• Tidak ada hasil yang ditemukan

Naskah pembukaan hukum laut internasional United Nations Convention on

the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 telah mengisyaratkan, perlu adanya suatu konvensi tentang hukum laut yang baru dan yang dapat diterima secara umum. Dalam naskah tersebut dinyatakan, permasalahan ruang samudera merupakan permasalahan yang berkaitan erat satu sama lain dan perlu dianggap sebagai suatu kebulatan. Melalui suatu konvensi, suatu tertib hukum diberlakukan untuk dapat memudahkan komunikasi internasional dan memajukan penggunaan laut dan samudera secara damai, pendayagunaan sumberdaya alam secara adil dan efisien, melakukan konservasi sumberdaya alam hayati dan pengkajian, serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Indonesia telah turut meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU 17/1985.

Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), telah mengamanatkan kepada negara-negara di dunia untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara bertanggungjawab. Prinsip-prinsip dalam pengelolaan meliputi: 1) Pelaksanaan hak menangkap ikan disertai upaya konservasi; 2) Pengelolaan berasaskan pada mempertahankan kualitas sumberdaya, keanekaragaman hayati dan keberlanjutan; 3) Pengembangan armada sesuai kemampuan reproduksi sumberdaya; 4) Perumusan kebijakan perikanan berdasarkan bukti ilmiah; 5)

Pengelolaan berdasarkan pada prinsip kehati-hatian (precautionary approach); 6)

Pengembangan alat penangkapan yang selektif dan aman terhadap sumberdaya; 7) Mempertahankan nilai kandungan nutrisi ikan pada keseluruhan proses produksi; 8) Perlindungan dan rehabilitasi terhadap habitat sumber-sumber perikanan kritis; 9) Pengintegrasian pengelolaan sumber-sumber perikanan kedalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir; serta 10) Penegakan hukum melalui penerapan

monitoring, controlling and surveillance (MCS) (Manggabarani 2006).

Undang-Undang 31/2004 pada Bab I Pasal 1 menyatakan, pengelolaan

perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari

perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pada Pasal 2 disebutkan, pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Tujuan pengelolaan perikanan tercantum pada Pasal 3, yaitu: 1) meningkatkan taraf hidup nelayan/pembudidaya skala kecil, 2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara, 3) mendorong perluasan dan kesempatan kerja, 4) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi protein ikan, 5) mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya, 6) meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing, 7) meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan, 8) mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal, serta 9) menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang.

Menurut Nikijuluw (2002), sumberdaya perikanan harus dikelola dengan baik, karena sumberdaya perikanan sangat sensitif terhadap tindakan manusia. Pendekatan apapun yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya, jika pemanfaatan dilakukan secara berlebihan, pada akhirnya sumberdaya akan mengalami tekanan secara ekologi dan akan menurun kualitasnya. Pengelolaan sumberdaya perikanan patut dilakukan supaya pembangunan perikanan dapat dilaksanakan dengan baik dan tujuan pembangunan dapat tercapai. Sumberdaya perikanan terdiri atas sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan, serta segala sumberdaya buatan manusia yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya. Oleh karena itu pengelolaan sumberdaya perikanan mencakup penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungannya, serta pengelolaan kegiatan manusia. Secara lebih ekstrim dapat dikatakan, manajemen sumberdaya perikanan adalah manajemen kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya. Diberlakukannya UU 32/2004 membawa konsekuensi berupa perubahan dalam tata pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. Berdasarkan UU tersebut, Pemda memiliki landasan yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan kelautan secara terpadu, mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya dalam

upaya menerapkan pembangunan kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menyusun rencana strategis (RENSTRA) pengelolaan sumberdaya secara terpadu dari setiap provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyusun zonasi kawasan perairan untuk memfokuskan sektor-sektor tertentu dalam suatu zona, menyusun

rencana pengelolaan (management plan) untuk suatu kawasan tertentu atau suatu

sumberdaya tertentu. Selanjutnya membuat rencana aksi (action plan) yang

memuat rencana investasi pada berbagai sektor, baik untuk kepentingan pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat. Perencanaan hendaknya dilakukan secara partisipatif, artinya segenap komponen daerah terlibat dalam proses dan tahapan perencanaan pengelolaan tersebut (Dahuri 2003).

2.2 Beberapa Contoh Bentuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Beberapa contoh bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang disarikan dari beberapa tulisan di jurnal ilmiah, adalah sebagai berikut:

1) Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan mengetengahkan kerjasama pihak

yang terkait (stakeholder) melalui peraturan perikanan terpadu di Teluk

Murcielagos, Pantai Utara Mindanau, Philipina (Panorel 2004). Potensi sumberdaya ikan di Teluk Murcielagos pada awalnya sangat besar, nelayan dengan mudah mendapatkan hasil tangkapan 100 kg per hari. Seiring dengan perkembangan waktu, terjadi migrasi secara besar-besaran penduduk ke daerah ini untuk mencari kesempatan kerja. Berbagai kegiatan perikanan ilegal dan penangkapan destruktif kemudian terjadi, mengakibatkan rusaknya ekosistem perairan dan tekanan besar terhadap sumberdaya. Pada tahun 1980-1990-an,

terjadi penurunan catch per unit effort secara drastis. Pada tahun 2000, hasil

tangkapan rata-rata hanya 1-3 kg untuk 3-4 jam penangkapan. Kondisi ini berdampak menurunnya pendapatan nelayan dari sekitar 5.000 peso pada tahun 1995 menjadi 2.000 peso pada tahun 2000. Secara sosial politik, Teluk Murcielagos pada kondisi yang kompleks. Teluk terbentang diantara empat kotamadya yaitu Baliangao, Sapang Dalaga, Rizal dan Sibutad pada dua provinsi yaitu Misamis Occidental dan Zamboanga del Norte serta wilayah pengelolaan yang berbeda (wilayah pengelolaan IX dan X). Sebelumnya, telah

dilakukan kerjasama kedua provinsi untuk pengembangan perikanan di daerah ini, namun kerjasama tidak berlanjut karena rendahnya koordinasi dan rendahnya prioritas pembangunan perikanan dari pemerintah. Menghadapi kondisi demikian, pihak-pihak yang berkepentingan di teluk ini, kemudian membentuk suatu institusi untuk bekerjasama mengelola sumberdaya. Dua pihak yang sangat berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya adalah, komunitas nelayan miskin yang tersebar di 24 desa pantai dan pemerintahan setempat yang meliputi pemerintah daerah, pejabat dan agen pemerintah. Pihak lain yang berkepentingan adalah kelompok gereja dan LSM. Mereka kemudian sepakat mendirikan organisasi pengelolaan sumberdaya yang disebut

UFO (Unified Fisheries Ordinance). Ciri utama organisasi ini adalah: (1)

proses pengambilan keputusan didasarkan pada ketersediaan informasi, yang berasal dari hasil-hasil penelitian oleh ilmuwan dan pengalaman nelayan, (2) adanya partisipasi aktif dari pengguna langsung sumberdaya dalam perencanaan, implementasi dan pengelolaan program/proyek, (3) adanya jaringan kerja dan advokasi yang terbina baik diantara kelompok-kelompok sosial dan pemerintah, (4) adanya diseminasi informasi dan penegakan aturan, serta (5) monitoring untuk selalu mentaati peraturan yang ada.

2) Peraturan perikanan anchovy di Divisi VIII Eropa (Del Valle et al. 2001).

Perikanan anchovy di Divisi VIII Eropa dieksploitasi secara eksklusif oleh

armada purse seine Cantabrian, dengan pengaturan pengelolaan oleh

“Cofradias de Pescadores” (kelompok nelayan), sampai awal tahun 80-an. Beberapa pengaturan pengelolaan mengacu pada kebijakan pengelolaan pemerintah Spanyol. Bersamaan dengan masuknya Perancis kedalam organisasi masyarakat Eropa, Perancis meningkatkan keberadaan nelayannya

dalam perikanan anchovy tersebut dengan menggunakan armada trawl pelagis.

Keberadaan nelayan Perancis ini menjadikan permasalahan yang kompleks

bagi kerangka kerja institusi Cofradias. Kepemilikan armada trawl tidak

kooperatif, tidak sesuai dengan kapasitas izin yang diberikan Cofradias.

Armada trawl Perancis terus meningkat secara spektrakuler, yang secara

bersamaan terjadi penurunan armada purse seine Spanyol. Terjadi penurunan

tahun 1960-an menjadi sekitar 5.000-8.000-an di pertengahan tahun 1980-an. Kondisi ini memaksa organisasi masyarakat Eropa turun tangan dalam pengelolaan sumberdaya anchovy di Divisi VIII, melalui sistem pengelolaan

supranational dengan penetapan TAC (total allowable catch) dan perizinan.

3) Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat model “sasi” di

Haruku, Kepulauan Maluku, Indonesia (Kissya and Dwisasanti 2004). Dalam makalah ini diketengahkan suatu model pengelolaan sumberdaya perikanan

berbasis masyarakat yang menarik dan penting di Haruku yaitu lompa sasi.

Keunikan lompa sasi adalah cakupannya yang meliputi sasi laut dan sasi

sungai. Ikan lompa (Thryssa baelama) merupakan ikan kecil sejenis sarden,

yang dapat berkembang dengan baik diantara perairan laut dan air tawar. Lompa sasi juga memasukkan aspek modernitas pada kegiatan nelayannya, yaitu dengan penggunaan perahu motor. Keberadaan lompa ditunjukkan secara nyata, yaitu dengan adanya sistem tutup sasi dan buka sasi. Tutup sasi dilakukan untuk melindungi ikan lompa yang sedang melakukan pemijahan di sungai. Buka sasi dilakukan sekitar tujuh atau sembilan bulan kemudian yaitu sekitar bulan November, setelah ikan lompa dewasa. Buka sasi mengikut sertakan seluruh komunitas masyarakat yang berada di sekitar pulau untuk melakukan panen ikan, yang didahului dengan upacara adat. Sistem lompa sasi menggambarkan suatu tradisi yang kuat dalam masyarakat, tentang solidaritas dan perhatiannya pada kesejahteraan masyarakat secara bersama. Peraturan sasi diputuskan bersama oleh ketua adat dan partisipasi masyarakat, yang

diimplementasikan oleh persatuan Kewang. Berdasarkan kewenangannya,

Kewang berfungsi sebagai polisi adat, yang dapat memberikan hukuman dan sangsi pada pelanggar. Hukuman atau sangsi yang diberikan dapat berupa hukuman fisik atau teguran. Pada kenyataannya tradisi ini masih berakar kuat

dalam masyarakat, masyarakat desa lebih takut terhadap Kewang dari pada

terhadap tentara pemerintah.

Berdasarkan pada beberapa contoh bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan seperti tersebut di atas, jelas dinyatakan bahwa sumberdaya perikanan harus dikelola dengan baik, agar dapat memberikan manfaat kepada pelaku pemanfaat sumberdaya secara keberlanjutan. Pengelolaan sumberdaya perikanan

harus dilakukan secara hati-hati dan berdasarkan pada kajian-kajian ilmiah,sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982 dan CCRF. Pengelolaan sumberdaya perikanan

menghendaki keterlibatan dari seluruh stakeholder yang terlibat dalam

pemanfaatan sumberdaya perikanan, mulai dari perencanaan, penyusunan program, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.

Dokumen terkait