• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.9. Penyelenggaraan Karbon Hutan dan PHL

Untuk memulihkan kondisi hutan bekas tebangan agar kembali seperti keadaan semula sehingga dengan begitu kelestarian hasil hutan khususnya kayu akan tercapai, Sasaki et al. (2011) menyarankan tiga langkah penting yang harus dilakukan, yaitu:

(1) mencegah atau menghentikan segala bentuk penyebab terjadinya degradasi hutan dan membiarkan hutan memulihkan dirinya,

(2) mempercepat regenerasi dan pertumbuhan pohon melalui penerapan beragam perlakuan silvikultur, dan

(3) melakukan penanaman pengayaan (enrichment planting) di dalam gap (alami atau buatan) seperti areal terbuka bekas tebangan dan penyaradan.

Terkait dengan kegiatan pengayaan, UM PT SSS telah merintis kegiatan pengayaan di kiri-kanan bekas jalan sarad dengan jarak tanam 5 m. Jenis pohon yang dipilih adalah jenis niagawi dari kelompok Dipterocarpaceae terutama meranti dan keruing, dan untuk sementara ini yang banyak ditanam adalah jenis meranti merah (Shorea selanica Bl.). Hasil evaluasi terhadap pertumbuhan tanaman pengayaan yang berumur sekitar satu tahun, hasilnya sangat memuaskan dengan persen tumbuh di atas 90%. Selain kegiatan pengayaan, juga telah dilakukan kegiatan rehabilitasi lahan kosong di bekas TPn, di kanan-kiri jalan utama dan jalan cabang. Jenis tanaman rehabilitasi yang dipilih adalah jenis cepat tumbuh (fast growing species) seperti jenis sengon (Paraserianthes falcataria

(L.) Nielsen), gmelina (Gmelina arborea Roxb.) dan sungkai (Peronema canescens Jack.) dengan tujuan agar lahan kosong tersebut segera ternaungi oleh tajuk.

Penambahan stok karbon tegakan tinggal melalui penanaman pengayaan dan rehabilitasi mampu mempersingkat durasi periode pulih stok karbon tegakan LOA. Hasil simulasi untuk menghitung periode pulih tegakan LOA di PT SSS menunjukkan durasi periode pulih pada skenario-6 adalah 27 th. Jika hasil serapan karbon dari tanaman pengayaan dan rehabilitasi tidak diperhitungkan, maka durasi periode pulih pada skenario-6 mencapi 30 th.

Berdasarkan hasil prediksi terhadap stok karbon dan kredit karbon pada enam skenario PHL yang dibuat, dapat diketahui durasi pulih stok karbon di setiap skenario. Durasi pulih antar skenario berbeda-beda tergantung pada JPTnya masing-masing. Semakin kecil JPT yang diterapkan, akan semakin singkat durasi pulih stok karbon pada tegakan tinggalnya. Hal ini tampak pada skenario baseline dan skenario-6. Skenario baseline yang memberlakukan JPT terbesar yakni 91.006 m3/th menghasilkan durasi periode pulih terlama yaitu 137 th, sebaliknya skenario-6 yang menerapkan JPT terkecil yaitu 56.807 m3/th menghasilkan durasi priode pulih hanya 27 th saja. Informasi tentang durasi periode pulih stok karbon tegakan tinggal ini dirasakan sangat penting untuk diketahui oleh UM IUPHHK-HA dan dijadikan salah satu bahan pertimbangan di dalam perencanaan pemanenan hutan khususnya saat menetapkan JPT.

Dalam kaitan dengan UM PT SSS yang akan menerapkan skenario-1 (siklus tebang 30 th dan limit DBH tebangan 50 cm), maka berdasarkan hasil perhitungan, tegakan LOA membutuhkan waktu selama 76 tahun untuk pulih kembali dari segi stok karbonnya. Artinya begitu siklus tebang pertama selesai (30 th), tegakan LOA harus diberi jeda waktu terlebih dahulu selama 46 tahun untuk memulihkan diri hingga siap dipanen kembali pada rotasi berikutnya (siklus tebang kedua).

Jangka waktu 46 tahun untuk masa jeda sambil menunggu tuntasnya pemulihan karbon tegakan LOA, sudah tentu akan menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar baik bagi UM, pemerintah, maupun elemen masyarakat sekitar hutan yang kehidupannya sudah bergantung kepada gerak laju roda pengusahaan hutan. Dampak lanjutan dari kondisi ini adalah terhentinya efek ganda (multiplier effect) dari kehadiran suatu unit IUPHHK-HA bagi perekonomian daerah dan regional. Namun di lain pihak, jika ditinjau dari segi kelestarian produksi (kayu, non-kayu, dan jasa lingkungan) dalam kerangka pengelolaan hutan lestari, periode pulih stok karbon tegakan LOA ini sangat penting untuk memberi kesempatan kepada tegakan tinggal memulihkan diri hingga kembali memiliki potensi yang sama dengan keadaan sebelum ditebang.

Benturan antara kepentingan ekonomi pengusahaan hutan di satu sisi, dan aspek kelestarian fungsi produksi dan ekologi (berwujud kepedulian terhadap

periode pemulihan stok karbon tegakan LOA) di sisi lain, dapat diatasi melalui suatu kompromi (trade-off) dalam bentuk tindakan pengelolaan hutan yang mampu mengakomodasi kedua aspek tersebut sehingga keduanya dapat berjalan secara optimal. Bentuk kompromi tersebut adalah UM mengurangi JPTnya, dalam hal ini memilih skenario-6, dengan disertai kesediaan berpartisipasi dalam penyelenggraan karbon hutan (perdagangan karbon hutan). Melalui kompromi ini, secara ekonomi UM mendapatkan keuntungan finansial yang cukup besar, di sisi lain kepentingan fungsi produksi, ekologi, dan sosial tetap terjaga.

Menerapkan skenario-6 memang akan mengurangi keuntungan dari hasil pemanfaatan kayu (hanya Rp 73,64 milyar), serta akan mengurangi pasokan bahan baku bagi industri pengolahan kayu yang selama ini membeli log dari PT SSS, sehingga akan menimbulkan efek berantai bagi perekonomian kedua belah pihak. Jika UM ikut dalam penyelenggaraan karbon hutan atau perdagangan karbon, merosotnya keuntungan dari hasil penjualan log pada skenario-6 akan terkompensasi oleh keuntungan dari jasa serapan karbon yang berjumlah paling besar yakni Rp 90,41 milyar, sehingga keuntungan totalnya menjadi yang tertinggi di antara skenario lainnya yaitu Rp 164,05 milyar daam jangka waktu selama 30 tahun atau rata-rata Rp 5,47 milyar per tahun.

Tujuan utama PHL di hutan produksi adalah tercapainya kelestarian fungsi produksi dengan salah satu kriterianya: kelestarian hasil hutan. Salah satu penciri dalam pencapaian tujuan tersebut adalah indikator P2.5: kondisi tegakan tinggal (LEI 2000). Dengan demikian dalam konteks PHL, jika diinginkan ekosistem hutan selalu dapat menyediakan barang dan jasa secara berkesinambungan, maka potensi tegakan tinggal harus tetap terjaga dari generasi ke generasi. Dengan kata lain, tegakan yang akan dimanfaatkan pada siklus tebang berikutnya, kondisinya harus sudah pulih kembali seperti keadaan sebelum ditebang. Dalam perspekif karbon, maka tegakan tinggal yang siap kembali dipanen adalah jika stok karbonnya telah pulih seperti sediakala. Keterpulihan stok karbon ini dapat menjadi salah satu instrumen pengelolaan hutan untuk menilai apakah suatu tegakan LOA sudah siap kembali dimanfaatkan pada siklus tebang berikutnya. Hal ini sejalan dengan sistem pengelolaan hutan dengan paradigma kelestarian yang kuat (strong sustainability paradigm) yang

menetapkan adanya stok yang konstan dari waktu ke waktu, dengan menggunakan prinsip pencegahan penurunan sumberdaya hutan dan kualitas lingkungan (Bahruni 2008).

Hasil analisis dalam penelitian ini memperlihatkan, dari enam skenario PHL, hanya skenario-6 yang memiliki periode pulih paling singkat dibandingan dengan skenario lainnya, bahkan lebih singkat dari siklus tebangnya yakni hanya 27 tahun. Hal ini tercapai karena JPTnya paling kecil di antara skenario yang lainnya yaitu hanya 56.807 m3/th. Jika kondisinya sedemikian rupa, maka kelangsungan produksi akan terjamin dimana begitu siklus tebang pertama selesai, UM dapat langsung memasuki siklus tebang berikutnya tanpa jeda waktu. Maka dari itu, terkait dengan implementasi PHL, sangatlah bijaksana jika UM PT SSS memilih skenario-6.

Seperti yang telah dijelaskan di muka, penetapan JPT yang relatif rendah seperti pada skenario-6, dipastikan akan mengundang kekhawatiran banyak pihak, termasuk pemerintah, karena akan terjadi penurunan pasokan bahan baku berupa log bagi industri pengolahan kayu sehingga menggangu proses produksi kayu olahan. Meskipun begitu, goncangan yang terjadi pada industri pengolahan kayu akibat merosotnya pasokan bahan baku, kemungkinan besar tidak akan berlangsung lama, karena setelah itu akan terjadi proses adaptasi sehingga tercapai keseimbangan supply-demand yang baru. Selain itu, penyesuaian juga akan berlangsung pada aspek penerapan teknologi pengolahan kayu yang lebih efisien dengan tingkat rendemen yang lebih tinggi serta penggunaan bahan baku kayu yang berasal dari sumber-sumber lain di luar hutan alam seperti hutan tanaman industri (HTI) kayu pertukangan, hutan tanaman rakyat (HTR), maupun hutan rakyat (HR). Jadi dalam jangka pendek, penurunan pasokan log bagi industri pengolahan kayu, dipastikan akan terjadi kerugian secara ekonomi, namun dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan dalam dua hal, yaitu manfaat ekonomi dan manfaat lingkungan atau ekosistem hutan.

Manfaat ekonomi yang dimaksudkan adalah berupa jaminan ketersediaan biomassa kayu atau stok karbon dalam jangka panjang. Menurut Putz et al. (2012), satu-satunya cara untuk dapat menjamin kelestarian hasil kayu adalah dengan mengurangi frekuensi pemanenan, dimana siklus tebangan diperpanjang

menjadi 50-100 tahun agar stok kayu terpulihkan secara penuh (full recovery of timber stocks). Cara ini juga akan sangat bermanfaat bagi stok karbon dan keanekaragaman hayati karena frekuensi gangguan akan jauh berkurang. Sayangnya, meskipun jarang diberitakan, kecenderungannya justru sebaliknya, yakni melakukan premature reentry logging atau pembalakan kembali sebelum waktunya, yang mana akan memberi keuntungan finansial sesaat tetapi akan menguras persediaan kayu, stok karbon, dan keanekaragaman hayati untuk masa depan. Putz et al. (2012) menambahkan, mereduksi intensitas tebangan akan membantu meningkatkan kelestarian hasil kayu, simpanan karbon, serta mempertahankan komposisi jenis dan struktur tegakan tanpa memakan biaya. Penurunan intensitas tebangan dapat dilakukan dengan cara mengurangi volume tebangan, menaikkan batas diameter tebangan, dan memperpanjang siklus tebangan. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan hasil kajian dalam penelitian ini, menerapkan JPT yang menghasilkan periode pulih lebih lama dari siklus tebangnya, namun setelah selesai satu siklus tebang kemudian segera masuk ke siklus berikutnya tanpa jeda waktu, maka dapat dikatakan akan terjadi premature reentry logging juga yang akan menguras potensi tegakan secara besar-besaran hingga terjadi degradasi hutan yang sangat berat. Situasi ini dalam jangka panjang akan membuat kolaps berbagai pihak (stakeholders) yang secara ekonomi maupun tradisi sangat tergantung kepada hutan.

Berbagai manfaat lingkungan dari penerapan JPT yang rendah banyak ragamnya. Penerapan JPT yang rendah akan mengurangi emisi karbon sehingga membantu dalam mitigasi perubahan iklim. Selain itu juga akan diperoleh manfaat dari segi perlindungan tanah dan air serta keanekaragaman hayati. Hubungan keterkaitan antara penerapan PHL, penyelenggaraan karbon hutan, dan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan dapat dilihat pada Gambar 18. Dengan demikian, apabila UM memutuskan untuk memilih skenario-6, maka UM akan memetik banyak manfaat. Manfaat pertama, tegakan LOA akan pulih dalam jangka waktu kurang dari 30 th, sehingga kelangsungan usaha akan terjamin.

Gambar 18 Hubungan keterkaitan antara penerapan PHL, penyelenggaraan karbon hutan, dan mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan

Tujuan utama PHPL: Kelestarian Fungsi Produksi

Kriteria: Kelestarian Hasil Hutan

Indikator (P.2.5): Kondisi Tegakan Tinggal

Potensi hutan konstan dari waktu ke waktu

Periode pulih stok karbon ≤ rotasi tebang

Pengurangan JPT Penylenggaraan karbon hutan (Permenhut P.20/2012 & P.36/2009) Perpanjang siklus tebang,peningkatan batas DBH tebang

Reduksi emisi karbon Mitigasi perubahan

iklim

Perlindungan tanah-air, keanekaragaman hayati

Produksi log

berkurang Pasokan bahan

baku berkurang

Goncangan ekonomi (jangka pendek) Adaptasi thd kurang

pasokan bhn baku

Kapasitas produksi diturunkan, penggunaan teknologi baru yg lebih efisien, penyesuaian harga jual kayu olahan, sumber bhn baku alternatif (HTI, HTR, HR)

Kredit karbon &Manfaat ekonomi hasil penjualan

karbon Implementasi PHL

Selain itu intensitas tebangan yang begitu rendah akan mengurangi dampak buruk dari kegiatan pembalakan terhadap tegakan tinggal maupun kondisi tanah dan air. Berdasarkan data IHMB PT SSS tahun 2010, volume rata-rata pohon masak tebang sebesar 7,25 m3/phn, sehingga dengan JPT sebesar 56.807 m3/th maka hanya sebanyak 8,26 btg/ha pohon saja yang ditebang. Sebagian besar atau 53% kondisi topografi lapangan areal PT SSS tergolong agak curam hingga curam, sehingga banyaknya pohon yang ditebang per hektar menjadi faktor penting yang perlu dipertimbangkan, semakin sedikit pohon yang ditebang akan semakin baik.

Manfaat kedua, jika terlibat dalam penyelenggaraan karbon hutan atau proyek perdagangan karbon, UM akan memperoleh keuntungan finansial jauh lebih besar jika dibandingkan dengan skenario lainnya maupun juga dengan skenario baseline. Skenario-6 memberikan keuntungan total sebesar Rp 164,04 milyar atau 39,19% lebih banyak dari pendapatan skenario baseline yang hanya mengandalkan dari hasil penjualan kayu saja dengan keuntungan Rp 117,85 milyar. Manfaat ketiga, terkait isu lingkungan global, jika memilih skenario-6 maka UM telah turut serta dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Berdasarkan prediksi yang telah dilakukan, skenario-6 menghasilkan reduksi emisi karbon terbesar akibat dari kegiatan pembalakan jika dibandingakan dengan skenario lainnya.

Manfaat keempat, penyelenggaraan karbon hutan atau perdagangan karbon dalam skema REDD+ diperkirakan akan memberikan dampak positif bagi perlindungan keanekaragaman hayati.

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi dan mengacu pada kriteria yang digunakan, secara umum karakteristik vegetasi hutan LOA (tahun tebang 2008, 2009, 2010, dan 2011) dan areal belum ditebang (ABD) tidak begitu berbeda. Beberapa parameter atau indeks yang diperbandingkan antara LOA dan ABD seperti: tingkat keanekaragaman jenis (H‟), kekayaan spesies (R1), kemerataan jenis (E), dominansi jenis (C), jenis dominan (INP), kemerataan komunitas (IS), dan struktur tegakan, memberi indikasi yang kuat bahwa antara LOA dan ABD banyak memiliki kesamaan. Hal ini menunjukkan

bahwa aktivitas pemanenan kayu tidak banyak mengubah nilai-nilai berbagai parameter vegetasi.

Selain untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai tujuan utama, penerapan skema REDD+ juga akan dihasilkan beberapa manfaat sampingan (co-benefit). Mafaat sampingan tersebut dapat berupa pengentasan kemiskinan, perbaikan jasa lingkungan termasuk perlindungan keanekaragaman hayati, dan perbaikan tata kelola hutan (forest governance) serta kepastian pemilikan lahan atau tenurial (CIFOR 2009).

Di dalam COP-16 tahun 2010 di Cancun, Meksiko, telah dihasilkan Kesepakatan Cancun (Cancun Agreement) dimana salah satu klausulnya adalah UNFCC (Badan PBB untuk Perubahan Iklim) meminta kepada seluruh peserta untuk mendorong, melaksanakan, dan melaporkan hasil implementasi perlindungan sosial dan lingkungan (social and environmental safeguards) dalam rangka pelaksanaan REDD+. Perlindungan (safeguards) dalam REDD+ adalah serangkaian kebijakan dan tindakan dalam pelaksanaan REDD+ yang berdampak langsung maupun tidak langsung, terhadap masyarakat dan ekosistem. Dalam batasan tentang safeguards tersebut termasuk di dalamnya aspek transparansi tata kelola, penghargaan terhadap hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal yang berpartispasi dalam kegiatan REDD+, serta berbagai aktivitas yang mengurangi resiko hilangnya keanekaragaman hayati, permanensi, dan kebocoran emisi karbon. Pada salah satu kesepakatan tentang perlindungan (safeguards) tersebut dinyatakan bahwa aksi-aksi yang dijalankan dalam REDD+ harus konsisten dengan konservasi hutan alam dan keanekaragaman hayati (Jagger et al. 2012).

Sementara itu UN-REDD (2010) menyatakan bahwa saat ini berkembang keyakinan bahwa cadangan karbon di hutan alam yang masih utuh dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, cenderung memiliki kelentingan (resilience) yang lebih baik terhadap perubahan iklim daripada cadangan karbon di hutan tanaman yang memiliki keanekaragaman hayati yang lebih rendah. Kelentingan dalam konteks ini berarti bahwa hutan alam dapat bertahan dari pengaruh-pengaruh negatif perubahan iklim dan/atau mampu kembali ke kondisi seperti semula (recovery). Dengan demikian meningkatkan kelentingan karbon

merupakan salah satu cara dimana konservasi keanekaragaman hayati dapat menguntungkan REDD+. Paoli et al. (2010) menyatakan bahwa deforestasi dan degradasi hutan di daerah tropis merupakan sumber utama emsisi GRK global. Sementara itu hutan tropis mengandung lebih dari setengah jenis-jenis terancam punah yang ada di dunia, sehingga upaya reduksi emisi GRK dengan jalan mengurangi deforestasi hutan tropis merupakan langkah penting dalam mewujudkan co-benefit bagi konservasi keanekaragaman hayati.

UN-REDD (2010) menyimpulkan adanya hubungan yang erat antara tingkat keanekragaman hayati atau biodiversitas dengan kelentingan karbon hutan. Secara rinci UN-REDD (2010) menyatakan:

1. Berdasarkan kajian literatur terdapat bukti yang kuat bahwa biodiversitas berperan di dalam meningkatkan kelentingan karbon. Diduga kuat, hutan yang lebih beragam jenisnya akan memiliki daya tahan yang lebih tinggi dari pengaruh buruk perubahan iklim.

2. Terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa keutuhan hutan alam tropis akan membantu kelentingan stok karbonnya terhadap perubahan iklim.

3. Untuk kepentingan pengurangan emisi dan juga ketahanan terhadap dampak negatif perubahan iklim, hutan alam tebukti lebih baik dari hutan tanaman.

Berdasarkan kesimpulan dari UN-REDD (2010) tersebut di atas, terdapat tiga macam atribut ekologis hutan yang akan mampu bertahan dalam menghadapi dampak buruk perubahan iklim karena memiliki daya lenting (resilience) yang tinggi. Ketiga macam atribut ekologis tersebut adalah: biodiversitas (keanekaragaman hayati), keutuhan hutan, dan ke alamian hutan. Terkait dengan kajian di hutan alam produksi PT SSS, maka yang perlu dianalisis lebih lanjut adalah aspek biodiversitas dan keutuhan hutan. Untuk aspek kealamian, hutan di areal PT SSS seluruhnya masih berupa hutan alam, bukan hutan tanaman atau HTI (hutan tanaman industri).

Menurut UN-REDD (2010), hutan dengan biodiversitas yang tinggi memiliki kelimpahan fungsional (functional redundancy) yang tinggi pula, sehingga akan meningkatkan kelentingan cadangan karbon hutan. Berdasarkan hasil analisis vegetasi, hutan produksi di dalam areal PT SSS memiliki tingkat

biodiversitas yang tergolong tinggi, baik dari segi jumlah spesies tumbuhan (S) maupun indeks biodiversitasnya (H‟). Menurut Putz et al. (2012), kekayaan jenis (species richness) tumbuhan, juga burung, invertebrata dan mamalia, pada hutan yang dipanen secara tebang pilih tidak berbeda nyata dengan hutan yang belum ditebang. Sekitar 90% kekayaan jenis tumbuhan dari hutan belum ditebang masih dijumpai pada hutan yang telah ditebang. Sama halnya seperti yang dilaporkan oleh Berry et al. (2010), bahwa hasil pengamatan di Sabah, menunjukkan, lebih dari 90% jenis satwa yang teramati di hutan primer juga dijumpai di tegakan LOA.

Dari segi perlindungan biodiversitas tumbuhan, kehadiran REDD+ diduga kuat akan semakin melindungi dan menjaga biodiversitas dari berbagai gangguan, terutama gangguan perambahan (deforestasi), degradasi hutan, dan penebangan liar. Degradasi hutan dapat ditimbulkan dari kegiatan pembalakan dengan intensitas tebangan yang cukup tinggi. Dengan demikian, di hutan produksi kegiatan pemanenan menjadi kunci penentu tinggi rendahnya degradasi hutan yang akan muncul. Pembalakan dengan intensitas rendah dan disertai dengan penerapan RIL akan mampu mencegah degradasi hutan secara nyata. Dengan demikian, meskipun sudah menerapkan PHL serta menggunakan teknik pemanenan RIL, namun jika UM masih menerapkan JPT berintensitas tebangan yang tinggi yang mana akan menghasilkan periode pulih stok karbon lebih lama dari siklus tebangannya, maka tegakan LOA akan terdegradasi dan membutuhkan waktu lama untuk pulih kembali sehingga memiliki daya lenting karbon yang rendah. Kondisi ini angat rentan terhadap dampak buruk perubahan iklim. Oleh karena itu, bila dikaitkan dengan hasil simulasi yang telah dilakukan dimana skenario-6 diketahui memiliki periode pulih tersingkat yakni hanya 27 tahun, maka jika UM ingin memberi perlindungan terhadap biodiversitas tumbuhan pada tegakan LOA, sangat ideal apabila UM memilih skenario-6 di dalam pemanfaatan kayunya saat melaksanakan proyek REDD+.

Memilih skenario-6 sangat relevan dan strategis jika dikaitkan dengan perlindungan terhadap biodiversitas satwa liar di areal PT SSS. Di dalam areal PT SSS hidup empat jenis primata yang tergolong endemik Pulau Siberut, dilindungi, dan terancam punah. Keempat jenis primata tersebut adalah:

(1) Hylobates klossii (Miller, 1903) atau Bilou dengan status Vulnerable (IUCN), Appendix I (CITES), dilindungi (PP No.7/1999) dan endemik P.Siberut;

(2) Macaca pagensis (Miller, 1903) atau Bokoi dengan status Critical Endangered (IUCN), Appendix II (CITES), dilindungi (PP No.7/1999) dan endemik P.Siberut;

(3) Presbytis potenziani (Bonaparte, 1856) atau Joja dengan status Vulnerable (IUCN), Appendix I (CITES), dilindungi (PP No.7/1999) dan endemik P.Siberut;

(4) Nasalis concolor (Miller, 1903) atau Simias concolor atau Simakobu dengan status Endangred (IUCN), Appendix I (CITES), dilindungi (PP No.7/1999) dan endemik P.Siberut (Fakultas Kehutanan IPB 2009).

Keempat jenis primata endemik tersebut merupakan satwa arboreal yang hampir seluruh akivitasnya dilakukan di atas tajuk pohon yang tinggi. Pohon-pohon yang bertajuk tinggi adalah habitat penting bagi kehidupan mereka. Dengan demikian berkurangnya tajuk pohon-pohon yang tinggi menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup mereka. Dalam kaitan ini, semua jenis aktivitas manusia yang berdampak pada pengurangan habitat satwa-satwa tersebut termasuk di dalamnya kegiatan pembalakan oleh UM PT SSS, perlu dievaluasi dan dicarikan jalan keluarnya agar dampaknya dapat diminimalisasi sekecil mungkin. Jenis primata yang sangat tergantung pada habitat berupa pohon dan tajuk tinggi adalah H.klossii (bilou) dan S.concolor (simakobu), sehingga kedua jenis ini sangat rentan terhadap kegiatan pemanenan kayu. Selain itu populasi keduanya lebih rendah dari populasi P.potenziani (joja) dan populasi M.pagensis

(bokoi) (Bismark 2006). Di Malaysia, John (1983) dalam Meijaard et al. (2006) menemukan bahwa hanya dengan laju penebangan kayu sebesar 3,3%, kegiatan tebang pilih menimbulkan pengaruh serius terhadap primata yang hidup di hutan tersebut. Pengaruh negatif tersebut antara lain berupa: penurunan biomassa primata secara drastis, kematian langsung, penurunan tingkat kelahiran, perubahan pola makan, dan tingginya kematian bayi primata.

Di hutan produksi, kegiatan pembalakan merupakan aktivitas utama dalam rangka memanen kayu untuk selanjutnya diolah oleh industri pengolahan kayu. Terkait dengan perlindungan habitat satwa langka dan endemik, maka dalam melakukan pembalakan seyogyanya diupayakan seminimal mungkin dampak yang ditimbulkannya. Salah satu cara mereduksi dampak buruk tersebut adalah dengan mengurangi intensitas tebangan termasuk di dalamnya menerapkan RIL. Jika dihubungkan dengan hasil simulasi pemanfaatan kayu yang telah dilakukan, maka skenario-6 dengan JPT terkecil merupakan pilihan tepat.

Dengan demikian, berdasarkan uraian di muka, dalam kaitan dengan pelaksanaan REDD+, menerapkan JPT rendah seperti pada skenario-6 akan mendatangkan multi manfaat, yaitu:

1. Menghasilkan kredit karbon terbesar, sehingga jika terlibat dalam proyek perdagangan karbon akan memberikan keuntungan finansial yang sangat signifikan.

2. Menghasilkan periode pulih stok karbon tegakan LOA tersingkat yakni 27 tahun dan lebih singkat dari rotasi tebangnnya. Hal ini akan meningkatkan daya lenting cadangan karbon hutan sehingga lebih tahan dalam menghadapi dampak buruk perubahan iklim.

3. JPT yang relatif rendah akan menciptakan intensitas pembalakan yang rendah pula sehingga dampak yang ditimbulkan terhadap habitat satwa primata yang dilindungi juga tergolong rendah. Menurut Bismark (2006), hutan sekunder tua bekas tebangan 30 th yang lalu yang berada di Desa

Dokumen terkait