• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap 1. Potensi dan Kendala Kawasan Pesisir untuk Wisata Pesisir a. Penilaian Kualitas Lingkungan Pesisir

Penilaian kualitas lingkungan pesisir pada tujuh desa penelitian dilakukan dengan menggunakan kriteria bersumber dari Bakosurtanal (1996) dan DKP (2003) yang meliputi kualitas akuatik dan kualitas terestrial.

• Kualitas Akuatik

Daerah akuatik ialah daerah perairan yang terdapat di kawasan pesisir. Batasan daerah akuatik ialah batas pesisir laut hingga batas pasang surut tertinggi. Parameter yang digunakan pada akuatik meliputi kecerahan perairan, kecepatan arus, substrat dasar, topografi dan tingkat kerawanan bencana tsunami. Titik yang diambil terdiri dari tujuh titik dimana masing-masing titik mewakili karakter perairan tiap desa di lokasi penelitian. Penilaian kualitas akuatik dapat ditunjukkan oleh Tabel 3.

Tabel 3 Penilaian kualitas lingkungan pesisir akuatik

Unsur Bobot Sub unsur Skor Keterangan

Kecerahan perairan (%) 20 nilai ≥ 75 50 < nilai ≤ 75 25 < nilai ≤ 50 nilai ≤ 25 4 3 2 1 sangat sesuai sesuai kurang sesuai tidak sesuai Kecepatan arus (m/detik) 15 0 < nilai ≤ 0.17 0.17 < nilai ≤ 0.34 0.34 < nilai ≤ 0.51 nilai >0.51 4 3 2 1 sangat baik baik batas toleransi berbahaya Substrat dasar 10 Pasir

Karang berpasir Lumpur Pecahan karang murni 4 3 2 1 sangat baik baik kurang baik tidak baik Topografi 10 Landai Cukup landai Terjal Curam 4 3 2 1 aktifitas tinggi aktivitas tinggi aktivitas sedang aktivitas rendah Tingkat kerawanan bencana tsunami 5 Tidak Rendah Sedang Tinggi 4 3 2 1

tidak rawan tsunami rawan tsunami rendah rawan tsunami sedang rawan tsunami tinggi

Penghitungan klasifikasi kesesuaian lingkungan akuatik = [( 7 1 n=

Fkp x 20) + ( 7 1 n=

Fka x 15) + ( 7 1 n=

Fsd x 10) + ( 7 1 n=

Ftop x 10) + ( 7 1 n=

Ftsu x 5)] Keterangan

Fkp = faktor kecerahan perairan Ftop = faktor topografi

Fka = faktor kecepatan arus Ftsu = faktor kerawanan tsunami Fsd = faktor substrat dasar

7 1

n=

= titik ke 1 hingga 7

Parameter-parameter yang telah diskoring selanjutnya dilakukan pembobotan dan kemudian dikategorikan dalam kelas kesesuaian, yaitu

Kelas S1 : Sangat Sesuai (Nilai 181 – 240)

Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan.

Kelas S2 : Cukup Sesuai (Nilai 121 – 180)

Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Kelas S3 : Sesuai Marginal (Nilai 61 – 120)

Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Kelas N : Tidak Sesuai (Nilai ≤ 60)

• Kualitas Terestrial

Daerah terestrial merupakan daerah daratan yang terdapat di kawasan pesisir. Batasan daerah terestrial ialah daerah pasang tertinggi hingga batas administrasi desa yang bersinggungan langsung dengan Teluk Konga. Parameter yang digunakan dari daerah terestrial ini meliputi habitat, penutupan lahan pantai, lebar pantai, topografi, dan bahaya gunung berapi. Penilaian dilakukan pada tujuh desa yang bersinggungan langsung dengan Teluk Konga. Penilaian kualitas terestrial dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Penilaian kualitas lingkungan pesisir terestrial

Unsur Bobot Sub unsur Skor Keterangan

Keaslian Ekosistem (%) 20 Keaslian ekosistem utuh Keaslian ekosistem rusak < 15 % Keaslian ekosistem rusak 15 – 50 % Keaslian ekosistem rusak > 50% 4 3 2 1 ekosistem asli ekosistem asli ekosistem terganggu ekosistem rusak Penutupan Lahan Pantai 15 Alami Semi alami Non alami Campuran 4 3 2 1

penutupan lahan alami penutupan lahan semi alami penutupan lahan terbangun campuran Lebar pantai (m) 10 nilai >150 100 < nilai ≤ 150 50 < nilai ≤ 100 nilai ≤ 50 4 3 2 1

sangat baik untuk wisata baik untuk wisata kurang baik untuk wisata tidak baik untuk wisata Topografi (%) 10 0 < nilai ≤ 8% 8 < nilai ≤ 15% 15 < nilai ≤ 25% nilai >25% 4 3 2 1

aktivitas sangat tinggi aktifitas tinggi aktifitas sedang aktifitas rendah Bahaya Gunung Berapi 5 Tidak bahaya Agak bahaya Bahaya Sangat bahaya 4 3 2 1

jalur tidak bahaya

jalur pengamanan pertama jalur waspada gunungapi jalur bahaya gunungapi

Sumber : Modifikasi Bakosurtanal (1996) dan DKP (2003)

Penghitungan klasifikasi kesesuaian lingkungan terestrial = [( 7 1 n=

Feko x 20)+( 7 1 n=

Fplp x 15)+( 7 1 n=

Flp x 10)+( 7 1 n=

Ftop x 10)+( 7 1 n=

Fbgb x 5)] Keterangan

Fhab = faktor keaslian ekosistem Ftop = faktor topografi

Fplp = faktor penutupan lahan pantai Fbgb = faktor bahaya gunungapi Flp = faktor lebar pantai

7 1

n=

= desa ke 1 hingga 7

Parameter-parameter yang telah diskoring selanjutnya dilakukan pembobotan masing-masing dan kemudian dikategorikan dalam kelas kesesuaian. Kelas kesesuaian tersebut dibagi ke dalam empat kategori, yaitu

Kelas S1 : Sangat Sesuai (Nilai 181 – 240)

Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan.

Kelas S2 : Cukup Sesuai (Nilai 121 – 180)

Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Kelas S3 : Sesuai Marginal (Nilai 61 – 120)

Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Kelas N : Tidak Sesuai (Nilai ≤ 60)

Penggabungan hasil kesesuaian akuatik dan terestrial menghasilkan zona tingkat kepekaan lingkungan pesisir, yaitu zona tidak peka (S1), zona kurang peka (S2), zona cukup peka (S3), dan zona peka (S4). Berdasarkan zona ini dapat dilihat tapak dengan potensi lingkungan yang paling sesuai untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata.

b. Pengembangan Kepariwisataan Pesisir

Pengembangan pariwisata di suatu kawasan dimulai dengan menentukan obyek dan atraksi wisata yang tersedia dan selanjutnya dinilai potensinya untuk dapat dikembangkan. Penentuan ketersediaan obyek dan atraksi wisata dilakukan dengan mewawancara staf pemerintah daerah, kepala desa, masyarakat dan pengamatan lapangan. Penilaian dilakukan dengan menggunakan metode Mc Kinnon (1986) dan Gunn (1994) dengan kepala desa (n=7) sebagai penilai. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa kepala desa merupakan penduduk asli dan wakil masyarakat yang dipilih oleh masyarakat desa dan tetua adat, sehingga mengetahui secara rinci kondisi desa tersebut dan kondisi di sekitar desanya. Penilaian obyek wisata dilakukan dengan memenuhi aspek berikut, yaitu 1) atraksi, 2) daya tarik, 3) estetika dan keaslian, 4) fasilitas pendukung, 5) ketersediaan air bersih, 6) transportasi dan aksesibilitas, dan 7) dukungan dan partisipasi masyarakat. Penilaian obyek dan atraksi wisata dapat dilihat pada Tabel 5, dan penilaian diklasifikasi menjadi sangat kuat, kuat, sedang dan lemah.

Selanjutnya dilakukan peringkat berdasarkan ketersediaan obyek dan atraksi wisata di tiap desa. Peringkat tersebut menghasilkan zona wisata berdasarkan ketersediaan obyek dan atraksi wisata yang meliputi zona atraktif

(S1), zona cukup atraktif (S2), zona kurang atraktif (S3), dan zona tidak atraktif (S4). Zona atraktif ialah zona wisata dengan tingkat potensi tinggi, yaitu memiliki obyek dan atraksi wisata >5. Zona cukup atraktif ialah zona wisata dengan tingkat potensi sedang, yaitu memiliki obyek dan atraksi wisata 3 – 5. Zona kurang atraktif ialah zona wisata dengan tingkat potensi rendah yaitu memiliki obyek dan atraksi wisata 1-3. Sedangkan zona tidak atraktif ialah zona tanpa potensi wisata yaitu tidak memiliki obyek dan atraksi wisata.

Tabel 5 Penilaian terhadap obyek dan atraksi wisata Nilai No Faktor

4 (sangat kuat)

3 (kuat) 2 (sedang) 1 (lemah)

1 Letak dari jalan utama < 1 km 1 – 2 km 2 – 3 km > 3 km 2 Estetika dan keaslian Asli Asimilasi, dominan bentuk asli Asimilasi, dominan bentuk baru Sudah berubah sama sekali 3 Atraksi Hanya terdapat di Tapak Terdapat <3 lokasi di tempat lain Terdapat 3-5 lokasi di tempat lain Terdapat > 5 lokasi di tempat lain 4 Fasilitas Pendukung Tersedia dalam kondisi sangat baik Tersedia dalam kondisi baik Tersedia dalam kondisi kurang baik Prasarana dan sarana tidak tersedia 5 Ketersediaan Air bersih < 0,5 km 0,5 – 1 km 1 – 2 km Jarak >2km 6 Transportasi dan Aksesibilitas Jalan aspal, ada kendaraan umum Jalan aspal berbatu, ada kendaraan umum Jalan aspal berbatu, tanpa kendaraan umum Jalan berbatu/tanah, tanpa kendaraan umum 7 Dukungan dan Partisipasi Masyarakat Sangat Mendukung Mendukung Kurang mendukung Tidak mendukung

Sumber : Modifikasi Mc. Kinnon (1986), Gunn (1994) dalam Rahmadani (2005), Umar (2006)

Penghitungan penilaian terhadap obyek dan atraksi wisata =

7 1 n=

Flju + 7 1 n=

Fek + 7 1 n=

Fatr + 7 1 n=

Ffp + 7 1 n=

Fka + 7 1 n=

Fta + 7 1 n=

Fdpm

Keterangan :

Flju = faktor letak dari jalan utama Fka= faktor ketersediaan air Fek = faktor estetika dan keaslian Fta= faktor tranportasi-aksesibilitas Fatr = faktor atraksi Fpm= faktor pastisipasi masyarakat Ffp = faktor fasilitas pendukung

7 1

n=

= nilai responden ke 1 sampai 7 Skor masing-masing obyek dijumlahkan dengan ketentuan sebagai berikut: S1 = Sangat Potensial (Nilai 147 – 196)

S2 = Cukup Potensial (Nilai 99 – 147) S3 = Kurang Potensial (Nilai 50 – 98) S4 = Tidak Potensial (Nilai ≤ 49)

c. Keikutsertaan Masyarakat Pesisir dalam Kepariwisataan

Keikutsertaan masyarakat dalam pariwisata memacu perkembangan pariwisata ke arah yang lebih baik. Keikutsertaan masyarakat dalam pariwisata dinilai dari tingkat akseptibilias dan peluang pemberdayaan dari aspek ekonomi.

Akseptibilitas Masyarakat

Akseptibilitas masyarakat ditunjukkan dengan tingkat kesediaan masyarakat dalam menerima pengembangan lokasi penelitian menjadi kawasan wisata. Penilaian dilakukan oleh responden (n=70) yang dipilih secara acak pada tiap desa penelitian. Jumlah responden diharapkan telah mampu mewakili penilaian oleh seluruh penduduk Teluk Konga yang relatif homogen. Penilaian diklasifikasikan menjadi bersedia, kurang bersedia, tidak bersedia, dan tidak tahu. Penilaian tingkat akseptibilitas masyarakat dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Penilaian akseptibilitas masyarakat Teluk Konga terhadap wisata Peringkat

No Faktor

4 (bersedia) 3bersedia)(kurang bersedia)2 (tidak 1 (tidak tahu)

1 Pengembangan kawasan sebagai daerah tujuan wisata

Setuju Kurang setuju Tidak setuju Tidak tahu 2 Pengelolaan kawasan wisata oleh masyarakat Setuju Kurang setuju Tidak setuju Tidak tahu 3 Peran aktif masyarakat dalam pariwisata

Ya Kurang Tidak Tidak tahu

4 Keuntungan kegiatan wisata

Ya Kurang Tidak Tidak tahu

5 Keberadaan wisatawan Bersedia Kurang bersedia Tidak bersedia Tidak tahu

Sumber : Hasil diskusi bimbingan (2006)

Penilaian akseptibilitas masyarakat untuk faktor tertentu di tiap desa didasarkan pada penghitungan berikut ini.

Fx desa ke p = (4 x n) + (3 x n) + (2 x n) + (1 x n) Keterangan : Fx = total nilai faktor tertentu

P = desa tertentu

N = jumlah orang yang memilih

Penilaian akseptibilitas masyarakat tiap desa didasarkan pada penghitungan berikut.

∑Fdtw + ∑Fpkw + ∑Fpmp + ∑Fkkw + ∑Fkw Keterangan :

Fdtw = faktor pengembangan kawasan sebaga daerah tujuan wisata Fpkw = faktor pengelolaan kawasan wisata oleh masyarakat

Fpmp = faktor peran aktif masyarakat dalam pariwisata Fkkw = faktor keuntungan kegiatan wisata

Fkw = faktor keberadaan wisatawan

∑ = jumlah total nilai preferensi masyarakat terhadap faktor tertentu Skor preferensi pada tiap desa dijumlahkan dengan ketentuan berikut: S1: Sangat bersedia = Nilai 151 – 200 S2: Bersedia = Nilai 101 – 150 S3: Kurang bersedia = Nilai 51 – 100 S4: Tidak bersedia = Nilai ≤ 50

Peluang Ekonomi Masyarakat

Keikutsertaan masyarakat dari aspek ekonomi merupakan keikutsertaan dalam perekonomian dengan mengembangkan kegiatan usaha dagang dan jasa. Keikutsertaan dalam perekonomian tersebut dapat berupa kegiatan perekonomian terkait usaha wisata, kegiatan perekonomian terkait penyelenggaraan wisata, dan kegiatan perekonomian terkait penyedia kebutuhan. Penilaian didasarkan pada peluang kegiatan perekonomian terkait langsung wisata dan peluang kegiatan perekonomian penunjang wisata dalam pengembangan kawasan wisata pesisir Teluk Konga (Tabel 7).

Tabel 7 Preferensi masyarakat terhadap peluang kegiatan ekonomi Nilai

Faktor

4 (sangat tinggi) 3 (tinggi) 2 (sedang) 1 (rendah) Peluang ekonomi terkait wisata

Peluang investasi usaha Banyak sekali Banyak Biasa saja Sedikit Berjualan

makanan/minuman

Sangat ingin Ingin Kurang ingin

Tidak ingin Pembuatan dan penjualan

souvenir

Sangat ingin Ingin Kurang ingin

Tidak ingin Usaha tempat makan Sangat ingin Ingin Kurang

ingin

Tidak ingin Usaha penginapan Sangat ingin Ingin Kurang

ingin

Tidak ingin Usaha transportasi Sangat ingin Ingin Kurang

ingin

Tidak ingin Pengembangan obyek

dan atraksi wisata

Sangat ingin Ingin Kurang ingin

Tidak ingin Pagelaran seni dan

budaya

Sangat ingin Ingin Kurang ingin

Tidak ingin Pemandu wisata Sangat ingin Ingin Kurang

ingin

Tidak ingin Peningkatan jumlah,

frekuensi, dan distribusi informasi mengenai kawasan wisata

Sangat ingin Ingin Kurang ingin

Tidak ingin

Peluang ekonomi penunjang wisata Penyedia produk

pertanian

Sangat ingin Ingin Kurang ingin

Tidak ingin Penyedia produk

perikanan

Sangat ingin Ingin Kurang ingin

Tidak ingin

Penilaian preferensi masyarakat di tiap desa didasarkan pada penghitungan berikut ini. Fx desa ke p = (4 x n) + (3 x n) + (2 x n) + (1 x n) Keterangan : Fx = faktor tertentu p = desa tertentu

n = jumlah orang yang memilih

Skor preferensi pada tiap desa untuk faktor tertentu dijumlahkan dengan ketentuan sebagai berikut:

Nilai 31 – 40 = tinggi Nilai 21 – 30 = sedang Nilai 10 – 20 = rendah

Berdasarkan hasil penilaian preferensi ditentukan tiga peringkat peluang ekonomi teratas. Dari peringkat tersebut dilakukan penilaian peringkat. Kategori jenis kegiatan ekonomi menentukan bobot dari masing-masing peringkat. Penilaian faktor peluang kegiatan ekonomi dilakukan dengan mengalikan seluruh nilai dengan bobot masing-masing untuk memperoleh Skor (Tabel 8). Skor tersebut selanjutnya dijumlahkan berdasarkan skor di tiap desa dan selanjutnya dikategorikan menjadi:

S1 = tinggi (skor 100 – 120) S2 = sedang (skor 70 – 90) S3 = rendah (skor ≤ 60)

Tabel 8 Penilaian skor pada peringkat teratas Peringkat

preferensi

Nilai Jenis Kegiatan Bobot Kategori

1 30 Ekonomi terkait wisata 20 Tinggi (S1)

2 20 Sedang (S2)

3 10

Ekonomi penunjang wisata 10

Rendah (S3) Sumber: Hasil diskusi bimbingan (2006)

Dari hasil penilaian keseluruhan diperoleh zona peringkat akseptibilitas dan peluang ekonomi masyarakat yang meliputi zona sangat aktif (S1), zona cukup aktif (S2), zona kurang aktif (S3) dan zona tidak aktif (S4). Zona sangat aktif merupakan zona dengan nilai akseptibilitas masyarakat dan nilai peluang ekonomi masyarakat tinggi. Zona cukup aktif merupakan zona dengan nilai akseptibilitas masyarakat dan peluang ekonomi masyarakat sedang, atau nilai akseptibilitas tinggi dan niali peluang ekonomi masyarakat sedang, atau nilai akseptibilitas sedang dan nilai peluang ekonomi masyarakat tinggi. Zona kurang aktif merupakan zona dengan nilai akseptibilitas sedang dan niali peluang ekonomi masyarakat rendah, atau nilai akseptibilitas rendah dan nilai peluang ekonomi masyarakat sedang. Zona tidak aktif merupakan zona dengan nilai akseptibilitas masyarakat dan nilai peluang ekonomi masyarakat rendah.

d. Kesesuaian tapak untuk wisata pesisir

Integrasi antara penilaian terhadap kualitas lingkungan pesisir, potensi kepariwisataan pesisir dan potensi pemberdayaan masyarakat menghasilkan kesesuaian tapak untuk wisata dengan tiga zona pengembangan wisata, yaitu

(1) Zona pengembangan tinggi merupakan zona dengan seluruh aspek penilaian memiliki kategori S1 atau minimal terdapat satu aspek berada pada kategori S2, tanpa kategori S3.

(2) Zona pengembangan sedang merupakan zona pengembangan dengan minimal terdapat dua aspek berkategori S2, tanpa kategori S3.

(3) Zona pengembangan rendah merupakan zona dengan kategori penilaian minimal memiliki satu kategori S3.

(4) Zona pengembangan sangat rendah merupakan zona dengan penilaian terendah dan maksimal hanya terdapat satu kategori S3.

e. Aktifitas dan fasilitas wisata pesisir

Pengembangan aktifitas dan fasilitas wisata pesisir yang akan digunakan dalam menentukan rencana pengembangan wisata pesisir.

Rencana pengembangan wisata pesisir dihasilkan melalui analisis kesesuaian tapak, pengembangan aktifitas dan fasilitas untuk wisata pesisir yang

diwujudkan dalam bentuk konsep perencanaan, konsep tata ruang dan konsep sirkulasi bagi wisata pesisir.

Tahap 2. Perencanaan Pengembangan Interpretasi Wisata Pesisir

Pengembangan interpretasi didasarkan pada potensi sumber daya dan konsep yang akan dikembangkan. Potensi sumber daya dikembangkan menjadi obyek dan atraksi wisata yang menjadi daya tarik wisata. Konsep interpretasi yang akan dikembangkan ialah ”apresiasi alam dan budaya pesisir Teluk Konga” yang kemudian dijabarkan ke dalam jalur interpretasi alternatif wisata pesisir. Skoring nilai obyek wisata menjadi acuan bagi waktu berkunjung pada masing-masing obyek wisata. Selain itu, pengembangan interpretasi juga menghasilkan media interpretasi yang digunakan sebagai sarana interpretasi wisata pesisir.

Tahap 3. Perencanaan Lanskap Wisata Pesisir Berkelanjutan

Rencana lanskap wisata pesisir merupakan rencana lanjutan untuk mendapatkan tatanan lanskap pendukung kawasan wisata pesisir. Rencana ini berdasarkan pada metode Simonds (1983) yaitu tapak, organisasi ruang, aspek visual, sirkulasi dan struktur dalam lanskap.

Tahap 4. Pengelolaan Wisata Pesisir Berkelanjutan

Pengelolaan wisata pesisir dikaji dengan menentukan program bagi pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir. Pengkajian ini menggunakan metode Proses Hierarki Analitik (PHA) (Saaty 1970) yang mampu memberikan prioritas bagi pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir yang akan dilakukan guna mewujudkan wisata yang berkelanjutan.

Prinsip penilaian PHA pada penentuan prioritas pengelolaan jalur interpretasi wisata adalah membandingkan tingkat kepentingan prioritas antara satu elemen dengan elemen lainnya yang berada pada tingkatan atau level yang sama berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Struktur yang dibangun (Gambar 8) terdiri atas empat tingkatan yaitu

(1) Tujuan, yaitu target yang akan dicapai dengan menggunakan metode AHP. Target yang ingin dicapai ialah pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir

Teluk Konga yang sesuai dan berkelanjutan. Tujuan dibuat sebagai landasan guna membantu penilaian expert dalam membandingkan masing-masing elemen terhadap elemen lainnya.

(2) Faktor-faktor

Faktor merupakan aspek-aspek penting yang menjadi landasan penilaian dalam mencapai tujuan. Faktor yang terkait berupa manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya, dan manfaat wisata.

(3) Kriteria-kriteria

Kriteria merupakan elemen yang dibangun sebagai parameter penilaian untuk mencapai tujuan dan didasarkan pada faktor-faktor penilaian yang terdapat pada satu tingkat atau level di atasnya. Kriteria-kriteria yang digunakan ialah perlindungan aspek ekologis, perbaikan kualitas lingkungan, pelestarian nilai budaya lokal, pemberdayaan masyarakat lokal, pengembangan potensi wisata, dan keberlanjutan usaha pariwisata.

(4) Skenario

Skenario merupakan alternatif model pengelolaan Teluk Konga di masa yang akan datang. Skenario ditentukan berdasarkan jalur interpretasi wisata pesisir yaitu jalur interpretasi wisata alam, jalur interpretasi wisata budaya, dan jalur interpretasi wisata alam dan budaya (ekowisata).

Penilaian PHA dilakukan oleh tujuh orang responden dengan disiplin ilmu yang berbeda, yaitu dua responden mewakili bidang ilmu pesisir dan kelautan, dua responden mewakili bidang ilmu budaya dan antropologi, dua responden mewakili bidang ilmu lanskap dan satu responden mewakili bidang ilmu wisata. Seluruh responden merupakan pakar dibidangnya. Pemilihan responden ini didasarkan pada faktor penentu dalam prioritas pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir di Teluk Konga, yaitu lingkungan, sosial budaya, dan wisata.

Gambar 8 Struktur hierarki pengelolaan jalur interpretasi wisata pesisir di Teluk Konga. Manfaat sosial budaya

Manfaat lingkungan Manfaat Wisata

Perlindungan aspek ekologis Perbaikan kualitas lingkungan Pengembangan potensi wisata Keberlanjutan usaha pariwisata Pelestarian nilai budaya lokal Pemberdayaan masyarakat lokal Jalur interpretasi wisata alam Jalur interpretasi wisata budaya Jalur interpretasi wisata alam

Batasan Istilah

Pesisir adalah daerah peralihan antara darat dan laut dengan batas ke arah laut sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam Peta Lingkungan Pantai Indonesia (keluaran Bakosurtanal) sedangkan batas ke arah darat mencakup batas administrasi seluruh desa pantai (sesuai dengan ketentuan Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri) (Ketetapan RAKERNAS MREP 1994 dalam Dahuri et al. 2004).

Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai yang berupa daratan sepanjang tepian yang lebarnya sesuai dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m titik pasang tertinggi ke arah daratan (Triatmodjo 1999).

Lingkungan akuatik adalah sumber daya fisik dan biologis yang berasal dari laut dan menjadi kebutuhan dasar manusia (masyarakat) untuk dapat bertahan (Nurisyah et al. 2003).

Lingkungan terestrial adalah sumber daya fisik dan biologis yang berasal dari darat dan menjadi kebutuhan dasar manusia (masyarakat) untuk dapat bertahan (Nurisyah et al. 2003).

Pemberdayaan masyarakat adalah pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan dan proses perencanaan, dimana masyarakat ikut ambil bagian dan menentukan dalam mengembangkan, mengurus dan mengontrol rencana secara komprehensif (Buchsbaum 2004)

Obyek wisata adalah perwujudan dari ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya serta sejarah bangsa dan tempat atau keadaan alam yang mempunyai daya tarik untuk dikunjungi wisatawan (Nurisyah et al. 2003).

Atraksi wisata pesisir ialah daya tarik yang paling penting dalam wisata pesisir didasarkan pada daya tarik sumber daya alam kelautan dan daya tarik sumber daya alam daratan. Selain itu, adat istiadat dan budaya masyarakat pesisir juga dapat merupakan bagian dari obyek dan daya tarik wisata pesisir (Nurisyah et al. 2003).

Wisata alam (nature tourism) adalah wisata dengan kekayaan alam sebagai obyek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan dan pengalaman yang didasarkan pada fitur-fitur lingkungan alam dan karakteristik lingkungan alam (Inskeep 1991)

Wisata budaya (cultural tourism) adalah wisata dengan kekayaan alam sebagai obyek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan dan pengalaman yang menggabungkan budaya dengan warisan alam, sosial dan sejarah (Inskeep 1991).

Ekowisata pesisir adalah penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di daerah pesisir yang masih alami dan/atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam, yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan kebudayaan) serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Nurisyah et al. 2003).

Pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) adalah bentuk pariwisata yang memenuhi kebutuhan wisatawan dan daerah penerima saat ini, sambil melindungi dan mendorong kesempatan untuk waktu yang akan datang. Mengarah pada pengelolaan seluruh sumber daya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi sambil memelihara integritas kultural, proses ekologi yang esensial, keanekaragaman hayati dan sistem pendukung kehidupan (WTO dalam Nurisyah et al. 2003)

Lanskap wisata pesisir adalah bentukan lanskap yang terbentuk dari hasil hubungan antara alam dan kebudayaan pesisir dimana bentukan lanskap alami dan kebudayaan pesisir tersebut sering menjadi motivasi dari kegiatan wisata pesisir (Simonds 1983).

Pengelolaan berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya pesisir yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia pada saat ini tanpa mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia di masa mendatang (Nurisyah et al. 2003).

Kondisi Geografi dan Administrasi

Lokasi studi merupakan sebuah teluk yang berada di antara dua tanjung, yaitu Tanjung Lopi di sebelah utara dan Tanjung Watoblou di sebelah selatan. Berdasarkan posisi geografis, Tanjung Lopi berada pada 08027’20”LS dan 22052’25”BT sedangkan Tanjung Watoblou berada pada 8033’45”LS dan 122050’40”BT. Terdapat tujuh desa yang bersinggungan langsung dengan garis pantai Teluk Konga, yaitu Desa Watotikaile, Desa Lamika, Desa Lewoingu, Desa Lewolaga, Desa Konga, Desa Nobokonga, dan Desa Nurri. Tanjung Lopi secara administrasi terletak di Desa Watotikaile, sedangkan Tanjung Watoblou berada pada Desa Nurri.

Sejak tahun 2002 Kabupaten Flores Timur dibagi menjadi 13 Kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung Bunga, Larantuka, Ile Mandiri, Titehena, Wulang Gitang, Adonara Barat, Wotanulumado, Adonara Timur, Ile Boleng, Klubagolit, Witihama, Adonara Barat, dan Adonara Timur. Dari 13 kecamatan tersebut, terdapat tiga kecamatan yang letaknya bersinggungan langsung dengan Teluk Konga. Tiga kecamatan tersebut ialah Larantuka, Titehena, dan Wulang Gitang. Desa Watotikaile dan Desa Lamika merupakan desa yang terletak di Kecamatan Larantuka. Desa Lewoingu, Desa Lewolaga, dan Desa Konga terletak di

Dokumen terkait