• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Kurikulum Ekonomi Pancasila di Pendidikan Menengah A Pengajaran Ekonomi di Indonesia

Dalam dokumen Pengembangan Kurikulum Ekonomi Pancasila (Halaman 40-49)

D. Ekonomi Pancasila sebagai Ekonomi Kerakyatan

III. Pengembangan Kurikulum Ekonomi Pancasila di Pendidikan Menengah A Pengajaran Ekonomi di Indonesia

Pengajaran ilmu ekonomi di Indonesia baik di sekolah menengah terlebih perguruan tinggi sangat didominasi oleh pemikiran-pemikiran ekonomi klasik dan neoklasik, pun dalam kehidupan yang lebih luas dalam praktek pengaturan perekonomian negara kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah sangat kentara dengan nuansa ilmu ekonomi klasik dan neoklasik yang nota bene adalah model ekonomi kapital liberal, lahirnya kebijakan-kebijakan ini sangat dipengaruhi oleh para ilmuan dan ahli ekonomi yang menduduki posisi strategis bidang perekonomian yang banyak menamatkan studinya di negara-negara yang melahirkan sistem ini terutama Amerika, menurut Mubyarto pada masa era orde banyak teknokrat-teknokrat dari Universitas Indonesia yang diangkat menjadi menteri terutama pada beberapa pos strategis dibidang perekonomian sehingga melahirkan julukan baru bagi Fakultas Ekonomi UI ini sebagai Fakultas yang mengajarkan paham liberal. Nasution (2008) juga menyatakan bahwa saat ini ilmu ekonomi yang diajarkan di Kampus maupun sekolah merupakan ilmu ekonomi yang dikembangkan dari praktik ekonomi barat, tepatnya ilmu ekonomi neoklasik, baik moneterist maupun keynesian dan pengajaran ekonomi ini menjadi doktrin sehingga dalam praktiknya ekonomi pasar yang dilandasi oleh faham neoklasik menjadi lebih dominan dalam aktifitas ekonomi di Indonesia, baik dalam tataran pelaku usaha, konsumen maupun pengambil kebijakan.

Pengajaran ekonomi klasik dan neoklasik khususnya di Indonesia tidaklah dapat disalahkan karena disatu sisi sebagai negara berkembang yang ingin melakukan akselerasi dalam pembangunan harus melakukan berbagai terobosan dan mengadospi berbagai kemajuan dari perkembangan dunia yang ada. Akan tetapi semangat untuk mengikuti kemajuan dan perkembangan dengan mengadospinya secara mentah- mentah tanpa adanya proses seleksi dan kesepkatan secara nasional yang

mempertimbangkan berbagasi aspek adalah sesuatu tindakan yag sangat keliru. Sistem ekonomi liberal dan kapitalis yang lahir dan berkembang dinegara asalnya merupakan wujud yang sesuai dengan karaktersistik bangsa Amerika sekaligus merupakan jelmaan dari negara Amarika yang menganut ideologi liberalisme, kebijakan-kebijakan ekonomi yang ditempuh Amerika juga merupakan wujud nyata dari idelogi liberalisme yang sangat sesuai dengan bangsa Amerika. Indonesia sebagai negara yang memiliki ideologi Pancasila dengan nilai-nilai yang dikandungnya merupakan sebuah warisan budaya yang telah dijadikan sebagai jati diri bangsa juga memiliki prinsip-prinsip dasar dan asumsi-asumsi pokok dalam mengatur perekonomian negara. Maka sudah seharusnya Pancasila dijadikan sebagai landasan pokok dan tolak ukur kebijakan yang dilahirkan untuk kepentingan bangsa dan negara dan yang penting adalah menamanmkan pancasila kedalam lubuk hati setiap rakyat Indonesia.

1. Kritikan pengajaran ekonomi di Perguruan Tinggi

Pengajaran ekonomi yang ada sekarang ternyata sangat menjauh dan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila dan terjadi pergeseran yang lebih memilih pengajaran ekonomi klasik dan neoklasik sebagai yang utama dalam pengajarannya. Sri Edi Swasono menguraikan delapan kekeliruan pengajaran ekonomi di Indonesia khususnya di perguruan tinggi yaitu

Pertama pengajaran ilmu ekonomi saat ini belum mampu melepaskan diri dari pemikiran neoklasikal, yang tidak saja bertitik-tolak dari paham self-interest, yaitu maksimisasi gain dan minimisasi sacrifice sesuai perilaku homo economicus, tetapi juga masih terus-menerus cenderung mengabaikan implikasi asumtif mono-utilitas terhadap kenyataan bi-utilitas atau multi-utilitas yang mengandung unsur-unsur moralitas yang lebih kompleks kedua pengajaran ilmu ekonomi, sebagai kelanjutan dari pemikiran neoklasikal, menyandarkan diri pada paham kompetitivisme dengan kuatnya

Kedua, pengajaran ilmu ekonomi, sebagai kelanjutan dari pemikiran neoklasikal, menyandarkan diri pada paham kompetitivisme dengan kuatnya.

Kompetisi-bebas atau persaingan-bebas, tanpa memperhatikan apakah asumsi-asumsi dasar yang menyertainya realistik atau tidak, baik dalam kerangka empirik ataupun moralitas ekonominya, telah membentukkan suatu mindset atau “budaya ekonomi” berkat dibiarkan berlakunya semacam self-fulfilling presumption secara berkepanjangan.

Ketiga pengajaran ekonomi di kampus-kampus sejak semula telah kita awali dengan paham market fundamentalism. Pasar adalah mekanisme permintaan dan penawaran yang diasumsikan mampu melakukan self-regulating (atau self- correcting) melalui an invisible hand sebagaimana dianut oleh kaum Smithian. Namun tidak banyak diajarkan mengenai kegagalan-kegagalan pasar (market- failures) dalam pengajaran ilmu ekonomi. Pasar dalam kenyataannya tidak cukup mampu melayani kepentingan masyarakat. Pasar mengabdi kepada yang kaya, tetapi mengabaikan yang miskin, sehingga pada dasarnya pasar telah mengabaikan nilai- nilai moral dan kehidupan ekonomi sebagaimana digambarkan dalam berbagai versi oleh Galbraith, Heilbroner, Thurow, J.W. Smith, Amartya Sen, Stiglitz, Petras & Veltmeyer dan oleh hampir semua tokoh strukturalis, bahkan akhir-akhir ini tak ter- kecuali oleh Soros dan Krugman

Keempat telah diakui adanya apa yang disebut micro-macro ills (atau micro- macro rifts) di mana ilmu ekonomi mikro dan makro tidak selalu mudah saling bersambung, akibatnya banyak terjadi ketidakcocokan dalam mentransformasikan kepentingan orang-serorang ke arah kepentingan publik. Kepentingan orang-seorang pada tataran mikro bertumpu pada self-interest, yang berkelanjutan dengan Smithian invisible hand, free market, free competition pada tataran makronya dipresentasikan tanpa friksi sebagai mekanisme resource allocation yang efisien, yang berujung pada kecemerlangan Pareto efficiency yang mengagumkan. Namun tidak tampak diajarkan dalam pengajaran ilmu ekonomi apa yang diasumsikan sebagai tanpa friksi oleh kaum neoklasikal itu; demikian pula belum sepenuhnya terjawab bagaimana “box diagram” (Bowley/Edgeworth) dapat didinamisasi untuk merestrukturisasi ketimpangan struktural dengan tetap menyandarkan pada mekanisme pasar-bebas.

Kelimat pengajaran ilmu ekonomi kurang memberikan perhatian cukup tentang sistem ekonomi komparatif di luar ortodoksi kapitalisme vs sosialisme. Bahkan sekarang, dengan dipersepsikannya secara populer bahwa sosialisme telah “kalah” dan kapitalisme “telah menang” tanpa suatu pendalaman (scrutiny) menurut pendapat saya, sebagaimana saya kemukakan di atas, merupakan kasus Stiglitz vs Petras & Veltmeyer. Dengan demikian ini maka pengajaran ilmu ekonomi makin menjadi sem- pit dan terkapsul oleh kompetitivisme neoklasikal. Dengan demikian pula sebagai akibatnya faktor-faktor nonekonomi, terutama ideologi nasional, kelembagaan dan lingkungan spesifik, yang sebenarnya merupakan kandungan dasar (basic contents)

dari setiap sistem ekonomi, hanya diacu sebagai faktor-faktor ad-hoc, ibaratnya sebagai pengetahuan umum, yang tidak diperlakukan sebagai bagian integral dari suatu sistem ekonomi yang berlaku. Oleh karena itu pengajaran ilmu ekonomi tetap saja dalam posisi status-quo atau berjalan “as usual”.

Keenam pengajaran ilmu ekonomi sejak awal telah diberikan kepada mahasiswa tanpa membedakan antara prinsip-prinsip ekonomi dan hukum-hukum ekonomi (yang lebih bersifat teknis dan bebas-nilai) dengan pemikiran dan paham ekonomi (yang tidak bebas-nilai). Padahal buku teks ilmu ekonomi yang kita gunakan masih berasal dari Barat, khususnya Amerika Serikat, yang tidak bebas-nilai. Oleh karena itu boleh dibilang bahwa untuk setiap bab atau bahkan paragrap para pengajar harus kreatif dan inovatif, mampu memodifikasi, mengoreksi, mengadaptasi—tidak hanya mengadopsi, substansi buku-buku teks. Sikap kreatif dan inovatif ini diperlukan manakala nilai-nilai ekonomi yang bertumpu pada asas perorangan (individualism) bertubrukan dengan yang bertumpu pada asas kekeluargaan/kebersamaan (mutualism/collectivism), manakala private wants bertentangan dengan public needs

atau sebaliknya, demikian pula manakala masalah ideologi, kelembagaan, lingkungan spesifik dan semacamnya bervariasi atau bahkan samasekali berbeda dalam konteksnya antara negara satu dengan negara lain, antara negara maju dengan negara berkembang, antara Timur dengan Barat

Ketujuh lebih mencemaskan lagi adalah pelajaran ilmu ekonomi di sekolah- sekolah menengah kita, yang tidak saja sepenuhnya menjiplak kekeliruan yang terjadi di kampus-kampus (mengajarkan neoklasikal dan memperkenalkan akhlak homo economicus tanpa memperkenalkan moralitas ekonomi Indonesia), tetapi juga telah mengucilkan ilmu ekonomi yang diajarkan itu dari konteks Indonesia dan kekhususannya, baik konteks ideologi, sosial, kultural, institusional, agama maupun konteks histori dan geografi Indonesia. Dalam pengajaran ilmu ekonomi, kita meng- ingkari pluralisme Indonesia yang mengundang pendekatan multidimensional. Tuntutan-tuntutan khusus bagi Indonesia sebagai “negara kepulauan” dalam menggalang kesatuan dan konsolidasi ekonomi nasional, keberkahan geografis (baik struktur dan letak) dan kekayaan alam melimpah, yang keseluruhannya sangat berbeda dengan cara pandang ekonomi kontinental, telah begitu saja diabaikan dalam pengajaran ilmu ekonomi. Akibatnya, anak didik akan menjadi anggota masyarakat yang lengah, terkucil dari kenyataan Indonesia, yang akan berakibat kurang dimi- likinya kepedulian pada kekuatan ekonomi nasional dan ekonomi rakyat.

Kedelapan sebenarnya sudah lama kita menyadari kelemahan kita dalam pengajaran ilmu ekonomi. Pengajaran ilmu ekonomi banyak mengabaikan metode induktif dan lebih menekankan pada metode deduktif, sehingga anak didik kita banyak kehilangan pemahaman mengenai realita dan kenyataan empirik, akibatnya hanya akan berkemampuan canggung dalam menghasilkan penyelesaian masalah. Keduanya, baik metode pengajaran induktif maupun deduktif, penting bagi keparipurnaan lulusan kita. Lebih parah lagi kasus-kasus empirik yang sangat terbatas dari buku teks banyak berorientasi pada kasus-kasus mancanegara, khususnya Amerika dengan social dan institutional settings yang samasekali berbeda. Hal ini mengingatkan kepada saya mengenai lelucon intelektual yang terjadi pada tahun 1812 tentang musibah kelaparan di Gujarat. Gubernur Bombay pada waktu itu menolak usulan agar mengirimkan bahan makanan ke daerah yang dilanda kelaparan, agar masalah itu diselesaikan oleh mekanisme pasar sesuai dengan apa yang ia baca di buku Adam Smith, Wealth of Nations tentang beroperasinya the invisble hand.

Akibatnya ratusan ribu orang meninggal dunia. Ini bukan saja merupakan masalah teori ataupun asumsi di balik teori, tetapi adalah juga keamburadulan antara pola pikir deduktif vs induktif dan sekaligus adalah kecanggungan intelektual dalam mem- perhitungkan institutional setting dan tuntutan empirikal. Barangkali hal semacam ini telah pula terjadi di Indonesia.

Kesembilan di ruang-ruang kelas globalisasi ekonomi banyak diungkapkan sebagai suatu cita-cita untuk mencapai efisiensi ekonomi dunia, mengatasi berbagai

barriers transaksi-transaksi ekonomi dan membuka isolasi atau eksklusivisme kegiatan ekonomi. Internasionalisasi sumber-sumber ekonomi, terutama modal, teknologi, keahlian dan informasi merupakan salah satu wujudnya, membentuk dunia sebagai a networked-economy

Kritikan serta kelemahan pengajaran ekonomi di Indonesia juga dikemukakan oleh Mubyarto (2003) yang menyebut dosen-dosen ekonomi di Indonesia harus merasa berdosa karena mengawali menyebarluaskan ajaran-ajaran yang bersumber pada filsafat moral yang tidak sesuai dengan nilai dan sistem budaya Indonesia yaitu;

pertama ajaran Adam Smith hanya diambil separo saja yaitu bukunya yang kedua

wealth of nations (1776) sedangkan bukunya yang pertama tentang moral the theory of moral sentiments (1759) sama sekali dilupakan, kedua pengajaran ekonomi di Indonesia masih masih bersikukuh mempertahankan bahwa ekonomi posisif dan ekonomi normatif tetap terpisah satu dengan yang lain, ketiga dosen-dosen ilmu ekonomi di Indonesia harus rajin mengajarkan teori-teori tidak secara deduktif dari buku-buku teks akan tetapi harus secara bersama-sama mengadakan penelitian induktif empirik sekaligus dengan mempelajari secara sungguh-sungguh sejarah (pemikiran) ekonomi Indonesia.

2. Kritik pengajaran ekonomi pada jenjang pendidikan menengah

Pada jenjang pendidikan menengah khususnys di SMA pengajaran ekonomi adalah berpedoman dari apa yang sudah diajarkan dan diterapkan di perguruan tinggi sehingga tidak wajar kesalahan ini dialamatkan kepada guru yang secara khusus mengajarkan mata pelajaran ini karena guru itupun adalah produk perguruan tinggi

yang mendapat asupan ilmu ekonomi dari perguruan tinggi tempat ia menutut ilmu. Pada beberapa buku pelajaran Ekonomi untuk siswa SMA klas 1 (Ritonga, dkk, 2003), ditemukan banyak contoh adanya ajaran ilmu (teori) ekonomi yang layak untuk didebat, bukan saja karena ‘tidak relevan’ melainkan juga karena ‘tidak logis’ (tidak realistis). Teori itu merupakan pilar dasar ilmu ekonomi dari Barat (Amerika) yang tentu saja mempengaruhi perumusan teori-teori selanjutnya, sehingga pengajaran teori-teori tersebut yang sesuai ‘buku teks’-nya justru bertentangan dengan tujuan pendidikan untuk mendekatkan anak didik pada realitas masalah sosial-ekonomi kongkrit di Indonesia.

Kritikan tajam yang dilontarkan oleh Profesor. Mubyarto dan Santoso terkait dengan pengajaran ekonomi khususnya di SMA mengenai ‘kebutuhan manusia’, dan ’alat pemuas kebutuhan’.

Pertama dalil ‘alat pemuas kebutuhan manusia terbatas’ sesuai dan sejalan dengan kenyataan dan sistem nilai masyarakat Indonesia? Dalam kehidupan sekarang, apa yang disebut sebagai ‘kelangkaan’ alat pemuas kebutuhan sulit dipahami murid. Alat pemuas kebutuhan yang berupa barang dan jasa tidak sulit ditemukan jika kita pergi ke toko, supermarket, mall, atau tempat-tempat lainnya. Yang menjadi masalah bukan tidak adanya barang tetapi ‘daya beli’ masyarakat, sehingga yang benar-benar disebut ‘terbatas’ adalah ‘daya beli’ masyarakat bukan “alat” pemenuhan kebutuhan. Itulah yang menjadi pokok perhatian kita, bukannya barang/jasa yang diproduksi dalam jumlah besar, termasuk melalui ‘rekayasa kebutuhan’ masyarakat. Memang sering muncul berbagai kasus “kelangkaan” di negara kita, misalnya untuk komoditi pupuk dan minyak tanah, namun hal itu bukan semata karena tidak ada ‘barangnya’, melainkan karena ada praktek penimbunan oleh pedagang yang bertujuan menaikkan harga. Jadi, bukannya dalil itu yang menjadi inti masalah ekonomi, melainkan bagaimana meningkatkan “daya beli” masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhannya

Kedua tentang dalil yang diajarkan dalam teori ekonomi selalu berbunyi “kebutuhan manusia tidak terbatas”, sedangkan “alat pemuas kebutuhan manusia

terbatas”. Dalil itu dikuatkan dengan fakta banyaknya barang dan jasa, yang dianggap sebagai manifestasi banyaknya (tidak terbatasnya) kebutuhan manusia. Juga dinyatakan bahwa kebutuhan manusia selalu meningkat, seiring dengan peningkatan kemakmuran seseorang. Apakah dalil ini relevan atau realistis bagi kita yang menganut ajaran agama dan moral Pancasila? Kebutuhan diartikan sebagai perasaan kurang, yang tentu saja berbeda antarorang atau antargolongan dalam masyarakat. Kita tidak dapat menyamakan kebutuhan antara manajer perusahaan dengan seorang buruh tani di perdesaan. Artinya selalu ada batasan-batasan kebutuhan seseorang, apakah batasan itu berupa standar moral (agama) ataupun kemampuan sosial- ekonomi atau pendapatan seseorang, lagi pula, tidakkah terpikirkan bahwa apa yang dimaksud dengan kebutuhan itu seringkali bukanlah ‘kebutuhan yang sesungguhnya’ (real needs), tetapi sekedar “keinginan” (wants)? Terkait dengan kebutuhan sebagai “perasaan kekurangan”, maka kebutuhan dapat ‘dimanipulasi’ demi kepentingan tertentu, sehingga sesuatu yang sebetulnya tidak dibutuhkan berubah menjadi ‘kebutuhan’ baginya. Ini terkait dengan ‘rasionalitas kebutuhan’, yang justru dalam bab Konsumsi

Ketiga masalah pokok dalam ekonomi adalah produksi, distribusi, dan konsumsi, sehingga bahasan di bab selanjutnya hanya terfokus pada ketiga masalah mikro ini. Faktanya, apakah yang menjadi masalah pokok ekonomi yang riil di negara kita? Bukankah negara kita masih dihadapkan pada masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi yang serius? Jika siswa diajak untuk mengerti masalah riil ekonomi bangsanya, mengapa masalah kemiskinan atau kekurangan kemakmuran serta ketimpangan distribusi pendapatan tidak dibahas? Mereka perlu dibawa ke arah memiliki sense terhadap permasalahan-permasalahan tersebut, untuk kemudian diajak mencoba memikirkan pemecahan masalah-masalah riil ini. Masalah-masalah ini dapat diperinci meliputi aspek-aspek produksi, distribusi, dan konsumsi. Ilmu ekonomi harus memiliki visi, yang dikaitkan dengan cita-cita dan pandangan hidup bangsa, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keempat tentang ajaran prinsip dan motif ekonomi yang tidak bebas nilai masih dalam bahasan tinjauan ilmu ekonomi, diajarkan tentang Prinsip Ekonomi dan Motif Ekonomi yang dijadikan pegangan selama bertahun-tahun karena dinilai relevan dan masuk akal. Dalam ajaran tentang prinsip ekonomi, tindakan manusia yang dinilai sesuai dengan rasionalitas adalah “dengan pengorbanan kecil, seseorang mendapatkan hasil yang besar”. Semuanya diletakkan dalam rangka mengejar kepuasan maksimum bagi individu yang bersangkutan. Mengapa ajaran yang ‘egois’ dan ‘individualistik’ ini ditonjolkan dalam ilmu ekonomi? Bukankah (semua) agama mengajarkan manusia ‘rela berkorban’ demi kepentingan sesama, dan ‘hasilnya’ bisa jadi ia rasakan saat itu (kepuasan batin), atau di kehidupan yang lain (akhirat). Lagi pula, mengapa ajaran rasionalitas sebagai prinsip ekonomi tidak ditekankan pada upaya manusia untuk ‘mengendalikan diri’, dan supaya berpikir rasional dalam menilai kebutuhan hidupnya, tidak perlu dengan mengajarkan keserakahan? Ini menuntut peran hati nurani dalam melakukan tindakan-tindakan ekonomi

Kritikan yang telah dilontarkan oleh dua ahli di atas dapat kita maknai sebagai berikut pertama bahwa perguruan tinggi sebagai salah satu institusi pendidikan yang menghasilkan generasi penerus bangsa ternyata turut andil dalam menciptakan sebuah kondisi yang tidak baik (melemahkan) bangsa dari segi ideologi yang sudah ada, keberpihakan perguruan tinggi khususnya di Fakultas Ekonomi yang lebih banyak menjejali pemikiran-pemikiran liberalisme dan kapitalisme sebagai kurikulum pokok dalam mata kuliah di Fakultas Ekonomi harus dikoreksi secara total. Koreksi ini dimaksud untuk memperbaiki arah dan tujuan umum dalam pengajaran ekonomi sehingga memiliki landasan filosofis yang kuat dan oerientasi yang jelas. Mempelajari ilmu ekonomi dalam kerangka ideologis dan orientasi adalah sesuatu yang sangat mutlak diperlukan yang pada akhirnya akan dapat mempertahankan identitas bangsa yang berpancasila di Indonesia, kedua bahwa ilmu ekonomi bukanlah ilmu yang permanen dan berlaku tetap melampui batas waktu dan tempat artinya sangat terbuka kemungkinan dilakukannya perubahan dan penyesuaian pada waktu dan kondisi tertentu sehingga sangat naiflah seseorang berpikir bahwa sebuah

teori dalam ilmu ekonomi akan tetap berlaku sepanjang masa seperti matematika atau ilmu pasti lainnya, sesuai dengan pendapat pakar ekonomi Amerika John S Cambs (Rino:2007) pernah mengatakan bahwa ekonomi bukanlah ilmu melainkan sekedar harapan ilmu, berarti ilmu ekonomi dengan sejumlah pemikiran-pemikiran didalamnya akan selalu mengalami perubahan dan tidak akan pernah sampai pada satu titik kematangan untuk menetapkan suatu keputusan yang permanen, ketiga ilmu ekonomi sebagai bahagian dari ilmu sosial harus tetap dipertahankan keberadaannya dengan tidak boleh tercerabut dari akarnya sebagai ilmu sosial yang berarti pengajaran ilmu ekonomi sangat memperhatikan kondisi sosial masyarakat yang senantiasa berubah dan tidak ada yang tetap, maka segenap asumsi dalam ilmu ekonomi harus senantiasa memadukan teori yang sudah ada dengan kondisi real masyarakat yang harus memiliki kepetrpaduan dalam keduanya dan hendaknya pengajaran ilmu ekonomi adalah pengajaran yang multidisplin ilmu yang tidak semata-mata mengkaji manusia dari aspek ekonomi saja namun dari sisi sosiologis, antorpologis, geografis dan sejarahnya, keempat pengajaran ilmu ekonomi tidak dapat dipisahkan dari kerangka ideologis bangsa Indonesia maka pancasila sebagai ideologi hendaknya menjadi tolak ukur utama sekaligus sebagai patron yang akan menjadi pedoman dalam diri manusia Indonesia, pengajaran ilmu ekonomi adalah pengajaran yang sarat dengan nilai bukan sebaliknya bebas nilai bahkan tidak memiliki nilai sam sekali sehingga pengajaran ekonomi di indonesia harus diupayakan sejauh mungkin membumikan Pancasila dalam segenap jiwa manusia Indonesia khususnya generasi muda.

B. Pengembangan Kurikulum Ekonomi Pancasila di Pendidikan

Dalam dokumen Pengembangan Kurikulum Ekonomi Pancasila (Halaman 40-49)

Dokumen terkait