• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. Serasah Hutan

4.1. Kadar Karbon Serasah

Analisis kadar karbon serasah kasar dan serasah halus dilakukan pada 24 contoh uji yang mewakili dari setiap kondisi hutan gambut. Data rata-rata kadar karbon serasah berdasarkan tingkat dekomposisi disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21 Rata-rata kadar karbon serasah berdasarkan tingkat dekomposisi

No Kondisi Hutan Rata-rata Kadar Karbon (%) Rata-rata (%)

Serasah Kasar Serasah Halus

1 Hutan primer 30.63 32.04 31.34

2 Hutan bekas tebangan 33.33 33.58 33.45

3 Hutan sekunder 35.43 37.24 36.33

4 Hutan terdegradasi 36.10 33.47 34.79

Rata-rata C% serasah 33.87 34.08 33.98

Berdasarkan data yang disajikan dalam Tabel 21 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata kadar karbon serasah pada setiap kondisi hutan berbeda-beda dari tingkat dekomposisinya. Berdasarkan data tersebut, serasah halus memiliki nilai rata-rata karbon relatif sama dibandingkan dengan serasah kasar.

Secara keseluruhan nilai rata-rata kadar karbon serasah dari setiap kondisi hutan yaitu pada hutan sekunder memiliki nilai rata-rata kadar karbon tertinggi, sedangkan rata-rata kadar karbon terendah terdapat pada primary forest sehingga nilai rata-rata serasah dari semua kondisi hutan gambut adalah 33,98%. Nilai tersebut lebih rendah dari hasil penelitian Hairiah et al (2001a) dimana kadar karbon yang terdapat pada serasah yaitu 40%.

4.2. Biomassa dan Massa Karbon Serasah

Perhitungan biomassa serasah (serasah kasar dan halus) dihitung berdasarkan total berat basah dan nilai rata-rata persen kadar airnya. Biomassa serasah kasar dan serasah halus memberikan sumbangan biomassa yang relatif kecil dibandingkan dengan pohon dan nekromassa. Nilai rata-rata biomasa serasah kasar dan serasah halus dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22 Rata-rata massa serasah dari setiap kondisi hutan gambut

No Kondisi Hutan Rata-rata massa serasah (ton/ha) Total

(ton/ha)

Serasah Kasar Serasah Halus

1 Hutan primer 12.92 12.60 25.52

2 Hutan bekas tebangan 13.90 8.41 22.31

3 Hutan sekunder 8.05 3.84 11.89

4 Hutan terdegradasi 11.68 4.44 16.12

Total Rata-rata (ton/ha) 11.64 7.32 18.97

Secara umum jumlah biomassa serasah kasar dan serasah halus pada keempat kondisi hutan gambut terdapat perbedaan yang cukup besar antara hutan primer, hutan bekas tebangan, hutan sekunder, dan hutan terdegradasi. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya kegiatan pemanenan hutan dan penutupan tajuk yang berbeda.

Besarnya nilai biomassa serasah kasar hutan pada hutan bekas tebangan disebabkan karena banyaknya limbah cabang, ranting, kulit pohon, dan daun yang dihasilkan dari kegiatan penebangan yang berlangsung di lokasi hutan tersebut. Sedangkan produksi serasah halus terbesar pada hutan primer dimana proses dekomposisi serasah yang lambat diakibatkan oleh kondisi hutan yang lembab dan basah tergenang air, sehingga keberadaan serasah akan lebih lama di permukaan tanah.

Berdasarkan nilai kadar karbon serasah (kasar dan halus) dapat dilakukan perhitungan untuk menentukan potensi karbon yang terdapat pada serasah berdasarkan nilai biomassanya. Perbandingan hasil potensi karbon serasah berdasarkan biomassanya dari setiap kondisi hutan dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Hasil potensi karbon serasah berdasarkan tingkat dekomposisi

No Kondisi Hutan Potensi Karbon (tonC/ha) Total (tonC/ha)

Serasah Kasar Serasah Halus

1 Hutan primer 3.96 4.04 8.00

2 Hutan bekas tebangan 4.63 2.82 7.45

3 Hutan sekunder 2.85 1.43 4.28

4 Hutan terdegradasi 4.22 1.49 5.71

Perbedaan potensi karbon serasah pada setiap kondisi hutan dipengaruhi oleh tingkat produksi serasah yang berbeda-beda dari setiap kondisi hutan dan sangat dipengaruhi oleh proses dekomposisi bahan organik. Selain itu, adanya variasi produksi serasah dipengaruhi pula oleh kerapatan tajuk dan persaingan dalam mendapatkan cahaya. Peningkatan suhu tanah dapat merangsang kegiatan metabolisme dekomposer untuk mempercepat laju proses perombakan bahan organik menjadi CO2 seperti pada kondisi hutan bekas tebangan, hutan sekunder, dan hutan terdegradasi. Sedangkan pada kondisi hutan primer, cahaya yang dapat masuk ke lantai hutan lebih sedikit sehingga suhunya akan lebih dingin dan lembab bahkan sampai tergenang air yang dapat menyebabkan aktivitas dekomposer di dalam proses perombakan serasah tersebut lebih lambat sehingga produksi serasah hutan primer terutama serasah halus akan lebih banyak, karena keberadaanya di permukaan tanah relatif lebih lama.

4.3. Biomassa dan Massa Karbon Bahan Organik Mati

Biomassa total bahan organik mati yang terdiri atas biomassa pohon mati/nekromasa dan biomassa serasah (serasah kasar dan halus) dari setiap kondisi hutan gambut dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24 Rata-rata massa bahan organik mati dari setiap kondisi hutan gambut

No Kondisi Hutan Massa (ton/ha) Total

(ton/ha)

Nekromasa Serasah

1 Hutan primer 42.38 25.52 67.90

2 Hutan bekas tebangan 82.05 22.31 104.36

3 Hutan sekunder 59.41 11.89 71.30

4 Hutan terdegradasi 68.92 16.12 85.04

Rata-rata (ton/ha) 63.19 18.97 82.16

Berdasarkan Tabel 24 dapat dilihat bahwa sebagian besar biomassa bahan organik mati tertinggi pada setiap kondisi hutan terdapat pada nekromasa. Nilai total biomassa bahan organik mati tertinggi terdapat pada hutan bekas tebangan sebesar 104,36 ton/ha dan total biomassa bahan organik mati terendah terdapat pada hutan primer sebesar 67,90 ton/ha. Perbedaan total biomassa dari setiap kondisi hutan dapat dilihat dari total biomassa yang terdapat pada nekromasa dan

serasah, dimana nekromasa hutan bekas tebangan mempunyai nilai massa paling tinggi dibandingkan kondisi hutan lainnya. Secara keseluruhan, total rata-rata biomassa dari semua kondisi hutan adalah 82,16 ton/ha yang terdiri dari rata-rata massa nekromasa sebesar 77% dan serasah sebesar 23%. Berdasarkan hasil potensi karbon nekromasa dan serasah dari setiap kondisi hutan gambut, maka dapat diperoleh total potensi karbon bahan organik mati (Tabel 25).

Tabel 25 Potensi karbon bahan organik mati di setiap kondisi hutan gambut

No Kondisi Hutan Potensi Karbon (tonC/ha)

Total

Nekromasa Serasah

1 Hutan primer 19.79 8.00 27,79

2 Hutan bekas tebangan 38.75 7.45 46.20

3 Hutan sekunder 28.02 4.28 32.30

4 Hutan terdegradasi 32.43 5.71 38.14

Rata-rata (tonC/ha) 29.75 6.36 36.11

Berdasarkan Tabel 25 menunjukan bahwa potensi karbon yang tersimpan pada bahan organik mati yang tertinggi terdapat pada hutan bekas tebangan sebesar 46,20 tonC/ha, sedangkan potensi karbon terendah terdapat pada hutan primer sebesar 27,79 tonC/ha. Nilai potensi karbon berbanding lurus dengan nilai massanya, dimana pada hutan bekas tebangan memiliki nilai massa tertinggi sehingga potensi karbon tersimpannya paling tinggi dibandingkan dengan kondisi hutan lainnya.

Hasil ini menunjukan bahwa potensi karbon yang tersimpan pada bahan organik mati dalam penelitian ini memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan penelitian pada (Widyasari 2010). Perbedaan ini diduga karena perbedaan kondisi ekosistem hutannya atau perbedaan jenis tumbuhannya.

5. Akar Pohon

Penyebaran massa karbon dalam pohon dipengaruhi oleh umur pohon, diameter pohon, tipe daun, dan struktur akar. Akar pohon adalah bagian pokok pada pohon yang tumbuh menuju ke dalam tanah, terdiri dari akar besar (coarse roots) dan akar tunjang (tap roots) yang berfungsi untuk menyokong berdirinya pohon, dan akar kecil atau fine roots yang berfungsi untuk menyerap air dan unsur

hara dari tanah. Analisis laboratorium pada sampel akar yang berasal dari 74 sampel pohon dari 18 jenis akar pohon dominan. Sampel akar tersebut dikelompokkan menjadi tiga kelas diameter yaitu akar kecil berdiameter kurang dari 2 mm, akar sedang berdiameter 2 mm sampai 5 cm, dan akar besar (akar tunjang) berdiameter di atas 5 cm.

5.1.Kadar Karbon Akar Pohon

Dari 18 jenis dominan yang diambil sampel akarnya, jenis nangka-nangka dan punak memiliki kadar karbon yang paling tinggi, sedangkan yang paling kecil adalah darah-darah dan pasir-pasir.

Tabel 26 Kadar karbon akar pohon berdasarkan kelas diameter akar dan kelas diameter pohon

Kelas DBH (cm)

Jumlah Kadar Karbon (%)

Sampel Akar Kecil Akar Sedang Akar Besar

Rata-rata Pohon <2 mm 2 mm≤ x ≤ 5 cm >5 cm <10 33 44,70 43,29 - 43,95±7,48 10-20 28 47,22 39,63 50,46 43,15±6,46 20-30 3 45,76 36,75 46,19 42,90±10,69 30-40 5 47,62 53,18 45,06 48,62±8,47 40-50 3 39,62 35,87 38,03 37,84±5,07 50> 2 - 40,09 38,27 39,48±3,99 Rata-rata 74 45,22±6,58 41,51±7,76 43,32±10,27 43,18±7,90

Pada Tabel 26, kadar karbon sampel akar pohon yang dikelompokan berdasarkan kelas dbh pohon dan kelas diameter akar menunjukan bahwa rata-rata kadar karbon terbesar ada pada akar kecil sedangkan yang paling kecil pada akar sedang. Berdasarkan kelas dbh pohon, kadar karbon terbesar ada pada kelas dbh pohon 40 - 50 cm sebesar 48,62%, dan yang terkecil pada kelas dbh pohon ≥50 cm sebesar 37,84%. Rata-rata kadar karbon akar pohon dari seluruh sampel adalah 43,18%.

5.2.Biomassa dan Massa Karbon Akar Pohon

Biomassa dan simpanan karbon akar pada empat kondisi hutan gambut disajikan pada Tabel 27. Nilai terbesar biomassa dan simpanan karbon akar terdapat di

hutan primer yang mencapai 63,83 ton/ha dan 27,85 tonC/ha. Besarnya biomassa dan massa karbon pada hutan primer terjadi akibat tingginya keragaman stratifikasi dan potensi tegakan hutan, dimana hutan primer ini belum pernah ditebang sehingga biomassa dan karbon pada kondisi hutan ini masih tinggi.

Tabel 27 Biomassa dan massa karbon akar pada empat kondisi hutan gambut

Kondisi Hutan Biomassa Akar

(ton/ha)

Massa Karbon Akar (ton C/ha)

Hutan Primer 63,83 27,85

Hutan Bekas Tebangan 46,86 20,41

Hutan Sekunder 40,51 17,72

Hutan Terdegradasi 1,70 0,73

Rata-rata 38,23 16,68

6. Tanah Gambut

6.1. Sifat Fisik dan Kimia Contoh Tanah Gambut

Karakteristik tanah gambut dapat dilihat dari sifat fisika dan kimianya. Sifat fisika gambut dilihat dari bobot isi, kadar air, porositas tanah, ketebalan, dan lapisan mineral dibawah gambut (Tabel 28 dan 29).

Tabel 28 Sifat fisik dan kimia tanah gambut fibrik pada berbagai kondisi hutan gambut

Sifat Fisik Dan Kimia Gambut Fibrik Kondisi Hutan

HP HBT HS HT Rata-rata

Kadar Air (%) 996,54 1042,39 977,30 898,57 978,70

Bulk Density (g/cm3) 0,09 0,08 0,10 0,10 0,09

Soil Organic Mater (%) 96,99 97,01 97,26 96,49 96,94

C-Organik (%) 56,26 56,27 56,41 55,97 56,23

Carbon Density (kg/m3) 49,64 44,68 56,46 55,29 51,52

Kadar Abu (%) 3,01 2,99 2,74 3,51 3,06

Kisaran kadar air pada penelitian ini berdasarkan tingkat kematangan tanah gambut antara lain 898%-1042% untuk fibrik dan 861%-1065% untuk hemik, dengan rata-rata kadar air seluruh sampel adalah 978,7%. Kadar air pada penelitian Yulianti (2009) di kebun kelapa sawit Labuhan Batu, Sumatra Utara, menghasilkan kadar air pada berbagai tingkat kematangan antara lain saprik,

hemik dan fibrik berturut-turut adalah berkisar antara 415,52 – 603,05%; 620,12 – 978,57%; dan 629,44 – 851,50%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa hutan gambut alam memiliki kondisi gambut yang lebih baik daripada kebun kelapa sawit.

Kadar abu rata-rata kadar abu untuk keseluruhan populasi sampel adalah 3,37%. Gambut yang bahan mineralnya tinggi atau termasuk jenis eutrofik memiliki kadar abu yang tinggi. Kadar abu tanah gambut yang berkisar 1 sampai dengan 7 % mengindikasikan bahwa gambut tersebut kondisinya masih baik. Semakin besar kadar abu, maka kadar C-organik akan semakin rendah.

Makin tinggi kadar abu, menunjukkan makin tingginya bahan mineral yang terkandung pada gambut. Kadar abu juga berkaitan dengan tingkat kesuburan tanah gambut. Kadar abu dan kadar bahan organik memiliki hubungan dengan tingkat kematangan gambut yang mana bila gambut semakin matang maka kadar abu makin besar dan kadar C-organik makin kecil. Kadar abu lebih dari 5% menunjukkan bahwa gambut sudah dipengaruhi oleh bahan mineral atau yang disebut dengan peatymineral dan gambut ini lebih subur karena ketersediaan haranya lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang tidak/sangat sedikit kadar abunya yang disebut true peat (Noor 2001).

Bulk density atau bobot isi (BD) tanah adalah berat kering per unit volume tanah. Bulk density tergantung pada besarnya pemadatan, komposisi organik dari bahan penyusun tanah, tingkat dekomposisi, kandungan bahan mineral, dan kelembaban pada saat pengambilan sampel. Selanjutnya kisaran bulk density

tanah gambut antara 0,05 g/cm3 pada tanah gambut belum matang atau fibrik, sampai 0,5 g/cm3 pada gambut yang telah terdekomposisi atau matang (saprik).

Tabel 29 Sifat fisik dan kimia tanah gambut hemik pada berbagai kondisi hutan gambut

Sifat fisik dan kimia gambut hemik Kondisi Hutan

HP HBT HS HT Rata-rata

Kadar Air (%) 930,15 1058,10 861,17 1065,37 978,70

Bulk Density (g/cm3) 0,16 0,13 0,15 0,14 0,14

Soil Organic Mater (%) 97,64 96,50 97,41 94,97 96,63

C-Organik (%) 56,64 55,98 56,50 55,08 56,05

Carbon Density (kg/m3) 90,71 74,68 81,81 75,24 80,61

Hasil penelitian ini diperkuat laporan dari Andriesse (1988) bahwa hubungan kematangan gambut dengan bulk density berbanding lurus. Semakin matang tanah gambut maka bobot isinya juga semakin besar. Bobot isi tanah gambut Malaysia berkisar antara 0,09 sampai dengan 0,12 g/cm3 sedangkan di Indonesia memiliki nilai yang lebih kecil dari 0,1 g/cm3 pada gambut alami dan lebih dari 0,2 g/cm3 pada gambut matang (saprik).

Nilai bulk density tanah mineral itu rata-ratanya adalah 0,24 g/cm3 sedangkan nilai rata-rata bulk density tanah gambut dari hasil penelitian ini adalah 0,10 g/cm3. Penelitian lain pada tanah gambut di kebun kelapa sawit, Yulianti (2009) menunjukan bobot isi berdasarkan kematangan gambut yaitu saprik, hemik dan fibrik masing-masing berkisar antara 0,13-0,17 g/cm3; 0,07-0,15 g/cm3;dan 0,10-0,12 g/cm3.

Gambut dengan tingkat kematangan fibrik memiliki nilai rata-rata persen C-organik adalah 56,23 %, sedangkan hemik memiliki nilai 56,05%. Hal ini diperkuat Ekono (1981) diacu dalam Andriesse (1988) menuturkan bahwa kadar karbon dari gambut yang belum terdekomposisi atau belum matang (fibrik) berkisar 48-50%, lalu 53-54% pada gambut yang setengah terdekomposisi atau setengah matang (hemik) serta 58-60% pada gambut yang telah terdekomposisi atau matang (saprik). Walaupun kadar karbon pada gambut yang telah terdekomposisi (saprik) lebih tinggi dibanding gambut yang setengah terdekomposisi (hemik) atau belum terdekomposisi (fibrik), tetapi perbedaan nilainya tidak berbeda nyata.

Gambut terbentuk dari perendaman air pada bahan organik dalam waktu yang lama sehingga bahan organik yang ada tidak bisa terdekomposisi atau terdekomposisi dengan sangat lambat. Kondisi yang terendam tanah ini harus selalu dipertahankan untuk menjaga kandungan organik tanah dan menjaga laju pembentukan tanah gambut. Penurunan muka air tanah sebesar 10 cm per tahun akan menyebabkan peningkatan emisi CO2 sebesar 9,1 t CO2/ha/thn (Hooijer et al.

2006). Emisi tersebut berhubungan dengan simpanan karbon tanah gambut yang berkorelasi dengan kerapatan karbon. Emisi terjadi saat tanah gambut sebagai

simpanan karbon yang sangat besar, terdekomposisi sehingga melepaskan gas CO2 ke atmosfir.

Penelitian lain menunjukan kerapatan karbon tanah gambut di Indonesia antara 30-70 kg C/m3 (Fahmudin & Subiksa 2008). Wahyunto et al. (2003), melaporkan bahwa kerapatan karbon lahan gambut Indonesia pada kondisi hutan sekunder, semak belukar, tanaman semusim, kebun kelapa sawit secara berurutan adalah 27,06 - 94,37 kg C/m3; 25,54 - 121,39 kg C/m3; 29,13 - 86,23 kg C/m3; dan 38,57 - 126,61 kg C/m3. Hal itu menunjukan kerapatan karbon tanah gambut yang sangat besar jika dibandingkan dengan kerapatan karbon tanah mineral. Tanah mineral pada penelitian ini tergolong liat marin yang berada di bawah lapisan gambut dengan rata-rata kerapatan karbon-nya 7,80 kg C/m3.

6.2.Biomassa dan Massa Karbon Tanah Gambut

Lahan basah di daerah tropis adalah reservior karbon yang sangat besar terutama pada bagian bawah permukaan. Potensi massa karbon pada berbagai kondisi hutan gambut di plot contoh dengan luasan satu hektar disajikan pada Tabel 30 dan Tabel 31, yang menunjukan bahwa rata-rata simpanan karbon dari keseluruhan plot contoh berdasarkan kondisi hutan menghasilkan nilai sebesar 1486 ton C/ha. Kondisi hutan tidak menggambarkan besarnya potensi massa karbon tanah gambut karena parameter yang menentukan besarnya massa karbon tanah gambut adalah ketebalan, bulk density, dan kematangan. Jika dibandingkan potensi simpanan karbon tanah mineral di lokasi penelitian yang sama di bawah lapisan gambut menunjukan nilai 77,99 ton C/ha.

Tabel 30 Biomassa tanah gambut pada berbagai ketebalan gambut dan pada berbagai kondisi hutan

Kondisi Hutan Biomassa Tanah Gambut (ton/ha)

100 - 300 cm 300 - 400 cm Rata-rata

Hutan Primer 1929,96 3527,28 2728,62

Hutan Bekas Tebangan 2747,17 3336,53 3041,85

Hutan Sekunder 1993,69 3223,51 2608,60

Hutan Terdegradasi 1019,53 3315,15 2167,34

Tabel 31 Simpanan karbon tanah gambut pada berbagai ketebalan gambut dan pada berbagai kondisi hutan

Kondisi Hutan Massa Karbon Tanah Gambut (ton C/ha)

100 - 300 cm 300 - 400 cm Rata-rata

Hutan Primer 1094,96 1979,77 1537,37

Hutan Bekas Tebangan 1540,91 1886,62 1713,77

Hutan Sekunder 1122,55 1850,23 1486,39

Hutan Terdegradasi 571,49 1839,69 1205,59

Rata-rata 1082,48 1889,08 1485,78

Penelitian Istomo (2006) menunjukan nilai 2900 sampai dengan 4600 ton/ha pada kedalaman 2 sampai 5 m. Menurut Wahyunto et al. (2003), simpanan karbon tanah gambut di Riau adalah 2900 ton/ha pada kedalaman 2 sampai 4 m.

7. Biomassa Total dalam Tanah dan Vegetasi Hutan Gambut Tropika

Biomassa pohon dan permudaan (pohon, tiang, pancang, dan semai) di atas tanah pada penelitian ini merupakan bagian terbesar dari seluruh biomassa tumbuhan hutan rawa gambut yaitu rata-rata mencapai 57,70%. Biomassa tumbuhan non pohon (herba, semak, dan tumbuhan bawah) rata-rata 3,35%. Biomassa tumbuhan mati (serasah dan nekromassa) di lantai hutan adalah sebesar 17,15%. Biomassa di bawah permukaan tanah yang meliputi biomassa akar seluruh jenis rata-rata 21,80%. Kondisi ini berbeda dengan hasil studi Hairiah dan Rahayu (2007) bahwa biomassa pohon menyumbangkan 90% dari total biomassa tumbuhan, sementara itu nekromassa, serasah, tumbuhan bawah, semak dan herba hanya memberikan kontribusi biomassa sekitar 10%.

Biomassa pohon di atas permukaan tanah hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Istomo (2006) dan Istomo et al. (2009) di hutan gambut Kalimantan Tengah, yaitu 247,50 ton/ha di hutan primer, 111,40 ton/ha di hutan bekas tebangan, 65,00 ton/ha di hutan sekunder, dan 6,95 ton/ha di hutan semak belukar. Secara umum, hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat degradasi hutan maka semakin tinggi tingkat penurunan biomassa pohon di atas permukaan.

Hal sejalan juga disampaikan oleh Lasco et al. (2006) yang menyatakan bahwa biomassa pohon di atas permukaan hutan Dipterokarpa lahan kering di Filipina adalah 399 ton/ha di hutan primer, 191 ton/ha di hutan bekas tebangan

(1-5 tahun), 22(1-5,67 ton/ha di hutan bekas tebangan (6-20 tahun), dan 287 ton/ha di hutan bekas tebangan (> 21 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa biomassa pohon di atas permukaan di hutan primer mengalami penurunan setelah dilakukan pemanenan hutan, namun bersifat sementara karena setelah dibiarkan dan tidak diganggu maka hutan sekunder tersebut melakukan rehabilitasi alami, tapi jumlah biomassanya masih lebih kecil daripada di hutan primer. Hasil penelitian Tresnawan dan Rosalina (2002) menyatakan bahwa pembukaan hutan dan perubahan dalam penggunaan lahan yang disebabkan oleh kegiatan pemanenan hutan mengakibatkan pengurangan biomassa dalam jumlah yang sangat besar, yaitu ±100 ton/ha di hutan alam dataran rendah (lahan kering).

Hasil penelitian Baishya et al. (2009) yang menyatakan bahwa hutan hujan tropis semi-evergreen di India menyimpan biomassa di atas permukaan tanah sebesar 323,9 ton/ha. Chave et al. (2005) menyebutkan bahwa hutan alam hujan tropis Amazone di Amerika Selatan bagian timur menyimpan biomassa di atas permukaan tanah rata-rata sebesar 376,67 ton/ha. Cairns et al. (2003) menunjukkan bahwa hutan alam semi-evergreen di Meksiko memiliki biomassa di atas permukaan sebesar 225 ton/ha. Selain itu, Kiyono et al. (2010) menyatakan bahwa hutan lahan kering di Kambodia memiliki biomassa pohon 365,27 ton/ha di hutan primer dan 121,43 ton/ha di hutan sekunder. Hasil pendugaan biomassa dalam penelitian ini relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian biomassa dengan beberapa tipe hutan lain di lahan kering. Rendahnya biomassa di hutan rawa gambut sangat berkaitan dengan kondisi tempat tumbuh gambut yang jenuh air dan miskin hara. Hutan tanah mineral di lahan kering memiliki tingkat keanekaragaman flora yang lebih tinggi daripada hutan gambut. Selain itu, vegetasi hutan di tanah mineral (lahan kering) lebih banyak dibandingkan dengan hutan rawa gambut, sehingga penurunan biomassa akibat kegiatan pemanenan hutan akan lebih tinggi dibandingkan dengan hutan rawa gambut.

Sumber karbon lain yang cukup besar di hutan alam produksi adalah bahan organik mati (dead organic matter) termasuk di dalamnya serasah dan nekromasa yang memiliki tingkat dekomposisi yang berbeda-beda. Walaupun dengan

penerapan pembalakan berdampak rendah (reduced impact logging_RIL),

daripada di hutan primer (Palace et al. 2007). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian ini, bahwa nekromassa yang terdapat di hutan sekunder dan di hutan bekas tebangan adalah 50% dan 100% lebih besar daripada nekromassa di hutan primer. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Dymond et al. (2010) yang menuliskan bahwa sumber utama biomassa kayu mati di hutan Canada yang dikelola secara lestari adalah biomassa kayu mati akibat pemanenan hutan sebesar 12,23 ton/ha dan akibat gangguan alam sebesar 31,37 ton/ha. Dalam penelitian ini, biomassa kayu mati akibat pemanenan hutan sebesar 40,25 ton/ha dan akibat gangguan alam sebesar 42,25 ton/ha.

8. Simpanan Karbon Total dalam Tanah dan Vegetasi Hutan Gambut

Tropika

Gibbs et al. (2007) menyampaikan bahwa hal penting yang harus dilakukan untuk mengestimasi emisi CO2 secara akurat dari degradasi hutan adalah dengan cara menghitung perbedaan simpanan karbon hutan berdasarkan tingkat degradasi hutan dari kondisi hutan primer ke hutan bekas tebangan, hutan sekunder, dan hutan terdegradasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa massa karbon pohon dan permudaan adalah sebesar 133,43 ton C/ha di hutan primer, 97,19 ton C/ha di hutan bekas tebangan, dan 86,43 ton C/ha di hutan sekunder. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Ludang dan Jaya (2007) bahwa karbon yang tersimpan di hutan gambut Kalimantan Tengah sebesar 351,33 tonC/ha di hutan primer, 173,33 ton C/ha di hutan bekas tebangan, dan 143,33 di hutan bekas terbakar. Perbedaan tersebut diduga diakibatkan oleh perbedaan faktor lingkungan dan faktor tegakan hutan. Selain itu setiap jenis pohon juga memiliki kemampuan berbeda dalam menyerap karbon dan dipengaruhi oleh faktor umur, diameter pohon dan kondisi tempat tumbuh.

Lasco (2002) mengatakan bahwa aktivitas pemanenan kayu di hutan lahan kering berperan dalam menurunkan cadangan karbon di atas permukaan tanah minimal 50%. Hal tersebut tidak sesuai dengan data hasil penelitian ini bahwa penurunan cadangan karbon di atas permukaan tanah dari hutan primer ke hutan bekas tebangan mencapai 27%, dari hutan primer ke hutan sekunder mencapai 35%, dan dari hutan primer ke hutan yang telah terdegradasi mencapai 98%. Pada

penelitian ini, simpanan karbon di atas permukaan tanah adalah 133,43 ton C/ha di hutan primer, 97,19 ton C/ha di hutan bekas tebangan, 86,43 ton C/ha di hutan sekunder, dan 2,96 ton C/ha di hutan terdegradasi. Dengan demikian, peningkatan