PILIHAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN GAMBUT TROPIKA
DALAM KERANGKA SKEMA PERDAGANGAN KARBON
UJANG SUWARNA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “PILIHAN
STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN GAMBUT TROPIKA DALAM
KERANGKA SKEMA PERDAGANGAN KARBON” adalah karya saya
dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai
karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 12 Januari 2013
UJANG SUWARNA. Strategic Options of Tropical Peat Forest Management to
Anticipate Carbon Trading. Under supervision of ELIAS, DUDUNG
DARUSMAN and ISTOMO.
Tropical natural forest was important agent in global climate change mitigation through absorption and storage of carbon in form of biomass. One of forest ecosystem type that has potential to absorb and store carbon was tropical peat forest. Measurement and calculation total carbon stocks in soil and vegetation of tropical peat forest must be done accurately to anticipate carbon trading. The objective of the study was to estimate total carbon stocks in soil and vegetation, to identify forest carbon stock changes, to analyse carbon economic value, and to describe strategic options of peat forest management. The study found that biomass and carbon stocks in the soil was 8 times higher than in the vegetation in primary forest condition, and 10 times in logged over forest and secondary forest condition. Carbon stocks in vegetation and soil were 189.45 ton C/ha and 1537.37 ton C/ha in primary forest, 161.76 ton C/ha, and 1713.77 ton C/ha in logged over area, 139.05 ton C/ha and 1486.39 ton C/ha in secondary forest, and 43.09 ton C/ha and 1205.59 ton C/ha in degraded forest. Option of degraded forest conversion to plantation forest can improve above carbon stock, provide profitability from both timber sale and carbon trade, give forward and backward linkages, and increase national and regional economic growth. Option of no conversion but conserve the natural forest can maintain forest carbon stock and provide profitability from carbon trade. This option potencially might decrease forward and backward linkages and regional economic growth. Option of no conversion but manage the natural forest for timber and carbon with sustainable forest management (SFM) by applying RIL techniques and reducing felling intencity can progressively increase forest carbon stock, provide profitability from both timber sale and carbon trade, give forward and backward linkages, and increase regional economic growth.
UJANG SUWARNA. E161080011. Pilihan Strategy Pengelolaan Hutan Gambut Tropika Dalam Kerangka Skema Perdagangan Karbon. Dibimbing oleh ELIAS,
DUDUNG DARUSMAN dan ISTOMO.
Dalam konteks perdagangan karbon dengan skema REDD (Reducing
Emission from Deforestation and Degradation of Forest), hutan alam gambut tropika Indonesia memiliki peranan penting sebagai penyimpan karbon baik dalam tanah maupun vegetasi hutan. Apabila simpanan karbon tersebut dikelola secara benar dengan prinsip pengelolaan hutan lestari (PHL) maka Indonesia mampu meningkatkan simpanan karbon hutan alam gambut tropika. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan menghitung potensi simpanan karbon total pada tanah dan vegetasi hutan gambut tropika, mengetahui perubahan dan perkembangan simpanan karbon pada vegetasi hutan gambut tropika pada berbagai strategi pengelolaan hutan, mengetahui nilai manfaat ekonomi karbon hutan gambut tropika pada berbagai pilihan strategi pengelolaan hutan gambut.
Penelitian lapangan dilaksanakan pada bulan JuniAgustus tahun 2011 di areal konsesi atau izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam produksi (IUPHHK-HA) PT. Diamond Raya Timber, Dumai, Provinsi Riau pada empat kondisi hutan gambut alam tropika, yaitu hutan alam primer, hutan alam bekas tebangan (setelah satu tahun ditebang), hutan alam sekunder (setelah 30 tahun ditebang), dan hutan alam terdegradasi (lahan hutan yang tidak bervegetasi pohon). Analisis karbon dilakukan di laboratorium Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Analisis perubahan dan perkembangan simpanan karbon pohon di atas permukaan tanah pada skala unit pengelolaan hutan (forest management unit_FMU) menggunakan metode bertambah-berkurang (gain-loss method). Dalam penelitian ini, penambahan (gain) simpanan karbon tegakan hutan berasal dari pertumbuhan kembali (regrowth) tegakan hutan setelah penebangan pohon berupa riap volume tegakan hutan (m3/ha/tahun), sedangkan pengurangan (loss) simpanan karbon tegakan hutan berasal dari intensitas penebangan pohon (m3/ha) dan kerusakan berat tegakan tinggal akibat penebangan pohon. Analisis nilai manfaat proyek karbon di hutan produksi dilakukan dengan perhitungan biaya dan manfaat pada setiap strategi pengelolaan hutan. Suatu proyek dinilai layak secara finansial apabila nilai NPV (Net Present Value) > 0 dan nilai BCR (Benefit Cost Ratio) > 1.
Potensi simpanan karbon atas permukaan tanah belum mampu mencapai kondisi awal sebelum penebangan pohon pada siklus tebang berikunya, bila menerapkan teknik pemanenan hutan yang konvensional. Penerapan teknik pemanenan hutan yang ramah lingkungan disertai dengan penurunan intensitas penebangan pohon per ha mampu mempercepat proses perkembangan simpanan karbon atas permukaan tanah mencapai kondisi awal sebelum penebangan pohon sebelum siklus tebang berikutnya.
Usaha pemanfaatan kayu dengan mengikuti proyek karbon memberikan keuntungan lebih besar daripada tidak mengikuti proyek karbon apabila nilai kompensasi karbon lebih besar daripada biaya proyek karbon. Biaya proyek karbon akan semakin kecil dengan semakin besar simpanan karbon yang mampu dipertahankan. Nilai kompensasi karbon yang dibutuhkan akan semakin besar dengan semakin rendah simpanan karbon yang mampu dipertahankan.
Pilihan mengkonversi hutan gambut terdegradasi menjadi HTI pulp mampu meningkatkan potensi tegakan hutan dan serapan karbon atas permukaan, memberikan keuntungan usaha kayu HTI pulp dan usaha jasa karbon, memberikan efek pengganda ke belakang dan ke depan, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Namun demikian, pilihan ini berpotensi menyebabkan terjadinya penurunan simpanan karbon akibat subsidensi tanah gambut, sehingga diperlukan perbaikan teknologi untuk mencegah subsidensi tanah gambut.
Pilihan tidak mengkonversi hutan primer, bekas tebangan dan sekunder menjadi HTI pulp, tapi mempertahankannya sebagai hutan alam, mampu mencegah terjadinya penurunan simpanan karbon akibat subsidensi tanah gambut dan konversi hutan, mempertahankan fungsi tata air atau hidrologis, fungsi biodiversitas, fungsi kelestarian hutan dan fungsi simpanan/serapan karbon atas dan bawah permukaan, serta memberikan keuntungan usaha jasa karbon. Pilihan ini berimplikasi negatif, yaitu tidak mendapatkan keuntungan dari usaha kayu hutan alam, serta cenderung berkurangnya efek pengganda dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Pilihan ini perlu mendapat kompensasi penuh untuk menutupi implikasi negatif tersebut.
Pilihan strategi pengelolaan hutan gambut tropika yang lain adalah tidak mengkonversi hutan primer, bekas tebangan dan sekunder menjadi HTI pulp, tapi memanfaatkannya untuk usaha karbon dan kayu bulat hutan alam melalui penerapan teknik RIL dan pengurangan intensitas penebangan. Pilihan ini mampu mencegah dan mereduksi terjadinya kehilangan simpanan karbon akibat subsidensi tanah gambut dan konversi hutan, mempertahankan fungsi tata air atau hidrologis, fungsi biodiversitas, fungsi kelestarian hutan dan fungsi simpanan/serapan karbon atas dan bawah permukaan, memberikan keuntungan usaha jasa karbon dan kayu hutan alam, memberikan efek pengganda ke belakang dan ke depan, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah.
Hak Cipta milik IPB tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
DALAM KERANGKA SKEMA PERDAGANGAN KARBON
UJANG SUWARNA
E 161080011
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup (Rabu, 31 Oktober 2012):
1. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
(Guru Besar bidang Ekologi Hutan di Fakultas Kehutanan IPB)
2. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, MSc
(Staf Pengajar bidang Kebijakan Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB)
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka (Rabu, 12 Desember 2012):
1. Dr. Ir. Iman Santoso, MSc
(Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kemenhut RI)
2. Dr. Ir. Bintang CH. Simangunsong, MS
Nama : Ujang Suwarna
NIM : E 161080011
Program Studi : Ilmu Pengelolaan Hutan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Elias
Ketua
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. Dr. Ir. Istomo, MS.
Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Pengelolaan Hutan
Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Puji syukur penulis persembahkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan karunia-Nya yang masih diberikan kesempatan dan kesehatan kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini yang berjudul “PILIHAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN GAMBUT TROPIKA DALAM
KERANGKA SKEMA PERDAGANGAN KARBON”.
Pada kesempatan ini Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Elias selaku Ketua Komisi Pembimbing, serta Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA dan Dr. Ir. Istomo, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama penelitian dan dalam penyempurnaan tulisan ini. Ucapan terima kasih juga Penulis haturkan kepada Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS dan Dr. Ir. Dodik Rodho Nurrochmat, MSc.F.Trop. yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup tanggal 31 Oktober 2012. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada Dr. Ir. Iman Santoso, MSc dan Dr. Ir. Bintang CH Simangunsong, MS yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka tanggal 12 Desember 2012.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dekan Fakultas Kehutanan IPB dan Rektor IPB yang telah mengijinkan penulis melanjutkan studi doktor di IPB, serta kepada Dirjen DIKTI Kemendiknas yang telah memberikan bantuan beasiswa BPPS. Terima kasih dan penghargaan juga tidak lupa Penulis sampaikan kepada jajaran Direksi PT. Diamond Raya Timber beserta stafnya atas segala bantuan dan dukungannya selama penelitian di lapangan. Atas kerjasamanya, Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada mahasiswa bimbingan: Puti Fitria, Yanti Febrina, Prasetya, Rissa, Ifani, Febriangga dan Morizon. Ucapan terima kasih tak terhingga Penulis haturkan setulusnya kepada ibu kandung, ibu mertua, istri, anak-anak dan seluruh keluarga besar, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis berharap semoga hasil karya penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan penelitian dan dapat menambah wawasan bagi yang membacanya.
Ujang Suwarna dilahirkan di Palembang pada tanggal 12 Mei 1972
merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Makbul (alm.)
dan Ibu Rastuti. Penulis menyelesaikan pendidikan program Sarjana S1 di Jurusan
Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 1996. Pada tahun
1999-2001 penulis melanjutkan pendidikan program Master S2 di Gottingen
University, Jerman. Penulis melanjutkan pendidikan program Doktor S3 di IPB
pada program studi/mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana IPB
mulai tahun 2008 hingga saat ini.
Sejak tahun 1997 hingga saat ini Penulis menjadi staf pengajar di Bagian
Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Departemen Manajemen Hutan Fakultas
Kehutanan IPB. Mata kuliah yang diajarkan oleh Penulis adalah Pemanenan
Hutan, Pembukaan Wilayah Hutan, dan Operasi Pemanenan Hutan.
Karya ilmiah yang berjudul “Estimasi Simpanan Karbon Total dalam
Tanah dan Vegetasi Hutan Gambut Tropika di Indonesia” merupakan bagian dari
disertasi ini dan telah diterbitkan pada jurnal terakreditasi nasional yaitu Jurnal
Manajemen Hutan Tropika (JMHT) volume XVIII nomor 2 edisi Agustus 2012.
Pada tahun 2002 Penulis menikah dengan Andi Murniati, S.Pd. dan telah
dikaruniai 2 orang anak (perempuan 8 tahun dan laki-laki 5 tahun), yaitu Inas
Balqis Alfiyah Suwarna dan Muhammad Anas Asmarandana Suwarna.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ………. i
DAFTAR TABEL ………. iii
DAFTAR GAMBAR ……….………… v
I. PENDAHULUAN ………..……… 1
1. Latar Belakang ……… 1
2. Perumusan Masalah Penelitian ………..……..… 2
3. Kerangka Pendekatan Penyelesaian Masalah Penelitian …….…… 4
4. Tujuan Penelitian ………...…..……… 7
5. Manfaat Penelitian ………..………. 7
6. Hipotesis Penelitian ……….……… 7
7. Ruang Lingkup Penelitian ……….………….. 8
II. TINJAUAN PUSTAKA …....………..………... 9
1. Potensi Hutan Gambut Tropika Indonesia …..……….……. 9
2. Pengelolaan Hutan Gambut Tropika Indonesia ……… 10
3. Biomassa dan Karbon di Tanah dan Tumbuhan Hutan Gambut Tropika ………... 11
4. Pendugaan Biomassa dan Karbon di Tanah dan Tumbuhan Hutan Gambut Tropika ……….……... 14
5. Pendekatan Finansial Perhitungan Biaya dan Manfaat Ekonomi Karbon ... 16
III.KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 20
IV.METODE PENELITIAN ……….…………. 24
1. Pengukuran dan Penghitungan Biomassa dan Karbon di Tanah dan Tumbuhan Hutan Gambut Tropika ………...…... 24
2. Pengukuran Dampak Pemanenan Kayu di Hutan Gambut ... 41
3. Penghitungan Nilai Manfaat Ekonomi Karbon .………...……… 43
ii
Hutan Gambut Tropika …………...………... 50
2. Dampak Pemanenan Kayu di Hutan Gambut Alam Tropika ... 79
3. Perkembangan Simpanan Karbon Vegetasi Hutan Gambut Tropika 86
4. Nilai Manfaat Ekonomi Karbon Hutan Gambut Tropika ...…… 95
5. Kontribusi Pengelolaan Hutan Gambut Tropika Terhadap
Peningkatan Pendapatan dan Lapangan Pekerjaan ………. 103
6. Pilihan Strategi Pengelolaan Hutan Gambut Tropika ... 106
VI.SIMPULAN DAN SARAN ... 116
DAFTAR PUSTAKA
iii
DAFTAR TABEL
Hal.
Tabel 1 Peruntukan areal di kawasan IUPHHK-HA PT. Diamond Raya
Timber 20
Tabel 2 Komposisi jenis untuk setiap tingkat pertumbuhan pohon pada
setiap kondisi tutupan hutan gambut 50
Tabel 3 Jenis dominan urutan INP (indeks nilai penting) ketiga terbesar untuk setiap tingkat pertumbuhan pohon pada setiap
kondisi tutupan hutan gambut 51
Tabel 4 Rata-rata kadar karbon setiap bagian pohon contoh
berdasarkan kelas diameter 52
Tabel 5 Komposisi pohon contoh, pohon model dan pohon validasi
berdasarkan kelas diameter 53
Tabel 6 Model pendugaan biomasa pohon berdiameter ≥ 5 cm untuk hutan gambut tropika di lokasi penelitian (jumlah pohon
model adalah 52 pohon) 54
Tabel 7 Model pendugaan massa karbon pohon berdiameter ≥ 5 cm untuk hutan gambut tropika di lokasi penelitian (jumlah pohon
model adalah 52 pohon) 54
Tabel 8 Rata-rata penyebaran biomasa pada empat kondisi hutan
gambut tropika (hutan primer_HP seluas 2 ha, hutan bekas tebangan_HBT seluas 2 ha, hutan sekunder_HS seluas 2 ha,
dan hutan terdegradasi_HT seluas 2 ha) 55
Tabel 9 Rata-rata penyebaran biomassa (ton/ha) pada berbagai kondisi
hutan tropika 57
Tabel 10 Rata-rata penyebaran massa karbon pada empat kondisi hutan
gambut tropika (hutan primer_HP seluas 2 ha, hutan bekas tebangan_HBT seluas 2 ha, hutan sekunder_HS seluas 2 ha,
dan hutan terdegradasi_HT seluas 2 ha) 58
Tabel 11 Rata-rata penyebaran massa karbon (tonC/ha) pada berbagai
kondisi hutan tropika 59
Tabel 12 Rata-rata kadar karbon sampel semai, tumbuhan bawah,
semak dan herba pada empat kondisi hutan gambut 60
Tabel 13 Biomassa tumbuhan non pohon (ton/ha) pada empat kondisi
hutan gambut 61
Tabel 14 Massa karbon tumbuhan non pohon (ton C/ha) pada empat
kondisi hutan gambut 61
Tabel 15 Kerapatan nekromassa (batang/ha) pada empat kondisi hutan
gambut 62
Tabel 16 Volume nekromassa (m3/ha) pada empat kondisi hutan gambut 62
Tabel 17 Rata-rata berat jenis kayu nekromassa dominan hutan gambut
berdasarkan tingkat dekomposisi 63
Tabel 18 Rata-rata kadar karbon nekromasa berdasarkan tingkat
dekomposisi 64
Tabel 19 Total biomassa nekromasa dari setiap kondisi hutan gambut 65
iv
Tabel 23 Hasil potensi karbon serasah berdasarkan tingkat dekomposisi 67
Tabel 24 Rata-rata biomassa bahan organik mati dari setiap kondisi
hutan gambut 68
Tabel 25 Potensi karbon bahan organik mati di setiap kondisi hutan
gambut 69
Tabel 26 Kadar karbon akar pohon berdasarkan kelas diameter akar dan
kelas diameter pohon 70
Tabel 27 Biomassa dan massa karbon akar pada empat kondisi hutan
gambut 71
Tabel 28 Sifat fisik dan kimia tanah gambut fibrik pada berbagai
kondisi hutan gambut 71
Tabel 29 Sifat fisik dan kimia tanah gambut hemik pada berbagai
kondisi hutan gambut 72
Tabel 30 Biomassa tanah gambut pada berbagai ketebalan gambut dan
pada berbagai kondisi hutan 74
Tabel 31 Simpanan karbon tanah gambut pada berbagai ketebalan
gambut dan pada berbagai kondisi hutan 75
Tabel 32 Kerapatan pohon dan potensi tegakan sebelum kegiatan
penebangan 81
Tabel 33 Bentuk kerusakan pohon berdiameter > 10 cm akibat
penebangan pohon dan penyaradan kayu 81
Tabel 34 Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu 82
Tabel 35 Volume limbah rata-rata pada tiap petak contoh di petak RIL 83
Tabel 36 Volume limbah rata-rata pada tiap petak contoh di petak CL 83
Tabel 37 Nilai faktor eksploitasi pada petak RIL 84
Tabel 38 Nilai faktor eksploitasi pada petak CL 84
Tabel 39 Produktivitas kerja kegiatan pemanenan kayu 85
Tabel 40 Biaya usaha kegiatan pemanenan kayu 85
Tabel 41 Pilihan-pilihan strategi pengelolaan hutan gambut tropika di Indonesia beserta implikasi positif (+) dan negatif (-) terhadap
v
DAFTAR GAMBAR
Hal.
Gambar 1 Kerangka pendekatan penyelesaian masalah penelitian 6
Gambar 2 Bagan alir pengumpulan data di lapangan dan di
laboratorium
28
Gambar 3 Bentuk petak contoh penelitian (PCP) berukuran 100m x 100m (1 ha) yang terdiri dari 25 sub PCP berukuran 20m x 20m (400 m2)
30
Gambar 4 Bentuk sub petak contoh penelitian (Sub PCP) berukuran 1 m x 1 m,
2 m x 2 m, 5 m x 5 m dan 20 m x 20 m
31
Gambar 5 Bagan alir kerangka analisis ekonomi karbon hutan gambut 48
Gambar 6 Struktur tegakan pohon dan permudaan per kelas diameter
pada empat kondisi hutan gambut tropika 50
Gambar 7 Perkembangan simpanan karbon vegetasi hutan pada
konversi hutan alam gambut tropika menjadi HTI pulp 89
Gambar 8 Perkembangan simpanan karbon vegetasi hutan pada
pengelolaan hutan alam gambut tropika bekas tebangan 93
Gambar 9 Manfaat proyek karbon pada pola pengelolaan HTI pulp
dengan dan tanpa proyek karbon, serta pola pengelolaan
hutan alam yang tidak dipanen tapi dijual karbonnya saja 99
Gambar 10 Manfaat proyek karbon pada pola pengelolaan HTI pulp dengan dan tanpa proyek karbon, serta pola pengelolaan
hutan alam yang tidak dipanen tapi dijual karbonnya saja 101
Gambar 11 Manfaat proyek karbon pada pola pengelolaan IUPHHK-HA dengan dan tanpa proyek karbon, serta pola pengelolaan
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi gambut terbesar
keempat di dunia dan memiliki potensi gambut tropika terbesar pertama di dunia.
Saat ini diperkirakan bahwa Indonesia memiliki lahan gambut total seluas 21 juta
ha dan lahan gambut bervegetasi hutan seluas 12 juta ha (BAPPENAS 2009). Hal
ini menunjukkan bahwa hutan gambut tropika di Indonesia telah mengalami
deforestasi (penyusutan luas hutan gambut) dan degradasi (penyusutan
produktivitas hutan gambut). Penyusutan luas hutan gambut salah satunya
disebabkan oleh kegiatan konversi hutan gambut menjadi berbagai penggunaan
lain, sedangkan penyusutan produktivitas hutan gambut salah satunya disebabkan
oleh kegiatan pemanenan hutan yang kurang menerapkan prinsip kelestarian
ekosistem hutan gambut.
Pembukaan vegetasi penutup lahan gambut baik akibat kegiatan
pemanenan hutan maupun akibat kegiatan konversi hutan gambut menjadi
penggunaan lain, dapat menyebabkan dipercepatnya proses dekomposisi bahan
organik dan terjadinya subsidensi (amblesan) sehingga akan mengubah
karakteristik dari ekosistem hutan gambut. Kerusakan vegetasi hutan gambut dan
sudsidensi tanah gambut akibat kegiatan pemanenan hutan dan konversi hutan
berpotensi mengancam kelestarian hutan gambut tropika. Untuk menjaga
kelestarian hutan gambut tropika di Indonesia diperlukan pilihan-pilhan strategi
pengelolaan hutan gambut yang mungkin diterapkan dan yang sesuai dengan
karakteristik spesifik ekosistem hutan gambut.
Dalam konteks perdagangan karbon dengan skema REDD+ (reducing
emission from deforestation and degradation of forest), hutan gambut tropika Indonesia memiliki peranan penting yaitu meningkatkan kapasitas penyerapan dan
penyimpanan karbon dalam vegetasi dan tanah dari hutan gambut tropika. Namun
demikian, kekhawatiran yang muncul adalah apakah skema REDD+ itu membawa
perbaikan bagi masa depan ekonomi kehutanan di Indonesia atau sebaliknya?
pengelolaan sumberdaya hutan yang memperhatikan faktor perubahan iklim dan
dampak pemanasan global?
Indonesia perlu mempersiapkan segala sesuatunya terhadap kemungkinan
terburuk dari skema perdagangan karbon, agar ekonomi kehutanan Indonesia
tidak terperangkap dan tidak menjadi korban. Masyarakat Indonesia perlu
memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai agar tidak terjebak ke dalam
perangkap bisnis yang mengatasnamakan skema REDD+. Skema REDD+ perlu
diselaraskan dengan tujuan strategis kebijakan kehutanan di Indonesia untuk
menanggulangi krisis bahan baku kayu bulat, penataan kelembagaan pengelolaan
kehutanan, serta peningkatan partisipasi masyarakat di sekitar hutan dalam
pengelolaan hutan. Skema REDD+ juga perlu secara terintegrasi mampu
memecahkan persoalan pengentasan kemiskinan bagi masyarakat di sektiar hutan
dengan cara meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja serta menggerakkan
lapangan usaha sektor lainnya.
Dalam kerangka mewujudkan pengelolaan hutan gambut tropika secara
lestari di Indonesia, terkait dengan penurunan simpanan karbon dari hutan gambut
dalam konteks perdagangan karbon skema REDD+, diperlukan beberapa kajian
ilmiah yang diharapkan mampu memberikan paket informasi antara lain: (1)
kajian tingkat efektivitas pemanenan hutan ditinjau dari aspek dampak pemanenan
hutan yaitu kerusakan tegakan hutan dan potensi limbah; (2) kajian perkembangan
dan perubahan (penambahan/pengurangan) simpanan (stock) karbon di tanah dan vegetasi hutan gambut akibat pemanenan hutan gambut dan konversi hutan
gambut; (3) kajian nilai manfaat ekonomi karbon dalam konteks perdagangan
karbon skema REDD+; serta (4) kajian kemungkinan pilihan-pilihan strategi
pengelolaan hutan gambut tropika di Indonesia terkait skema perdagangan karbon.
2. Perumusan Masalah Penelitian
Deforestasi dan degradasi hutan gambut di Indonesia berpotensi
menyebabkan penurunan salah satu fungsi hutan gambut sebagai penyerap dan
penyimpan karbon hutan. Selain kebakaran hutan dan lahan gambut, penyebab
terjadinya deforestasi dan degradasi hutan gambut tropika di Indonesia adalah
ekosistem hutan gambut atau praktek pemanenan hutan tidak ramah lingkungan,
serta akibat praktek konversi hutan alam menjadi hutan tanaman dan penggunaan
lainnya. Di sisi yang lain, praktek pengelolaan hutan gambut yang berkelanjutan
(Sustainable Forest Management_SFM), khususnya praktek pemanfaatan hutan yang efektif dan efisien serta menerapkan teknik ramah lingkungan, berpotensi
meningkatkan penyerapan CO2 dari atmosfer dan mempertahankan potensi
tegakan dan keanekaragaman hayati hutan gambut tropika.
Beragam praktek pengelolaan hutan gambut tropika di Indonesia
memunculkan terjadinya perubahan (penambahan/penurunan) simpanan (stock) biomassa dan massa karbon pada tanah dan vegetasi hutan gambut. Hal tersebut
terkait dengan adanya kegiatan pemanenan kayu di hutan alam gambut produksi
(HA) dan hutan tanaman industri (HTI) serta adanya kegiatan konversi HA
menjadi HTI. Untuk itu, maka diperlukan informasi mengenai tingkat efektivitas
pemanenan hutan ditinjau dari aspek dampak pemanenan hutan yaitu kerusakan
tegakan hutan dan potensi limbah.
Saat ini, peran jasa lingkungan hutan gambut tropika dalam penyerapan
dan penyimpanan karbon dihargai sebagai komoditi yang dapat diperdagangkan.
Skema perdagangan karbon tersebut berimplikasi terhadap opsi strategi
pengelolaan hutan gambut tropika dalam rangka memperoleh manfaat ekonomi
langsung dan menjaga kelestarian hutan gambut tropika. Oleh karena itu, perlu
diketahui lebih jauh mengenai implikasi perdagangan karbon terhadap
pengelolaan hutan gambut tropika yang diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam kerangka merumuskan kemungkinan pilihan-pilhan
strategi pengelolaan hutan gambut tropika guna mencapai kelestarian hutan
gambut tropika di Indonesia.
Dalam kerangka mewujudkan kelestarian hutan gambut tropika di
Indonesia diperlukan pilihan-pilihan strategi pengelolaan hutan gambut yang
mungkin diterapkan dan yang sesuai dengan karakteristik spesifik ekosistem
hutan gambut, misalnya dengan mengkonservasi hutan alam gambut, mengelola
hutan alam gambut produksi dan mengelola hutan tanaman gambut berdasarkan
pertimbangan ekologi, sosial dan ekonomi terkait perdagangan karbon skema
(basic information) terkait: (1) penyebaran dan simpanan biomassa dan massa karbon pada tanah dan vegetasi hutan gambut; (2) kerusakan vegetasi hutan
gambut akibat pemanenan kayu serta dampaknya terhadap perubahan
(penambahan/penurunan) simpanan (stock) biomassa dan massa karbon hutan gambut tropika; (3) nilai manfaat ekonomi karbon untuk mengetahui implikasinya
dalam kerangka perumusan kemungkinan pilihan-pilhan strategi pengelolaan
hutan gambut tropika di Indonesia terkait perdagangan karbon.
Berdasarkan situasi masalah tersebut muncul beberapa permasalahan yang
perlu dijawab dalam penelitian ini. Seberapa besar simpanan massa karbon di
tanah dan vegetasi hutan gambut pada berbagai kondisi tutupan vegetasi? Sejauh
mana kegiatan pemanenan kayu dan konversi hutan alam menjadi hutan tanaman
mempengaruhi perubahan simpanan massa karbon pada tanah dan vegetasi hutan
gambut? Seberapa besar nilai manfaat ekonomi karbon hutan gambut bagi
pengelolaan hutan gambut? Kemungkinan opsi-opsi strategi yang bagaimanakah
yang diperlukan dalam pengelolaan hutan gambut tropika Indonesia terkait skema
perdagangan karbon?
3. Kerangka Pendekatan Penyelesaian Masalah Penelitian
Penyelesaian masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan kerangka
pendekatan sebagai berikut: (1) kajian pendugaan simpanan massa karbon di
tanah dan vegetasi hutan gambut pada berbagai kondisi hutan gambut; (2) kajian
efisiensi pemanenan kayu dan kerusakan vegetasi hutan gambut; (3) kajian
perkembangan dan perubahan (penambahan/pengurangan) simpanan massa
karbon akibat kegiatan pemanenan kayu dan konversi hutan gambut; (4) kajian
manfaat ekonomi karbon dalam pengelolaan hutan gambut tropika terkait
perdagangan karbon; serta (5) kajian perumusan kemungkinan pilihan-pilihan
strategi pengelolaan hutan gambut tropika dalam kerangka skema perdagangan
karbon berdasarkan pertimbangan kerusakan hutan gambut, perubahan simpanan
massa karbon akibat pemanenan dan konversi hutan, serta nilai manfaat ekonomi
karbon.
Kajian pendugaan simpanan massa karbon di tanah dan vegetasi hutan
pengukuran dan pengambilan sampel biomassa di lapangan dan pengukuran
sampel biomassa di laboratorium untuk mengetahui nilai kadar karbon terikat
pada seluruh bagian biomassa di tanah dan vegetasi hutan gambut. Nilai kadar
karbon yang diperoleh dari analisis laboratorium akan digunakan untuk menduga
simpanan massa karbon per hektar di tanah dan vegetasi hutan gambut.
Kajian dampak pemanenan kayu di hutan alam (HA) gambut dan hutan
tanaman industri (HTI) gambut dilakukan dengan pengukuran kerusakan vegetasi
hutan dan potensi limbah pemanenan kayu secara langsung di lapangan. Kajian
dampak konversi HA gambut menjadi HTI gambut dilakukan dengan
menggunakan data sekunder terkait tingkat subsidensi tanah gambut. Informasi
dan data yang diperlukan antara lain luas areal yang ditebang per tahun, jumlah
kayu yang dipanen/ha/tahun (intensitas penebangan), jumlah limbah/ha/tahun
berupa sisa pohon yang ditebang dan pohon lain (tegakan tinggal) yang rusak
berat atau mati akibat penebangan.
Kajian perubahan (penambahan/pengurangan) simpanan karbon di tanah
dan vegetasi hutan gambut akibat kegiatan pemanenan kayu dan konversi hutan
dilakukan dengan pendekatan perbandingan simpanan karbon di antara berbagai
kondisi tutupan vegetasi hutan gambut yaitu hutan alam gambut (HA gambut) dan
hutan gambut tanaman industri (HTI gambut). Hutan alam gambut
diklasifikasikan menjadi hutan primer, hutan bekas tebangan, hutan sekunder dan
hutan terdegradasi.
Informasi perubahan simpanan karbon akibat kegiatan pemanenan kayu
dan konversi hutan digunakan untuk perhitungan nilai manfaat ekonomi karbon
hutan gambut dan perumusan kemungkinan pilihan-pilihan strategi pengelolaan
hutan gambut. Kemungkinan pilihan-pilihan strategi pengelolaan hutan gambut
yang sementara dapat dirumuskan misalnya: (1) mengkonservasi hutan primer; (2)
mengelola hutan primer dan atau hutan bekas tebangan dan atau hutan sekunder
secara lestari; (3) merehabilitasi atau merestorasi hutan gambut terdegradasi; (4)
mengkonversi hutan gambut terdegradasi menjadi HTI gambut; (5) menghentikan
konversi hutan gambut alam menjadi HTI gambut; dan (6) mengelola HTI gambut
Kerangka analisis ekonomi terhadap kemungkinan pilihan-pilihan strategi
pengelolaan hutan gambut dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut: (1)
analisis kelayakan finansial kegiatan konservasi hutan alam, kegiatan pemanfaatan
hutan alam dan kegiatan pemanfaatan HTI pada lahan gambut; (2) analisis
keuntungan yang hilang karena lahan bervegetasi hutan dipertahankan sebagai
hutan untuk mempertahankan simpanan karbon atau lahan tidak bervegetasi hutan
dijadikan HTI untuk meningkatkan penyerapan dan penyimpanan karbon; dan (3)
analisis ekonomi wilayah untuk mengetahui kontribusi kegiatan pemanfaatan
hutan alam dan hutan tanaman terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan
pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu di suatu wilayah tertentu.
Perumusan kemungkinan pilihan-pilihan strategi pengelolaan hutan
gambut tropika dilakukan dengan pendekatan perbandingan yang
mempertimbangkan aspek perubahan simpanan karbon hutan, aspek ekologi
(kerusakan dan subsidensi), serta aspek manfaat ekonomi karbon. Kemungkinan
pilihan-pilihan strategi pengelolaan hutan gambut tropika dirumuskan dengan
memberikan implikasi dan konsekuensi, keuntungan dan kerugian, serta
faktor-faktor lain yang perlu diperhatikan dalam penerapannya. Secara ringkas, kerangka
pendekatan penyelesaian masalah penelitian disajikan dalam Gambar 1.
Mulai massa karbon pada vegetasi dan
tanah Analisis perubahan simpanan
biomassa dan massa karbon pada vegetasi dan tanah pengelolaan hutan gambut tropika terkait
skema perdagangan karbon
4. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk merumuskan kemungkinan
pilihan-pilihan strategi pengelolaan hutan gambut tropika di Indonesia dalam
rangka penurunan kerusakan hutan gambut (degradasi hutan), penurunan
penyusutan luas hutan gambut (deforestasi) serta peningkatan simpanan karbon di
hutan gambut.
Tujuan operasional penelitian ini adalah untuk menduga simpanan karbon
total di tanah dan vegetasi hutan gambut pada berbagai kondisi hutan gambut,
memperoleh tingkat kerusakan hutan akibat pemanenan kayu dan konversi hutan
gambut, menyediakan gambaran perubahan (penambahan/pengurangan) simpanan
karbon hutan akibat pemanenan kayu dan konversi hutan gambut, serta
menghitung nilai manfaat ekonomi karbon hutan gambut dan nilai manfaat
ekonomi wilayah.
5. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan paket informasi terkait
kemungkinan pilihan-pilihan strategi pengelolaan hutan gambut tropika di
Indonesia dalam rangka penurunan kerusakan hutan gambut (degradasi hutan),
penurunan penyusutan luas hutan gambut (deforestasi) dan peningkatan simpanan
karbon di hutan gambut tropika. Manfaat selanjutnya dari penelitian ini adalah
untuk memberikan sumbangan ilmu pengetahuan terkait simpanan dan perubahan
simpanan massa karbon hutan pada pengelolaan hutan gambut tropika di
Indonesia.
6. Hipotesis Penelitian
Apabila perubahan simpanan karbon di tanah dan vegetasi hutan gambut,
kerusakan hutan akibat pemanenan kayu dan konversi hutan gambut, serta nilai
manfaat ekonomi karbon hutan gambut diperhitungkan dalam pengelolaan hutan
gambut tropika, maka pilihan strategi mengkonservasi dan mengelola hutan alam
gambut (HA) secara lestari lebih menguntungkan daripada mengelola hutan
gambut tanaman industri (HTI) secara lestari ataupun mengkonversi hutan alam
7. Ruang Lingkup Penelitian
Telaah pustaka untuk memperoleh informasi perkembangan ilmu
pengetahuan terkait: (1) efisiensi pemanenan hutan gambut dan potensi
dampaknya yang meliputi tingkat kerusakan tegakan tinggal dan potensi limbah;
(2) simpanan karbon di tanah dan vegetasi hutan gambut serta perubahannya
akibat pemanenan kayu dan konversi hutan alam menjadi hutan tanaman; (3) nilai
manfaat ekonomi karbon; serta (4) pilihan strategi pengelolaan hutan gambut
tropika terkait skema perdagangan karbon.
Pengumpulan data di lapangan dan di laboratorium yang meliputi: (1)
Analisis vegetasi hutan gambut untuk mengetahui komposisi jenis dan struktur
tegakan hutan gambut pada berbagai kondisi hutan gambut; (2) Pengukuran
efisiensi pemanenan hutan gambut dan potensi dampaknya yang berupa kerusakan
tegakan tinggal dan potensi limbah; (3) Pengukuran total biomassa tumbuhan dan
tanah gambut; (4) Pengukuran pohon contoh untuk menyusun persamaan
alometrik pendugaan biomassa dan massa karbon pohon; (5) Pengambilan
sampel/contoh uji bagian-bagian tumbuhan dan tanah gambut di lokasi
pengelolaan hutan gambut; (6) Pengukuran kadar karbon dari contoh uji
bagian-bagian tumbuhan dan tanah gambut di laboratorium; (7) Pengukuran kadar karbon
dari contoh uji bagian-bagian pohon contoh untuk menyusun persamaan alometrik
pendugaan massa karbon; dan (8) Pendugaan simpanan biomassa dan massa
karbon pohon berdasarkan model persamaan alometrik yang telah dibuat.
Pengolahan dan analisis data penelitian yang meliputi: (1) Analisis
komposisi jenis dan struktur tegakan hutan gambut; (2) Analisis efisiensi dan
dampak pemanenan kayu di hutan gambut; (3) Analisis simpanan massa karbon di
tanah dan vegetasi hutan gambut; (4) Analisis perkembangan dan perubahan
simpanan massa karbon hutan gambut akibat kegiatan pemanenan kayu dan
konversi hutan gambut menjadi hutan tanaman gambut; (5) Analisis nilai manfaat
ekonomi pengelolaan hutan gambut tropika terkait skema perdagangan karbon;
dan (6) Analisis perumusan kemungkinan pilihan-pilihan strategi pengelolaan
hutan gambut terkait skema perdagangan karbon dengan mempertimbangkan
aspek manfaat ekonomi karbon hutan, aspek ekologi, aspek perubahan simpanan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Potensi Hutan Gambut Tropika Indonesia
Berdasarkan data satelit tahun 2006 dari Departemen Kehutanan,
Indonesia memiliki luas total lahan gambut (peat land) sekitar 21 juta hektar yang terdapat di Sumatera seluas 7,2 juta hektar (34%), Kalimantan seluas 5,8 juta
hektar (27%) dan Papua seluas 8,1 juta hektar (39%). Lahan gambut tersebut
memiliki kedalaman kurang dari 3 meter seluas 17,3 juta hektar (82%) dan
kedalaman lebih dari 3 meter seluas 3,7 juta hektar (18%). Luas hutan gambut
alam (natural peat forest) di Indonesia pada tahun 2006 sekitar 12 juta hektar (57% dari luas total lahan gambut) yang terdapat di Sumatera seluas 2,9 juta
hektar (24%), Kalimantan seluas 2,9 juta hektar (24%) dan Papua seluas 6,2 juta
hektar (52%). Penggunaan hutan gambut alam tersebut antara lain sebagai fungsi
konservasi seluas 2,4 juta hektar (20%), fungsi perlindungan seluas 1,0 juta hektar
(8%) dan fungsi produksi seluas 8,6 juta hektar (72%) (BAPPENAS 2009).
Hutan gambut bersifat sangat fragil (rapuh) dimana sekali dibuka maka
akan merubah ekosistem dan untuk mengembalikannya pada ekosistem semula
memakan waktu yang sangat lama, karena ekosistem hutan gambut merupakan
ekosistem yang telah stabil sebagai hasil dari interaksi ribuan tahun antara
komponen biotik dan lingkungannya. Kestabilan ekosistem gambut menghasilkan
tata air yang seimbang dan mempertahankan keberadaan flora dan faunanya.
Pembukaan vegetasi penutup lahan gambut dapat mengakibatkan dipercepatnya
proses dekomposisi, terjadinya subsidensi (amblesan) dan mengubah ciri dari
ekosistem hutan gambut. Jenis flora dan fauna di hutan gambut relatif terbatas,
sedangkan tanah gambut mengandung lebih dari 65% bahan organic. Sifat fisik
yang dimiliki tanah gambut adalah mampu menyerap air yang sangat tinggi.
Sebaliknya apabila dalam kondisi yang kering (kering berkelanjutan), gambut
sangat ringan dengan berat volume yang sangat rendah (0,1-0,2 g/cm3) dan mempunyai sifat hidrofobik (sulit) menyerap air dan akan mengambang apabila
terkena air. Pada kondisi demikian gambut dapat mengalami amblesan
Bintang et al. (2005) menyatakan bahwa terdapat perbedaan laju
subsidensi pada berbagai ketebalan gambut. Laju subsidensi lebih besar pada
gambut yang lebih tebal dibandingkan dengan gambut dangkal. Laju penurunan
muka tanah juga lebih besar pada awal tahun dimulainya subsidensi. Pada
ketebalan gambut > 200 cm diperoleh subsidensi sebesar 3,5 cm selang waktu 3,5
bulan sedangkan pada gambut sedang (ketebalan 0-200 cm) laju subsidensi
sebesar 10-50 cm selang waktu 9-10 tahun dan untuk gambut dangkal (ketebalan
0-100 cm) laju subsidensi 10 cm selang waktu 8 tahun. Pengelolaan pada tanah
gambut telah menyebabkan subsidensi, pada hutan alam gambut yang dibuat
parit/kanal drainase pada triwulan pertama diperoleh subsidensi sebesar 3,5 cm
namun di lokasi yang sama laju subsidensi adalah 24 cm untuk waktu 3,5 tahun.
Laju subsidensi pada tahun pertama lebih besar dibandingkan pada tahun
berikutnya. Pengelolaan lahan gambut yang berbeda menyebabkan laju subsidensi
juga berbeda. Beberapa sifat tanah yang mempengaruhi subsidensi adalah
ketebalan gambut, tingkat kematangan, dan pengelolaan yang ada/telah dilakukan
terhadap tanah gambut serta lamanya usia pengelolaan gambut.
2. Pengelolaan Hutan Gambut Tropika Indonesia
Daryono (2009) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan
pemanfaatan dan pengelolaan lahan gambut harus dilakukan secara bijaksana
yakni: (1) lahan gambut mempunyai sifat dan karakter yang spesifik, seperti
adanya subsidensi lahan gambut, sifat irreversible drying dan lain-lain sehingga pengelolaan air merupakan hal yang penting; (2) adanya kegiatan penebangan liar
(illegal logging) atau ekploitasi sumber daya alam tanpa terkendali; (3) perubahan iklim; (4) adanya bahaya api di lahan gambut; (5) pengembangan lahan gambut
yang tidak tepat; dan (6) tekanan sosial yang tinggi.
Menurut Daryono (2009), beberapa strategi pengelolaan hutan gambut
yang dapat dilakukan antara lain: (1) keberadaan hutan gambut yang ada harus
tetap dijaga dari kerusakan; (2) pemanfaatan lahan gambut harus memberikan
dampak pengembangan ekonomi dan sosial; (3) menurunkan dan mencegah
timbulnya kebakaran di lahan gambut; (4) pendekatan ekonomi baru terkait
pendekatan ekonomi baru melalui suatu strategi implementasi untuk konservasi
hutan gambut dan rehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi.
Daryono (2009) menyebutkan beberapa praktek pengelolaan hutan yang
dapat dilakukan untuk memperkecil laju peningkatan karbon dioksida di atmosfer
antara lain: (1) pengelolaan untuk mengkonservasi karbon; (2) pengelolaan untuk
pengambilan dan penyimpanan karbon; dan (3) pengelolaan untuk mencari
substitusi karbon. Pengelolaan dengan mengkonservasi karbon terutama
mengamankan gudang karbon yang sudah ada di hutan yang dilakukan melalui
pencegahan deforestasi, pengawetan hutan (cagar alam), perbaikan cara-cara
pengelolaan hutan (misalnya praktek pemanenan dan silvikultur yang ramah,
pengendalian kebakaran, efisiensi pemakaian kayu, dan pemupukan), dan
mengendalikan gangguan lain oleh manusia dan serangan hama. Pengelolaan
melalui pengambilan dan penyimpanan karbon adalah memperluas simpanan
karbon pada ekosistem hutan dengan meningkatkan luas atau kepadatan karbon di
hutan alam atau hutan tanaman dan meningkatkan masa simpan produk-produk
kayu yang tahan lama. Hal tersebut mencakup kegiatan aforestasi (penanaman
pohon pada areal tidak berhutan dalam waktu yang lama), reforestasi (penanaman
pohon-pohon kembali pada areal yang sebelumnya pernah berhutan), hutan kota
dan agroforestri. Kegiatan lainnya termasuk permudaan alam, pengayaan tanaman
dan pengelolaan produk kayu dari hutan. Pengelolaan untuk mensubstitusi karbon
bertujuan meningkatkan transfer karbon dari biomassa hutan ke dalam produk
(misalnya kayu bahan bangunan atau bahan bakar biomassa) untuk menggantikan
penggunaan bahan bakar fosil dan produk berbasis semen. Pengelolaan substitusi
karbon adalah potensi mitigasi yang terbesar untuk jangka panjang.
3. Biomassa dan Karbon di Tanah dan Tumbuhan Hutan Gambut Tropika
Menurut Brown (1997), biomassa merupakan jumlah total dari bahan
organik yang hidup di atas tanah pada pohon termasuk daun, ranting, cabang,
batang utama dan kulit yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area.
Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu, biomassa tumbuhan di
Pada ekosistem daratan, karbon tersimpan dalam 3 komponen pokok
(Hairiah & Rahayu 2007) yaitu: (1) biomassa yaitu massa dari bagian vegetasi
yang masih hidup yaitu tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman
semusim; (2) nekromasa yaitu massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang
masih tegak atau telah tumbang tergeletak di permukaan tanah, tunggak atau
ranting dan daun-daun gugur (serasah) yang belum lapuk; dan (3) bahan organik
tanah yaitu sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) yang telah
mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian
dari tanah dengan ukuran partikel lebih kecil dari 2 mm.
Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertanian berpotensi melepaskan
cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jumlah
tersebut tidak memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO2 yang
mampu diserap oleh hutan dan daratan secara keseluruhan. Dampak konversi
hutan ini baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya
vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis. Masalah utama yang terkait
dengan alih guna lahan adalah perubahan jumlah cadangan karbon. Pelepasan
karbon ke atmosfir akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 tC/ha yang terjadi
selama penebangan dan pembakaran, sedangkan penyerapan kembali karbon
menjadi vegetasi relatif lambat, sekitar 5 tC/ha (Rahayu et al. 2007).
Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan cara: (a)
mempertahankan cadangan karbon yang telah ada dengan mengelola hutan
lindung, mengendalikan deforestasi, menerapkan praktek silvikultur yang baik,
mencegah degradasi lahan gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan
organik tanah, (b) meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman
berkayu dan (c) mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat
diperbarui secara langsung maupun tidak langsung (angin, biomasa, aliran air),
radiasi matahari, atau aktivitas panas bumi (Rahayu et al. 2007).
Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan cara:
(a) meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami, (b) menambah
cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi
pemanenan kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat
kayu, sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon
adalah dengan menanam dan memelihara pohon (Hairiah & Rahayu 2007).
Untuk memperoleh potensial penyerapan karbon yang maksimum perlu
ditekankan pada kegiatan peningkatan biomasa di atas permukaan tanah bukan
karbon yang ada dalam tanah, karena jumlah bahan organik tanah yang relatif
lebih kecil dan masa keberadaannya singkat. Hal ini tidak berlaku pada tanah
gambut (Rahayu et al. 2007). Cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan
lahan dipengaruhi oleh jenis vegetasinya. Suatu sistem penggunaan lahan yang
terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi,
biomasanya lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies
dengan nilai kerapatan kayu rendah.
Sekuestrasi karbon diartikan sebagai pengambilan CO2 secara (semi)
permanen oleh tumbuhan melalui fotosintesis dari atmosfer ke dalam komponen
organik, atau disebut juga fiksasi karbon (Hairiah et al. 2001b). Dalam konteks
pertumbuhan hutan, sekuestrasi karbon adalah riap atau pertambahan terhadap
persediaan karbon yang dikandung hutan (Murdiyarso & Herawati 2005).
Sekuestrasi karbon dapat ditentukan sebagai hasil produktivitas bersih tahunan
karbon (net primary production, NPP) (dalam tC/ha/tahun) dikalikan dengan paruh-hidup harapan (dalam tahun) karbon yang terikat (Hairiah et al. 2001b).
Konsep paruh-hidup karbon dikaitkan dengan besarnya persediaan karbon tetap
yang diikat di dalam vegetasi dan berapa lama karbon tersebut tetap ada sebelum
kembali dalam bentuk CO2 ke atmosfer karena dekomposisi atau pembakaran.
Paruh-hidup karbon (waktu dalam tahun, diambil setengah massa karbon untuk
lapuk), diduga untuk setiap bagian yang berbeda dari komponen vegetasi
(misalnya 0,3 tahun untuk serasah daun, 1 tahun untuk serasah cabang, 4 tahun
untuk kayu mati dan 20-30 tahun untuk kayu yang hidup). Potensi sekuestrasi
karbon pada ekosistem daratan tergantung pada macam dan kondisi ekosistem,
yaitu komposisi spesies, struktur dan distribusi umur (khusus untuk hutan).
Kondisi tempat tumbuh juga penting akibat pengaruh iklim dan tanah, gangguan
4. Pendugaan Biomassa dan Karbon di Tanah dan Tumbuhan Hutan Gambut Tropika
Menurut Chapman 1976 dalam Widyasari 2010 terdapat dua metode
pendugaan biomassa di atas tanah, yaitu metode pendugaan langsung dan metode
pendugaan tidak langsung. Metode pendugaan langsung antara lain metode
pemanenan individu tanaman yang diterapkan pada kondisi tingkat kerapatan
tumbuhan/pohon cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan jenis sedikit,
dimana nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh
individu dalam suatu unit area tertentu. Metode pendugaan tidak langsung antara
lain metode hubungan alometrik yang dibuat dengan mencari korelasi yang paling
baik antara diameter dan atau tinggi pohon dengan biomassanya, dimana
pohon-pohon yang mewakili sebaran kelas diameter ditebang dan ditimbang, nilai total
biomassa diperoleh dengan menjumlahkan semua berat individu pohon dalam
suatu unit area contoh tertentu.
Brown (1999) menyatakan bahwa bagian terbesar gudang karbon (carbon
pool) dalam proyek berbasis hutan terdapat dalam biomassa hidup, biomassa mati, tanah dan produk kayu. Biomassa hidup mencakup komponen bagian atas dan
bagian bawah (akar), pohon, palma, tumbuhan herba (rumput dan tumbuhan
bawah), semak dan paku-pakuan. Biomassa mati mencakup serasah halus dan sisa
kayu kasar, dan tanah mencakup mineral, lapisan organik dan gambut. Untuk
proyek LULUCF (land use, land use change and forestry), gudang karbon yang utama yang dapat diperhitungkan terdiri dari biomassa bagian atas permukaan
tanah, biomassa bagian bawah permukaan tanah, serasah, kayu-kayu mati dan
karbon tanah (IPCC 2003).
Kriteria yang harus dipertimbangkan dalam menentukan gudang karbon
mana saja yang perlu diukur dan dimonitor tergantung pada macam proyek,
kapasitas penyimpanan karbon, laju dan arah perubahan persediaan karbon, biaya
pengukuran, serta ketepatan dan ketelitian yang diinginkan (MacDicken 1997
dalam Rusolono 2006).
Berbagai teknik dan metode untuk mengukur berbagai gudang karbon
dalam proyek berbasis hutan telah ada dan secara umum didasarkan pada
(Pinard & Putz 1996). Untuk menduga biomassa pohon yang hidup, diameter
seluruh pohon diukur dan dikonversi ke dalam biomassa dan perkiraan karbon.
Biomassa pohon yang hidup diduga dengan menggunakan persamaan regresi
alometrik biomassa. Persamaan yang berlaku umum untuk pendugaan seluruh
hutan dunia telah tersedia dan beberapa khusus dibuat untuk spesies tertentu.
Untuk membuat persamaan regresi alometrik dengan ketelitian tinggi khususnya
hutan tropis yang kompleks, diperlukan sampling terhadap sejumlah pohon yang
mewakili berbagai ukuran dan sebaran jenis dalam hutan, walaupun secara
ekstrim menghabiskan waktu dan biaya yang tidak mungkin dilakukan untuk
setiap proyek karbon. Keuntungan menggunakan persamaan generik yang
dikelompokkan menurut zone iklim/ekologis adalah persamaan ini dihasilkan
melalui jumlah pohon contoh yang besar dan mencakup sebaran diameter yang
lebar sehingga meningkatkan ketelitian dan ketepatan (Brown 1997).
Menurut Brown (1997), berdasarkan cara memperoleh data terdapat dua
pendekatan untuk menduga biomassa dari pohon yaitu berdasarkan penggunaan
dugaan volume kulit kayu sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah
menjadi kerapatan biomassa (ton/ha) dan pendekatan dengan menggunakan
persamaan regresi biomassa atau lebih dikenal dengan persamaan allometrik. Pendugaan biomassa pada pendekatan pertama menggunakan persamaan berikut:
Biomassa (ton/ha) = VOB x WD x BEF (Brown 1997)
Keterangan:
• Volume of Biomass (VOB) adalah volume batang bebas cabang berkulit (m3/ha),
• Wood Density (WD) adalah kerapatan kayu (ton biomassa kering tanur/m3volume biomassa),
• Biomass Expansion Factor (BEF) adalah perbandingan total biomassa pohon kering tanur di atas tanah dengan biomassa kering tanur volume hasil inventarisasi hutan.
Pendekatan kedua penentuan kerapatan biomassa dengan menggunakan
persamaan regresi biomassa berdasarkan diameter batang pohon. Dasar dari
persamaan regresi ini adalah hanya mendekati biomassa rata-rata per pohon
menurut sebaran diameter, dengan menggabungkan sejumlah pohon pada setiap
kelas diameter dan menjumlahkan seluruh pohon untuk seluruh kelas diameter.
Keterangan:
W adalah biomassa pohon
D adalah diameter pohon pada setinggi dada (130 cm)
a dan b adalah konstanta
Beberapa model alometrik pendugaan biomassa tumbuhan dan tanah
gambut antara lain sebagai berikut:
Model alometrik pendugaan biomassa hutan tropika lembab untuk semua
jenis vegetasi (tidak membuat model penduga per bagian pohon)
W = 0.118 D2.53 (R2=97%) (Brown 1997)
Persamaan alometrik penduga berat kering pohon > 5 cm
W = bj 0.11 D2.62 (Kettering et al. 2001)
Model alometrik pendugaan biomassa pohon berdiameter > 10 cm
W = 0.1886 D2.3702 (R2=95%) (Istomo 2002)
5. Pendekatan Finansial Perhitungan Biaya Dan Manfaat Ekonomi Karbon
Penelitian mengenai manfaat dan biaya REDD sudah dilakukan di
beberapa negara, diantaranya oleh Silva-Chavez (2005) di Bolivia, Osafo (2005)
di Ghana, Nepstad, et al. (2007) di Brazil, Bellassen dan Gitz (2008) di Kamerun,
serta Karky dan Skutsch (2009) di Nepal. Bellassen dan Gitz (2008) melakukan
kajian pada hutan primer di Kamerun dengan opsi pengelolaan berupa konservasi
hutan, pemanfaatan hutan atau konversi hutan menjadi areal pertanian. Karky dan
Skutsch (2009) melakukan kajian profitabilitas pada hutan kemasyarakatan di
Nepal. Grieg-Gran (2008) melakukan evaluasi manfaat dan biaya pengurangan
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia yang merupakan bagian
dari analisis tingkat global.
Harga CO
2 per ton di pasar sukarela setelah dikurangi biaya transaksi
adalah sebesar $4,77 (Capoor & Ambrosi 2009). Biaya transaksi (transaction cost) merupakan biaya yang diperlukan untuk administrasi, monitoring dan verifikasi jasa pengurangan emisi dan penyerapan karbon dioksida, hingga jasa ini
dapat diperjualbelikan di pasar karbon. Biaya monitoring dan verifikasi karbon
merupakan komponen biaya yang cukup besar yang harus dikeluarkan untuk
Analisis biaya break-even telah digunakan dalam analisis kelayakan usaha pencegahan deforestasi dan degradasi hutan oleh Bellassen dan Gitz (2008) serta
Karky dan Skutsch (2009). Bellassen dan Gitz (2008) menggunakan indikator ini
untuk menganalisis pengurangan deforestasi dan degradasi hutan primer di
Kamerun. Sedangkan Karky dan Skutsch (2009) menggunakannya untuk
menganalisis profitabilitas pemanfaatan jasa penyimpanan karbon dan
pengurangan deforestasi pada hutan kemasyarakatan di Nepal. Hasil penelitian
Silva-Chavez (2005), biaya break-even di Bolivia berkisar antara $4 – 9/ton CO
2e.
Sedangkan Osafo (2005) menyatakan bahwa biaya break-even di Ghana sebesar $8/tonCO
2e. Bellassen dan Gitz (2008) mengungkapkan bahwa biaya break-even
di Kamerun sekitar $2,85/tonCO
2e. Biaya break-even di Nepal berkisar antara
$0,5 - 3,7/tonCO
2e(Karky & Skutsch 2009).
Biaya pembangunan hutan tanaman telah distandarkan oleh Kementrian Kehutanan (Kemenhut) melalui Permenhut No. P64 tahun 2009 tentang “Standar Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Hutan Rakyat” pada tahun 2009. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.64 (2009) menyatakan bahwa standar
biaya pembangunan HTI dari nol tahun hingga umur delapan tahun sekitar
Rp.25.370.000/ha. Nilai tersebut merupakan nilai biaya sekarang dan
diperhitungkan pada tingkat diskonto 10%.
Nilai manfaat hutan tanaman sebagai pencegah emisi dan penyerap karbon
serta dampak negatif sebagai sumber emisi dinyatakan dalam neraca karbon hutan
tanaman. Neraca karbon hutan tanaman menurut Intergovernmental Panel on Climate Change_IPCC (2006) merupakan perubahan stock karbon tahunan yang dihitung melalui pendekatan gain and loss dengan rumus sebagai berikut:
Cb = Cg – Cl Keterangan:
o Cb merupakan perubahan stok karbon tahunan,
o Cg merupakan penambahan (gain) stok karbon tahunan
o Cl merupakan pengurangan (loss) stok karbon tahunan
Ginoga dan Lugina (2007) menyatakan bahwa aspek yang perlu
pembangunan bersih (MPB) adalah biaya dan waktu. Biaya mencakup pembuatan
usulan proyek dan Dokumen Rancangan Proyek (DRP) termasuk
persyaratan-persyaratannya (seperti biaya pengurusan surat kelayakan lahan MPB dari
Bupati/Camat, peta), Surat Keterangan Menteri Kehutanan, penyerahan DRP ke
Komisi Nasional MPB, Persetujuan Komisi Nasional MPB, Verifikasi,
Pelaksanaan, Monitoring, Validasi, Sertifikasi, serta biaya konsultan. Waktu
antara lain waktu yang dibutuhkan untuk tahap persiapan (pembuatan Usulan
Proyek, penyusunan DRP, dan persyaratan-persyaratan DRP), dan tahap
pelaksanaan mencakup verifikasi, monitoring, validasi, penerbitan sertifikat.
Nurfatriani dan Ginoga (2008) menyatakan bahwa pembagian biaya dan
manfaat tidak bisa bersifat absolut atau merujuk pada teori tertentu, tapi
merupakan hasil kesepakatan antara pihak terkait dari mulai pembeli dan penjual
dengan memperhatikan kontribusi masing-masing pihak dalam mekanisme karbon
offset. Prinsip pembayaran dan redistribusi pembayaran REDD adalah alokasi insentif untuk para pihak berdasarkan nilai tambah yang diterima oleh para pihak
dalam rangkaian menghasilkan kredit karbon dan sesuai dengan biaya oportunitas
pada tiap tingkatan. Perlu lebih diperjelas peran setiap pihak dalam pelaksanaan
REDD, misalnya Pemerintah Daerah bukan hanya sebagai pemberi rekomendasi
saja. Dan perlu ditekankan lagi peluang untuk mengatur sendiri arah penggunaan
insentif REDD yang tentunya harus dikembalikan kembali untuk pelestarian
hutan.
Menurut Gittinger (1986) salah satu cara untuk melihat kelayakan dari
analisis finansial adalah menggunakan Cast Flow Analysis. Alasan penggunaan metode ini adalah adanya pengaruh waktu terhadap nilai uang selama umur
ekonomis kegiatan usaha. Cast Flow Analysis dilakukan setelah komponen-komponennya ditentukan dan diperoleh nilainya. Komponen tersebut
dari sudut pandang pemilik modal atau peserta usaha dan biasanya tingkat
diskonto merupakan tingkat usaha untuk meminjam modal.
Menurut Gittinger (1986) kriteria-kriteria yang digunakan dalam suatu
evaluasi terhadap investasi proyek adalah Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BCR). Net Present Value (NPV) adalah metode untuk menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan kas bersih
dimasa yang akan datang. Menurut Gittinger (1986) untuk menghitung nilai
sekarang perlu ditentukan terlebih dahulu tingkat suku bunga yang relevan,
tingkat bunga tersebut diperoleh dengan mempergunakan tingkat bunga pinjaman
jangka panjang yang berlaku di pasar modal atau dengan mempergunakan tingkat
bunga pinjaman yang harus dibayar oleh pemilik proyek. Proyek dinyatakan layak
jika NPV lebih besar atau sama dengan nol, yang berarti proyek tersebut minimal
BAB III
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
1. Luas dan Peruntukan Areal
Luas areal yang dinyatakan sebagai areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu di hutan alam (IUPHHK-HA) PT. Diamond Raya Timber adalah 90.956 ha.
Tabel 1 menyajikan luas efektif produksi dan luas masing-masing peruntukan
kawasan berdasarkan kondisi terkini dari kawasan hutan.
Tabel 1 Peruntukan areal di kawasan IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber
Status hutan / peruntukan areal Luas (ha) Persentase
Areal produksi efektif 69960 77.4
Areal lindung
Kawasan lindung gambut (KLG)
Sempadan pantai
Hutan mangrove dan ekoton
Sempadan sungai
Keadaan topografi areal IUPHHK-HA PT. DRT terdiri dari dataran rendah
pantai dan dataran dengan ketinggian 2–8 meter di atas permukaan laut yang pada umumnya merupakan daerah lahan basah tergenang air (rawa). Tinggi genangan
air bervariasi tergantung pada musim, tinggi pasang air laut dan curah hujan yang
berkisar antara pergelangan kaki sampai pinggang orang dewasa. Areal
3. Iklim dan Intensitas Hujan
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) areal kerja
IUPHHK-HA PT. DRT termasuk ke dalam tipe A dengan nilai Q = 10.1 %. Curah
hujan per tahun 2358 mm, sedangkan curah hujan bulanan rata-rata berkisar
51.32–301.66 mm/bln, curah hujan tertinggi jatuh pada bulan November (301.66 mm) dan Desember (253.40 mm). Curah hujan terendah jatuh pada bulan Maret
(51.33 mm) dan Juli (73.80 mm). Rata-rata hari hujan adalah 12 hari/bulan, hari
hujan tertinggi jatuh pada bulan November (14 hari/bulan) dan terendah pada
bulan Februari (3.3 hari/bulan).
4. Hidrologi
Areal kerja IUPHHK-HA PT. DRT terletak di bagian timur DAS Sungai
Rokan dengan beberapa sungai yang mengalir ke bagian barat dan selatan, utara
dan timur (Selat Malaka). Sungai-sungai yang mengalir ke bagian barat-selatan
yang bermuara ke Sungai Rokan adalah : Pasir Besar, Agar, Labuhan Tangga
Besar, Labuhan Tangga Kecil, dan Bantayan. Sungai-sungai yang utara dan timur
yang bermuara di Selat Malaka adalah Serusa, Pematang Nibung, Nyamuk,
Sinaboi, Teluk Dalam, Sinepis Besar, dan Sinepis Kecil. Sedangkan sungai yang
mengalir dari bagian Selatan ke arah Utara adalah sungai Sekusut.
Air pada genangan rawa berwarna coklat tua yang keluar dari tanah
gambut. Pelumpuran yang terjadi sangat sedikit, kecuali yang dekat aliran ke
Sungai Rokan dimana lumpur terbentuk pada saat pasang sangat tinggi dan
masa-masa banjir sungai Rokan. Hal ini disebabkan karena sebelumnya telah terjadi
konversi wilayah hutan dalam jumlah besar pada bagian hulu dan praktek
pembuatan jalan yang tidak baik. Dengan demikian strategi untuk
mempertahankan hutan alam di bagian hulu sungai Rokan menjadi sangat penting.
5. Tipe Hutan dan Penutupan Vegetasi
Terdapat dua tipe utama ekosistem hutan di dalam areal kerja
IUPHHK-HA PT. DRT yaitu (1) Hutan Rawa Gambut dan (2) Hutan Mangrove. Diantara
Tipe ekosistem hutan rawa gambut di areal termasuk tipe gambut pantai
yang terletak di daerah depresi antara sungai Rokan dan Selat Malaka.
Berdasarkan asosiasi vegetasi terdapat tiga asosiasi vegetasi hutan rawa gambut
dari mulai gambut dangkal sampai gambut dalam. Masing-masing asosiasi
vegetasi diberi nama menurut jenis pohon komersil yang dominan, yaitu :
1) Asosiasi Terentang (Campnosperma auriculata) – Pulai (Alstonia
pneumathophra) pada ketebalan gambut <3 m-2 m)
2) Asosiasi Balam (Palaquium obovatum) – Meranti Batu (Shorea uliginosa) pada ketebalan gambut 3–6 m, dan
3) Asosiasi Ramin (Gonystylus bancanus) – Suntai (Palaquium dasyphillum) pada ketebalan gambut >6 m.
Tipe ekosistem hutan mangrove di dalam areal kerja terletak di pantai
Utara–Timur yang berbatasan dengan Selat Malaka. Pada lokasi tersebut Semenanjung Bagan Siapiapi yang landai dengan banyak muara sungai-sungai
terbentuk habitat berlumpur yang dipengaruhi pasang surut air laut yang sesuai
dengan pertumbuhan hutan mangrove. Lebar jalur hutan mangrove di lokasi
tersebut bervariasi antara 200–800 m. Zonasi hutan mangrove dari arah laut, meliputi asosiasi Sonneratia–Rhizophora spp. yang disusul oleh asosiasi
Xylocarpus-Bruguiera spp., sedangkan arah tepi sungai dimulai dengan Nipah (Nypa fruticans), Xylocarpus granatum sampai Bruguiera cylindrica di bagian tengah. Jenis Tumu (Bruguiera cylindrica) termasuk jenis yang komersial dan dominan, denan diameter mencapai 30-40 cm yang digunakan sebagai bahan baku
pembuatan arang. Terdapat juga beberapa areal tak berhutan dan belukar.
6. Keanekaragaman Flora
Keanekaragaman flora di areal kerja IUPHHK-HA PT. DRT berkaitan
dengan keberadaan hutan dan tipe habitat, yaitu hutan rawa gambut dan hutan
mangrove. Hasil penelitian Istomo (2002) di areal hutan yang belum ditebang
pada tingkat kedalaman gambut yang berlokasi di 9 plot contoh dengan luas areal
masing-masing 0,2 ha, menunjukkan bahwa pada tingkat pohon (diameter >20
cm) jumlah spesies berkisar antara 30-36 spesies. Spesies pohon yang dominan