• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TELAAH TEORI

2.4 Pengembangan Hipotesis

2.4.1 Partisipasi Anggaran dan Kinerja Pegawai

Hasil penelitian yang dilakukan Soleha dkk., (2013) menunjukkan bahwa partisipasi anggaran berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Begitu pula dengan penelitian lain yang dilakukan Arifin (2012).

Anggaran partisipatif dapat dinilai sebagai pendekatan yang dapat meningkatkan kinerja setiap anggota organisasi sebagai individual karena dengan adanya partisipasi dalam penyusunan anggaran diharapkan setiap individu mampu meningkatkan kinerjanya sesuai dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya (Soleha dkk., 2013). Pegawai yang memiliki partisipasi anggaran yang tinggi akan lebih memahami tujuan anggaran. Selain berfungsi sebagai alat perencanaan, anggaran juga berfungi sebagai alat pengendalian. Maka dari itu, kinerja seorang aparat akan dinilai berdasarkan target anggaran yang bisa dicapai. Dengan demikian aparat akan bersungguh-sungguh dalam penyusunan anggaran dan menyebabkan peningkatan terhadap kinerjanya. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulakn bahwa:

H1 : Partisipasi anggaran berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai 2.4.2 Partisipasi Anggaran terhadap Kinerja Pegawai melalui

Psychological Capital

Penelitian yang dilakukan Venkatesh (2012) menemukan bahwa pasrtisipasi anggaran berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap psychological capital psychological capital juga berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Temuan yang sama juga dihasilkan oleh Harahap (2013) dan Soleha dkk., (2013). Dalam sebuah organisasi, anggaran mempunyai dua peran penting, yaitu sebagai alat

19

perencanaan dan sebagai alat pengendalian. Dengan adanya partisipasi anggaran, diharapkan kinerja pegawai SKPD akan meningkat. Peningkatan kinerja para pegawai SKPD juga akan berpengaruh terhadap kinerja satuan kerja tempatnya bernaung, sehingga pelayanan yang diberikan pun akan lebih optimal.

Pegawai/aparat daerah yang dilibatkan dalam proses penyusunan anggaran akan merasa lebih dihargai sehingga perilaku psikologisnya dapat terpengaruh secara positif. Pegawai yang memiliki perilaku psikologis yang positif diharapkan mampu menghasilkan kinerja yang optimal. Dengan kinerja yang optimal, maka tujuan dari organisasi sektor publik akan tercapai. Tercapainya tujuan organisasi sektor publik tentunya akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa:

H2 : Partisipasi Anggaran berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai melalui psychological capital.

2.4.3 Partisipasi Anggaran terhadap Kinerja Pegawai melalui Komitmen Organisasi

Hasil penelitian Nouri dan Parker (1998) dan Soleha dkk., (2013) menunjukkan bahwa partisipasi anggaran mempengaruhi kinerja melalui komitmen organisasi. Komitmen organisasi merupakan dorongan yang tercipta dari dalam individu untuk berbuat sesuatu untuk dapat meningkatkan keberhasilan organisasi sesuai dengan tujuan dengan lebih mengutamakan kepentingan organisasi dibandingkan dengan kepentingan individu (Arifin, 2011). Pegawai yang terlibat dan

anggaran yang mencerminkan tujuan organisasi, Soleha dkk., (2013). Dengan pegawai memahami tujuan anggaran dan tujuan organisasi maka pegawai akan memiliki keselarasan antara tujuan pegawai dan tujuan organisasi, Nouri dan Parker (1998).

Pegawai pemerintah daerah yang terlibat dan berpartisipasi dalam proses

penyusunan anggaran akan lebih memahami tujuan anggaran yang merefleksikan tujuan organisasi dan merasa memiliki andil dalam organisasi tempatnya

bernaung. Dengan adanya perasaan memiliki andil dalam organisasi, maka akan timbul komitmen organisasi atau dorongan dalam dirinya untuk mencapai tujuan organisasi, dengan mengesampingkan kepentingan pribadi. Pegawai dengan komitmen yang tinggi memiliki kedekatan emosional yang erat terhadap

organisasi, sehingga membuat pegawai tersebut memiliki motivasi dan keinginan untuk terus berkontribusi pada organisasinya. Semakain tinggi tingkat komitmen para pegawai terhadap organisasinya, mereka akan merasa lebih

bertanggungjawab terhadap organnisasinya sehingga mencurahkan kemampuan terbaiknya untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik, yang juga akan

berpengaruh terhadap kinerja organisasinya. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa:

H3 : Partisipasi anggaran berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai melalui komitmen organisasi

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, pemerintahan yang awalnya bersifat sentralisasi, beralih menjadi desentralisasi. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota, Pemerintah Daerah dituntut untuk lebih memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan menerapkan asas-asas pelayanan publik yang didalamnya meliputi: transparansi, akuntabilitas, partisipatif, kesamaan hak, keseimbangan hak, dan kewajiban.

Sebagai salah satu implementasi dari akuntabilitas kinerja pemerintah, maka dilaksanakan kewajiban pertanggungjawaban yang dimulai dari proses perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan atas tugas dan fungsi pemerintah dalam mewujudkan visi dan misi serta tujuan yang telah ditetapkan sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk penetapan anggaran (Arifin, 2012).

Anggaran merupakan suatu alat yang digunakan untuk menilai apakah kinerja suatu organisai tersebut baik dalam menjalankan tugasnya. Pengelolaan anggaran yang baik dalam organisasi sektor publik akan berdampak positif terhadap tingkat pembangunan suatu daerah (Soleha dkk., 2013). Namun apabila pengelolaannya buruk, maka akan berdampak luas terhadap peningkatan angka kemiskinan dan kualitas sumberdaya manusia yang ada di suatu daerah tersebut. Pengelolaan anggaran merupakan suatu proses penting yang melibatkan berbagai pihak dalam suatu organisasi. Penganggaran pada dasarnya merupakan proses penyatuan ide antara atasan dan bawahan dalam melaksanakan program kerja. Maka dari itu, kerjasama para pimpinan satuan kerja serta para pegawai dalam organisasi pemerintahan sangat diperlukan.

Terdapat tiga pendekatan dalam proses penyusunan anggaran menurut Anthony dan Govindrajan (2005:86), yaitu top-down (pendekatan dari atas ke bawah), bottom-up (pendekatan dari bawah ke atas), dan pendekatan partisipasi. Dalam sistem penganggaran top-down, dimana rencana dan jumlah anggaran telah ditetapkan oleh atasan sehingga bawahan hanya melakukan apa yang telah ditetapkan oleh anggaran tersebut. Penerapan sistem ini mengakibatkan kinerja bawahan menjadi tidak efektif karena target yang diberikan terlalu menuntut namun sumber daya yang diberian tidak mencukupi (Nurcahyani dan Syafrudin, 2010). Atasan kurang mengetahui potensi dan hambatan yang dimiliki oleh

bawahan sehingga memberikan target yang sangat menuntut dibandingkan dengan kemampuan bawahan.

3

Dengan melihat kondisi yang ada, entitas dan pemerintah mulai menerapkan sistem penganggaran partispatif. Melalui sistem ini, bawahan dilibatkan dalam penyusunan anggaran yang menyangkut subbagiannya sehingga tercapai kesepakatan antara atasan dan bawahan selaku pelaksana anggaran mengenai anggaran tersebut (Omposunggu dan Bawono, 2007 dalam Nurcahyani dan Syafrudin, 2010).

Bawahan yang dilibatkan dalam proses penyusunan anggaran tentunya akan merasa lebih dihargai sehingga menjadi lebih bertanggung jawab atas tugas yang diamanahkan dan akan meningkatkan kinerjanya sesuai dengan target yang telah mereka tuangkan dalam suatu anggaran tersebut. Partisipasi dalam proses

penganggaran dinilai dapat meningkatkan kinerja pegawai satuan kerja yang pada akhirnya meningkatkan kinerja pemerintah secara keseluruhan (Herminigsih, 2009).

Proses penyusunan anggaran dalam organiasi sektor publik tentu melibatkan sumber daya manusia. Karakteristik yang berbeda tentu dimiliki oleh masing-masing individu yang akan mempengaruhi perilakunya. Salah satu karakteristik yang juga sangat mempengaruhi perilaku tersebut adalah ciri pribadi mereka atau ciri psikologis yang bersifat positif (psychological capital) yang dapat membantu individu tersebut untuk dapat berkembang sehingga dapat meningkatkan

kinerjanya (Luthans dkk., 2007). Psychological capital merupakan bentuk dari sumber daya manusia yang dapat meningkatkan produktivitas dan kinerja

(Peterson dkk., 2011). Psychological capital terdiri dari empat poin penting, yaitu self-efficacy, optimism, hope dan resiliency. Ketika bergabung menjadi satu, keempat poin tersebut memiliki hubungan yang positif dengan perilaku organisasi

yang baik (Luthans, 2007). Modal psikologis inilah yang akan dapat

mengembangkan diri seseorang sehingga mampu membantu organisasinya dalam mencapai tujuan.

Selain modal psikologis, adanya komitmen organisasi seorang pegawai dalam suatu organisasi sangat diperlukan guna mencapai tujuannya. Komitmen

organisasi adalah dorongan dari dalam individu untuk berbuat sesuatu agar dapat menunjang keberhasilan organisasi sesuai dengan tujuan dan lebih mengutamakan kepentingan organisasi dibandingkan dengan kepentingan sendiri (Weiner, 2004 dalam Wulandari, 2011). Apabila suatu organisasi memiliki komitmen organisasi yang kuat maka akan mempengaruhi pegawai pemerintah daerah untuk bekerja keras dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan (Arifin, 2012).

Selain itu, komitmen organisasi yang tinggi juga dapat menjadikan individu lebih mementingkan organisasi dari pada kepentingan pribadinya dan selalu berusaha menjadikan organisasi tersebut organisasi yang sesuai dengan yang diharapkan (Solikhun, 2012). Pegawai yang berkomitmen tinggi pada organisasi akan menimbulkan kinerja yang lebih tinggi (Mowday dkk., 1979). Dengan adanya komitmen organisasi dalam pelayanan publik, maka akan memberikan pengaruh terhadap kualitas pelayanan publik untuk meningkatkan kinerja instansi

pemerintah sebagai instansi sektor publik.

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Brownell dan McInnes (1986), Venkatesh dan Blaskovich (2012), Soleha dkk., (2013), Solikhun (2012) serta Harahap (2013) menemukan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara partisipasi penyusunan anggaran dengan kinerja. Sementara hasil penelitian

5

Milani (1975), Kenis (1979) dan Pramaesthiningtyas (2011) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara partisipasi anggaran dengan kinerja. Hal ini terjadi karena hubungan partisipasi penyusunan anggaran dengan kinerja tergantung pada faktor-faktor situasional (Milani, 1975). Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Soleha dkk., (2013).

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, peneliti sebelumnya melakukan studi kasus terhadap salah satu kabupaten di Propinsi Banten, kali ini peneliti mencoba untuk melakukan penelitian dengan melakukan studi empiris terhadap beberapa kabupaten/kota yang ada di Propinsi Lampung. Selain itu, alat analisis yang digunakan pun berbeda. Pada penelitian sebelumnya menggunakan alat analisis PLS, namun pada penelitian ini, peneliti mencoba menggunakan teknik analisis regresi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung partisipasi anggaran, psychological capital dan komitmen organisasi terhadap kinerja pegawai pemerintah daerah.

Berdasarkan uraian di atas, maka saya tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh partisipasi anggaran terhadap kinerja pegawai pemerintah daerah dengan psychological capital dan komitmen organisasi sebagai variabel pemediasi”.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Apakah partisipasi anggaran berpengaruh terhadap terhadap kinerja pegawai pemerintah daerah?

2. Apakah partisipasi anggaran berpengaruh terhadap terhadap kinerja pegawai pemerintah daerah melalui psychological capital?

3. Apakah partisipasi anggaran berpengaruh terhadap terhadap kinerja pegawai pemerintah daerah melalui komitmen organisasi?

1.3 Batasan Masalah

Peneliti mempersempit batasan masalah dalam penelitian ini dengan hanya menggunankan responden yang terlibat daam proses penyusunan anggaran, yaitu pejabat eselon III dan IV.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari peneitian ini yaitu:

1. Untuk memperoleh data, menguji dan menganalisis bukti empiris pengaruh partisipasi anggaran terhadap kinerja pegawai.

2. Untuk memperoleh data, menguji dan menganalisis bukti empiris pengaruh partisipasi anggaran terhadap kinerja pegawai pemerintah daerah melalui psychological capital?

3. Untuk memperoleh data, menguji dan menganalisis bukti empiris pengaruh partisipasi anggaran terhadap terhadap kinerja pegawai pemerintah daerah melalui komitmen organisasi.

7

1.4.2 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini yaitu:

1. Bagi akademisi: memberikan bukti empiris bahwa partisipasi anggaran berpengaruh terhadap kinerja pegawai pemerintah daerah dengan

psychological capital dan komitmen organisasi sebagai variabel pemediasi. 2. Bagi peneliti: penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan dan memperluas

pengetahuan serta wawasan mengenai partisipasi penyusunan anggaran dan pengaruhnya terhadap kinerja pegawai pemerintah daerah, serta

psychological capital dan komitmen organisasi yang menjadi variabel pemediasi.

3. Bagi pemerintah: hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan penyusunan anggaran yang dapat meningkatkan kinerja pegawai pemerintah daerah.

BAB II TELAAH TEORI

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Goal Setting Theory

Goal setting theory merupakan bagian dari teori motivasi yang dikemukakan oleh Locke, 1978. Teori ini menjelaskan hubungan antara tujuan yang ditetapkan dengan prestasi kerja (kinerja). Konsep dasar teori ini adalah seseorang yang memahami tujuan (apa yang diharapkan organisasi kepadanya) akan

mempengaruhi perilaku kerjanya. Teori ini juga menyatakan bahwa perilaku individu diatur oleh ide (pemikiran) dan niat seseorang. Sasaran dapat dipandang sebagai tujuan/tingkat kinerja yang ingin dicapai oleh individu. Jika seorang individu berkomitmen untuk mencapai tujuannya, maka hal ini akan

mempengaruhi tindakannya dan mempengaruhi konsekuensi kinerjanya. Dalam teori ini juga dijelaskan bahwa penetapan tujuan yang menantang (sulit) dan dapat diukur hasilnya akan dapat meningkatkan prestasi kerja (kinerja), yang diikuti dengan memiliki kemampuan dan keterampilan kerja.

Dengan menggunakan pendekatan goal setting theory, kinerja pegawai yang baik dalam menyelenggarakan pelayanan publik diidentikkan sebagai tujuannya.

9

Sedangkan variabel partisipasi anggaran, psychological capital dan komitmen organisasi sebagai faktor penentunya. Semakin tinggi faktor penentu tersebut maka akan semakin tinggi pula kemungkinan pencapaian tujuannya.

2.1.2 Partisipasi Anggaran

Partisipasi merupakan suatu proses pengambilan keputusan bersama oleh

beberapa pihak dalam suatu organisasi dimana keputusan tersebut akan memiliki dampak masa depan terhadap mereka yang membuatnya. Partisipasi anggaran merupakan suatu proses yang melibatkan individu-individu secara langsung di dalamnya dan mempunyai pengaruh terhadap penyusunan tujuan anggaran yang prestasinya akan dinilai dan kemungkinan akan dihargai atas dasar pencapaian tujuan anggaran mereka (Brownell, 1982). Partisipasi anggaran adalah proses dimana pelaksana anggaran diberikan kesempatan untuk terlibat dan mempunyai pengaruh dalam proses penyusunan anggaran. Partisipasi penyusunan anggaran dilakukan dengan tujuan agar anggaran yang ditetapkan nantinya bisa sesuai dengan yang diharapkan.

Partisipasi anggaran adalah tahap partisipasi pegawai dalam menyusun anggaran dan pengaruh anggaran tersebut terhadap pusat pertanggungjawaban

(Nuurcahyani, 2010). Partisipasi anggaran pada konteks pemerintah daerah dilihat dari seberapa besar keikutsertaan pegawai pemerintah daerah dalam menyusun anggaran dan pelaksanaannya untuk mencapai target. Partisipasi penyusunan anggaran daerah terjadi pada saat pembahasan RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Anggaran dibuat oleh eksekutif dalam hal ini kepala daerah melalui usulan dari unit kerja yang disampaikan oleh kepala SKPD

(Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan setelah itu kepala daerah bersama-sama DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) menetapkan anggaran yang dibuat sesuai dengan peraturan daerah yang berlaku.

Dengan menyusun anggaran secara partisipatif diharapkan kinerja aparat pemerintah akan meningkat. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa ketika suatu tujuan atau standar yang dirancang secara partisipatif disetujui, maka pegawai akan menginternalisasikan tujuan atau standar yang ditetapkan, dan pegawai juga memiliki rasa tanggung jawab pribadi untuk mencapainya karena mereka ikut serta terlibat dalam penyusunannya (Milani, 1975 dalam Soleha dkk., 2013).

2.1.3 Psychological Capital

Psychological capital berasal dari dua kata, yaitu psychological yang berarti psikologis dan capital yang berarti modal. Jika dua kata ini digabung, akan membentuk suatu kosakata, yaitu modal psikologis. Modal psikologis tersebutlah yang dapat mengembangkan diri seseorang. Psychological capital merupakan sebuah kemampuan yang dapat dilatih dan dimiliki oleh semua orang.

Psychological capital (PsyCap) adalah keadaan perkembangan psikologi individu yang positif, yang dicirikan oleh:

2.1.4 Self-Efficacy

Kepercayaan (self-efficacy) sebagai keyakinan individu tentang kemampuannya untuk menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif, dan program tindakan yang diperlukan untuk berhasil dalam melaksanakan tugas tertentu dan dalam konteks

11

tertentu (Stajkovic dan Luthans,1998 dalam Soleha dkk., 2013). Orang yang memiliki self-efficacy cenderung percaya pada kemampuan yang ada pada dirinya sehingga dapat menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan dari tugas yang dibebankan (Rego dkk., 2010 dalam Soleha dkk., 2013). Individu dengan self-efficacy yang tinggi akan meyukai tugas yang membuat dirinya tertantang, sehingga ia mampu menunjukkan kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi kesulitan atau hambatan pada pekerjaan atau tugas tersebut (Soleha dkk., 2013).

2.1.5 Optimism

Optimis adalah individu yang berharap bahwa hal-hal baik akan terjadi padanya, tidak mudah menyerah dan biasanya cenderung memiliki rencana tindakan dalam kondisi sesulit apapun (Rego dkk., 2010 dalam Soleha dkk., 2013). Luthans dkk., (2007) mendefinisikan optimisme sebagai model pemikiran dimana individu mengatribusikan kejadian positif ke dalam diri sendiri, bersifat permanen dan penyebabnya bersifat pervasive serta dilain hal menginterpretasikan kejadian negatif kepada aspek eksternal, bersifat sementara atau temporer dan merupakan faktor yang disebabkan oleh situasi tertentu.

2.1.6 Hope

Hope (harapan) merupakan suatu kondisi motivasi yang positif berdasarkan perasaan sukses (energi yang didorong oleh tujuan) dan adanya jalan

(perencanaan untuk mencapai tujuan) (Snyder dkk., 1991 dalam Soleha dkk., 2013). Orang yang memiliki harapan yang tinggi sangat termotivasi untuk mencapai tujuannya, memiliki energi dan keinginan yang kuat serta determinasi

yang tinggi untuk memenuhi harapannya (Rego dkk., 2010 dalam Soleha dkk., 2013). Luthans dkk, (2007) menyatakan bahwa hope merupakan suatu kognitif atau proses berpikir dimana individu mampu menyusun kenyataan dengan tujuan dan harapan yang menarik atau menantang dan pada akhirnya mendapatkannya dengan cara determinasi self directed, energi, dan persepsi kontrol internal.

2.1.7 Resilient

Resilient didefinisikan sebagai kapasitas psikologis seseorang yang bersifat positif, dengan menghindarkan diri dari ketidakbaikan, ketidakpastian, konflik, kegagalan, sehingga dapat menciptakan perubahan positif, kemajuan dan peningkatan tanggung jawab (Luthans dan Jensen, 2002 dalam Soleha dkk., 2013). Orang yang memiliki Resilient atau ketahanan adalah orang yang mampu mengatasi ketidakpastian serta kegagalan dari tugas yang diberikan (Rego dkk, 2010 dalam Soleha dkk., 2013). Ketahanan adalah kapasitas psikologis yang positif yang mendorong seseorang akan bangkit kembali dari ketidakpastian atau kegagalan maupun tambahan tugas yang dibebankan (Luthans dan Jensen, 2002 dalam Soleha dkk., 2013).

2.1.8 Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi merupakan sebuah dimensi sikap positif pegawai yang dapat dihubungkan dengan kinerja (Manogran, 1997 dalam Yahya dkk., 2008). Komitmen organisasi didefinisikan sebagai tingkat keterikatan perasaan dan kepercayaan terhadap organisasi tempat mereka bekerja (George dan Jones, 1999 dalam Yahya dkk., 2008). Komitmen organisasi merupakan dorongan yang tercipta dari dalam individu untuk berbuat sesuatu untuk dapat meningkatkan

13

keberhasilan organisasi sesuai dengan tujuan dengan lebih mengutamakan

kepentingan organisasi dibandingkan dengan kepentingan individu (Arifin, 2012). Dorongan yang muncul itulah yang dapat meningkatkan kinerja dari para pegawai sehingga berpengaruh terhadap keberhasilan suatu organisasi.

Mowday (1979) menyatakan ada tiga aspek komitmen organisasi antara lain: 1) Affective commitment, yang berkaitan dengan adanya keinginan untuk terikat pada organisasi. Individu menetap dalam organisasi karena keinginan sendiri. Dengan dimensi sense of belonging, emotional attached dan personal meaning 2) Continuance commitment, adalah suatu komitmen yang didasarkan akan kebutuhan rasional. Dengan kata lain, komitmen ini terbentuk atas dasar untung rugi, dipertimbangkan atas apa yang harus dikorbankan bila akan menetap pada suatu organisasi, dengan dimensi pilihan lain, benefit, biaya. 3) Normative Commitment, adalah komitmen yang didasarkan pada norma yang ada dalam diri pegawai, berisi keyakinan individu akan tanggung jawab terhadap organisasi. Ia merasa harus bertahan karena loyalitas.

2.1.9 Kinerja Pegawai

Menurut Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2011, kinerja/prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh setiap PNS (Pegawai Negeri Sipil) pada satuan organisasi sesuai dengan sasaran kerja pegawai dan perilaku kerja. Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2000). Dalam konteks pengembangan sumber daya manusia, kinerja seorang pegawai dalam suatu organisasi sangat

dibutuhkan untuk mencapai prestasi kerja bagi pegawai itu sendiri dan juga untuk keberhasilan organisasi tempatnya bernaung.

Dalam PP No. 46 Tahun 2011, sasaran kerja pegawai (SKP) meliputi kualitas, kuantitas, waktu dan biaya. Sedangkan menurut Robbins (2002:155) mengatakan hampir semua cara pengukuran kinerja mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran kuantitatif melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan. Ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan.

2. Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran ”tingkat kepuasan”, yaitu seberapa baik penyelesaiannya. Ini berkaitan dengan bentuk keluaran. 3. Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang direncanakan.

Pengukuran ketepatan waktu merupakan jenis khusus dari pengukuran kuantitatif yang menentukan ketepatan waktu penyelesaian suatu kegiatan.

2.2 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh partisipasi anggaran terhadap kinerja pegawai pemerintah daerah diantaranya:

Nurcahyani (2010) yang melakukan penelitian tentang pengaruh partisipasi anggaran terhadap kinerja manajerial melalui komitmen organisasi dan persepsi inovasi sebagai variabel intervening. Penelitian dilakukan pada 160 pejabat SKPD pemerintah Kabupaten Magelang. Data yang dikumpulkan diolah dengan

15

partisipasi anggaran terhadap kinerja manaerial. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa adanya pengaruh langsung partisipasi anggaran terhadap kinerja

manajerial. Partisipasi anggaran juga berpengaruh secara signifikan terhadap komitmen organisasi dan persepsi inovasi. Namun, partisipasi anggaran tidak berpengaruh secara tidak langsung terhadap kinerja manajerial melalui variabel intervening komitmen organisasi dan persepsi inovasi.

Hasil lain ditunjukkan oleh Arisha Hayu Pramesthiningtyas (2011) yang melakukan penelitian tentang pengaruh pasrtisipasi anggaran terhadap kinerja manajerial dengan komitmen organisasi dan motivasi sebagai variabel

intervening. Penelitian ini dilakukan pada 15 perusahaan di Kota Semarang. Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan metode survey kuesioner terhadap manajer level menengah ke bawah dan supervisor. Kuesioner dibagikan kepada 45 responden. Analisis data menggunakan path, untuk menguji pengaruh langsung dan tidak langsung partisipasi anggaran terhadap kinerja manajerial. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh

langsung antara partisipasi anggaran terhadap kinerja manajerial. Partisipasi anggaran berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap komitmen organisasi dan motivasi. Partisipasi anggaran juga berpengaruh tidak langsung terhadap kinerja manajerial melalui variabel intervening komitmen organisasi, namun partisipasi anggaran tidak berpengaruh tidak langsung terhadap kinerja manajerial melalui motivasi sebagai variabel intervening.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Arifin (2012) yang berjudul pengaruh partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja aparat pemerintah daerah:

komitmen organisasi, budaya organisasi, dan gaya kepemimpinan sebagai variabel moderasi. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 117 sampel dari 32 SKPD di Kota Semarang. Data yang digunakan berupa data primer yang

Dokumen terkait