hutan yang baik, serta birokrasi yang belum efisien (2) ketidakpastian lahan (3) faktor kemampuan manajerial yang mencakup aspek teknis, manajemen dan finansial yang masih rendah (4) faktor motif ekonomi yang tidak disertai dengan kemauan untuk dapat mempertahankan ketersediaan hutan dalam jangka waktu yang panjang.

Hasil studi Darusman dan Bahruni (2004) menyatakan bahwa biaya produksi hutan lestari lebih tinggi dari hutan tidak lestari. Besar kenaikan biaya produksi hutan lestari berkisar antara IDR 26.000-44.000/m3

Perdagangan karbon melalui skema REDD+ pada hutan produksi yang dikelola secara lestari merupakan suatu bentuk keikutsertaan sektor kehutanan dalam upaya pengurangan emisi karbon. Contoh program yang dapat diterapkan dalam pengelolaan hutan lestari adalah perubahan dari sistem penebangan konvensional menjadi pembalakan berdampak rendah/Reduced Impact Logging

(VCS 2010, di acu dalam Solichin 2010).

atau sekitar 4-6,5% dari biaya produksi hutan tidak lestari.

(23)

hutan alam produksi lestari. Pengelolaan hutan alam produksi lestari diharapkan mampu mengurangi emisi dan mempertahankan simpanan karbon yang lebih besar dibandingkan dengan hutan alam produksi tidak lestari. Informasi yang penting untuk diketahui dan menjadi pertimbangan bagi pengelola hutan alam produksi lestari untuk ikut serta dalam mekanisme perdagangan karbon skema REDD+ adalah perbedaan simpanan karbon dan biaya yang diperlukan untuk memperoleh manfaat finansial.

1.2. Perumusan Masalah

Pengelolaan hutan alam produksi mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan simpanan karbon hutannya. Perbedaan tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan praktek pengelolaan hutan seperti kegiatan pemanenan, penanaman dan perlindungan hutan.

Kegiatan pemanenan yang dilakukan pada hutan alam produksi menyebabkan kerusakan pada tegakan tinggal. Besarnya kerusakan tersebut dipengaruhi oleh sistem pemanenan yang diterapkan oleh pengelola hutan produksi. Kegiatan lain seperti kegiatan penanaman juga mempengaruhi stok karbon hutan karena perbedaan jumlah tanaman atau luas areal penanaman. Kegiatan perlindungan hutan seperti perlindungan terhadap kebakaran dan perambahan mempengaruhi laju degradasi hutan dan simpanan karbon pada hutan alam produksi.

(24)

Hutan produksi yang dikelola secara lestari mempunyai potensi untuk ikut serta dalam REDD+. Pengelolaan hutan alam produksi lestari diharapkan mampu mereduksi emisi karbon dan mempertahankan simpanan tegakan atau karbon yang lebih besar daripada pengelolaan hutan tidak lestari karena perbedaan dalam pengelolaannya. Indikator kelestarian hutan alam produksi lestari di antaranya ditunjukkan oleh tingkat kerusakan tegakan tinggal yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan hutan produksi yang dikelola secara tidak lestari. Kegiatan perlindungan hutan yang dilaksanakan hutan produksi lestari relatif lebih intensif bila dibandingkan dengan hutan produksi tidak lestari.

Keterbatasan kajian tentang hubungan antara simpanan karbon pengelolaan hutan alam produksi lestari dan insentif REDD+ menyebabkan perolehan manfaat finansial REDD+ bagi pengelola hutan lestari belum dapat diprediksi. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan pendugaan simpanan karbon dan biaya untuk memperoleh insentif REDD+ pada hutan alam produksi lestari. Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini: apakah skema REDD+ dapat memberikan tambahan insentif atau manfaat finansial yang memadai bagi pengelolaan hutan alam produksi lestari?

1.3. Tujuan

Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui peluang insentif finansial dari REDD+ sebagai pendorong pelaku usaha IUPHHK-HA melakukan pengelolaan hutan alam produksi lestari.

1.4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu (1) pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mereduksi emisi karbon dibandingkan dengan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari (2) biaya yang ditanggung pengelola hutan untuk melakukan pengurangan emisi lebih besar dari insentif yang ditawarkan dalam skema REDD+.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik dari sisi akademis maupun pengelola hutan produksi dalam hal berikut:

(25)

2. Memberikan informasi tentang peluang mengikuti perdagangan karbon skema REDD+ dan manfaat finansial yang dapat diperoleh dari pengelolaan hutan alam produksi lestari.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

(26)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biomassa dan Karbon Hutan

Biomassa merupakan jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme (tumbuhan) persatuan unit area pada suatu waktu yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per ha (Brown 1997). Menurut Whitten et al. (1984), diacu dalam Rizon (2005), biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk seluruh atau sebagian tubuh organisme, produksi atau komunitas dan dinyatakan dalam berat kering persatuan luas (ton/ha). Biomassa dibedakan ke dalam dua kategori yaitu biomassa di atas permukaan (above ground biomass) dan biomassa bawah permukaan (below ground biomass). Biomassa di atas permukaan tanah adalah berat bahan organik per unit area pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produktifitas, umur tegakan dan distribusi organik.

Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan. Faktor iklim seperti curah hujan dan suhu merupakan faktor yang mempengaruhi laju peningkatan biomassa pohon (Kusmana 1993).

Pendugaan bomassa di atas permukaan tanah dapat diukur menggunakan metode langsung (destructive) dan metode tidak langsung (non destructive). Pendugaan biomassa pohon dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi alometrik biomassa. Pendugaan biomassa dengan metode tidak langsung menggunakan allometrik dapat lebih cepat dilaksanakan dan area yang lebih luas dapat dijadikan contoh.

Diperkirakan 45%-50% komponen penyusun biomassa adalah karbon (Brown 1997). Persamaan allometrik yang disesuaikan dengan kondisi nasional sangat disarankan untuk digunakan (IPCC 2006). Upaya pengembangan allometrik lokal berdasarkan kondisi tapak maupun jenis atau kelompok jenis diperlukan untuk meningkatkan akurasi (Kettering 2001).

Hutan tropika mengandung biomassa dalam jumlah yang besar sehingga dapat menyediakan simpanan karbon. Selain itu, karbon juga tersimpan dalam material yang sudah mati dalam serasah batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah (Whitmore 1985).

(27)

penyerapan karbon. Diperkirakan hutan di Indonesia dengan luas 120,4 juta hektar mampu menyerap dan menyimpan karbon sebesar 15,05 milyar ton karbon. Lasco (2002) menyatakan bahwa cadangan karbon di hutan tropis Asia berkisar antara 40–250 ton C/ha untuk vegetasi dan 50–120 ton C/ha untuk tanah. Sedangkan Murdiyarso et al. (1994) memperkirakan bahwa hutan tropis di Indonesia mempunyai cadangan karbon berkisar antara 161–300 C/ha.

Akumulasi kandungan biomassa hutan dipengaruhi oleh teknik pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur yang digunakan. Pinard dan Putz (1997) menyebutkan bahwa kandungan biomassa hutan hujan tropika di Asia Tenggara berkisar antara 400 – 500 ton/ha (berat kering oven) termasuk biomassa akar. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pelepasan cadangan karbon ke atmosfir antara lain intensitas pemanenan hutan dan proses dekomposisi (Ojima et al. 1996).

Menurut Brown (1999), bagian terbesar gudang karbon dalam proyek berbasis hutan adalah dalam biomassa hidup, biomassa mati, tanah dan produk kayu. Biomassa hidup mencakup komponen bagian atas dan bagian bawah (akar), pohon, palma, tumbuhan herba (rumput dan tumbuhan bawah), semak dan paku-pakuan. Biomassa mati mencakup serasah halus dan sisa kayu kasar, dan tanah mencakup mineral, lapisan organik dan gambut.

(28)

Tabel 1 Sumber karbon hutan

Sumber Penjelasan

Biomassa Atas tanah Semua biomassa dari vegetasi hidup di atas tanah, termasuk batang, tunggul, cabang, kulit, daun serta buah. Baik dalam bentuk pohon, semak maupun tumbuhan herbal.

Ket: tumbuhan bawah di lantai hutan yang relatif sedikit, dapat dikeluarkan dari metode penghitungan.

Bawah Tanah

Semua biomassa dari akar yang masih hidup. Akar yang halus dengan diameter kurang dari 2 mm seringkali dikeluarkan dari penghitungan, karena sulit dibedakan dengan bahan organik mati tanah dan serasah.

Bahan organik mati

Kayu mati Semua biomassa kayu mati, baik yang masih tegak, rebah maupun di dalam tanah. Diameter lebih besar dari 10 cm.

Serasah Semua biomassa mati dengan ukuran > 2 mm dan diameter kurang dari sama dengan 10 cm, rebah dalam berbagai tingkat dekomposisi.

Tanah Bahan

organik tanah

Semua bahan organik tanah dalam kedalaman tertentu (30 cm untuk tanah mineral). Termasuk akar dan serasah halus dengan diameter kurang dari 2mm, karena sulit dibedakan.

Sumber: IPCC, 2006

Menurut Thomson (2008), peranan hutan mencegah dan mengurangi emisi karbon atau mitigasi perubahan iklim dapat dilihat dari berbagai kemungkinan berikut:

1. Penggunaan energi dari biomassa kayu dan sisa-sisa industri kayu menggantikan bahan bakar fosil.

2. Penggantian bahan-bahan bangunan yang diproduksi dengan bahan bakar fosil seperti baja, bata dan aluminium dengan produk kayu.

3. Mengurangi kebakaran hutan dan emisi gas rumah kaca.

4. Mempertahankan penutupan hutan dan potensinya untuk mencegah perubahan iklim.

5. Pengaturan kegiatan manajemen hutan untuk menangkap/menyerap tambahan CO2

6. Penangkapan dan penyimpanan karbon dalam pool karbon hutan dan penggunaan kayu dalam jangka panjang.

di atmosfir

7. Mengembangkan pasar perdagangan karbon dan menciptakan insentif untuk kegiatan kehutanan yang mengurangi emisi industri dan penghasil polutan

(29)

Mitigasi perubahan iklim adalah pencegahan dan pengurangan pengaruh perubahan iklim melalui pencegahan emisi gas rumah kaca. Malmsheimer et al. (2008) menyebutkan bahwa pencegahan emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan dapat dilakukan dengan substitusi kayu, substitusi biomassa dan menghindari konversi lahan. Pengurangan gas rumah kaca di atmosfir dapat dilakukan melalui penyerapan vegetasi hutan, penyimpanan dalam produksi kayu. Khusus untuk penyerapan karbon di atmosfir melalui vegetasi hutan merupakan fungsi dari produktivitas hutan dalam tapak baik dalam bentuk penyimpanan dalam (pool) tanah, serasah, bahan kayu yang jatuh, kayu mati yang masih tegak, batang hidup, cabang dan dedaunan hidup. Maness (2007) menyebutkan bahwa pengelolaan hutan yang berkontribusi terhadap perubahan iklim dilakukam dalam 3 strategi:

1. Strategi perlindungan stok dengan mencegah emisi (mitigasi) melalui 3 cara yaitu:

- menghindarkan konversi lahan yang secara permanen menjadi penggunaan lain.

- menunda waktu panen.

- mengurangi gangguan kebakaran dan hama penyakit. 2. Strategi penyerapan, yaitu hutan menyerap CO2

- Penanaman hutan yang baru pada lahan yang sebelumnya tidak berhutan.

dari udara melalui tiga cara:

- Penerapan pengelolaan hutan yang dapat menambah simpanan karbon. - Menghasilkan produksi dan penggunaan produksi kayu yang lebih awet. 3. Strategi penggunaan energi yang dapat diperbaharui.

2.2. Perdagangan Karbon di Sektor Kehutanan

Perhatian dunia internasional terhadap iklim bumi mengemuka pada tahun 1980an terakhir ketika suhu bumi dirasakan meningkat secara nyata (Ojima et al. 1996). Hutan dianggap sebagai salah satu pemecahan untuk perubahan Iklim sekaligus sebagai penyumbang emisi. Deforestasi dan degradasi hutan memberikan 12-20% dari emisi karbon dunia dan merupakan sumber utama emisi bagi banyak negara berkembang tropis (IPCC 2007; Van der Werf et al. 2009; CAIT 2010).

(30)

konvensi PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC). Dalam konvensi tersebut disepakati juga untuk membagi negara-negara yang meratifikasi menjadi dua kelompok, yaitu negara-negara Annex I (negara-negara maju) dan negara-negara non-Annex I (negara-negara berkembang). Pertemuan UNFCCC pada COP III di Kyoto (Jepang) tahun 1997 menghasilkan Protokol Kyoto yang menegaskan beberapa hal berikut:

- Negara-negara Annex I (pada umumnya negara maju/industri) akan mengurangi emisi dari enam gas rumah kaca : karbondioksida, metana, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan laporan tahun 1990 untuk diterapkan pada periode 2008-2012.

- Untuk mencapai target yang ditetapkan, Protokol Kyoto dilengkapi dengan

emission trading, joint implementation dan mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism -CDM).

- Emission trading (ET) merupakan mekanisme tukar menukar kredit emisi antara negara Annex I dalam memenuhi target mereka.

- Joint implementation mewadahi mekanisme untuk melakukan investasi proyek pengurangan emisi di suatu negara I oleh suatu negara Annex-I lainnya. Kredit pengurangan emisi yang diperoleh dari pelaksanaan proyek tersebut akan diberikan kepada negara yang melakukan investasi. Selanjutnya, mekanisme yang melibatkan negara berkembang (bukan negara Annex-I) adalah yang dikenal sebagai mekanisme pembangunan bersih (CDM).

- CDM merupakan mekanisme yang memungkinkan negara Annex-I dan negara berkembang bekerja sama untuk melakukan “pembangunan bersih”. Dengan fasilitas CDM, negara Annex-I dapat memenuhi kewajiban pengurangan emisinya dengan melakukan proyek pengurangan emisi di suatu negara berkembang dan negara berkembang mendapatkan kompensasi finansial dan teknologi dari kerja-sama tersebut.

(31)

dari pengurangan emisi yang disertifikasi (certified emission reduction, CER) tersebut akan diberikan kepada negara Annex-I.

COP IV UNFCCC di Buenos Aires (Argentina) tahun 1998 menghasilkan Rancangan Aksi Buenos Aires (Buenos Aires Plan of Action – BAPA). Para pihak (dalam BAPA) mengalokasikan waktu dua tahun untuk memperkuat komitmen terhadap konvensi dan penyusunan rencana serta pelaksanaan Protokol Kyoto. COP VI Bagian II menghasilkan Kesepakatan Bonn (Bonn Agreement) dalam rangka implementasi BAPA. Bali roadmap sebagai hasil COP XIII UNFCCC di Bali tahun 2007 berisi beberapa hal berikut:

1. Adaptasi

Negara-negara peserta bersepakat untuk membiayai proyek adaptasi di negara-negara berkembang melalui metode Clean Development Mechanism.

(CDM). 2. Teknologi

Negara-negara peserta bersepakat untuk memulai program strategis untuk memfasilitasi teknologi mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan negara-negara berkembang.

3. Reducing emissions from deforestation and degradation in developing

countries.

4. Kelangsungan pasca Protocol Kyoto

REDD merupakan salah satu agenda penting negosiasi yang mencakup empat (4) isu utama: (1) metode penentuan emisi, preferensi dan pemantauan yang diperlukan sebagai dasar penentuan besar penurunan emisi yang berhasil dicapai dari upaya mencegah konversi dan kerusakan hutan (2) panjang periode waktu yang digunakan untuk menentukan emisi referensi, (3) basis perhitungan penurunan emisi apakah berdasarkan tingkat proyek atau wilayah (4) mekanisme pendanaan.

(32)

REDD+ memperluas cakupan kegiatan yang dapat dimasukkan sebagai upaya mengurangi emisi sehingga diharapkan hasil dari kegiatan tersebut mampu mengurangi emisi karbon yang dihasilkan. Gambar berikut memberikan informasi tentang emisi karbon yang dihasilkan tanpa REDD, dengan REDD dan dengan REDD+.

Sumber: CIFOR 2009

Gambar 1 Emisi karbon tanpa REDD, dengan REDD dan dengan REDD+

Pemikiran dasar dari REDD+ adalah pembayaran yang sesuai dengan kinerja. Artinya, pembayaran akan bergantung pada hasil dari tindakan-tindakan REDD+. Alasan utama untuk pembayaran berdasarkan hasil (dan bukan pembayaran berdasarkan masukan) adalah bahwa mengaitkan insentif secara langsung dengan masalah akan membawa hasil yang paling efektif. Misalnya, pembayaran atas reformasi kebijakan tidak dapat dilakukan hanya dari keefektifan penerapan suatu kebijakan, atau apakah reformasi tambahan lainnya akan diperlukan.

Mewujudkan REDD+ di suatu negara harus memperhatikan tiga unsur pokok yaitu: insentif, informasi dan institusi (3Is). Insentifterdiri dari pembayaran imbalan sesuai kinerja dan berbagai perubahan kebijakan. Insentif REDD+ mengalir dari berbagai sumber internasional ke sebuah dana nasional atau anggaran rutin (misalnya, departemen keuangan), kemudian menuju ke tingkat subnasional melalui anggaran pemerintah atau pembayaran langsung kepada pemegang hak karbon. Pemegang hak karbon mencakup pemilik lahan perorangan, masyarakat, pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) dan berbagai lembaga pemerintah.

(33)

dipercaya tentang perubahan nyata cadangan karbon hutan yang dicapai untuk memperhitungkan dana dari sumber-sumber internasional. Informasi ini akan dikumpulkan dan diproses melalui suatu sistem MRV nasional, regional dan internasional dan menyerahkannya kepada lembaga REDD+ nasional yang berwenang (dana atau kas negara), suatu institusi UNFCCC dan untuk pembeli kredit REDD+ internasional. Pembayaran untuk pemegang hak karbon lokal akan ditetapkan dengan menggunakan informasi ini.

Elemen ketiga adalah institusiREDD+ yang akan mengatur aliran informasi tentang perubahan cadangan karbon antar tingkat, dan aliran insentif ke arah pemegang hak karbon. Sejumlah institusi ini dapat berasal dari institusi yang sudah ada dan akan melibatkan lembaga yang berwenang untuk pembayaran REDD+ dan sistem MRV. Lembaga pembayaran REDD+ ini akan menjembatani dana dari tingkat internasional ke tingkat subnasional sesuai dengan volume, lokasi, dan jenis pengurangan emisiInstitusi atau kelembagaan yang efektif dibutuhkan untuk mengelola informasi dan insentif (Angelsen, 2010).

Meridian Institute (2009), menerapkan REDD+ dapat dilakukan dalam tiga tahap yaitu:

1. Tahap kesiapan

Sejumlah negara menyiapkan strategi REDD+ nasional melalui proses konsultasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan; memulai mengembangkan kemampuan dalam pemantauan, pelaporan dan pembuktian (MRV); dan memulai tindakan uji coba.

2. Tahap kesiapan lebih lanjut

Fokus pada tahapan ini adalah menerapkan kebijakan dan tindakan untuk mengurangi emisi (seperti yang diatur dalam strategi REDD+ nasional dan yang akan dibuktikan dengan sejumlah indikator tidak langsung (proxy indicators).

3. Tahap ketaatan penuh sesuai dengan UNFCCC

Pada tahap ini, negara-negara berhutan tropis akan mendapatkan pembayaran hanya dari pengurangan emisi dan peningkatan cadangan karbon sesuai dengan tingkat rujukan yang telah disepakati bersama.

(34)

berikutnya. Artinya, sejumlah besar negara berhutan tropis akan dapat turut ambil bagian dalam REDD+.

Tabel 2 Berbagai elemen pada pendekatan bertahap menuju REDD+

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3

Cakupan RED/REDD/REDD+ REDD/REDD+ REDD+

Skala pembayaran

Subnasional Terpusat (keduanya,

Indikator kinerja • Strategi yang diadopsi.

• Penilaian legislative dan kebijakan telah selesai.

• Konsultasi telah dilaksanakan.

• Institusi telah dibentuk

• Kebijakan telah dilaksanakan.

• Tindakan telah ditegakkan.

• Faktor pengganti untuk perubahan Pendanaan Dukungan awal untuk

pengembangan strategi Sistem MRV Penguatan MRV Penguatan

kemampuan dan Sumber: Meridian institute (2009)

2.3. Pengelolaan Hutan Lestari dan Pengurangan Emisi Karbon

Prinsip kelestarian menyatakan bahwa hutan produksi harus dikelola secara lestari untuk membatasi kerusakan yang tidak diinginkan sebanyak mungkin terhadap tegakan tinggal dan ekosistem secara keseluruhan. Saat ini, pengelolaan hutan lestari (SFM) dikombinasikan dengan penebangan berdampak rendah (RIL) dan sertifikasi hutan telah diterapkan di beberapa hutan alam produksi. RIL terdiri atas perencanaan sebelum pemanenan yang dilaksanakan secara berhati-hati dan teknik panen yang lebih baik serta perawatan pasca panen melalui tindakan silvikultur (Imai et al, 2009). Biaya produksi hutan lestari lebih tinggi dari hutan tidak lestari. Besar kenaikan biaya produksi hutan lestari berkisar antara IDR 26.000-44.000/m3 atau sekitar 4-6,5%

(35)

Kollert dan Lagan (2005) melakukan pengamatan selama 5 tahun mulai bulan Januari 2000 sampai bulan November 2004. Pengamatan dilakukan pada tiga unit pengelolaan hutan yang berbeda di Sabah Malaysia. Rata-rata harga kayu pada 3 unit pengelolaan tersebut bervariasi, tetapi secara keseluruhan harga kayu pada unit pengelolaan yang memiliki sertifikat FSC lebih tinggi daripada harga kayu pada unit pengelolaan yang tidak memiliki sertifikat.

Tabel 3 Rata-rata harga kayu bersertifikat dan tidak bersertifikat

Sumber: Walter Kollert dan Peter Lagan, 2005.

Kehadiran sertifikasi pengelolaan hutan lestari merupakan arah baru dalam sejarah panjang upaya untuk meningkatkan pengelolaan hutan tropis. Sertifikasi menuai kecaman dan mekanismenya tidak mulus tetapi telah mempertimbangkan segi sosial, ekologi, dan ekonomi sehingga menghindari beberapa kekurangan dari kebijakan sebelumnya (misalnya, Tropical Forestry Action Plan dan the International Tropical Timber Organization’s Year 2000 Objective). Perbedaan utama antara sertifikasi pengelolaan hutan lestari dan tindakan lain ialah bahwa sertifikasi mendorong pengaruh pasar yang menguntungkan secara sosial dan lingkungan terhadap pengelolaan hutan. Walaupun “hadiah hijau” yang diharapkan dari sertifikasi terlalu dilebih-lebihkan. Pengelola hutan menjadi semakin sadar bahwa sertifikasi sangat meningkatkan akses pasar mereka (Auld, 2008). Kebijakan yang mengaitkan pengurangan emisi karbon yang telah dibuktikan dengan sertifikasi kayu dan hasil hutan lain akan mendapat manfaat dari REDD+.

Mendukung sertifikasi pengelolaan hutan lestari tampaknya merupakan cara penggunaan dana REDD+ yang efektif dan efisien. Program-program sertifikasi yang memajukan pengelolaan hutan dan penyimpanan karbon memiliki keterbatasan. Masalah utamanya ialah penebangan liar yang menyebabkan banyak degradasi akibat pembalakan yang buruk tidak mungkin memperoleh sertifikasi. Perusahaan tertentu juga memanen kayu tanpa memperhatikan

Spesies

Selangan Batu 193,35 121,77 108,93

Keruing 160,17 104,34 107,13

Kapur 143,29 96,35 107,13

Seraya 117,82 101,35 108,22

Seraya Merah 141,14 97,95 110,96

(36)

dampak negatif pada tegakan yang tersisa karena mereka tidak mengharapkan memanen di lokasi yang sama lagi. Bagi perusahaan ini, biaya untuk meningkatkan efisiensi melalui teknik RIL (misalnya, pemilihan petak dan rencana panen tahunan) mungkin melebihi keuntungannya. Selain itu, penting untuk mengenali bahwa sertifikasi bukan sekadar peningkatan efisiensi melalui penggunaan teknik RIL yang berarti bahwa bahkan sebagian perusahaan dan masyarakat yang mengelola hutan dengan baik mungkin harus menanggung biaya sertifikasi yang terlalu tinggi. FSC sedang berupaya untuk mengurangi biaya sertifikasi bagi hutan kecil yang dikelola dengan intensitas rendah, khususnya yang dikelola oleh masyarakat, tetapi cara ini akan memerlukan subsidi lebih lanjut. Dana REDD+ untuk sertifikasi dan audit sertifikasi dapat menyediakan insentif ini (Angelsen, 2010).

Pengelolaan hutan lestari mampu mempertahankan sumber daya kayu dan menjaga kelestarian cadangan karbon hutan (

Rainforest Alliance (2009), beberapa hal yang berbeda dari pengelolaan hutan bersertifikat (contoh kasus hutan bersertifikat FSC) dan tidak bersertifikat, antara lain:

Imai et al. 2009). Beberapa praktek kehutanan yang dilaksanakan pada hutan bersertifikat (contoh kasus hutan yang memiliki sertifikat dari FSC) dapat mereduksi emisi karbon sekurang-kurangnya 10% dibandingkan dengan hutan tidak bersertifikat (Putz etal. 2008).

a. Pengurangan volume panen

Dibandingkan dengan hutan yang ditebang secara konvensional, hutan tropis bersertifikat umumnya melakukan pemanenan lebih rendah per satuan luas hutan yang ditebang. Sebuah skenario yang umum dilakukan pada hutan tidak bersertifikat adalah melakukan praktek penebangan kembali 10 sampai 15 tahun siklus. Akibatnya terjadi penurunan biomassa hidup, kurangnya sumber benih untuk regenerasi jenis-jenis kayu dan penurunan simpanan karbon melalui penebangan konvensional. Hutan bersertifikat melakukan praktek pemanenan berkelanjutan jangka panjang dan tingkat panen yang berkelanjutan dengan melakukan inventarisasi secara sistematis serta pemantauan pertumbuhan (Applegate 2001, diacu dalam Rainforest Alliance

2009).

b. Peningkatan kawasan hutan konservasi dan restorasi.

(37)

sepanjang sungai, kawasan lindung hutan bernilai konservasi tinggi dan daerah untuk restorasi hutan.

c. Pengurangan dampak kerusakan akibat kegiatan pemanenan.

Praktek-praktek pada hutan bersertifikat diperkirakan telah mengurangi emisi sekurang-kurangnya 10% (Putz et al. 2008). Hutan alam produksi bersertifikat menerapkan Reduced Impact Logging (RIL) dalam operasional dukupemanenan dan hutan tidak bersertifikat menerapkan metode penebangan konvensional.

RIL adalah pemanenan kayu berdasarkan perspektif hutan dan survey hutan dalam rangka memperoleh data yang diperlukan untuk mendesain lay out

petak-petak tebangan, unit-unit inventarisasi dan merencanakan operasi pemanenan kayu. Konsep RIL adalah menekan atau meminimalkan kerusakan akibat pemanenan kayu yang dilakukan mulai dari saat perencanaan, pada saat proses pelaksanaan dan sesudah proses pemanenan kayu selesai, dengan memanfaatkan teknik-teknik perencanaan, teknik-teknik pelaksanaan, teknologi/teknik baru pemanenan kayu dan penerapan prinsip-prinsip ilmiah keteknikan hutan yang dikombinasikan dengan pendidikan dan pelatihan. Pemanenan konvensional adalah praktek pemanenan yang umum dilakukan di hutan tropika Indonesia hingga sat ini. Pemanenan kovensional memiliki ciri-ciri perencanaan yang kurang cukup/akurat, penerapan teknik pemanenan kayu yang kurang tepat dan pengawasan yang kurang. Penerapan teknik reduced impact wood harvesting dapat mengurangi kerusakan hingga 50% (Elias 2002).

d. Pemecahan masalah hak milik.

Hutan bersertifikat memperhatikan dan menyelesaikan konflik sosial yang mungkin sering menyebabkan degradasi, seperti sengketa kepemilikan dan klaim tanah.

e. Langkah-langkah untuk mencegah kegiatan yang illegal dan kebakaran. Hutan bersertifikat menerapkan sistem manajemen pencegahan, langkah-langkah monitoring dan mitigasi yang mengurangi dampak perambahan, ekstraksi illegal, penebangan liar, kebakaran hutan serta hama dan penyakit (FSC 2002).

(38)

dapat ikut serta dalam perdagangan karbon skema REDD+. Informasi tentang kelayakan untuk mengikuti REDD+ sangat diperlukan oleh pengelola hutan. Tabel berikut memberikan informasi tentang perbandingan keuntungan bersih berbagai pilihan penggunaan lahan hasil studi Sasaki dan Yoshimoto (2010).

Tabel 4 Keuntungan bersih dari berbagai pilihan penggunaan lahan

Pilihan Penggunaan lahan ($ ha

-1 )

Pendapatan Biaya Keuntungan

BAU-timber 6.556,83 5.125,63 1.431,19

- Company 4.312,20 5.054,87 -742,67

- Government 2.244,63 70,76 2.173,87

REDD-plus 7.820,57 5.419,92 2.400,65

Hutan tanaman Jati 1.000,00 41,25 958,75

Hutan Tanaman Eucalyptus dan Akasia 61,60 688,88 -627,28 Kebun Karet

Kebun Kelapa Sawit 747,60 852,49 -104,89

Harga karbon untuk kalkulasi pendapatan pada REDD+ adalah $ 2,00t-1 CO2 Sumber: Sasaki dan Yoshimoto 2010

Keuntungan bersih pengelolaan hutan produksi lestari dengan REDD+ lebih besar dari pengelolaan hutan konvensional. Besarnya perbedaan keuntungan bersih mencapai 67,74% dari keuntungan besih pengelolaan hutan konvensional. Pendapatan dari kegiatan pengelolaan hutan produksi lestari dan REDD+ diperoleh dari penebangan kayu yang masak tebang sebesar 30% dan kompensasi dari kemampuan mempertahankan simpanan karbon (Sasaki dan Yoshimoto 2010).

Hasil penelitian Antinori dan Sathaye (2007) di Cameroon menunjukkan bahwa besarnya biaya transaksi untuk penerapan REDD+ masih kurang menentu. Tercatat dari 11 hutan produksi yang menjadi contoh dalam penelitian tersebut, biaya transaksinya berkisar antara US$ 0,03 sampai US$ 1,23/ton CO2.

Titik impas (break event) mengikuti REDD+ pada harga US$ 2,85 /tCO2

2.4. Nilai Ekonomi Karbon Hutan

dan economic return untuk pengelolaan hutan alam dipengaruhi oleh biaya, harga kayu dan harga karbon.

(39)

Perhitungan nilai ekonomi karbon umumnya terdiri atas 2 macam yaitu: 1. Biaya oportunitas(opportunity cost)

Biaya oportunitas adalah biaya kesempatan yang hilang dari alternatif penggunaan lain.

2. Biaya transaksi (transaction cost)

(40)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di hutan alam produksi lestari dan hutan alam produksi tidak lestari di wilayah Kalimantan. Pendekatan yang digunakan untuk hutan alam produksi lestari dalam penelitian ini adalah hutan alam produksi bersertifikat hutan lestari. Pada hutan alam produksi lestari diambil data sebelum memiliki sertifikat (A1) dan sesudah memiliki sertifikat (A2). Hutan alam produksi yang tidak bersertifikat mewakili hutan alam produksi yang pengelolaan hutannya tidak lestari (B). Hasil perhitungan perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO2 antara IUPHHK A2 dan IUPHHK A1 diberi simbol A2-1 dan hasil perbedaan

simpanan biomassa, karbon dan CO2

3.2. Alur Pikir Penelitian

antara IUPHHK A2 dan IUPHHK B diberi simbol A2-B. Penelitian dilaksanakan selama enam (6) bulan, mulai dari bulan Mei sampai dengan Oktober 2011.

Pengelolaan hutan lestari mampu mempertahankan kontinuitas produksi dan keseimbangan fungsi ekologis serta mampu membina hubungan sosial yang baik (Imai et al. 2009). Keutamaan hutan lestari dalam memperhatikan keseimbangan produksi, ekologis dan sosial (Bahruni 2011) memperoleh apresiasi pada COP XIII dengan memasukkan pengelolaan hutan lestari sebagai salah satu mekanisme reduksi emisi karbon dan memiliki peluang untuk memperoleh insentif finansial dari perdagangan karbon skema REDD+.

(41)

Sebelum Sertifikasi (A1) Setelah Sertifikasi (A2) Belum Sertifikasi (B)

Komparasi

Identifikasi Kegiatan Pengelolaan Hutan

IUPHHK A IUPHHK B

A2 >A1, B

A2 ≤ A1, B

A2 <A1,B A2 >A1, B

A2 ≤ A1, B

A2 >A1, B

A2 ≤ A1, B Produksi

IUPHHKA1, A2, B

Perlindungan Hutan IUPHHKA1, A2, B

Biaya produksi IUPHHKA1, A2, B Penanaman

IUPHHKA1, A2, B

Pendapatan IUPHHKA1, A2, B

Gambar 2 Diagram alir kerangka pikir penelitian

Kelayakan mengikuti REDD+ Upaya Perbaikan

Simpanan Karbon

Analisis Nilai Ekonomi Karbon

Analisis Ekonomi

Total Simpanan Karbon Simpanan Karbon Simpanan Karbon

A2 >A1, B

(42)

3.3. Metode Penelitian

Data yang dikumpulkan meliputi data (1) Potensi tegakan (2) Pohon tersedia (3) Realisasi produksi (4) Penutupan lahan (5) Penanaman (6) Keuangan (7) Hasil penelitian yang relevan. Pengolahan data meliputi dua tahapan (1) Perhitungan simpanan biomassa, karbon dan karbondioksida (2) Perhitungan nilai ekonomi karbon.

3.3.1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang dibuat terdiri dari perhitungan biomassa, karbon, karbondioksida dan analisis ekonomi karbon. Fokus perhitungan simpanan biomassa, karbon dan karbondioksida berasal dari tiga kegiatan yaitu kegiatan produksi, kegiatan perlindungan hutan dan kegiatan penanaman. Analisis ekonomi karbon diperoleh dari perbedaan keuntungan hutan bersertifikat dan hutan tidak bersertifikat (sebagai biaya oportunitas) dan biaya transaksi.

Tabel 4 memperlihatkan rancangan penelitian kegiatan produksi yang meliputi (1) kegiatan pemanenan (2) pengurangan kerusakan tegakan tinggal.

Tabel 5 Rancangan penelitian kegiatan produksi

No. Variabel Sumber Metode analisis Keluaran

1. Kegiatan pemanenan: Pohon tersedia dan pohon dipanen - Jumlah dan

- Perhitungan biomassa (ton dan %) pohon tersedia dan pohon dipanen

- Perhitungan beda biomassa (ton dan %) antara pohon tersedia dan pohon dipanen - Perbedaan biomassa tegakan

tinggal (A2 – A1, A2 – B)

- Simpanan biomassa A2-1 dan A2-B

2. Kerusakan Tegakan Tinggal - Jumlah, diameter

- Perhitungan kerusakan pohon, tiang, pancang dan semai. - Perhitungan biomassa yang

hilang (tingkat pohon, tiang, pancang dan semai) akibat kerusakan

- Perbedaan biomassa yang hilang akibat kerusakan

(43)

Kegiatan perlindungan hutan atau kegiatan yang berhubungan dengan upaya penurunan degradasi dilihat berdasarkan indikator penutupan hutan. Rancangan penelitian kegiatan perlindungan hutan ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 6 Rancangan penelitian kegiatan perlindungan hutan

No. Variabel Sumber Metode analisis Keluaran

1. - Luas tutupan

- Menghitung beda biomassa dari data perubahan tutupan hutan

Simpanan biomassa atau karbon hutan alam produksi lestari pada kegiatan penanaman dilihat dari perbedaan jumlah penanaman yang dilakukan. Rancangan penelitian kegiatan penanaman di ringkas pada Tabel 6.

Tabel 7 Rancangan penelitian kegiatan penanaman

No. Variabel data Sumber Data Metode analisis Keluaran 1. - Jumlah individu

- Luas penanaman - Jenis tanaman - Lokasi penanaman

- Laporan - Perhitungan biomassa

penanaman pada A1, A2 dan B

- Perbedaan biomassa penanaman

(44)

Tabel 8 Rancangan penelitian untuk analisis ekonomi karbon

No. Variabel Sumber Metode analisis Keluaran

1. - Biaya - Perhitungan biaya

transaksi

)

- Total Biaya= Biaya oportunitas + Biaya transaksi

- Perbedaan biaya REDD+ dan kompensasi harga

3.3.2. Perhitungan Biomassa, Karbon dan Karbondioksida 3.3.2.1. Perhitungan biomassa

a. Perhitungan biomassa kegiatan produksi.

Simpanan biomassa kegiatan produksi diperoleh dari kegiatan pemanenan dan pengurangan kerusakan tegakan tinggal.

- Simpanan biomassa kegiatan pemanenan

Simpanan biomassa kegiatan pemanenan dilihat dari indikator pohon tersedia dan pohon dipanen. Perhitungan biomassa menggunakan persamaan Brown dan Lugo (1992):

B = V x WD x BEF Keterangan:

V : Volume kayu (m3 WD : Kerapatan kayu (kg/cm

)

3

BEF : Biomass Expansion Factor (1,74)

) menurut jenis kayu

(45)

dari perbedaan biomassa antara hutan yang dikelola tidak atau belum lestari dengan hutan yang dikelola secara lestari.

- Kerusakan tegakan tinggal

Perhitungan kerusakan tegakan tinggal menggunakan data potensi tegakan hasil pengukuran lapangan dan persentase kerusakan tegakan tinggal hasil studi Elias (2002). Metode yang digunakan dalam membuat plot pengukuran adalah metode nested sampling. Plot pengukuran dibuat 6 petak ukur yang didalam petak ukur tersebut dibuat sub petak ukur. Vegetasi yang diamati meliputi tingkat pohon, tiang, pancang dan semai. Plot ukur 20 m x 20 m digunakan untuk pengukuran diameter, tinggi dan jenis pohon. Selanjutnya dalam plot ukur 20 x 20 m tersebut, dibuat sub petak ukur ukuran 10 m x 10 m untuk pengukuran diameter, tinggi dan jenis tiang, 5 x 5 m untuk pengukuran diameter, tinggi dan jenis pancang dan 2 x 2 m untuk pengukuran jumlah dan jenis semai. Perhitungan biomassa semai menggunakan metode secara langsung (destruktif). Bobot kering biomassa semai dihitung berdasarkan rumus:

Wk = Fk x Wb

Fk = BKcontoh

BB

x 100%

Keterangan:

contoh

Wk = bobot kering biomassa (kg) Wb = bobot basah biomassa (kg)

Fk = faktor konversi bobot basah ke bobot kering (gr) BKcontoh

BB

= Berat kering contoh (gr)

contoh

Perhitungan biomassa yang hilang akibat kerusakan tegakan tinggal menggunakan persentase kerusakan tegakan tinggal pada pemanenan dengan metode konvensional dan RIL. IUPHHK yang tidak bersertifikat lestari (IUPHHK A1 dan IUPHHK B) merupakan IUPHHK yang melakukan pemanenan dengan metode konvensional dan IUPHHK bersertifikat lestari merupakan IUPHHK yang melakukan pemanenan dengan metode RIL.

(46)

Tabel 9 Persentase kerusakan tegakan tinggal

Tingkat perkembangan vegetasi Metode Pemanenan Kayu

(%) Konvensional RIL

- Anakan - Pancang

- Tiang dan pohon

33,47 34,93 40,42

17,65 19,59 19,08 Sumber: Elias, 2002

Biomassa yang hilang akibat kerusakan tegakan tinggal diperoleh dari perkalian persentase kerusakan tegakan tinggal dengan potensi biomassa pada IUPHHK A1, A2 dan B. Hasil perbedaan biomassa yang hilang setiap tingkatan vegetasi (A1 – A2 dan B – A2) merupakan simpanan biomassa dari pengurangan kerusakan tegakan tinggal.

- Total simpanan biomassa dari kegiatan produksi diperoleh dari simpanan biomassa kegiatan pemanenan dan simpanan biomassa dari pengurangan kerusakan tegakan tinggal.

b. Kegiatan perlindungan hutan

Data yang digunakan untuk perhitungan simpanan biomassa kegiatan perlindungan hutan adalah luas tutupan lahan IUPHHK A1, IUPHHK A2 dan IUPHHK B pada beberapa tahun yang berbeda. Berdasarkan data penutupan lahan dan potensi biomassa tiap tutupan lahan dihitung (1) biomassa tiap tutupan lahan pada tahun yang berbeda (2) penurunan biomassa tiap tahun (3) perbedaan penurunan biomassa (A1 – A2 dan B – A2). Perbedaan penurunan biomassa hutan alam produksi lestari dan hutan alam produksi tidak lestari merupakan simpanan biomassa kegiatan perlindungan hutan. c. Simpanan biomassa pada kegiatan penanaman diperoleh dari perhitungan

beda biomassa penanaman A2-1 dan A2-B. Perhitungan biomassa pada kegiatan penanaman menggunakan pendekatan rata-rata biomassa dari hasil pengukuran di lapangan.

3.3.2.2. Perhitungan simpanan karbon dan karbondioksida

Estimasi jumlah C tersimpan pda kegiatan produksi, perlindungan hutan dan penanaman dapat dihitung dengan mengalikan total berat massanya dengan konsentrasi C (Brown 1997).

(47)

3.3.3. Perhitungan Nilai Ekonomi Karbon

Biaya yang harus ditanggung untuk mengikuti REDD+ adalah biaya oportunitas dan biaya transaksi. Tahapan perhitungan nilai ekonomi karbon yang dilakukan sebagai berikut:

3.3.3.1. Perhitungan Keuntungan Pengelolaan Hutan

Keuntungan yang diperoleh pengelola hutan alam produksi A1, A2 dan B merupakan selisih antara pendapatan dan biaya pengelolaan hutan. Secara matematis perhitungan yang dilakukan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari hutan A1, A2

3.3.3.2. Biaya Oportunitas dan Biaya Transaksi dalam Perdagangan Karbon Skema REDD+

dan B sebagai berikut:

Biaya yang dikorbankan untuk mengikuti REDD+ terdiri atas biaya oportunitas dan biaya transaksi. Biaya oportunitas dihitung berdasarkan kehilangan kesempatan memperoleh keuntungan karena melakukan pengelolaan hutan lestari.

Biaya Oportunitas = Keuntungan A2

Pendekatan yang digunakan untuk perhitungan besarnya biaya transaksi adalah berdasarkan besarnya transaksi CO

– Keuntungan A1 atau B

2 yang dilakukan yaitu $0,03 dan

$1,23 serta rata-ratanya sebesar $ 0,63 per ton CO2

Total Biaya REDD+ = Biaya oportunitas + Biaya transaksi

(Antinori dan Sathaye 2007). Total biaya mengikuti REDD+ adalah penjumlahan dari biaya oportunitas dan biaya transaksi.

3.3.3.3. Manfaat finansial pengelolaan hutan alam produksi lestari dari REDD+

Manfaat finansial mengikuti REDD+ diperoleh dengan membandingkan total biaya dalam mekanisme REDD+ dengan kompensasi harga CO2. Dalam

penelitian ini, pendekatan harga karbon berdasarkan harga hipotetik menurut Pirard (2005) yaitu US$ 6, US$ 9 dan US$ 12/tCO2. Kemungkinan hasil yang

diperoleh:

(48)

Biaya total ≥ harga karbon maka manfaat finansial dari skema REDD+ belum dapat diperoleh pengelola hutan alam produksi lestari.

3.3.4. Perhitungan harga kayu bersertifikat dan kompensasi harga karbon

Jika biaya yang dikorbankan untuk mengikuti REDD+ lebih besar atau sama dengan harga karbon berarti hutan alam produksi lestari belum memperoleh tambahan insentif dari skema REDD+. Berdasarkan hal tersebut, strategi yang dapat dilakukan agar pengelola hutan lestari dapat memperoleh tambahan insentif antara lain (1) meningkatkan harga jual kayu bersertifikat (2) meningkatkan standar harga CO2. Penentuan harga yang layak untuk kayu

(49)

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. IUPHHK A

4.1.1. Letak dan Luas IUPHHK A

IUPHHK A berada di Kalimantan dan mulai melakukan kegiatan pemanfaatan hutan sejak tahun 1974. Semula luas wilayah hanya 170.000 ha dan meningkat menjadi 265.205 ha setelah diselesaikan seluruh tata batas luarnya tahun 1994 (Surat Ditjen Intag Nomor 064/A/VII-3/1994 tanggal 22 Januari 1994). Tahun 2004 luas areal kerja IUPHHK A disesuaikan kembali karena adanya konversi areal untuk keperluan perkebunan kelapa sawit dan HTI. IUPHHK A memperoleh ijin perpanjangan IUPHHK definitif berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan (No. 266/Menhut-II/2004 tanggal 21 Juli 2004) dan areal kerja ditetapkan menjadi 216.580 ha.

IUPHHK A berusaha memantapkan status kawasan hutannya dengan menyelesaikan seluruh tata batas luarnya tahun 1994. Mulai tahun 2005, IUPHHK A menerapkan sistem silvikultur intensif (SILIN) sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK.77/VI-BPHH/2005 tentang Penunjukkan Pemegang IUPHHK pada Hutan Alam Sebagai Model Sistem Silvikultur TPTI-Intensif (TPTII).

4.1.2. Tanah dan Geologi

Berdasarkan Peta Tanah skala 1 : 250.000 (PPPG, 1986) jenis tanah yang dijumpai di lokasi penelitian berdasarkan klasifikasi USDA termasuk dalam jenis tanah Dystropepts (Inceptisol; setara kambisol oksik), tropudults (ultisol; setara podsolik kromik), tropaquepts (Inceptisol; setara kambisol distrik) dan tropohemist (histosol; setara organosol). Jenis tanah yang mendominasi areal kerja IUPHHK A adalah jenis tanah podsolik. Bahan geologi pada areal IUPHHK A terdiri atas terobosan batuan andesit, batuan terobosan komplek granit mandahan dan formasi kuayan (sebagian besar areal didominasi oleh batuan terobosan komplek granit mandahan).

Tabel 10 Jenis-jenis tanah IUPHHK A

Jenis tanah Luas Areal

ha %

Dystropepts 132.114 61,01

Tropudults 84.446 38,99

Jumlah 216.580 100,00

(50)

4.1.3. Topografi

Topografi daerah penelitian bervariasi dari datar sampai berbukit dan hanya sebagian kecil tanah rawa di sepanjang sungai. Bentuk bentang alam yang bervariasi pada areal IUPHHK A akibat pengaruh faktor struktur dan resistensi batuan yang berperan aktif dalam proses pembentukan bentang alamnya. Rincian sebaran kelerengan lahan areal IUPHHK A disajikan pada Tabel 10.

Tabel 11 Distribusi kelas lereng areal IUPHHK A

Topografi Kelas lereng (%) Luas areal

ha %

Datar 0 – 8 109.728 50,7

Landai 8 - 15 37.304 17,2

Agak curam 15 - 25 31.747 14,7

Curam 25 - 40 33.231 15,3

Sangat curam > 40 4.570 2,1

Jumlah 216.580 100

Sumber : Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP)

Ketinggian tempat bervariasi dari 18 – 944 meter dari permukaan laut. Areal yang relatif datar berada di bagian Utara dan Selatan. Areal dengan kemiringan lapangan sangat curam (kemiringan > 40%) ditetapkan sebagai kawasan lindung.

4.1.4. Iklim dan Curah Hujan

Berdasarkan data curah hujan tahun 2001 s/d 2008, tipe iklim areal kerja IUPHHK A termasuk tipe iklim A (schmidt & Ferguson). Curah hujan rata-rata 3.804 mm/tahun dan hari hujan rata-rata 182 hari/tahun.

4.1.5. Keadaan Hutan

Gambar

Gambar 1 Emisi karbon tanpa REDD, dengan REDD dan dengan REDD+
Tabel 2 Berbagai elemen pada pendekatan bertahap menuju REDD+
Gambar 2 Diagram alir kerangka pikir penelitian
Tabel 6 Rancangan penelitian kegiatan perlindungan hutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kuartal II / Second Quarter Period of financial statements submissions Tanggal awal periode berjalan January 01, 2017 Current period start date Tanggal akhir periode berjalan June

koefisien toleransi yang dihitung dari mulai sarana dihidupkan pada depo awal sampai stasiun awal keberangkatan, ditambah dengan waktu tempuh dari stasiun tujuan/ akhir sampai ke

kembali seluruh Dokumen Pengampunan Pajak ke dalam amplop bersegel yang sudah diberikan barcode. 3) Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu menyimpan Dokumen

Berdasarkan hasil evaluasi berkas penawaran yang dilakukan oleh POKJA ULP PK III-Lingkup Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum Kota Pangkalpinang Tahun Anggaran 2012 dengan

[r]

Proses Menghilangkan Bau Busuk Limbah Pengolahan Ikan dan Pembuatan Pupuk dari Limbah Ikan yang telah dihilangkan Bau Busuk dan peningkatan Kandungan Haranya. Iswandi Anas

Lestari Cipta Anugerah MS Rp.22.331.141.476,- MS MS MS Lulus Keterangan: MS= Memenuhi Syarat; TMS= Tidak Memenuhi Syarat. Demikian pengumuman ini, atas perhatiannya

Dijumpai kelompokan seperti granuloma kohesif dari sel-sel epiteloid di dalam nekrosis dan pewarnaan dengan AFB perlu dilakukan pada semua kasus limfadenitis granulomatosa.. AFB