• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.7. Analisis Sensitivitas

Dari keenam skenario yang menghasilkan kredit karbon, skenario-1 memiliki NPV pemanfatan kayu dan kompensasi karbon terendah. Untuk itu, guna menggambarkan tingkat kepekaan finansial terhadap berbagai perubahan komponen biaya, maka analisis sensitivitas dilakukan terhadap skenario-1 yang dianggap dapat mewakili skenario lainnya pada tingkat harga kompensasi karbon 4 USD per tCO2e.

Hasil analisis sensitivitas menunjukkan, meskipun terjadi perubahan pada komponen biaya transaksi sebesar 20% maupun harga kayu log sebesar 15,4%,

Baseline (Rp 117.85 M) Skenario 1 (Rp 136.12 M) Skenario 2 (Rp 154.30 M) Skenario 3 (149.07 M) Skenario 4 (Rp 147.33 M) Skenario 5 (Rp 155.29 M) Skenario 6 (164.04 M) Tdk menebang (Rp 86.32 M) 117.85 104.47 86.47 89.17 102.41 88.93 73.64 31.65 67.83 59.89 44.92 66.36 90.41 86.32 Kayu Karbon

proyek karbon di hutan produksi PT SSS tetap layak untuk dijalankan. Pada Tabel 33 tampak sangat jelas, perubahan biaya transaksi sebesar 20 % (naik atau turun) dampaknyanya sedikit sekali terhadap NPV yakni hanya bergeser sekitar 4,46% hingga 7,02% saja, sedangkan perubahan harga log sangat nyata pengaruhnya terhadap NPV. Pada tingkat suku bunga 10% dan harga kayu log bergerak 15,4% (naik menjadi Rp. 1.500.000,-/m3 atau turun menjadi Rp. 1.100.000,-/m3) mampu meningkatkan atau menurunkan NPV sebesar 60,05%. Pada tingkat suku bunga 12% dan 14%, perubahan harga log akan mengakibatkan pergeseran NPV berturut-turut sebesar 67,13% dan 74,91%. Dengan demikian, NPV lebih peka terhadap perubahan harga log dibandingkan dengan perubahan biaya transaksi. Dengan kata lain, perubahan harga log, selain akan berpengaruh nyata terhadap pendapatan UM dari hasil penjualan kayu bulat, juga berdampak besar terhadap perolehan nilai kompensasi dari proyek karbon.

Tabel 33 Analisis sensitivitas proyek perdagangan karbon pada skenario-1 (harga karbon 4 USD per tCO2e)

Suku bunga diskonto (%) Harga kayu log NPV/ BCR Biaya transaksi

Tetap Naik 20% Turun 20%

10 Tetap NPV 188.52 180.11 197 BCR 1.21 1.2 1.22 Naik NPV 301.72 293.31 310.13 BCR 1.32 1.31 1.34 Turun NPV 75.32 66.91 83.73 BCR 1.09 1.08 1.1 12 Tetap NPV 144.25 136.12 152.38 BCR 1.19 1.18 1.2 Naik NPV 241.09 232.96 249.22 BCR 1.3 1.29 1.32 Turun NPV 47.41 39.28 55.54 BCR 1.06 1.05 1.08 14 Tetap NPV 112.52 104.62 120 BCR 1.17 1.15 1.18 Naik NPV 196.81 188.91 204.7 BCR 1.28 1.27 1.3 Turun NPV 28.23 20.33 36.12 BCR 1.04 1.03 1.06

Berdasarkan uraian di atas perihal analisis finansial proyek perdagangan karbon, tampak dengan jelas bahwa berbagai kombinasi praktik PHL yang diformulasikan ke dalam 6 macam skenario pemanfaatan kayu, memberikan keuntungan finansial yang cukup signifikan sehingga proyek perdagangan karbon tersebut layak dikembangkan. Merujuk pada nilai keuntungan total yang tertera pada Gambar 13 di atas, dapat dinyatakan bahwa skenario dengan JPT terkecil, dalam hal ini skenario-6, akan menghasilkan kredit karbon terbesar sehingga memberikan keuntungan finansial total dari proyek perdagangan karbon juga terbesar. Pada skenario-6 keuntungan dari hasil penjualan kayu memang berkurang karena berkurangnya JPT, namun pengurangan keuntungan tersebut kemudian terkompensasi oleh keuntungan hasil penjualan karbon yang nilainya jauh lebih besar, sehingga total keuntungan dari hasil penjualan kayu dan karbon melebihi skenario PHL lainnya yakni Rp 164,04 milyar selama proyek atau sekitar Rp 5,47 milyar per tahun. Berdasarkan hasil analisis ini, maka jika UM PT SSS akan terjun ke dalam penyelenggaraan karbon hutan atau proyek perdagangan karbon melalui skema REDD+ dan mengharapkan keuntungan yang maksimum, maka skenario-6 patut dipertimbangankan untuk dijadikan acuan dalam pemanfaatan kayu.

5.8. Periode Pulih Stok Karbon Tegakan LOA

Periode pulih (recovery period) stok karbon adalah lamanya waktu (tahun) yang dibutuhkan LOA untuk kembali memiliki stok karbon tegakan seperti sediakala di awal proyek (ABD).

Pendugaan periode pulih karbon dilakukan dengan membuat persamaan garis yang menggambarkan perkembangan stok karbon tegakan LOA seperti di dalam Gambar 14. Berdasarkan Gambar 11, selanjutnya dapat ditentukan persamaan garis regresi kuadratik yang menggambarkan perkembangan stok karbon tegakan LOA dari awal poyek hingga mencapai jumlah seperti sebelum ditebang. Titik waktu dimana potensi stok karbon kembali seperti sediakala, adalah durasi waktu yang dibutuhkan untuk pulih kembali. Pajang pendeknya periode pulih tegakan LOA untuk setiap skenario berbeda-beda tergantung

JPTnya. Pada Tabel 34 disajikan persamaan garis perkembangan stok karbon, dan pada Gambar 14 dilukiskan garis periode pulih.

Tabel 34 Persamaan garis perkembangan stok karbon tegakan LOA

Skenario Persamaan garis R2

Baseline Y = 12.471.008,14 – 105.009,77 X + 767,009 X2 0,99 1 Y = 12.451.784,53 – 61.930,94 X + 822,94 X2 0,99 2 Y = 12.440.849,24 – 39.362,62 X + 862,49 X2 0,99 3 Y = 12.443.345,64 – 45.701,02 X + 853,46 X2 0,99 4 Y = 12.457.184,97 – 56.804,08 X + 676,66 X2 0,99 5 Y = 12.447.320,67 – 39.439,73 X + 712,34 X2 0,99 6 Y = 12.437.946,15 – 20.092,54 X + 746,25 X2 0.99

Keterangan: X = tahun, Y = potensi stok karbon tegakan LOA

Pada Gambar 14 tampak bahwa semakin besar volume kayu yang ditebang (JPT) semakin lama durasi periode pulih stok karbon tegakan LOAnya, dan sebaliknya. Hal ini terlihat pada grafik skenario baseline dan skenario-6. Skenario baseline dengan JPT terbesar yaitu 91.006 m3/th, memiliki durasi periode pulih stok karbon tegakan tinggal terlama yakni 137 th, sebaliknya pada scenario-6, dengan JPT terendah yakni hanya 56.807 m3/th, durasi periode pulihnya 27 th. Durasi priode pulih pada skenario lainnya, yakni skenario-1, 2, 3, 4, dan 5 berturut-turut adalah: 76, 46, 54, 84, dan 56 th.

Gambar 14 Periode pulih (recovery period) stok karbon tegakan LOA

7.00 8.00 9.00 10.00 11.00 12.00 13.00 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 78 84 90 96 102 108 114 120 126 132 M tC O2 e /th Tahun Baseline Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario 6

Berdasarkan grafik pada Gambar 14 di atas selanjutnya dapat dibuat garis regresi yang menggambarkan keterkaitan antara durasi periode pulih dengan JPT. Persamaan garis regresi linier sederhana antara periode pulih dengan JPT tersebut adalah: Y = 0,003 X – 157,1 (R2 = 0,949) seperti tampak pada Gambar 15. Y adalah lama priode pulih stok karbon (tahun) dan X adalah JPT (m3/ha).

Gambar 15 Hubungan antara periode pulih stok karbon tegakan LOA dan JPT (m3/th)

Berdasarkan persamaan regresi di atas, dapat ditentukan nilai JPT (m3/ha) yang akan menghasilkan durasi pulih stok karbon tegakan LOA sesuai dengan siklus tebangnya (Tabel 35). Dengan demikian, UM dapat menetapkan nilai JPT yang dikaitkan dengan periode pulih tegakan LOA dan sesuai dengan siklus tebangan yang telah ditentukan. Sebagai misal, siklus tebangan ditetapkan 30 th maka idealnya UM memilih JPT yang menghasilkan durasi periode pulih selama 30 th juga, yaitu sebesar 62.367 m3/th.

Tabel 35 Periode pulih tegakan LOA dan JPT Periode pulih stok

karbon (th) JPT (m3/th) 30 62.367 35 64.033 40 65.700 45 67.367 50 69.033 y = 0.003x - 157.1 R² = 0.949 0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 20000 40000 60000 80000 100000 P er iod e p u li h (t h ) JPT volume (m3/th)

Mengacu pada Tabel 35 di atas juga tampak bahwa setiap peningkatan JPT sebesar 1.666 m3/th akan memperlambat periode pulih stok karbon pada tegakan tinggal selama 5 tahun.

Sasaki et al. (2011) menggunakan grafik periode pulih seperti Gambar 14 di atas untuk membuat klasifikasi tegakan LOA berdasarkan tingkat degradasinya dengan tujuan memberi arahan solusi atau langkah-langah strategis agar tegakan LOA kembali pulih seperti sediakala (Gambar 16). Mereka tidak menjabarkan lebih lanjut berapa lama durasi waktu yang dibutuhkan setiap kategori LOA tersebut untuk kembali pulih ke kondisi tegakan semula. Lebih lanjut mereka memperkenalkan istilah “periode restorasi” (restoration period) yaitu jangka waktu antara titik balik hingga titik waktu dimana kondisi stok karbon semula telah tercapai. Bila menggunakan Gambar 14 di atas, maka lamanya periode restorasi tersebut kira-kira setengah dari periode pulih (recovery periode). Begitu juga Alder (1999) menyampaikan ilustrasi yang sama perihal priode pemulihan tegakan tingggal di hutan tropika lembab (moist tropical forest) dengan menggunakan parameter volume tegakan (untuk jumlah kayu yang dipanen dan tegakan yang rusak akibat pembalakan) serta riap volume.

Durasi periode pulih stok karbon maupun biomassa tegakan tinggal di tempat lain umumnya juga lebih lama dari siklus tebangnya. Lama periode pulih hutan bekas tebangan menuju ke keadaan hutan primer, yaitu: 45-100 tahun untuk biomassa hutan, 120 tahun untuk potensi tegakan, dan 150-500 tahun untuk keanekaragaman jenis. Hal ini dikarenakan, pohon-pohon di hutan tropis yang berukuran besar telah mencapai umur ratusan tahun, sehingga pemulihan bagi pohon-pohon besar tersebut membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dari masa rotasi tebangan 30-35 tahun yang umum diterapkan di wilayah tropis (Shearman

et al. 2011).

Menurut Halle (1976) dalam Indrawan (2000), suksesi sekunder di dalam

chablis atau gap akan menciptakan komunitas tumbuhan yang sama dengan komunitas di sekitarnya dalam jangka waktu sekitar 200 tahun. Sedangkan Aweto (1981) dalam Indrawan (2000) menyatakan bahwa mature forest (hutan primer) pada suksesi sekunder akan terbentuk kira-kira 80 tahun. Hasil kajian Huc dan Rosalina (1981) dalam Anwar et al. (1984) menunjukkan, suksesi

sekunder menuju hutan primer yang berlangsung di dalam rumpang di hutan tropis Sumatera (Sumbar, Jambi, Sumsel, dan Lampung) rata-rata membutuhkan waktu 117 th.

Gambar 16 Kurva tingkat degradasi hutan dan periode pulih (Sasaki et al. 2011)

Blanc et al. (2009) melaporkan hasil pengukurannya di hutan tropika Guyana Perancis, Amerika Latin, bahwa tegakan LOA hasil tebang pilih dengan intensitas 32,5 m3/ha atau 10,4 btg/ha yang setara dengan emisi 85 MgC/ha, akan pulih dalam jangka waktu 45 th. Adapun yang ditebang dengan intensitas 53,4 m3/ha atau 20,6 btg/ha yang setara dengan emisi 142 MgC/ha membutuhkan periode pulih selama lebih dari 100 th. Sementara itu, Bonnell et al. (2011) yang melakukan penelitian di hutan tropika Uganda, Afrika Timur, menemukan bahwa tegakan LOA yang telah ditebang dengan intensitas 14 m3/ha akan pulih dalam periode 95 th, sedangkan hutan yang ditebang dengan intensitas yang lebih tinggi yakni 21 m3/ha membutukan waktu selama 112 th untuk memulihkan diri dan kembali seperti hutan primer. Adapun tegakan LOA di hutan Nigeria, yang hampir sama kondisinya dengan hutan-hutan lainnya di Afrika Barat, untuk dapat pulih kembali (steady-state) membutuhkan waktu selama 250 tahun (Jones 1956 dalam Whitmore 1991). Read dan Lawrence (2003) juga melaporkan hasil kajiannya terhadap hutan tropis di Yucatan Mexico. Mereka berkesimpulan

bahwa biomassa tegakan LOA akan pulih dan mendekati kondisi biomassa sebelum dipanen dalam kurun waktu 65-120 tahun.

Hasil simulasi dampak pembalakan terhadap simpanan karbon di hutan Dipterokarpa Malaysia, Pinard dan Cropper (2000) memprediksi lama periode pulih agar LOA kembali memiliki kandungan karbon seperti sebelum dipanen sekitar 120 tahun. Mereka juga menyatakan bahwa mereduksi kerusakan fatal pada tegakan tinggal dari 40% menjadi 20% setara dengan peningkatan stok karbon sebesar 36 tC per hektar yang mampu dicapai dalam kurun waktu lebih dari 60 tahun. Sama halnya dengan Putz et al. (2008) yang telah melakukan penelitian jangka panjang di Malaysia untuk mengkaji pengaruh penerapan teknik pembalakan konvensional (CL) dan RIL. Temuan mereka menunjukkan, setelah 30 tahun ditebang, tegakan yang dipanen dengan teknik RIL memiliki stok karbon 30 tC lebih banyak dibandingkan dengan yang menggunakan CL (Gambar 13-A). Bila diperhatikan dengan seksama, dalam kurun waktu 30 tahun tersebut jumlah stok karbon tegakan LOA yang dipanen dengan CL baru meningkat ± 20 tC atau sekitar 20%nya saja. Jika Gambar 17-A tersebut direkonstruksi dengan memperpanjang garis kurvanya dan diasumsikan kurva tersebut berupa garis regresi kuadratik, maka diperoleh garis terputus-putus berwarna merah dan biru. Berdasarkan gambar yang baru tersebut (Gambar 17-B), dapat diketahui periode pulih tegakan LOA yang ditebang dengan teknik CL sekitar 80 tahun sedangkan yang menggunakan teknik RIL sekitar 70 tahun. Namun jika kurva tersebut merupakan garis regresi linier, maka bila direkonstruksi akan menghasilkan garis terputus-putus berwarna hitam (a) dan (b). Garis (a) yaitu yang menggunakan teknik CL, periode pulihnya sekitar 200 tahun, sedangkan garis (b) yang menerapkan RIL periode pulihnya sekitar 170 tahun.

Labetubun (2004) telah melakukan simulasi pendugaan periode pulih tegakan LOA di areal PT. Telagabakti Persada (PT.TP), Maluku Utara, berdasarkan intensitas penebangan dan jumlah pohon yang ditebang dalam sistem silviultur TPTI dengan menggunakan metode pendekatan dinamika struktur tegakan tinggal. Periode pulih yang diperoleh menjadi dasar penentuan siklus tebang tegakan LOA. Dicapainya periode pemulihan ditandai oleh luas bidang

dasar (m2/ha) yang sama dengan hutan alam primer (31,5 m2/ha) dan distribusi tegakan LOA yang mendekati tegakan awal.

Gambar 17 (A) Ilustrasi asli dari Putz et al. (2008), (B) hasil rekonstruksi dengan memperpanjang garis kurva (garis terputus-putus)

Hasil simulasi Labetubun (2004) memperlihatkan bahwa periode pulih di PT. TP lebih singkat dibandingkan dengan hasil prediksi dalam penelitian ini. Sebagai contoh, pada intensitas tebangan pohon (DBH ≥ 60 cm) sebanyak 7,84; 9,40; 10,97; dan 12,54 btg/ha, lama periode pulihnya berturut-turut hanya: 19, 21, 23, dan 25 th. Jadi setiap kenaikan satu pohon yang ditebang akan memperpanjang periode pulih 1,09 th. Angka ini sangat kontras bila dibandingkan dengan LOA di PT. SSS, dimana peningkatan satu pohon yang dipanen akan memperlambat periode pulih sekitar 20 th. Hasil kajian Labetubun (2004) juga menunjukkan, meskipun ditebang dengan intensitas yang tergolong tinggi (12,54 btg/ha), tegakan LOA akan pulih kembali pada aspek luas bidang dasar tegakan dalam kurun waktu 25 tahun, artinya 10 tahun lebih cepat dari rotasi tebangannya (35 tahun). Lama periode pulih yang relatif singkat hasil studi Labetubun (2004) tersebut sejalan dengan hasil pengamatan Ghazoul & Hellier

A

(2000) yang menyatakan bahwa periode pulih untuk luas bidang dasar berkisar 20-30 tahun. Nampaknya dalam pendekatan dinamika struktur tegakan tinggal yang menggunakan variabel kerapatan tegakan dan luas bidang dasar (misalnya dalam menentukan ingrowth, upgrowth, dan mortality), akan dihasilkan durasi periode pulih lebih singkat dibandingkan jika menggunakan dimensi volume/biomassa/stok karbon seperti yang dilakukan dalam penelitian ini maupun penelitian-penelitian terdahulu (Tabel 36).

Tabel 36 Hasil-hasil penelitian tentang periode pulih di hutan tropis

No Peneliti Lokasi Intensitas Tebangan /Parameter Tegakan

Periode Pulih (th) 1 Blanc et al. (2009) Hutan tropis

Guyana Perancis, Amerika 32,5 m3/ha (10,4 btg/ha) 45 53,4 m3/ha (20,6 btg/ha) 100 2 Bonnell et al. (2011) Hutan tropis Uganda, Afrika 14 m3/ha 95 21 m3/ha 112 3 Pinard & Cropper

(2000)

Hutan Dipterokarpa Malaysia

36 ton karbon (tC) 60

4 Putz et al. (2008) Hutan Dipterokarpa Malaysia

125 m3/ha (asumsi kurvanya berupa garis regresi kuadratik)

80 (CL); 70 (RIL)

125 m3/ha (asumsi kurvanya berupa garis regresi linier) 200 (CL); 170 (RIL) 5 Halle (1976) dalam Indrawan (2000) Gap akibat penebangan pohon Suksesi sekunder menuju kondisi semula

200 6 Aweto (1981) dalam Indrawan (2000) Tegakan LOA hutan tropis Suksesi sekunder menuju kondisi mature forest (hutan primer)

80

7 Huc & Rosalina (1981) dalam Anwar et al. (1984) Sumatera (Sumbar, Jambi, Sumsel, Lampung Suksesi sekunder di dalam rumpang menuju hutan primer

117

8 Labetubun (2004) *)

Maluku Utara 31,5 m2/ha (12,54 btg/ha)

25

Keterangan: *) menggunakan pendekatan dinamika struktur tegakan

Dokumen terkait