• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3.1 Tekanan berpengaruh terhadapFraud

Dandago (1997) menyatakan bahwa penipuan adalah keliruan informasi keuangan oleh satu atau lebih individu, antara manajemen, karyawan atau pihak ketiga. Hal ini melibatkan penggunaan penipuan kriminal untuk memperoleh keuntungan yang tidak adil atau ilegal. Kecurangan yang disengaja atau penipuan

dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan yang tidak semestinya. Wells (2011) melihat kecurangan memiliki arti yang berbeda dari kesalahan, yang mengacu pada salah saji yang tidak disengaja atau kelalaian dari jumlah atau pengungkapan dari catatan akuntansi atau laporan keuangan.

Permasalahan yang timbul sehingga seorang pegawai memutuskan untuk berperilaku curang (fraud) adalah adanya desakan baik dari diri pribadi, organisasi, maupun dari luar. Cressey (1953) membagi masalah keuangan kedalam enam kategori: kesulitan untuk pengembalian utang, masalah yang dihasilkan dari kegagalan pribadi, kegagalan bisnis seperti adanya inflasi atau resesi, isolasi fisik (pelanggar kepercayaan yang dipisahkan dari orang-orang yang dapat membantu dia), ego untuk hidup di luar kemampuan seseorang, dan

perlakuan tidak adil dari pimpinan. Adanya desakan-desakan tersebut, mendorong seorang pegawai melakukan upaya untuk mencukupi kebutuhan diluar

kemampuannya (Albrecht, 2004). Upaya tersebut dapat berasal daripressure (Wolfe dan Hermanson, 2004).Pressureatau tekanan umumnya diukur dari beberapa hal diantaranya:personal pressure,employment pressure,external pressure(dikembangkan oleh Rasha dan Andrew, 2012).

Berdasarkan hal tersebut peneliti menyimpulkan hipotesis sebagai berikut:

H1: Adanya tekanan berpengaruh positif terhadapfraud.

2.3.2 Keefektifan Sistem Pengendalian Internal terhadapFraud

Dari pernyataan yang dikemukakan Arens (2006:370) bahwa sistem pengendalian internal merupakan kebijakan dan prosedur yang dirancang memberikan

manajemen kepastian yang layak bahwa perusahaan telah mencapai tujuan dan sasaran yaitu: reliabilitas pelaporan keuangan, efisiensi, efektivitas operasional, dan ketaatan pada hukum dan aturan. Dapat dilihat bahwa sistem pengendalian internal yang tidak efektif akan membuat seseorang memiliki kesempatan dan lebih mudah untuk melakukanfraudyang akan merugikan organisasi dan mengganggu keberlangsungan organisasi, sehingga tujuan dari organisasi tidak tercapai. Hal ini didukung oleh Bologne (1993) dalamGONE theory yaitu teori yang mengemukakan empat faktor yang menyebabkan dan mendorong seseorang untuk melakukan kecurangan yaituGreed(Keserakahan),Opportunity

(Kesempatan),Need(Keinginan) danExposure(pengungkpan), menyatakan faktor yang sangat mendukung terjadinya kecurangan dalam suatu organisasi yaitu adanyaopportunity(kesempatan).

Mathis dan Jackson (2006), menyatakan bahwa pengawasan merupakan sebagai proses pemantauan kinerja karyawan berdasarkan standar untuk mengukur kinerja, memastikan kualitas atas penilaian kinerja dan pengambilan informasi yang dapat dijadikan umpan balik pencapaian hasil yang dikomunikasikan ke para karyawan. Dengan adanya pengawasan yang terdapat dalam sebuah sistem

pengendalian internal tentunya membuat para dalang (pelaku,red) akan merasa diawasi dan membuat pilihan untuk menghindar.

Pengendalian internal yang efektif mengurangi kecenderungan kecurangan akuntansi (Arenset al, 2000). Sejalan dengan pernyataan tersebut penelitian yang dilakukan oleh Wilopo (2006), menyatakan bahwa pengendalian internal yang efektif memberikan pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap kecederungan kecurangan akuntansi. Dari beberapa pendapat penelitian sebelumnya, dapat dijelaskan bahwa kecurangan akuntansi umumnya dilakukan karena adanya kesempatan dan peluang yang muncul akibat lemahnya pengendalian internal dalam sebuah organisasi.

Sistem pengendalian internal yang lemah dalam sistem birokrasi pemerintahan, dapat menjadi peluang bagi pejabat maupun staf pada instansi pemerintah, hal itu karena tindakan yang dilakukan tidak terdeteksi oleh siapapun. Sebaliknya, jika semakin baik sistem pengendalian internal dalam sistem birokrasi pemerintah, maka tindakanfraudakan sulit dilakukan, karena setiap kegiatan yang dilakukan telah dibatasi dan diawasi oleh tata kelola sistem pengendalian internal. Jadi, semakin efektif tingkat pengendalian internal dalam suatu sistem birokrasi

pemerintah, maka akan semakin kecil pula kesempatan bagi pegawai untuk melakukanfraud. Berdasarkan uraian diatas penulis mengajukan hipotesis:

H2: Keefektifan Sistem Pengendalian Internal berpengaruh negatif terhadap fraud.

2.3.3 Perilaku Tidak Etis terhadapFraud

Salah satu faktor yang mempengaruhifrauddi sektor pemerintahan adalah perilaku tidak etis. Perilaku tidak etis sebagaimana diungkapkan oleh Tang dan Chiu (2003) dalam penelitiannya menjelaskan indikator dari perilaku yang menyimpang terdiri dari perilaku yang menyalahgunakan kedudukan/posisi (abuse position), perilaku yang menyalahgunakan kekuasaan (abuse power), perilaku yang menyalahgunakan sumber daya organisasi (abuse resources), serta perilaku yang tidak berbuat apa-apa (no action). Hasil penelitian Wilopo (2006) menyatakan bahwa perilaku tidak etis memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap kecenderungan kecurangan(fraud)pada perusahaan. Perilaku tidak etis merupakan kebiasaan yang menjadi peninggalan dari masa lalu, dalam hal ini kebiasaan melakukanfraud,merasa atau menganggap melakukanfraud merupakan hal yang etis dan didasari dengan perilaku tidak etis maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi perilaku tidak etis (menganggapfraudadalah hal benar), makan semakin tinggi pelakufrauddalam organisasi tersebut. Hal tersebut didukung dengan penilitian yang dilakukan oleh Mustikasari (2013) yang menyatakan bahwa budaya etis organisasi berpengaruh negatif terhadapfraud dengan kata lain bahwa perilaku tidak etis yang rendah makafrauddi sektor pemerintah pun juga rendah, sesuai dengan pernyataan Zulkarnain (2013)

menganggap perilaku tidak etis dipengaruhi dengan budaya organisasi sehingga perilaku tidak etis berpengaruh positif terhadaptfraud.Kondisifraudberdasarkan hal tersebut diatas maka dapat di turunkan menjadi hipotesis:

H3:Perilaku tidak etis berpengaruh positif terhadapfraud.

2.3.4 Jabatan dalam Pengelola Keuangan terhadapFraud

Wolfe dan Hermanson (2004) menunjukkan bahwa pelaku kecurangan sebagian besar adalah orang dalam, dimanafraudakan dilakukan jika ada kesempatan dimana seseorang memiliki akses terhadap aset atau memiliki wewenang untuk mengatur prosedur pengendalian yang memperkenankan dilakukannya skema kecurangan. Kapasitas atau kemampuan seorang pegawai untuk melakukan fraud adalah pejabat/petugas dibagian keuangan yang mengelola pengadaan barang/jasa pemerintah. Dimana posisi tersebut memungkinkan untuk dilakukan pelaporan fiktif, pengadaan barang/jasa tidak sesuai spesifikasi yang berlaku, perjalanan dinas fiktif dan banyak kecurangan di bidang akuntansi keuangan pemerintah (fraud). Sejalan dengan hal tersebut, pejabat pengelola keuangan yang tidak berintegritas memberikan pengaruh terhadap tingkatfraud(Gbegi dan Adebisi, 2013). Selan ituabuse of authority, ability to make policy,danability to give pressurejuga ikut berpengaruh dan mempermudah pejabat pengelola keuangan dalam memanipulasi mata anggaran yang terdapat pada program dan kegiatan pemerintah (dikembangkan darifraud diamond theoryoleh Wolfe dan

Hermanson, 2004).

Berdasarkan hal tersebut maka dapat di turunkan menjadi hipotesis:

3.1 Populasi dan Sampel Penelitian

Dokumen terkait