• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Perikanan sebagai Sebuah Sistem

Upaya pengembangan perikanan haruslah dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Sistem perikanan mencakup tiga subsistem yaitu: 1) sumberdaya ikan dan lingkungannya, 2) sumberdaya manusia beserta kegiatannya, dan 3) manajemen perikanan. Sumberdaya ikan dan lingkungannya meliputi tiga komponen yaitu ikan, ekosistem dan lingkungan biofisik. Sumberdaya manusia meliputi empat komponen yaitu nelayan dengan kegiatan memproduksi ikan; kegiatan pasca panen, distribusi, pemasaran dan konsumen; rumahtangga nelayan dan masyarakat perikanan; serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya. Subsistem manajemen perikanan meliputi tiga komponen yaitu perencanaan dan kebijakan perikanan; pengelolaan perikanan; serta pengembangan dan penelitian. Sistem perikanan bersifat dinamis, komponen-komponennya mengalami perubahan sepanjang waktu (Charles 2001). Selanjutnya Charles (2001) juga menyatakan,

perhatian penting dalam hal keberlanjutan (sustainability) tidak terbatas hanya

pada penentuan jumlah tangkapan dan ketersediaan stok, melainkan mencakup keseluruhan aspek perikanan mulai dari ekosistem, struktur sosial dan ekonomi, sampai kepada masyarakat perikanan dan kelembagaan pengelolaan. Keberlanjutan secara ekologi terkait dengan keberlanjutan penangkapan dan perlindungan terhadap sumberdaya. Keberlanjutan sosial ekonomi, terkait dengan manfaat makro bagi penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan secara layak bagi pelaku pemanfaat sumberdaya. Keberlanjutan masyarakat menekankan pada perlindungan atau pengembangan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Keberlanjutan kelembagaan terkait dengan kelembagaan keuangan, penatausahaan yang tepat dan kemampuan kelembagaan dalam jangka panjang.

Perikanan menurut UU 31/2004 adalah kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari

praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu bisnis perikanan. Dalam hal ini perikanan didefinisikan meliputi kegiatan bisnis dan pengelolaan. Pengertian pengelolaan perikanan telah didefinisikan pada bagian terdahulu.

Berdasarkan definisi sistem menurut Charles (2001) dan menurut UU 31/2004, serta berdasarkan pada analisis kebutuhan dan permasalahan sistem (lebih lanjut lihat Bab 3.2), maka kajian Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah dirancang dalam suatu konsep sistem yang terdiri atas tiga subsistem. Ketiga subsistem tersebut yaitu 1) subsistem kegiatan usaha perikanan, 2) subsistem pelabuhan perikanan: fungsionalitas dan aksesibilitas, serta 3) subsistem kebijakan dan kelembagaan perikanan.

2.3.1 Subsistem Kegiatan Usaha Perikanan

Seperti telah disebutkan dalam UU 31/2004, bahwa perikanan adalah suatu kegiatan bisnis atau usaha, dengan cakupan mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran. Berdasarkan cara produksinya perikanan dikelompokkan menjadi dua, yaitu penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan usaha perikanan merupakan proses untuk menghasilkan produksi ikan yang dilakukan nelayan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya ikan yang ada, selanjutnya dilakukan proses penanganan, pendistribusian dan pemasaran, dengan tujuan akhir adalah memperoleh nilai manfaat atau keuntungan. Untuk dapat terselenggaranya kegiatan menghasilkan produksi ikan, digunakan berbagai sarana seperti kapal, alat tangkap dan perlengkapan lainnya. Dalam keseluruhan kegiatan usaha perikanan terkait antara sumberdaya ikan, manusia, teknologi, modal dan sumberdaya informasi, yang masing-masing komponennya perlu dikelola dengan baik agar tujuan untuk mencapai keuntungan usaha dapat tercapai.

Menurut Dahuri (2003), kebijakan dan program yang bertalian dengan upaya optimalisasi antara ketersediaan sumberdaya (stok) ikan dengan tingkat penangkapan pada setiap wilayah penangkapan ikan sangat penting, untuk dapat

menjamin sistem usaha perikanan yang efisien atau menguntungkan (profitable)

secara berkelanjutan. Apabila tingkat penangkapan ikan di suatu wilayah melebihi

potensi lestarinya (maximum sustainable yield, MSY), maka akan terjadi

fenomena tangkap lebih (overfishing) yang berakibat pada penurunan hasil

tangkapan per satuan upaya (catch per unit effort), pada gilirannya mengakibatkan

penurunan pendapatan nelayan. Sebaliknya, jika tingkat penangkapan di bawah

potensi lestari (MSY) atau MEY (maximum economic yield), maka terjadi kondisi

yang kurang optimal (underutilization). Kondisi ini tidak baik, karena ikan di laut

kalau tidak ditangkap akan mati secara alamiah (natural mortality). Perikanan

masa depan Indonesia yang harus diwujudkan adalah sebuah sistem bisnis perikanan tangguh, yang dapat menghasilkan keuntungan berkelanjutan, sehingga dapat mensejahterakan para pelakunya, berkontribusi nyata bagi pertumbuhan ekonomi, dan mampu menjaga kelestarian sumberdaya ikan serta lingkungannya.

Berkembangnya kegiatan usaha perikanan, akan membentuk pusat kegiatan perikanan (sentra industri). Menurut Kuncoro (2002) diacu dalam Sahubawa (2006), sentra industri pada dasarnya merupakan kelompok produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan biasanya terspesialisasi pada satu atau dua industri utama saja. Menurut Porter (1998, 2000) diacu dalam Sahubawa (2006) sentra merupakan konsentrasi geografis dari berbagai perusahaan dan industri yang saling terkait dalam satu wilayah tertentu. Markusen (1996) dan Scorsone (2002) diacu dalam Sahubawa (2006) mengajukan tiga pola sentra industri yaitu

sentra Marshalian, Hub and Spoke, dan Satellite Flat Form. Pola sentra

Mashalian dicirikan oleh skala ekonomi rendah, kerjasama horizontal yang tinggi, serta kerjasama vertikal dan hubungan eksternal yang sangat rendah. Pola sentra

Hub and Spoke mempunyai ciri-ciri diantaranya dominasi satu atau beberapa perusahaan besar yang terintegrasi secara vertikal dan dikelilingi oleh sejumlah pemasok, kerja sama yang rendah antar sesama kompetitor perusahaan besar, dan

skala ekonomi yang cukup tinggi. Pola Satellite Flat Form, mempunyai ciri-ciri

yang minimal antar pembeli dan pemasok di dalam sentra, pengambilan keputusan investasi dilakukan secara eksternal, serta derajat kerjasama dan keterkaitan yang tinggi dengan perusahaan-perusahaan diluar sentra terutama perusahaan induk.

2.3.2 Subsistem Pelabuhan Perikanan: Fungsionalitas dan Aksesibilitas

Terkait dengan lokasi dari sebuah pelabuhan perikanan yang merupakan pusat kegiatan industri perikanan, faktor geo-topografi merupakan aspek yang

penting untuk diperhatikan. Yani et al. (2004) menyatakan, aspek geo-topografi

mempunyai pengaruh yang potensial terhadap kegiatan industri. Pengambilan keputusan penentuan lokasi industri mempunyai kerangka kerja yang prospektif, yaitu pemilihan lokasi strategis atau dengan kata lain lokasi tersebut memiliki pilihan-pilihan menguntungkan dari sejumlah akses. Semakin strategis lokasi industri, semakin besar peluang untuk meraih keuntungan. Selanjutnya dikatakan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi dalam menentukan lokasi industri yang strategis adalah bahan baku, modal, tenaga kerja, sumber energi, transportasi, komunikasi, pasar, teknologi, peraturan, iklim dan ketersediaan sumber air. Faktor-faktor tersebut perlu diperhitungkan, karena tidak semua unsur pendukung dapat tersedia di suatu tempat. Lokasi ideal jarang ditemukan, penempatan lokasi industri harus memilih diantara lokasi-lokasi yang paling menguntungkan.

Dalam ilmu perencanaan wilayah dan perkotaan, setiap tata guna lahan mempunyai beberapa ciri dan persyaratan teknis yang harus dipenuhi dalam perencanaan dan perancangannya. Daerah pemukiman, industri, pertokoan, fasilitas hiburan, dan fasilitas sosial, semuanya mempunyai beberapa persyaratan teknis dan non teknis yang harus dipenuhi dalam menentukan lokasinya. Beberapa ciri teknis yang sering dipakai adalah kondisi topografi (datar, bukit, pegunungan), kesuburan tanah dan geologi. Akibatnya, lokasi kegiatan tersebar secara heterogen di dalam ruang yang ada yang menyebabkan perlu adanya pergerakan atau transportasi yang digunakan untuk proses pemenuhan kebutuhan. Transportasi merupakan satu kesatuan antara aspek alam (iklim, morfologi, keadaan tanah, dan struktur geologi) dan aspek manusianya (aktivitas ekonomi, politik, dan teknologi). Alam sangat berpengaruh terhadap keberadaan jaringan transportasi baik darat, laut, maupun udara. Adanya transportasi memungkinkan

hubungan antar daerah, antar-hinterland dan foreland, serta menimbulkan dampak terhadap sosial ekonomi penduduk dan penggunaan lahan (Tamin 2000).

Keberadaan infrastruktur jalan dan sarana transportasi termasuk didalam pengkajian ini. Sebagian besar Wilayah Pantai Selatan Jawa secara geo-topografi berada pada lokasi yang tidak strategis untuk kegiatan industri perikanan. Lokasi yang terisolir, dengan bentuk permukaan bumi yang berbukit-bukit dan berlereng terjal, infrastruktur jalan belum dibangun secara memadai, serta sarana transportasi yang tidak memadai merupakan faktor potensial yang menghambat berkembangnya kegiatan industri perikanan di daerah ini. Biaya transportasi yang tinggi, tidak efisien bagi upaya untuk mendistribusikan ikan ke tempat tujuan pemasaran, dan berpotensi untuk meningkatkan biaya faktor-faktor produksi.

Jika dilihat dari aspek geo-topografinya, daerah pusat-pusat kegiatan perikanan yang telah berkembang dengan baik di Selatan Jawa, memiliki aspek- aspek yang positif untuk menunjang pengembangan industri perikanan di daerah tersebut. Cilacap misalnya, kondisi topografinya relatif datar, sarana infrastruktur berupa jalan dan sarana transportasi telah terbangun dengan baik. Hubungan dari

Cilacap ke daerah-daerah yang menjadi hinterland-nya yaitu Bandung, Semarang,

Jakarta dan kota-kota lainnya untuk memasarkan produksi ikan mudah dilakukan. Aspek geo-topografi terkait juga dengan pemilihan lokasi wilayah daratan yang tepat untuk pembangunan pelabuhan perikanan. Lokasi pelabuhan perikanan mensyaratkan wilayah daratan yang cukup luas, dengan bentuk permukaan yang hampir rata. Areal tanah yang luas diperlukan untuk pembangunan fasilitas, seperti tempat pelelangan ikan, tempat menjemur jaring, tempat pengolahan ikan,

bengkel, pabrik es, cold storage, parkir kendaraan, dan sebagainya (Murdiyanto

2002). Kondisi permukaan tanah yang rata memungkinkan untuk memudahkan di dalam aliran barang dari satu fasilitas ke fasilitas lainnya di dalam lokasi pelabuhan. Fasilitas-fasilitas tersebut tentunya akan lebih mudah dibangun pada permukaan tanah yang datar, dari pada permukaan tanah yang berbukit-bukit.

Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai sarana penunjang untuk meningkatkan kerja. Fungsinya meliputi berbagai aspek yaitu sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil tangkapan, tempat untuk memperlancar kegiatan-kegiatan

kapal perikanan, pusat pemasaran dan distribusi, pusat pembinaan, penyuluhan dan pengumpulan data (Penjelasan UU 31/2004 tentang Perikanan).

Kramadibrata (1985) menyatakan, untuk dapat merealisir pembangunan pelabuhan minimal ada 7 data pokok yang dibutuhkan, yaitu: 1) asal, tujuan dan jenis muatan; 2) klimatologi, meliputi angin, pasang surut dan sifat air laut; 3) topografi, geologi dan struktur tanah; 4) rencana pembiayaan, ukuran keberhasilan secara ekonomis dilihat dari segi investasi; 5) pendayagunaan modal ditinjau dari segi operasional, terutama dalam penanganan muatan; 6) kaitan pelabuhan dengan kapal yang menyinggahi dan sarana prasarana angkutan lain, yang mendukung kegiatan pelabuhan dengan daerah pendukungnya; 7) kaitan pelabuhan dengan pelabuhan lain dalam rangka lalu lintas dan jaringan pendukung perdagangan.

2.3.3 Subsistem Kebijakan dan Kelembagaan Perikanan

Menurut definisi, politik adalah hal yang berkaitan dengan cara bagaimana masyarakat diperintah oleh lembaganya, penguasanya, dan hukumnya (Baggini 2003). Politik akan berkaitan dengan bentuk pemerintahan, ideologi, hukum, kelembagaan, peraturan dan kebijakan. Secara umum orang dapat memahami dan sadar bahwa politik berpengaruh kuat dalam segenap aspek kehidupan manusia, karena manusia beserta seluruh kegiatannya ada dalam lingkup kekuasaan negara.

Menurut Saad (2003), politik hukum dirumuskan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, yang implementasinya meliputi aspek-aspek: 1) Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan hukum dan pembaharuan terhadap bahan-bahan hukum yang dianggap asing atau tidak sesuai dengan kebutuhan; dan 2) Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegakan fungsi-fungsi lembaga dan pembinaan para anggota penegak hukum. Selanjutnya dikatakan, politik hukum perikanan merupakan keseluruhan kebijakan pemerintah mengenai perikanan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk produk hukum.

Berdasarkan hal di atas, terlihat bahwa produk hukum perikanan merupakan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah untuk mengatur kegiatan perikanan. Kegiatan perikanan tidak dapat dilepaskan dari aspek politik, hukum, peraturan, kelembagaan dan orang-orang yang terlibat.

Politik mencakup pula aspek kelembagaan, karena hukum atau peraturan dalam implementasinya dilakukan oleh fungsi lembaga atau kelembagaan yang ada. Politik terkait pula dengan orang-orang yang berada di dalam kelembagaan atau pemerintahan. Siapa orang yang berperan sebagai pengambil keputusan di bidang perikanan, akan menentukan arah bagi pengembangan kegiatan perikanan. Kelembagaan menurut Purwaka (2003) merupakan suatu perangkat

perundang-undangan yang mengatur tata kelembagaan (institutional arrangement)

dan mekanisme tata kerja kelembagaan (institutional framework). Kelembagaan

memiliki kapasitas yaitu kapasitas potensial (potential capacity), kapasitas daya

dukung (carrying capacity) dan kapasitas daya tampung atau daya lentur

(absorptive capacity). Kinerja dari suatu kelembagaan merupakan fungsi dari tata kelembagaan, mekanisme, dan kapasitas kelembagaan yang dimilikinya.

Kelembagaan dapat diartikan dalam dua pengertian yaitu 1) kelembagaan sebagai institusi, merupakan organisasi berbadan hukum untuk mengelola suatu

kegiatan, dan 2) kelembagaan sebagai pelembagaan nilai atau institutionalized.

Kelembagaan sebagai organisasi merupakan kumpulan orang yang tergabung dalam suatu wadah yang disatukan untuk bekerjasama mencapai suatu tujuan. Kelembagaan sebagai organisasi mencakup beberapa komponen yaitu 1) orang, sebagai pelaksana tugas, 2) teknologi, yang digunakan untuk melaksanakan tugas, 3) informasi, sebagai pengetahuan untuk melaksanakan tugas, 4) struktur, merupakan peraturan dan pembagian tugas, serta 5) tujuan, merupakan alasan dan tujuan dari pelaksanaan tugas organisasi. Kelembagaan sebagai pelembagaan nilai merupakan nilai-nilai yang dilembagakan yang dihasilkan lembaga, misalnya peraturan perundang-undangan (Soepanto 2004).

Selanjutnya dikatakan bahwa, dalam konsep pengelolaan sumberdaya perikanan, kelembagaan merupakan faktor penting yang menggerakkan kinerja

dari pengelolaan. Kelembagaan sebagai aturan main (rule of the game) mencakup

himpunan aturan mengenai tata hubungan diantara orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan. Kelembagaan memberikan ketentuan terhadap anggotanya mengenai hak-haknya, kewajiban dan tanggungjawabnya. Kelembagaan memberikan suatu kondisi, setiap anggota menerima apa yang telah menjadi ketentuan, merasa aman dan hidup sewajarnya.

Dokumen terkait