• Tidak ada hasil yang ditemukan

Carbon emission reduction potential through sustainable forest management in forest concession of PT Salaki Summa Sejahtera, Province of West Sumatra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Carbon emission reduction potential through sustainable forest management in forest concession of PT Salaki Summa Sejahtera, Province of West Sumatra"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

MELALUI PENERAPAN PENGELOLAAN HUTAN

LESTARI DI AREAL HUTAN KONSESI PT SALAKI

SUMMA SEJAHTERA,

PROVINSI SUMATERA BARAT

IWAN HILWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Potensi Reduksi Emisi Karbon melalui Penerapan Pengelolaan Hutan Lestari di Areal Hutan Konsesi PT Salaki Summa Sejahtera, Provinsi Sumatera Barat, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

Iwan Hilwan

(3)

IWAN HILWAN. Carbon Emission Reduction Potential through Sustainable Forest Management in Forest Concession of PT Salaki Summa Sejahtera, Province of West Sumatra. Under supervisors of ANDRY INDRAWAN, SUPRIYANTO and TEDDY RUSOLONO.

A management unit (MU) of a forest concession holder implementing the sustainable forest management (SFM) principles, could be involved in REDD+ and carbon trading project. The fact, the strategic in implementing the REDD+ and carbon trading in MU level is still lack of pilot project and methodology. Therefore some scenarios must be developed and tested to find out the best potential of carbon credit in MU level. The objectives of the research were: (1) to calculate carbon credit in some SFM scenario, (2) to analyze of carbon trading project feasibility, and (3) to determine carbon stock recovery period of logged over area (LOA). The result revealed that carbon stock and carbon credit of LOA was affected by timber cutting intensity. 6th scenario with lowest AAC (annual allowable cutting) obtained greater carbon credit and profit coming from timber harvesting income and carbon trading. In other hand, this scenario has shortest duration of carbon stock recovery period (27 years) and shorter than its cutting cycle. In this case, the MU has to recalculate and to decrease its AAC to have highest benefits from carbon trading in the same cutting cycle period. It will provide double benefits from carbon trading, those are contribution in achieving the SFM purposes (production, ecology, social) and climate change mitigation.

(4)

Pengelolaan Hutan Lestari di Areal Hutan Konsesi PT Salaki Summa Sejahtera, Provinsi Sumatera Barat. Dibimbing oleh ANDRY INDRAWAN, SUPRIYANTO dan TEDDY RUSOLONO.

Mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan melibatkan berbagai pihak, salah satunya adalah unit manajemen (UM) IUPHHK-HA. Menurut Permenhut No.P.30/Menhut-II/2009, areal kerja IUPHHK-HA menjadi salah satu lokasi pelaksanaan REDD. UM yang akan melaksanakan REDD/REDD+ diwajibkan menerapkan PHL. UM yang telah menerapkan PHL berkesempatan memperoleh manfaat ekonomi dari proyek perdagangan karbon melalui skema REDD+. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menaksir jumlah stok karbon dan kredit karbon yang dihasilkan melalui beberapa skenario pemanfaatan kayu dalam kerangka PHL, (2) menganalisis kelayakan usaha perdagangan karbon, dan (3) memprediksi durasi periode pulih stok karbon tegakan tinggal.

Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada bulan November 2011 di areal kerja PT Salaki Summa Sejahtera (PT SSS) di Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Data primer diambil di areal hutan belum ditebang (ABD) dan LOA 2008, 2009, 2010, dan 2011 di blok hutan Tiniti. Disimulasikan enam skenario pemanfaatan kayu (skenario PHL) yang diformulasikan berdasarkan parameter rotasi tebangan, limit diameter setinggi dada (DBH), tanpa gangguan perambah, dan penerapan RIL (reduce impact logging). Sebagai pembandingnya adalah skenario baseline yaitu pemanfaatan kayu dalam pengelolaan hutan yang belum menerapkan PHL dengan intensitas tebangan tertinggi, mendapat gangguan perambah, dan masih menerapkan teknik pembalakan konvensional (CL, conventional logging). Estimasi stok karbon hutan menggunakan gain-loss method. Faktor pengurang simpanan karbon adalah: kegiatan pemanenan, kerusakan tegakan tinggal akibat pembalakan, tegakan yang ditebang saat pembukaan wilayah hutan (PWH), dan perambahan hutan. Sedangkan faktor penambah cadangan karbon hutan adalah: penanaman pengayaan, penanaman rehabilitasi, nekromassa berkayu, serta

(5)

skenario baseline dengan JPT terbesar (91.006 m3/th) terjadi pengurangan stok karbon tertinggi yakni 19,22%, sebaliknya pada skenario-6 dengan JPT tekecil (56.807 m3/th), justru terjadi peningkatan stok karbon sebesar 0,79%.

Jumlah akumulasi serapan karbon tiap skenario selama 30 tahun merupakan kredit karbon yang berhasil dikumpulkan. Skenario dengan JPT terkecil akan menghasilkan kredit karbon terbesar, seperti tampak pada skenario-6 yang berhasil memperoleh kredit karbon tertinggi yaitu 38,26 MtCO2e.

Hasil analisis finansial menunjukkan, pada tingkat harga karbon 4, 5, dan 6 USD/tCO2e dan tingkat suku bunga diskonto 10%, 12%, an 14% per tahun,

proyek karbon pada skenario PHL (skenario 1-6) layak untuk dikembangkan karena memenuhi kriteria NPV ≥ 0 dan BCR ≥ 1. Pada tingkat harga karbon 4 USD/tCO2e dan suku bunga diskonto 12%, jumlah penerimaan dari jasa serapan

karbon cukup besar sehingga total penerimaan dari kayu dan jasa sekuestrasi karbon melampaui penerimaan dari kayu saja (skenario baseline). Jika UM menerapkan skenario-6, pendapatan dari hasil pemanfaatan kayu relatif lebih kecil akibat berkurangnya JPT yakni hanya Rp 73,64 milyar, namun penerimaan dari jasa serapan karbon sangat besar yaitu Rp 90,41 milyar sehingga total penerimaannya meningkat tajam menjadi Rp 164,04 milyar atau Rp 5,47 milyar/th, melebihi skenario lainnya. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan, perubahan biaya transaksi 20% maupun harga log 15,4%, proyek karbon tetap layak untuk dijalankan. Proyek karbon sangat peka terhadap perubahan harga log, sehingga tingkat harga jual log menjadi variable penting yang akan memengaruhi keuntungan yang diperoleh UM.

(6)

Maka dari itu potensi tegakan tinggal harus tetap terjaga dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, tegakan yang akan dimanfaatkan pada rotasi berikutnya, kondisinya harus sudah pulih kembali seperti keadaan sebelum ditebang. Dari tujuh skenario, hanya skenario-6 yang memiliki periode pulih lebih singkat dari rotasi tebangnya (27 th). Apabila skenario-6 ini diterapkan, maka kelangsungan produksi akan terjamin karena begitu rotasi pertama selesai, UM dapat langsung memasuki rotasi tebang berikutnya tanpa jeda waktu. Untuk itu, sangat bijaksana jika UM PT SSS memilih skenario 6 karena akan memetik banyak manfaat. Manfaat pertama, tegakan LOA akan pulih dalam jangka waktu kurang dari 30 th, kedua, penerimaan total dari kayu dan karbon tertinggi di antara skenario lainnya, dan ketiga, dengan JPT rendah, akan mengurangi dampak buruk pembalakan terhadap tegakan tinggal maupun kondisi tanah dan air. Manfaat lainnya adalah terlindunginya keanekaragaman hayati dari berbagai gangguan, dan turut serta dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

Hasil kajian di PT SSS ini diharapkan dapat dijadikan salah satu acuan guna mengatasi masalah penurunan potensi hutan produksi. Langkah pertama seluruh UM IUPHHK-HA yang masih aktif harus menerapkan PHL. Selanjutnya adalah melakukan perhitungan ulang atas JPTnya agar diperoleh besaran JPT yang menghasilkan durasi periode pulih yang lebih singkat dari rotasi tebangnya. Setelah itu, UM perlu didorong untuk segera ambil bagian dalam penyelenggaraan karbon hutan, seperti yang diatur oleh Permenhut No.P.20/Menhut-II/2012. Dengan masuknya UM ke dalam penyelenggaraan karbon hutan, diharapkan kelangsungan usahanya tetap terjamin dan UM memperoleh manfaat finansial yang lebih besar. Langkah terpadu dalam tiga aspek yakni: implementasi PHL, penentuan JPT yang menjamin periode pulih sama dengan rotasi tebangnya, dan keterlibatan UM dalam penyelenggaraan karbon hutan, merupakan salah satu solusi ke arah penyelamatan hutan produksi di Indonesia dari ancaman degradasi.

(7)

(c) Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

DI AREAL HUTAN KONSESI PT SALAKI SUMMA

SEJAHTERA, PROVINSI SUMATERA BARAT

IWAN HILWAN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Provinsi Sumatera Barat

Nama : Iwan Hilwan

NIM : E461070031

Program Studi/Mayor : Silvikultur Tropika

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. Ketua

Dr. Ir. Supriyanto Anggota

Dr. Ir. Teddy Rusolono, M.S. Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Silvikultur Tropika Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Basuki Wasis, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(10)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil disusun. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2011 ini ialah peningkatan simpanan karbon hutan yang dikaitkan dengan pengurangan intensitas tebangan dan Pengelolaan Hutan Lestari, dengan judul “Potensi Reduksi Emisi Karbon melalui Penerapan Pengelolaan Hutan Lestari di Areal Hutan Konsesi PT Salaki Summa Sejahtera, Provinsi Sumatera Barat”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing, serta Dr. Ir. Supriyanto, dan Dr. Ir. Teddy Rusolono, M.S. selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas arahan dan bimbingannya sejak penyusunan proposal penelitian, selama penelitian dan analisis data, hingga penyusunan disertasi ini. Begitu juga ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Bahruni, M.S. dan Dr.Ir. Upik Rosalina, DEA yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup tanggal 17 Juli 2012. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Kehutanan IPB dan Rektor IPB yang telah mengijinkan penulis melanjutkan studi doktor di IPB, serta kepada Ketua Departemen Silvikultur dan rekan-rekan staf pengajar di Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Terima kasih dan penghargaan juga tidak lupa penulis sampaikan kepada jajaran Direksi PT Salaki Summa Sejahtera beserta staf lapangannya atas segala bantuan dan dukungannya selama pengumpulan data lapangan. Ungkapan terima kasih tak terhingga juga disampaikan kepada ibu penulis, ibu mertua, istri, anak-anak, dan seluruh keluarga besar, atas segala do‟a dan kasih sayangnya.

Mudah-mudhan semua pemikiran yang tertuang di dalam disertasi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama yang sangat peduli terhadap pengelolaan hutan yang lestari di bumi Indonesia.

Bogor, Agustus 2012

(11)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 04 Februari 1960 sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara dari pasangan Muhammad Zaenuddin (alm.) dan Siti Sholihat. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1985. Pada tahun 1988 penulis menempuh pendidikan S-2 di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), dan meraih gelar Magister Sains pada tahun 1992. Selama menempuh pendidikan master penulis memperoleh beasiswa TMPD dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan menempuh pendidikan doktor (S-3) pada Program Studi/Mayor Silvikultur Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor sekaligus memperoleh beasiswa dari program BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Sejak tahun 1987 penulis menjadi staf pengajar di Laboratorium Ekologi Hutan, Jurusan Manajemen Hutan dan Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Mata kuliah yang diasuh adalah Dendrologi, Ekologi Hutan, dan Ekologi Jenis Pohon Tropika. Penulis pernah mengikuti berbagai kursus, beberapa di antaranya pada tingkat Asia Tenggara, seperti Kursus Taksonomi Tumbuhan (Herbarium Bogoriense, Bogor), Kursus Forest Health Monitoring

(SEAMEO-BIOTROP, Bogor), dan Kursus Forest Biodiversity Management

(UPLB, Los Banos, Filipina). Organisasi yang pernah diikuti antara lain Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki) dan Penggalang Taksonomi Tumbuhah Indonesia (PTTI). Karya ilmiah yang berjudul “Potensi Kredit Karbon di Hutan Produksi melalui Pengelolaan Hutan Lestari” dan merupakan bagian dari disertasi ini akan diterbitkan pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika (JMHT) Volume XVIII Nomor 3 Edisi Desember 2012.

(12)

DAFTAR TABEL ……….….. x

2.8. Perlindungan Keragaman Hayati di dalam REDD+ ……… 19

2.9. Biomassa, Karbon, dan Penyerapan Karbon ……….. 20

2.10.Pendugaan Simpanan Karbon ……….. 22

2.11.Metode Pendugaan Karbon Tegakan ………... 25

2.12.Analisis Manfaat Perdagangan Karbon Hutan ………. 27

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……… 29

4.4. Skenario Pemanfaatan Kayu ………. 38

(13)

4.5.3. Nekromassa Berkayu ……… 44

4.5.4. Laju Deforestasi ………... 46

4.5.5. Kerusakan Tegakan Tinggal akibat Pembalakan ………….. 46

4.5.6. Jumlah Tebangan dalam Kegiatan PWH ………. 47

4.5.7. Limbah Tebangan ……… 47

4.5.8. Stok Karbon Tanaman Pengayaan ……….. 47

4.5.9. Stok Karbon Tanaman Rehabilitasi ………. 48

4.5.10.Perkembangan Potensi dan Stok Karbon ……… 49

4.5.11.Pendugaan Kandungan Karbon Tegakan ………. 50

4.5.12.Analisis Manfaat Proyek Karbon ………. 51

4.5.13.Periode Pulih Stok Karbon Tegakan LOA ……… 52

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 54

5.1. Karakteristik Vegetasi Hutan di PT SSS ………. 54

5.1.1. Jumlah Spesies Tumbuhan ……… 54

5.1.2. Keanekaragaman dan Kekayaan Jenis ………. 55

5.1.3. Tingkat Kemerataan dan Dominansi Jenis ……… 57

5.1.4. Spesies Dominan dan Kodominan ………. 58

5.1.5. Tingkat Kesamaan Komunitas ……….. 59

5.1.6. Struktur Tegakan ……… 61

5.2. Unsur-unsur yang Meningkatkan Sumpanan Karbon Hutan……… 63

5.2.1. Regrowth ………. 63

5.2.2. Nekromassa Berkayu ………... 64

5.2.3. Serapan Karbon Tanaman Rehabilitasi ……… 66

5.2.4. Serapan karbon Tanaman Pengayaan ……….. 68

5.3. Unsur-unsur yang Mengurangi Simpanan Karbon Hutan ..………. 70

5.3.1. Pemanenan Kayu ………. 70

5.3.2. Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal ………... 71

5.3.3. Deforestasi ……… 74

5.8. Periode Pulih Stok Karbon Tegakan LOA ……….. 89

(14)

111

6.1. Kesimpulan ……….. 111

6.2. Saran ……… 111

DAFTAR PUSTAKA ………. 112

(15)

Halaman

1 Karbon yang hilang dan disimpan akibat penerapan metode CL dan RIL .. 13

2 Persamaan Biomassa (Biomass Equations) ... 26

3 Nilai BCEF berdasarkan kisaran volume tegakan (VOB) ………. 27

4 Penataan Areal kerja PT Salaki Summa Sejahtera ... 32

5 Kerapatan rata-rata per hektar beserta potensinya hasil IHMB 2010 …….. 34

6 Skenario pemanfaatan kayu ………. 39

7 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam analisis ... 39

8 Jumlah jenis tumbuhan ... 54

9 Indeks Keanekaragaman Jenis (H‟) ... 55

10 Indeks Kekayaan Jenis (R1) ... 56

11 Indeks Kemerataan Jenis (E) ... 57

12 Indeks Dominansi Jenis (C) ... 57

13 Indeks Kesamaan Komunitas (IS) ... 59

14 Jenis tumbuhan dominan dan kodominan ... 60

15 Kerapatan (K) setiap tingkat pertumbuhan ... 61

16 Persamaan matematis struktur tegakan ... 61

17 Bobot nekromassa berkayu setelah penebangan ……….. 65

18 Stok karbon nekromassa di akhir proyek ……….. 65

19 Persamaan regresi linier antara intensitas tebangan dengan panjang JU, JC, dan luas TPn ………. 66

20 Serapan karbon tanaman rehabilitasi ……… 68

21 Panjang jalan sarad dan jumlah tanaman pengayaan ……….. 69

22 Intensitas tebangan dan JPT volume pada setiap skenario ………. 71

23 Jumlah dan volume pohon per hektar yang rusak berat akibat kegiatan pemanenan ……….. 73

24 Luas pembukaan wilayah hutan (PWH) per hektar hutan ……….. 74

25 Potensi stok karbon di awal dan di akhir proyek (di dalam 33.205 ha)….. 77

26 Jumlah kredit karbon di akhir proyek pada setiap scenario ……… 78

27 Hasil analisis finansial skenario-1 ……….. 82

(16)

31 Hasil analisis finansial skenario-5 ………. 85

32 Hasil analisis finansial skenario-6 ……… 86

33 Analisis sensitivitas proyek perdagangan karbon pada skenario-1 (harga karbon 4 USD per tCO2e) ………. 88

34 Persamaan garis perkembangan stok karbon tegakan LOA ……… 90

35 Periode pulih stok karbon tegakan LOA dan JPT ……… 91

(17)

Halaman

1 Kerangka berfikir (logical framework) penelitian ………... 5

2 Bentuk dan Ukuran Petak Contoh Penelitian (PCP) dan Petak Ukur (PU)... 43

3 Metode gain-loss dalam perhitungan perubahan simpanan karbon (Murdiyarso et al. 2008, Rusolono & Tiryana 2011) ……….. 55

4 Indeks Keanekaragaman Jenis (H‟) di setiap plot……… 56

5 Indeks dominansi jenis (C) di setiap plot pengamatan ………. 58

6 Struktur tegakan di dalam plot pengamatan ………. 62

7 Regrowth atau riap volume tegakan LOA ……… 64

8 Garis regresi linier antara umur dan diameter sengon ……….. 67

9 Perkembangan stok karbon tanaman sengon ……… 69

10 Perkembangan stok karbon tanaman Shorea selanica ………. 70

11 Perkembangan stok karbon tegakan LOA selama proyek ……… 77

12 Kredit karbon per tahun selama proyek (MtCO2e/th) ……….. 78

13 Penerimaan dari proyek perdagangan karbon pada tingkat harga karbon 4 USD/tCO2e dan suku bunga diskonto 12% ……..……… 87

14 Periode pulih (recovery period) stok karbon tegakan LOA ………. 90

15 Hubungan antara periode pulih stok karbon tegakan LOA dan JPT (m3/th) 91 16 Kurva tingkat degradasi hutan dan periode pulih (Sasaki et al. 2011) ……. 93

17 (A) Ilustrasi asli dari Putz et al. (2008), (B) hasil rekonstruksi dengan memperpanjang garis kurva (garis terputus-putus) ………. 95

(18)

Halaman

1 Daftar jenis pohon di areal IUPHHK PT Salaki Summa Sejahtera ……... 121 2 Perkembangan stok karbon pada tegakan LOA ………. 129 3 Jumlah kredit karbon tiap skenario ……… 130 4 Perkembangan stok karbon tanaman rehabilitasi dan pengayaan ……….. 131 5 Perkembangan stok karbon nekromassa ………..……… 132 6 Perkembangan stok karbon pada periode pulih berdasarkan persamaan

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan dan perubahan iklim berkaitan sangat erat karena ekosistem hutan memengaruhi iklim melalui penyerapan dan penyimpanan karbon dalam kayu, daun, dan tanah. Ketika hutan terbakar, dipanen kayunya, atau ditebang habis, karbon dilepaskan ke atmosfer (IPCC 2001 dalam Dresner et al. 2007). Dengan demikian, dalam konteks perubahan iklim, hutan memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai sumber emisi (source) dan sebagai penyerap (sink) karbon.

Laju deforestasi di Indonesia bervariasi dari 1,7 juta hektar per tahun (1985-1997), kemudian meningkat tajam menjadi 2,8 juta hektar per tahun (1997-2000) dan menurun lagi menjadi 1,2 juta hektar per tahun pada rentang tahun 2000-2005 (FAO, 2009 dalam CIFOR 2009). Di Indonesia, laju pengurangan luas hutan (deforestasi) sebesar 6% per tahun yang dua pertiganya diakibatkan oleh degradasi hutan dan sepertiganya disebabkan oleh deforestasi (Schoene 2006 dalam Murdiyarso et al. 2008).

Memperhatikan kondisi hutan di Indonesia tersebut, maka diperlukan segera tindakan mitigasi guna mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan penyimpanan karbon dalam rangka mengatasi perubahan iklim. Guna mengurangi 20% emisi yang berkaitan dengan hutan, diperlukan pendekatan konservasi yang baru dan lebih efektif. Salah satu pendekatan tersebut adalah REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Inisiatif REDD dihasilkan dalam COP-13 di Bali pada 2007 dan diperluas menjadi REDD+ dalam pertemuan di Poznan, Polandia pada 2008. Dalam skema REDD+ ini, transfer finansial tidak hanya digunakan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, namun juga akan digunakan untuk melakukan konservasi cadangan karbon di hutan, pengelolaan hutan lestari (PHL) atau

(20)

Sejalan dengan mitigasi perubahan iklim, Pemerintah RI bertekad menindaklanjuti hasil COP-15 pada 2009 di Kopenhagen, Denmark, di antaranya dengan membuat rencana aksi nasional untuk mengurangi emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020. Dalam upaya pencapaian target pengurangan emisi tersebut, Kementerian Kehutanan telah menetapkan delapan kebijakan prioritas 2010-2014, salah satunya adalah Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan (Masripatin 2010).

Dalam kaitan dengan mitigasi perubahan iklim di sektor Kehutanan, reduksi emisi karbon di hutan produksi sangat mendesak dan paling strategis untuk dilakukan. Sesuai fungsinya sebagai areal produksi hasil hutan, hutan produksi tak luput dari degradasi akibat kegiatan pembalakan yang ditandai oleh berkurangnya tutupan tajuk dan simpanan karbon. Pada rentang waktu 2000-2005, berdasarkan fungsi hutannya, sumber emisi terbesar berasal dari Hutan Produksi (sekitar 1.150 juta ton CO2e), disusul berturut-turut Areal Penggunaan

Lain (sekitar 575 juta ton CO2e), Hutan Konversi (sekitar 400 juta ton CO2e),

Hutan Konservasi (sekitar 100 juta ton CO2e), dan Hutan Lindung (sekitar 50 juta

ton CO2e) (Masripatin 2010).

(21)

1.2. Perumusan Masalah

(22)

Penyelenggaraan Karbon Hutan, disebutkan bahwa selain pengelolaan hutan yang menerapkan kegiatan –kegiatan penyimpanan dan penyerapan karbon, juga dapat berupa kegiatan penurunan emisi karbon. Dalam kaitan ini, dipandang sangat relevan untuk dikaji seberapa besar kredit karbon yang akan diperoleh UM apabila melakukan beberapa praktik pengelolaan tadi, serta menaksir nilai manfaat ekonominya jika UM terlibat dalam penyelenggaraan karbon hutan. Berbagai tindakan pengelolaan yang akan dikaji tersebut, semuanya akan diformulasikan dalam beberapa skenario pemanfaatan hutan (skenario PHL) yang nantinya dibandingkan dengan skenario baseline (skenario non-PHL). Selain itu terkait dengan PHL, dirasakan penting juga menentukan skenario PHL yang mana yang akan menghasilkan periode pulih stok karbon tegakan LOA yang sama atau lebih singkat durasinya dari rotasi tebangan.

Sehubungan dengan hal itu, guna memperoleh gambaran yang lebih mendalam perihal keterkaitan antara penerapan beberapa macam praktik PHL dengan kredit karbon yang dihasilkan dan penyelenggaraan karbon hutan dalam skema REDD+, maka perlu dilakukan kajian dan analisis mengenai:

1. Seberapa banyak penurunan emisi karbon hutan dan jumlah kredit karbon yang dihasilkan melalui beberapa skenario pemanfaatan kayu. Praktik-praktik PHL yang digunakan dalam menyusun skenario pemanfaatan kayu adalah: memperpanjang rotasi tebangan, menaikkan batas DBH (diameter setinggi dada) tebangan, menerapkan RIL, mencegah deforestasi, dan mengurangi JPT sebesar 25%.

2. Jika UM telah menghasilkan sejumlah kredit karbon dan kemudian ingin memperdagangkan karbon hutan, maka perlu dianalisis kelayakan usaha perdagangan karbon tersebut dan dihitung besarnya keuntungan finansial yang akan diraih dari berbagai skenario PHL.

(23)

Secara skematis, kerangka berfikir (logical framework) penelitian ini

Gambar 1. Kerangka berfikir (logical framework) penelitian

(24)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menaksir jumlah penurunan emisi karbon dan kredit karbon yang dihasilkan melalui beberapa skenario pemanfaatan kayu.

2. Menganalisis kelayakan usaha implementasi kegiatan karbon hutan dan menghitung keuntungan finansial yang akan diraih dari berbagai skenario PHL.

3. Memprediksi durasi periode pulih stok karbon tegakan bekas tebangan.

1.4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Penerapan beberapa praktik PHL akan menghasilkan sejumlah kredit karbon. 2. Proyek perdagangan karbon di hutan produksi secara finansial layak

dikembangkan.

3. Semakin besar pengurangan JPT, semakin singkat durasi pulih stok karbon tegakan tinggal.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini antara lain:

(25)

2. Dari aspek pengembangan penelitian, kajian ini diharapkan berkontribusi positif memperluas khasanah pengetahuan dalam bidang pengelolaan hutan alam produksi lestari yang dikaitkan dengan mitigasi perubahan iklim di hutan produksi.

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ruang Lingkup REDD+

Pada tahun 2005, pembahasan terfokus hanya kepada ‟pengurangan emisi dari deforestasi‟ (reducing emissions from deforestation atau RED). Namun ternyata di beberapa negara berkembang, masalah degradasi hutan lebih besar dibandingkan dengan deforestasi, untuk itu pencegahan degradasi hutan (avoid forest degradation) secara resmi disetujui dalam COP-13 di Bali sehingga RED berubah menjadi ’reducing emissions from deforestation and forest degradation‟ atau REDD (Wertz-Kanounnikoff dan Angelsen 2009).

Pada tahun 2008, dalam pertemuan di Poznan, Polandia, dihasilkan konsesus bahwa kegiatan REDD diperluas menjadi REDD+. Menurut UNFCCC, REDD+ adalah serangkaian pendekatan kebijakan dan insentif positif dalam rangka mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, serta peran konservasi hutan, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan cadangan karbon hutan di negara-negara berkembang. Dengan demikian, tanda “+” mengandung pengertian: peningkatan cadangan karbon hutan, berupa regenerasi dan rehabilitasi hutan, pengurangan/pencegahan degradasi, pengurangan emisi, dan penyerapan karbon. Untuk itu dalam REDD+ terdapat tiga macam perubahan, yaitu: (1) deforestasi, yang bermakna luas areal hutan berkurang, (2) degradasi, yaitu kerapatan karbon berkurang, dan (3) regenerasi dan rehabilitasi hutan, yaitu kerapatan karbon meningkat (Angelsen 2009).

2.2. Pelaksanaan REDD/REDD+ di Indonesia

(27)

Indonesia melalui IFCA telah menetapkan Road Map REDD Indonesia (REDDI) yang terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu:

1. Fase Persiapan/Readiness (tahun 2007/sebelum COP-13) untuk penyiapan perangkat metodologi atau arsitektur dan strategi implementasi REDDI, komunikasi/koordinasi/konsultasi stakeholders, termasuk penentuan kriteria untuk pemilihan lokasi pilot/percontohan,

2. Fase Pilot/Transisi (2008-2012): menguji metodologi dan strategi, dan transisi dari non-market (fund-based) ke mekanisme pasar (market mechanism), 3. Fase Implementasi Penuh (dari 2012 atau lebih awal tergantung

perkembangan negosiasi dan kesiapan Indonesia), dengan tata cara (rules and procedures) berdasarkan keputusan COP dan ketentuan di Indonesia.

Indonesia pada COP-15 di Kopenhagen, Denmark pada 2009 berkomitmen menurunkan emisi GRK Indonesia sebesar 26% dengan kemampuan sendiri dan dapat bertambah menjadi 41% bila ada kerja sama internasional pada tahun 2020 yang akan datang. Sejalan dengan target pengurangan emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020 tersebut, Kementerian Kehutanan telah menetapkan Delapan Kebijakan Prioritas 2010-2014, salah satu kebijakan prioritasnya adalah Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan (Masripatin 2010).

Pada 26 Mei 2010 di Oslo, Pemerintah RI dan Kerajaan Norwegia telah menandandatangai LoI (Letter of Intent) berisi kesepakatan kerjasama dalam penurunan emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan degradasi hutan (REDD+). Dalam kesepakatan itu Pemerintah Norwegia akan memberikan dana sebesar satu milyar dollar AS kepada Pemerintah RI guna mengimplementasikan semua kesepakatan dalam LoI yang seluruhnya berkaitan dengan upaya pelaksanaan REDD+. Salah satu kewajiban dalam LoI tersebut bagi RI adalah melakukan moratorium terhadap semua perijinan baru untuk konversi lahan gambut dan hutan alam selama dua tahun (tahun 2011-2013).

(28)

1. Permenhut No. P.68/Menhut-II/2008, tertanggal 11 Desember 2008 tentang Penyelengaraan Implementasi dari Kegiatan Demonstrasi Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD).

2. Permenhut No. P.30/Menhut-II/2009, tertanggal 1 Mei 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). 3. Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009, tertanggal 22 Mei 2009 tentang Tata

Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung.

4. Permenhut No. P.20/Menhut-II/2012, tertanggal 23 April 2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan.

2.3. Pengelolaan Hutan Lestari (PHL)

Prinsip Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) ini mengubah secara mendasar cara pandang terhadap hutan, yaitu dari cara pandang hutan sebagai penghasil kayu (dalam sustainable yield principles), yang kemudian disempurnakan menjadi fungsi hutan yang bermanfaat ganda (multiple use of the forest principle); ke arah cara pandang hutan sebagai ekosistem yang secara utuh harus memberikan manfaat ekonomis, ekologis, dan sosial budaya bagi manusia, untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang secara berkelanjutan (Suhendang 2002).

Sampai saat ini telah banyak ditetapkan konsep dan definisi mengenai PHL, beberapa di antaranya yang dianggap penting adalah (Helms 1998 dalam Suhendang 2002) :

a. Menurut hasil UNCED (Rio de Janeiro 1992)

PHL adalah pemanfaatan hasil dan nilai-nilai yang dapat diperoleh dari hutan untuk generasi kini dan tidak boleh mengorbankan kemampuan hutan tersebut untuk memberikan hasil dan nilai-nilai yang sama untuk generasi yang akan datang.

b. Menurut International Tropical Timber Organization atau ITTO (1998)

(29)

yang diperlukan secara berkelanjutan, tanpa adanya pengurangan terhadap nilai dan produktivitas hutan di masa yang akan datang dan tanpa adanya dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial. Jadi, PHL mempunyai tiga ciri, yaitu: (1) kesinambungan produksi dan jasa hutan, (2) kelestarian lingkungan fisik hutan (tanah, flora, fauna, hidrologi, iklim), dan (3) kelestarian lingkungan sosial masyarakat (meliputi sosial, ekonomi, dan budaya) (Soerianegara 1995)

Guna kepentingan penerapan prinsip PHL dalam pengurusan hutan di Indonesia, diperlukan seperangkat kriteria dan indikator mengenai PHL, baik untuk pengurusan hutan tingkat nasional maupun pengelolaan hutan pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan (Suhendang 2002). Pada saat ini Indonesia telah memiliki kriteria dan indikator PHL untuk pengelolaan hutan produksi alam pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan yang disusun dengan mengacu kepada (LEI 2000): (1) ITTO Criteria and Indicators for Sustainable Management of Natural Tropical Forest, (2) The International Organization for Standardization (ISO)

Standard 14.000 Series, dan (3) The Principles and Criteria for Forest Management of Forest Stewardship Council (FSC).

Standar Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Pedoman Pelaksanaan Sertifikasi PHPL untuk Indonesia telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) pada tahun 1998.

Kriteria dan indikator yang ditetapkan untuk pengelolaan hutan alam produksi lestari pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan di Indonesia sebagaimana dimuat dalam Standar LEI 5000-1, Sistem Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari, adalah (LEI 2000):

1). Kelestarian Fungsi Produksi, dengan tiga kriteria yaitu: (1) Kelestarian Sumberdaya Hutan, (2) Kelestarian Hasil Hutan, dan (3) Kelestarian Usaha.

2). Kelestarian Fungsi Ekologi, dengan dua kriteria yaitu: (1) Stabilitas Ekosistem, (2) Sintasan (Survival) Spesies Endemik/Langka/Dilindungi.

(30)

Pengembangan Ekonomi Kemunitas dan Karyawan, (3) Terjaminnya Keberlangsungan Integrasi Sosial dan Cultural Komunitas dan Karyawan, (4) Realisasi Tanggung Jawab Rehabilitasi Status Gizi dan Penanggulangan Dampak Kesehatan, dan (5) Jaminan atas Hak-hak Tenaga Kerja.

2.4. Simpanan Karbon melalui Penerapan PHL

Penerapan PHL di suatu areal IUPHHK-HA berpotensi mencegah emisi karbon melalui pencegahan degradasi hutan dan juga meningkatkan penyimpanan karbon melalui pertumbuhan kembali (regrowth) dan restorasi/ rehabilitasi hutan (Rusolono 2009). Di wilayah Peten, Guatemala, konsesi hutan bersertifikat FSC 20 kali lebih rendah laju deforestasi dan laju kebakaran hutannya dibandingkan areal yang dilindungi (Hughell dan Butterfield 2008 dalam Rusolono 2009).

Menurut Masripatin (2010), terkait dengan perubahan iklim, selain PHL, semua kegiatan kehutanan Indonesia pada dasarnya masuk dalam kategori pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+), sebagai contoh:

1 Pengurangan emisi dari deforestasi melalui pencegahan atau meminimalkan konversi hutan, pencegahan perambahan yang berakhir dengan perubahan tata guna lahan,

2. Pengurangan degradasi hutan melalui pemanenan kayu ramah lingkungan atau reduce impact logging (RIL), pemberantasan illegal logging, pengendalian kebakaran, dan penanganan perladangan berpindah,

3. Menjaga stok karbon melalui konservasi hutan,

4. Peningkatan stok karbon hutan melalui penanaman dan kegiatan lain yang mendorong peremajaan hutan, misalnya melalui restorasi hutan.

(31)

Produksi yaitu pada Kriteria 2: Kelestarian Hasil Hutan dan Indikator P2.8: Penerapan reduce impact logging (LEI 2000).

Upaya pengurangan emisi karbon global selain dilakukan melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, juga dapat dicapai melalui perbaikan pengelolaan hutan (improved forest management, IFM) (Putz et al. 2008). Salah satu bentuk IFM adalah penerapan RIL di hutan alam produksi. Menurut Hurd (2009), RIL adalah serangkaian tindakan atau praktik guna meminimalkan dampak negatif terhadap hutan dari operasi pemanenan kayu. Adapun menurut CIFOR (2009), RIL atau pembalakan berdampak rendah, adalah penebangan pohon yang dilakukan dengan terencana dan berdasarkan prinsip kehati-hatian untuk meminimalkan dampak terhadap lingkungan di sekitarnya. RIL juga dapat mengurangi emisi gas yang disebabkan oleh kegiatan pembalakan.

Berdasarkan kajian Putz et al. (2008) di Malaysia, pada periode 30 tahun setelah penebangan, di kawasan hutan bekas tebangan (LOA) yang dibalak dengan metode RIL diprediksi memiliki simpanan karbon lebih tinggi 30 ton/ha dibandingkan dengan LOA yang dibalak dengan metode pemanenan konvensional (conventional logging, CL). Dengan demikian penerapan RIL akan mengurangi emisi karbon sekitar 30%. Hal yang sama ditemukan pula pada hasil uji coba di kawasan hutan Amazon, Brasil (Tabel 1).

Tabel 1 Karbon yang hilang dan disimpan akibat penerapan metode CL dan RIL

No. Keterangan Malaysia Brasil

1 Total karbon di hutan yang tidak ditebang (ton C/ha) 213 186

2 Intensitas tebangan (m3/ha) 125 30

3 Karbon yang hilang dan disimpan setelah 30 tahun

a. Hilang karena metode CL (ton C/ha) 108 19

b. Hilang karena metode RIL (ton C/ha) 78 12

c. Karbon yang disimpan oleh metode RIL (ton C/ha) 30 7

4. Karbon yang hilang dan disimpan setelah 60 tahun

a. Hilang karena metode CL (ton C/ha) 93 24

b. Hilang karena metode RIL (ton C/ha) 57 14

(32)

Selain itu, penerapan RIL dapat mencegah 50% kerusakan pada tegakan tinggal. Apabila RIL diterapkan di seluruh hutan tropika dunia, akan mengurangi emisi sebesar 0,16 gigaton karbon/tahun, atau sekitar 10% dari total emisi karbon dari deforestasi hutan tropika global sebesar 1,5 gigaton karbon/tahun (atau 20% total emisi karbon antropogenik global). Dari segi pembiayaan, Holmes et al.

(1999) dalam Priyadi et al. (2009) mengestimasi biaya pembalakan dengan metode RIL lebih hemat sebesar 12% dibandingkan metode CL.

2.5. Deforestasi dan Degradasi Hutan

2.5.1. Definisi Hutan

Dalam konteks REDD+ atau mekanisme perdagangan karbon, diperlukan definisi hutan yang lebih teknis dan kuantitatif, dengan memasukkan parameter luas, tinggi pohon, dan tutupan tajuk. Menurut FAO (2005), yang disebut hutan apabila minimal memiliki tutupan tajuk 10%, tinggi pohon 5 meter, dan luas 0,5 hektar. Sedangkan dalam COP 7 tahun 2001 di Marrakech, dirumuskan definisi tentang hutan untuk mendukung implementasi Protokol Kyoto. Definisi hutan versi COP-7 yaitu lahan berhutan dengan luas 0,05-1 hektar, tinggi pohon dewasa

in situ 2-5 meter dengan tutupan tajuk 10-30 % (GOFC-GOLD 2009). 2.5.2. Deforestasi

(33)

Konversi secara permanen dari lahan berhutan menjadi bukan hutan di negara sedang berkembang berpengaruh nyata terhadap peningkatan akumulasi gas rumah kaca di atmosfir. Jika emisi karbon dioksida CO2 ditambah dengan

emisi metana (CH4), nitrous oksida (N2O), dan gas-gas lainnya, maka emisi

tahunan yang berasal dari deforestasi hutan tropika pada dekade 1990-an sebesar 15-25% dari total emisi GRK antropogenik (Brown 1997). Konversi hutan menyumbang sekitar 20% emisi CO2 tahunan; dan setelah lebih dari 150 tahun

kegiatan konversi hutan berlangsung, aktivitas ini diperkirakan berkontribusi sebanyak 30% konsentrasi CO2 atmosfir (IPCC 2001 dalam Dresner et al. 2007).

2.5.3. Degradasi Hutan

Degradasi hutan merujuk kepada penurunan cadangan karbon di dalam hutan akibat aktivitas manusia. Sebagai contoh, degradasi bisa terjadi akibat pemanenan hutan sehingga terjadi penurunan stok karbon yang sifatnya sementara (IFCA 2007). Degradasi hutan merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca (GRK). Di hutan Amazon Brasil, degradasi hutan bertanggung jawab terhadap 20% total emisi (Asner et al. 2005 dalam Murdiyarso et al. 2008). Di Afrika, laju degradasi hutan tahunan mendekati 50% dari laju deforestasi tahunan (Lambin et al. 2003 dalam Murdiyarso et al. 2008). Di Indonesia, laju pengurangan luas hutan sebesar 6 % per tahun yang dua pertiganya diakibatkan degradasi hutan dan sepertiganya disebabkan oleh deforestasi (Schoene 2006 dalam Murdiyarso et al. 2008).

Beberapa aktivitas yang menyebabkan terjadinya degradasi hutan di hutan tropis adalah:

1. Tebang pilih (selective logging) baik legal maupun illegal, yang ditandainya adanya rumpang (gaps), jaringan jalan (jalan sarad dan jalan angkutan), TPn, dan TPK.

(34)

3. Eksploitasi berlebihan terhadap hasil hutan non-kayu dan kayu bakar yang biasanya akan diikuti oleh aktivitas penggembalaan. Hal tersebut akan menghambat regenerasi permudaan alam. Situasi ini umumnya berlangsung di kawasan hutan tropika kering.

4. Invasi jenis tumbuhan asing atau eksotik (alien or exotic species invation) ke dalam areal hutan terdegradasi yang akan menghambat pertumbuhan hutan secara alami. Tumbuhan eksotik yang memiliki kemampuan mengganti jenis tumbuhan asli dan mudah berkembang biak tersebut akan mempercepat proses degradasi hutan baik secara alami ataupun dengan campur tangan manusia (GOFC-GOLD 2009).

5. Pembuatan arang, penggembalaan, dan perladangan berpindah (GOFC-GOLD, 2008 dalam Murdiyarso et al. 2008).

2.6. Dampak Kegiatan Pemanenan Kayu

Kegiatan pemanenan kayu secara langsung akan mengurangi simpanan karbon melalui pembuatan jalan sarad dan TPn, penebangan pohon, dan penyaradan.

(35)

pada setiap penebangan satu batang pohon/ha di PT Salaki Summa Sejahtera mengakibatkan kerusakan berat pada tegakan tinggal sebanyak 0,88 batang pohon/ha (Indriyati 2010).

Aktivitas penyaradan di PT Sarpatim menimbulkan kerusakan berat pada tegakan tinggal sebesar 4,40% dari total seluruh kerusakan pohon yang diakibatkan oleh penyaradan. Setiap penyaradan satu batang pohon/ha mengakibatkan kerusakan berat pada tegakan tinggal sebanyak 0,62 batang pohon/ha atau setara dengan setiap penyaradan 1 m3/ha mengakibatkan kerusakan berat pada tegakan tinggal sebesar 0,06 m3/ha (Wayana 2011). Sedangkan kegiatan penyaradan di PT Salaki Summa Sejahtera mengakibatkan kerusakan pada tegakan tinggal sebesar 10,27% atau 7,89 pohon/ha (Indriyati 2010).

Selain menimbulkan kerusakan pada tegakan tinggal, penyaradan kayu juga menciptakan keterbukaan hutan akibat pembuatan jalan-jalan sarad. Keterbukaan hutan akibat pembuatan jalan sarad per hektar pada plot penelitian di PT Sarpatim seluas 0,10 ha atau 10,19% dari luas plot penelitian (Wayana 2011). Hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Indriyati (2010) di PT. Salaki Summa Sejahtera seluas 905,77 m2/plot atau 0,091 ha/plot (9,32%) dan hasil penelitian Elias (2001) di Kaltim seluas 872,5 m2 /plot. Adapun luas 1 plot penelitian adalah 1 ha.

2.7. Periode Pulih Stok Karbon Tegakan Tinggal

(36)

20 tahun (Kochummen 1966 dalam Whitmore 1991). Sedangkan jenis pohon pionir sengon (Paraserianthes falcataria) dan benuang (Octomeles sumatrana) di sekitar Gunung Victory, Papua, mulai mengalami kematian saat mencapai umur 84 tahun (Taylor 1957 dalam Whitmore 1991). Sementara itu Huc dan Rosalina (1981) di dalam Anwar et al. (1984) menyatakan bahwa ukuran rumpang akan memengaruhi lamanya periode pemulihan hutan atau proses suksesi sekunder yang terjadi. Rumpang yang kecil yang terbentuk hanya oleh tumbangnya satu pohon, memiliki durasi pemulihan yang pendek.

Indrawan (2000) menyatakan bahwa sistem pengelolaan hutan alam bekas tebangan bila proses pemulihannya diserahkan pada alam melalui proses suksesi sekunder meghasilkan respons simulasi rotasi tebang I, ± 24 tahun setelah penebangan I dan rotasi tebang II membutuhkan waktu ± 37 tahun setelah penebangan II yang berarti rotasi tebang tidak selalu sama dan akan berubah sejalan dengan komposisi dan struktur tegakan hutan yang terbentuk setelah penebangan dan perkembangannya menurut waktu.

Hasil kajian Shearman et al. (2011) menyimpulkan bahwa praktik pemanenan kayu di hutan tropis yang tidak memberi waktu cukup kepada tegakan LOA untuk memulihkan diri, menjadi penyebab utama yang sangat signifikan bagi terciptanya degradasi biodiversitas dan stok karbon. Mereka mengestimasi lamanya periode pulih yang harus ditempuh hutan bekas tebangan menuju ke keadaan hutan primer, yaitu: untuk aspek biomassa hutan selama 45-100 tahun, potensi tegakan 120 tahun, dan keanekaragaman jenis 150-500 tahun. Menurut mereka, pohon-pohon di hutan tropis yang berukuran besar (raksasa) telah mencapai umur ratusan tahun, sehingga pemulihan bagi pohon-pohon besar tersebut membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dari masa rotasi tebangan 30-35 tahun yang umum diterapkan di wilayah tropis.

(37)

hasil pengamatan Chapman dan Chapman (1997) di Uganda menunjukkan bahwa hutan yang dipanen dengan intensitas 5-7 btg/ha, mengalami pemulihan tutupan tajuk 100% setelah 25 tahun (Ghazoul & Hellier 2000).

Pada dasarnya periode pulih stok karbon tegakan tinggal sangat tergantung kepada simpanan karbon awal, riap tegakan, keanekaragaman jenis, serta intensitas tebangan dan gangguan.

2.8. Perlindungan Keanekaragaman Hayati di dalam REDD+

UN-REDD Programme (2010) menyatakan bahwa saat ini berkembang keyakinan bahwa cadangan karbon di hutan alam yang masih utuh dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, cenderung memiliki kelentingan (resilience) yang lebih baik terhadap perubahan iklim daripada cadangan karbon di hutan tanaman yang memiliki keanekaragaman hayati yang lebih rendah. Kelentingan dalam konteks ini berarti bahwa hutan alam dapat bertahan dari pengaruh-pengaruh negatif perubahan iklim dan/atau mampu kembali ke kondisi seperti semula (recovery). Dengan demikian meningkatkan kelentingan karbon merupakan salah satu cara dimana konservasi keanekaragaman hayati dapat menguntungkan REDD+.

(38)

harus konsisten dengan konservasi hutan alam dan keanekaragaman hayati (Jagger et al. 2012). Paoli et al. (2010) menyatakan bahwa deforestasi dan degradasi hutan di daerah tropis merupakan sumber utama emsisi gas rumah kaca (GRK) global. Sementara itu hutan tropis mengandung lebih dari setengah jenis-jenis terancam punah yang ada di dunia, sehingga upaya reduksi emisi GRK dengan jalan mengurangi deforestasi hutan tropis merupakan langkah penting dalam mewujudkan co-benefit bagi konservasi keanekaragaman hayati.

Jadi selain untuk mengurangi emisi GRK sebagai tujuan utama, di dalam penerapan skema REDD+ juga akan dihasilkan beberapa manfaat sampingan ( co-benefit). Mafaat sampingan tersebut berupa pengentasan kemiskinan, perbaikan jasa lingkungan termasuk perlindungan keanekaragaman hayati, dan perbaikan tata kelola hutan (forest governance) termasuk kepastian pemilikan lahan (CIFOR 2009).

2.9. Biomassa, Karbon, dan Penyerapan Karbon

Biomassa tumbuhan dibentuk melalui proses fotosintesis. Menurut Salisbury dan Ross (1995), fotosintesis merupakan satu-satunya mekanisme masuknya energi ke dalam dunia kehidupan. Sebagaimana reaksi oksidasi penghasil energi, yaitu tempat bergantungnya semua kehidupan, fotosintesis meliputi reaksi oksidasi dan reduksi. Proses keseluruhan terdiri dari oksidasi air (H2O) berupa pemindahan elektron disertai pelepasan O2 sebagai hasil

sampingan, dan reduksi CO2 untuk membentuk senyawa organik, misalnya

karbohidrat. Kloroplas atau zat hijau daun menangkap energi cahaya matahari untuk menghasilkan NADPH (nikotinamida adenin dinukleotida fosfat + H) dan ATP yang berlangsung dalam proses fotofosforilasi (reaksi terang). Kedua molekul ini selanjutnya digunakan untuk mereduksi CO2 yang ditambat dan

menghasilkan karbohidrat (CH2O)n. Proses pereduksian CO2 menjadi karbohidrat

ini berlangsung dalam reaksi gelap (reaksi pengikatan karbon). Karbohidrat inilah penyusun utama biomassa tumbuhan.

(39)

manusia seperti silvikultur, pemanenan, dan degradasi, serta dampak kebakaran hutan dan perubahan iklim (Brown 1997).

Biomassa tumbuhan adalah berat kering total suatu komunitas tumbuhan, yang terdiri dari daun, cabang, batang, dan akar. Berat kering ini akan meningkat berkat adanya fiksasi karbon dari atmosfer dalam proses fotosintesis (Whitmore 1985). Brown (1997) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total bahan organik mahluk hidup yang berada di atas permukaan tanah yang dinyatakan dalam: berat kering-oven (ton) per satuan luas (hektar), sedangkan Hairiah dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa biomassa adalah massa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma, dan tanaman semusim.

Biomassa hutan sangat relevan dengan isu perubahan iklim. Peranan hutan tropika dalam siklus biogeokimia global khususnya siklus karbon dan kaitannya dengan efek rumah kaca, mengakibatkan pendugaan kerapatan biomassa hutan tropika semakin penting dan dibutuhkan. Ketersediaan data biomassa hutan dapat digunakan untuk menduga kandungan karbon vegetasi hutan karena sekitar 50 % biomassa hutan adalah karbon (Brown 1997).

Pada ekosistem daratan, C (karbon) tersimpan dalam tiga komponen pokok, yaitu:

1. Biomassa, yaitu massa dari bagian vegetasi yang masih hidup berupa tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma, dan tanaman semusim,

2. Nekromassa, yaitu massa dari bagian pohon yang telah mati, baik yang masih tegak bediri (batang atau tanggul pohon), atau telah tumbang/tergeletak di atas permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (serasah) yang belum melapuk,

3. Bahan organik tanah, yaitu sisa mahluk hidup (tanaman, hewan, dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari dua milimeter (Hairiah dan Rahayu 2007).

Berdasarkan keberadaannya di alam, ketiga komponen C tersebut dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:

(40)

a. Biomassa pohon. Proporsi terbesar penyimpanan C di daratan umumnya terdapat pada komponen pepohonan,

b. Biomassa tumbuhan bawah, yang meliputi semak belukar yang berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan dan gulma,

c. Nekromassa, yaitu massa dari bagian pohon yang telah mati,

d. Serasah, meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah.

2. Karbon di dalam tanah, meliputi: (a) Biomassa akar dan (b) Bahan organik tanah (Hairiah dan Rahayu 2007).

Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap tumbuhan dan diubah

menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh bagian tumbuhan dan akhirnya ditimbun dalam batang, cabang, daun, ranting, bunga, dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tumbuhan disebut proses sekuestrasi atau penyimpanan karbon (C-sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tumbuhan hidup (biomassa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap tumbuhan (Hairiah

dan Rahayu 2007). Yang dimaksud dengan sekuestrasi karbon (carbon sequestration) adalah proses pengikatan CO2 di atmosfer oleh tumbuhan

berklorofil melalui fotosintesis kemudian menyimpannya dalam bentuk biomassa di berbagai bagian tumbuhan. Adapun rosot karbon (carbon sink) adalah media atau tempat penyerapan dan penyimpanan karbon dalam bentuk bahan organik, vegetasi hutan, laut, dan tanah (CIFOR 2009).

2.10. Pendugaan Stok Karbon akibat Deforestasi dan Degradasi Hutan

(41)

pengukuran, (4) Nilai potensi perubahan dalam gudang karbon, dan (5) Prinsip kehati-hatian.

Metode yang paling praktis di dalam pendugaan emisi cukup hanya dengan menghitung biomassa di atas permukaan tanah. Meskipun begitu, untuk proses degradasi yang diakibatkan oleh pembalakan dan kebakaran hutan, maka gudang karbon lainnya seperti nekromassa dan serasah perlu juga diukur (IIPCC 2003 dalam Murdiyarso et al. 2008).

Untuk berbagai formasi atau tipe hutan, pendugaan kepadatan biomassa hanya didasarkan kepada biomassa pohon berdiameter ≥ 10 cm sebagai batas diameter terendah yang diukur dalam kegiatan inventarisasi hutan alam (Brown 1997). Apabila pohon ditebang, maka karbon dalam kayu akan menuju ke tiga bentuk simpanan karbon baru, yaitu: kayu mati, produk-produk kayu, dan atmosfer. Dalam kaitan ini timbul beberapa kondisi seperti:

1. Pada semua kasus, deforestasi dan degradasi mengakibatkan penurunan jumlah cadangan karbon pada pohon hidup.

2. Secara alami, degradasi hutan akan diikuti proses pemulihan. Adanya tekanan dari aktivitas manusia atau perubahan lingkungan akan menghambat pertumbuhan pohon.

3. Pengurangan cadangan karbon pada pohon, akan meningkatkan jumlah kayu mati, produk-produk kayu, atau segera teremisi ke atmosfer,

4. Kayu-kayu mati selanjutnya akan mengalami pelapukan (dekomposisi) dalam rentang waktu tertentu, atau terbakar,

5. Produk-produk kayu setelah melewati rentang waktu tertentu akan melapuk, dibakar, atau menjadi rongsokan dan dikubur,

6. Ketika deforestasi terjadi, pohon-pohon akan diganti dengan vegetasi selain pohon seperti rumput-rumputan atau tanaman pertanian. Pada bentuk penggunaan lahan yang baru ini, biomassa tanaman dan karbon tanah lebih rendah, terutama bila dikonversi ke tanaman semusim (Pearson et al. 2009 dalam GOFC-GOLD 2009 ).

(42)

lahan, tidak hanya tergantung kepada tipe hutan, tetapi juga kepada perubahan yang lebih spesifik. Misalnya konversi hutan tropika menjadi areal penanaman kacang kedelai, jagung atau padi akan menghasilkan emisi 60% lebih banyak dibandingkan konversi hutan menjadi kebun sawit (Miles et al. 2008 dalam Wertz-Kanounnikoff et al. 2008).

Metode penghitungan GRK versi IPCC terbaru meliputi dua pendekatan untuk menduga perubahan simpanan karbon (Brown dan Braatz 2008 dalam Wertz-Kanounnikoff et al. 2008), yaitu:

a. Pendekatan Perbedaan Simpanan (Stock-difference approach)

Metode ini menduga perbedaan cadangan karbon di suatu gudang karbon (carbon pool) tertentu pada dua titik waktu. Pendekatan ini sangat cocok untuk memperkirakan emisi yang disebabkan baik oleh deforestasi maupun degradasi hutan, dan dapat digunakan pula untuk seluruh gudang karbon.

ΔC = (C t2 - C t1)/ (t2 - t1)

keterangan :

ΔC = perubahan simpanan karbon tahunan (ton C/th) ΔC t1 = simpanan karbon pada t1 (ton C)

ΔC t2 = simpanan karbon pada t2 (ton C)

b. Pendekatan Bertambah dan Berkurang (Gain-loss approach)

Metode ini dibangun berdasarkan pemahaman terhadap ekologi hutan, yaitu bagaimana hutan tumbuh, dan bagaimana proses-proses alami dan antropogenik mengakibatkan kehilangan karbon. Metode ini menghitung penambahan biomassa sebagai riap atau MAI (mean annual increment) dikurangi kehilangan biomassa akibat berbagai aktivitas, seperti pemanenan kayu,

Simpanan karbon pada tahun ke-1 (t1)

(43)

pembalakan, pengumpulan kayu bakar, pengembalaan ternak, dan kebakaran (Murdiyarso et al. 2008).

ΔC = ΔC gain - ΔC loss

keterangan :

ΔC = perubahan simpanan karbon tahunan (ton C/thn)

ΔC gain = pertambahan karbon tahunan (ton C/thn)

ΔC loss = pengurangan karbon tahunan (ton C/thn)

Pendekatan ini digunakan untuk menduga keseimbangan bersih (net balance) antara karbon yang diserap dan karbon yang dilepaskan dalam suatu gudang karbon tertentu. Penambahan kandungan karbon (carbon gain) merupakan hasil dari proses pertumbuhan dan perpindahan karbon antar gudang, misalnya: karbon dalam gudang biomassa berpindah ke dalam gudang bahan organik mati (nekromassa) akibat adanya gangguan. Sedangkan pengurangan kandungan karbon (carbon loss) terjadi karena adanya perpindahan karbon dari suatu gudang ke gudang lainnya dan selanjutnya teremisi melalui proses pemanenan kayu, dekomposisi, dan kebakaran (Brown 2009 dalam GOFC-GOLD 2009).

2.11. Metode Pendugaan Karbon Tegakan di Atas Permukaan Tanah

Telah dikenal beberapa metode pendugaan simpanan karbon tegakan di atas permukaan tanah guna menghitung stok karbon tegakan dan perubahannya dalam rentang waktu tertentu. Metode tersebut adalah (Ravindranath dan Ostwald 2008):

Tipe penggunaan

lahan Pemanenan Gangguan

Serap karbon via

(44)

1. Menggunakan Metode Memanen (Harvest Method) 2. Menduga Volume Pohon (Tree Volume)

3. Menggunakan Tabel Volume (Volume Tables)

4. Menggunakan Berat Pohon Rata-rata (Mean Tree Weight) 5. Menggunakan Persamaan Biomassa (Biomass Equations)

6. Menggunakan Faktor Ekspansi dan Konversi Biomassa (Biomass Conversion and Expansion Factors, BCEF).

a. Persamaan Biomassa (Biomass Equations)

Untuk Persamaan Biomassa telah tersedia untuk beberapa tipe hutan. Khusus untuk hutan tropika lembab (curah hujan 1500-4000 mm/th) telah diformulasikan oleh Brown (1989; 1997) maupun Delaney, Brown, Powell (1999) seperti tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Persamaan Biomassa (Biomass Equations) Peneliti Persamaan Biomassa

Brown (1997)a Y = 42,69-12,800 (DBH) + 1,242 (DBH)2

Brown (1997)b Y = 0,118*D 2,53

Brown et al. (1989)c Y = 38,4908-11,7883*DBH + 1,11926*DBH2

Delaney et al. (1999)d Y = Exp[(-2,289 + 2,694*ln (DBH) – 0,021*ln (DBH)2]

Keterangan: Y = biomassa kering (kg/phn), DBH = diameter setinggi dada aBrown (1997),

bRusolono (2009),

cBismarck et al. (2008),

dRavindranath and Ostwald (2008)

b. Faktor Ekspansi dan Konversi Biomassa (BCEF)

Menurut GOFC-GOLD (2009), formula untuk mengkonversi potensi hutan (m3/ha) menjadi biomassa di atas permukaan tanah (ton/ha) adalah:

W = VOB x BCEF

dimana : W = biomassa di atas permukaan tanah (ton/ha) VOB = volume over bark, volume batang (m3/ha)

(45)

BCEF adalah rasio antara bobot biomassa kering (ton/ha) dengan volume tegakan (m3/ha). Nilai BCEF sudah disusun dalam suatu tabel (Tabel 3) berdasarkan kisaran volume tegakan (VOB, m3/ha) (IPCC 2006).

Tabel 3 Nilai BCEF (rata-rata dan kisaran) berdasarkan kisaran volume tegakan (VOB) (dari IPCC 2006)

Tipe Hutan Kisaran volume tegakan (VOB, m3/ha)

< 20 21-40 41-60 61-80 81-120 121-200 > 200

Hutan alam daun lebar

4,0 2,8 2,1 1,7 1,5 1,3 1,0

2,5-12 1,8-3,4 1,2-2,5 1,2-2,2 1,0-1,8 0,9-1,6 0,7-1,1

Hutan onifer

1,8 1,3 1,0 0,8 0,8 0,7 0,7

1,4-2,4 1,0-1,5 0,8-1,2 0,7-1,2 0,6-1,0 0,6-09 0,6-0,9

Sumber: Ravindranath & Ostwald (2008); GOFC-GOLD (2009)

2.12. Analisis Manfaat Perdagangan Karbon Hutan

Implementasi REDD+ termasuk perdagangan karbon di hutan produksi, dapat berhasil apabila pendapatan dari kegiatan REDD+ lebih besar atau minimal sama dengan pendapatan yang diperoleh dari alternatif penggunaan lain (Ginoga

et al. 2010).

Biaya transaksi dalam pelaksanaan kegiatan karbon hutan atau perdagangan karbon terdiri dari: biaya persiapan REDD+, dan biaya operasional. Berdasarkan data dari Dephut (2009), diperoleh besaran biaya persiapan implementasi REDD+ pada tingkat nasional dan sub-nasional yaitu 32,80 USD per ha. Adapun biaya operasional diperoleh dari data proyek MRPP sebagai DAREDD (plot percontohan REDD) di Provinsi Sumatera Selatan dengan nilai sebesar 22,35 USD per ha, sehingga besarnya biaya transaksi adalah 55,15 USD per ha. (Ginoga et al. 2010).

(46)

informasi dan pengadaan, desain skema dan negoisasi, implementasi, monitoring, penyelenggaraan dan perlindungan, serta verifikasi dan sertifikasi.

(47)

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1. Sejarah Perusahaan

Areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera (PT SSS) merupakan ex areal IUPHHK-HA PT Tjirebon Agung seluas ± 70.000 ha sesuai SK IUPHHK No. 195/Kpts/Um4/1973 dan berakhir 31 Agustus 1993. Setelah masa pengelolaan PT Tjirebon Agung selesai, PT SSS mengajukan permohonan pada areal IUPHHK tersebut seluas ± 48.000 ha. Berdasarkan Surat Rekomendasi dari Bupati Kepulauan Mentawai No.552.11/392/Perek-2000 tanggal 9 November 2000, PT SSS mendapat persetujuan pencadangan areal IUPHHK seluas ± 48.000 ha, serta rekomendasi dari Gubernur Sumatera Barat No. 525.26/1465/Perek-2000 tanggal 20 November 525.26/1465/Perek-2000. Dalam perkembangan terakhir, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.136/VIII/KP-4.2.1/2001 telah dihitung ulang secara planimetris pencadangan areal seluas ± 49.440 ha yang merupakan areal yang bebas dari kepemilikan perusahaan atau tidak tumpang tindih dengan perusahaan lain. Berdasarkan kajian AMDAL yang telah disahkan Gubernur Sumatera Barat, dan telah dipenuhinya seluruh kewajiban administrasi perolehan IUPHHK, diterbitkanlah SK IUPHHK melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No.413/Menhut-II/04 tanggal 19 Oktober 2004 tentang Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Alam a.n. PT Salaki Summa Sejahtera di Provinsi Sumatera Barat seluas ± 48.420 ha.

(48)

tanggal 22 November 2010, maka sejak saat itu lebar koridor dikurangi menjadi 500 m dan luas areal kerja PT SSS berubah menjadi 47.605 ha (PT SSS 2011).

3.2. Letak dan Luas

Areal keja IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera termasuk ke dalam kelompok hutan S. Sigep – S. Sikabaluan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Secara geografis areal kerja PT SSS terletak antara 000 95‟ sampai dengan 010 15‟ LS dan antara 980 40‟ sampai dengan 990 15‟ BT.

Berdasarkan pembagian wilayah administrasi pemeintahan, PT SSS terletak di dalam wilayah Kecamatan Siberut Utara dan Kecamatan Siberut Barat, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat.

Batas areal kerja PT SSS adalah:

Sebelah Utara : Areal Penggunaan Lain (APL) dan Samudera Indonesia

Sebelah Timur : Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) dan APL

Sebelah Selatan : Taman Nasional Siberut, Hutan Produksi dan IUPHHK-HA Koperasi Andalas Madani Universitas Andalas, Sumatera Barat Sebelah Barat : Samudera Indonesia

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Kepulauan Mentawai 2001-2010 maupun dalam revisi RTRWK Tahun 2004, lokasi areal kerja PT SSS berstatus hutan produksi tetap (HP), demikian pula status lahan di sekitarnya yaitu Taman Nasional Siberut tidak mengalami perubahan fungsi maupun batas-batas kawasan (PT SSS 2009).

3.3. Topografi dan Tanah

(49)

11%, landai (8-15%) 34%, agak curam (15-25%) paling luas yaitu 39%, curam (25-40%) sebanyak 14%, dan sangat curam (> 40%) hanya sedikit yaitu 2%.

Jenis tanah yang paling luas di areal kerja PT SSS adalah ultisol (podsolik merah kuning) sebanyak 37%, selanjutnya jenis oxisol (latosol) 32%, dan sisanya adalah jenis aluvial sebanyak 31%. Jenis tanah ultisol tergolong peka terhadap erosi tanah. Dari segi status kesuburan tanahnya, tingkat kesuburannya bervariasi dari rendah hingga sedang (PT SSS 2009).

3.4. Iklim

Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt & Ferguson atau Af-Am Koppen, areal kerja PT SSS beriklim basah (tipe A), yaitu iklim tropis dengan curah hujan tanpa bulan kering yang merata sepanjang tahun. Dari data yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Secincin-Padang Pariaman (data pengukuran Sikakap) diperoleh nilai Q = 2,65% dan IH (Intensitas Hujan) = 18,24 mm/hh, dengan curah hujan rata-rata sebesar 386,21 mm per bulan dengan tingkat minimum yang terjadi pada bulan Juni (269,4 mm per bulan) dan maksimum pada bulan November (478,3 mm per bulan) (PT SSS 2009).

3.5. Penataan Areal Kerja

Areal kerja PT SSS terdiri atas empat bagian yang dipilah-pilah sesuai fungsinya masing-masing. Keempat bagian tersebut adalah: kawasan lindung, areal tidak efektif untuk produksi, kawasan sosial, dan areal efektif untuk produksi. Pemilahan keempat bagian tersebut tersaji pada Tabel 4. Areal efektif yang luasnya 35.939 ha terdiri atas hutan primer 447 ha, non-hutan 2.734 ha, dan LOA 32.758 ha, sehingga dengan menghilangkan non-hutan maka luas areal efektif untuk produksi adalah 33.205 ha.

3.6. Kondisi Vegetasi

(50)

Tabel 4 Penataan Areal kerja PT Salaki Summa Sejahtera

No. Peruntukan Areal Luas Keterangan Ha %

1. Kawasan Lindung 8.818 18,52

-Sungai dan sempadan sungai 2.441 5,13 Sungai besar

-Sempadan pantai 387 0,81

-Zona penyangga TN Siberut 1.620 3,40 Lebar 500 m dari batas HL (sdh tatabatas)

-KPPN 3.333 7,00

-Lereng E (>=40%) 1.037 2,18

2. Areal Tdk Efektif 1.411 2,96

-Petak Ukur Permanen (PUP) 600 1,26 Bukan pengurang areal efektif seluas 500 ha -Tegakan Benih 577 1,21

-Sarana prasarana 734 1,54 Sekitar 2% dari areal efektif

3. Kawasan Sosial 1.437 3,02

4. Areal Efektif (5-1-2-3) 35.939 75,49

5. Luas Total 47.605 100,00

Sumber: RKU PHHK-HA pada Hutan Produksi Berbasis IHMB periode tahun 2012-2021 PT Salaki Summa Sejahtera (2011)

Areal hutan primer berada di bagian selatan (Blok Sotboyak) dekat kawasan penyangga Taman Nasional Siberut. Areal LOA sebagian besar merupakan areal ex PT Tjirebon Agung. Berdasarkan hasil survei IHMB, potensi tegakan LOA tersebut secara umum masih cukup baik, dimana potensi tegakan LOA bagian barat (Blok Tiniti) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bagian timur (Blok Malancan).

Formasi hutan di areal kerja PT SSS merupakan hutan hujan tropika dataran rendah (lowland tropical rain forest) yang didominasi jenis-jenis anggota suku Dipterocarpaceae terutama dari marga Dipterocarpus (keruing) dan Shorea

(meranti). Oleh karena itu tipe hutan demikian biasa juga disebut sebagai Hutan Dipterokarpa Campuran (Dipterocarps mixed forest). Jenis-jenis Dipterokarpa yang dominan dan bernilai komersial tinggi antara lain: Dipterocarpus elongatus

(51)

Selain ekosistem hutan hujan dataran rendah, di dalam areal PT SSS juga dijumpai ekosistem hutan rawa, ekosistem hutan mangrove, dan ekosistem muara sungai. Ekosistem hutan rawa terletak di desa Tiniti, yaitu di hulu Sungai Simabae, sedangkan ekosistem hutn mangrove berada di kawasan Tanjung Bulanbalu. Di hutan rawa air tawar ditemukan sagu (Metroxylon sagu), sebagiannya hasil budidaya masyarakat sebagai sumber pangan. Di dalam komunitas mangrove yang banyak tumbuh di sekitar muara sungai ditemukan jenis-jenis: bakau (Rhizophora apiculata, R.mucronata), tancang (Bruguiera gymnorrhiza), pedada (Sonneratia alba), nipah (Nypa fruticans), dan teruntum (Lumnitzera littorale). Jenis lainnya yang juga tumbuh di sekitar muara sungai adalah nibung (Oncosperma tigillaria), durian (Durio carinatus), dan beringin (Ficus benjamina). Keberadaan pohon durian dan beringin ini bernilai ekonomis bagi penduduk karena menyediakan nektar bagi pakan lebah madu. Selain jenis-jenis tersebut, beberapa jenis-jenis pohon lainnya yang bernilai tinggi serta saat ini dimanfaatkan masyarakat, antara lain: durian toktuk (Durio carinatus), teigeilug (Baccaurea lanceolata), asam kandis (Garcinia dioica), cempedak hutan (Artocarpus sp.), rotan (Calamus sp. dan Daemonorops sp.), dan gaharu (Aquilaria malaccensis) (Fakultas Kehutanan IPB 2009).

3.7. Kondisi Satwa Liar

Di dalam areal PT SSS dijumpai beberapa jenis satwa liar mamalia yang tergolong langka, endemik Pulau Sibaerut, terancam punah atau hampir punah berdasarkan kriteria IUCN serta telah dilindungi undang-undang Pemerintah RI dan masuk di dalam Appendix (CITES). Jenis-jenis satwa liar mamalia penting beserta statusnya adalah:

1. Hylobates klossii (Miller, 1903) atau Bilou dengan status Vulnerable (IUCN), Appendix I (CITES), dilindungi (PP No.7/1999) dan endemik P.Siberut;

Gambar

Tabel  4  Penataan Areal kerja  PT Salaki Summa Sejahtera
Tabel 6  Skenario pemanfaatan kayu
Tabel  7  (lanjutan)
Tabel 7 (lanjutan )
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil evaluasi berkas penawaran yang dilakukan oleh POKJA ULP PK III-Lingkup Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum Kota Pangkalpinang Tahun Anggaran 2012 dengan

Berdasarkan hasil evaluasi Penawaran File I dan File II serta pengumuman pemenang pada Pekerjaan Penegasan Batas Daerah Kota Tangerang Selatan, maka kami bermaksud melakukan

Namun pengiklan di berbagai media cetak ternama dan memiliki rating tinggi tidaklah hanya satu dua. Ini merupakan problem, karena dengan semakin banyaknya terpaan iklan

Misalnya Aidit dalam Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR), Njoto dalam beberapa pidato sambutannya, Sekjen Lekra Joebaar Ajoeb yang memaparkan dalam

 Teknologi ferosemen untuk bangunan irigasi (saluran, lining saluran dan boks tersier), dapat dibuat dengan relatif lebih mudah, tepat guna dan kompetitif,

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR IPA SMP PADA TEMA SAMPAH DALAM TUBUH MENGGUNAKAN METODE 4STMD (FOUR STEPS TEACHING MATERIAL DEVELOPMENT).. Universitas Pendidikan Indonesia |

Dalam inovasi pendidikan terdapat difusi inovasi pendidikan yaitu, penyebarluasan dari gagasan inovasi pendidikan tersebut melalui suatu proses komunikasi yang dilakukan

Pada siklus I secara umum peserta didik terutama penyaji lebih siap melakukan kegiatan diskusi dan presentasi lisan. Presentasi jawaban LKPD ditulis di palstik