• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 2.4 (a) Citra burung nuri yang agak gelap, (b) Citra burung yang telah diperbaiki kontrasnya

2.4. Jenis-jenis Citra Digital

2.4.3. Pengenalan Pola

Pengenalan pola adalah mengelompokkan data numerik dan simbolik (termasuk citra) secara otomatis oleh mesin (dalam hal ini komputer). Tujuan pengelompokan adalah untuk mengenali suatu objek di dalam citra. Manusia bisa mengenali objek yang dilihatnya karena otak manusia telah belajar mengklasifikasi objek-objek di alam sehingga mampu membedakan suatu objek dengan objek lainnya. Kemampuan sistem visual manusia inilah yang dicoba ditiru oleh mesin. Komputer menerima masukan berupa citra objek yang akan diidentifikasi, memproses citra tersebut, dan memberikan keluaran berupa deskripsi objek di dalam citra [4].

Pola adalah entitas yang terdefinisi dan dapat didefinisikan melalui ciri-cirinya (feature). Ciri-ciri tersebut digunakan untuk membedakan suatu pola dengan pola yang lain. Pengenalan pola bertujuan untuk menentukan kelompok untuk kategori pola berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki oleh pola tersebut. Dengan kata lain pengenalan pola membedakan objek dengan objek lain.

Suatu sistem pengenalan pola melakukan:

1. Proses akuisisi data melalui sejumlah alat pengindraan atau sensor, 2. Mengatur bentuk representasi data,

3. Melakukan proses analisis dan klasifikasi data.

Tiga pendekatan pembuatan sistem pengenalan pola adalah Statistik (statistical), Sintaksis (syntactic) dan Jaringan Saraf Tiruan (neural network) (Schalkoff, 1992).

1. Statistik

Semakin banyak pola yang disimpan, maka sistem akan semakin cerdas. Salah satu contoh penerapannya banyak pada pola pengenalan iris scan.

Kelemahannya: hanya bergantung pada data yang disimpan saja, tidak memiliki sesuatu struktur yang unik yang dapat menjadi kunci pengenalan pola.

2. Sintaksis (rule)

Dengan rule/aturan maka sistem yang lebih terstruktur sehingga memiliki sesuatu ciri yang unik. Salah satu contoh penerapannya pada pola pengenalan sidik jari (fingerprint).

3. Jaringan Saraf Tiruan (JST)

Merupakan gabungan dari pendekatan statistik dan pendekatan sintaks. Dengan gabungan dari dua metode maka JST merupakan pengenalan pola yang lebih akurat. Salah satu contoh penerapannya pada pola pengenalan suatu citra JST merupakan

suatu sistem yang dapat memproses informasi dengan meniru cara kerja jaringan saraf otak manusia.

Struktur sistem pengenalan pola ditunjukkan pada gambar 2.8. Sistem pengenalan pola ini terdiri dari suatu sensor (misalnya kamera, dan scanner), teknik prapengolahan, suatu algoritma atau mekanisme ekstraksi ciri dan algoritma untuk klasifikasi atau pengenalan (bergantung pada pendekatan yang dilakukan). Sebagai tambahan, biasanya beberapa data yang sudah diklasifikasikan diasumsikan telah tersedia untuk melatih sistem.

Pola Data Klasikasi

Gambar 2.8. Struktur Sistem Pengenalan Pola

Prapengolahan adalah transformasi input (masukan) data mentah untuk membantu kemampuan komputasional dan pencarian ciri serta untuk mengurangi noise (derau). Pada prapengolahan citra (sinyal) yang ditangkap oleh sensor akan dinormalisasi agar citra menjadi lebih siap untuk diolah pada tahap pemisahan ciri. Kualitas ciri yang dihasilkan pada proses pemisahan ciri sangat bergantung pada hasil prapengolahan.

Klasifikasi merupakan tahap untuk mengelompokkan input data pada satu atau beberapa kelas berdasarkan hasil pencarian beberapa ciri yang signifikan dan pemrosesan atau analisis terhadap ciri itu. Setiap kelas terdiri dari sekumpulan objek yang memiliki kedekatan (kemiripan) ciri. (Munir, 2004; Putra, 2009).

Contoh pengenalan pola misalnya citra pada Gambar 2.9 adalah tulisan tangan

yang digunakan sebagai data masukan untuk mengenali karakter „A‟. Dengan

menggunakan suatu algoritma pengenalan pola, diharapkan komputer dapat mengenali bahwa karakter tersebut adalah „A‟.

Sensor Prapengolaha

n

Ekstraksi Ciri Algoritm

a Klasifikas

Gambar 2.9 Pola 2 Dimensi 2.5. Elemen- Elemen Citra Digital

Citra digital mengandung sejumlah elemen-elemen dasar.Elemen-elemen dasar tersebut dimanipulasi dalam pengolaha citra dan dieksploitasi lebih lanjut dalam komputer vision . Elemen elemen dasar diantaranya:

2.5.1.Kecerahan (brightness)

Kecerahan adalah kata lain untuk intensitas cahaya. Sebagai mana telah dijelaskan pada bagian sampling, kecerahan pada sebuah titik (pixel) didalam citra bukanlah intensitas yang riil, tetapi sebenarnya adalah intensitas rata-rata dari suatu area yang melingkupinya. Sistem visual manusia mampu menyesuaikan dirinya dengan tingkatan kecerahan (brightness level) mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi dengan jangkauan 1010.

2.5.2.Kontras (contrast)

Kontras menyatakan sebaran terang (lightness) dan gelap (darkness) didalam sebuah gambar. Citra dengan kontras rendah dicirikan sebagai besar komposisi citranya adalah terang sebagian besar gelap. Pada citra dengan kontras yang baik, komposisi gelap dan terang tersebar secara merata.

2.5.3. Kontur (contour)

Kontur adalah keadaan yang ditimbulkan oleh perubahan intensitas cahaya pada pexel pixel yang bertetangga. Karena adanya perubahan intensitas inilah mata kita mampu mendeteksi tepi-tepi (edge) objek didalam citra.

2.5.4. Warna (color)

Warna adalah persepsi yang dirasakan oleh sistem visual manusia terhadap panjang gelombang cahaya yang dipantulkan oleh objek. Setiap warna mempunyai

panjang gelombang (λ) yang berbeda. Warna merah mempunyai panjang gelombang

yang paling tinggi, sedangkan warna ungu (violet) mempunyai panjang gelombang yang paling rendah.Warna-warna yang diterima oleh mata (sistem visual mata) merupakan hasil kombinasi cahaya dengan panjang gelombang yang berbeda. Penelitian memperlihatkan kombinasi warna yang memberikan rentang warna yang paling lebar adalah merah (red), hijau (green), biru (blue). Penyesuaian warna pada

visual kita tidak jarang dapat menimbulkan “cacat” warna (distorsi) yang dilihat. Ada

dua jenis distorsi, yakni distorsi warna terhadap ruang (misal bercak abu-abu yang berada disekitar warna hijau akan berkesan ungu), dan distorsi terhadap waktu (misalnya setelah melihat warna hijau kita langsung melihat warna abu-abu, maka warna ungulah yang berkesan pada mata kita).

2.5.5. Bentuk (shape)

Pada umumnya citra yang dibentuk oleh mata merupakan citra dua dimensi, sedangkan objek yang diamati biasanya adalah 3 dimensi telah diproyeksikan kebidang dua dimensi dan kelihatannya sama. Misalnya, suatu ruangan terlihat berbentuk trapezium pada gambar dua dimensi. Didalam hal ini kita tahu apakah hal ini memang disebabkan oleh bentuk ruangan yang panjang ataukah memang ruangan tersebut berbentuk trapesium.

2.5.6. Tekstur (texture)

Pada hakikatnya sistem visual manusia tidak menerima informasi citra secara terpisah pada setiap titik, tetapi sesuatu citra dianggapnya sebagai suatu kesatuan, jadi

definisi kesamaan suatu objek perlu dinyatakan dalam bentuk kesamaan dari suatu himpunan parameter citra (brightness, color, size) atau dengan kata lain dua buah citra tidak dapat disamakan dari satu parameter saja.

2.6. Tresholding

Tresholding digunakan untuk membedakanmgambar text dengan latar belakang pada gambar huruf atau angka tersebut. Proses ini akan menghasilkan citra hitam putih yang bersih dari tingkat keabuan (grayscale), atau dengan kata lain metode ini mengkonversi citra gray-level ke citra bilevel (binary image). Untuk mendapatkan citra grayscale digunakan persamaan berikut:

Dimana :

Igrayscale = citra grayscale Icolour = citra RGB

(x,y) = koordinat citra

(x,y,c) = channel piksel pada kordinat (x,y), r untuk merah, b untuk biru dan g

untuk hijau α, , = koefisien Pembobotan nilai koefisien (α, dan ) berdasarkan

nilai dari respon mata manusia, biasanya ketiga nilai yang digunakan adalan 0.333 [20].

Setelah mendapatkan citra grayscale, citra biner dapat dibentuk dengan teknik thresholding. Jika g(x, y) adalah sebuah nilai ambang (threshold) batas dari f(x, y) yang terdapat pada gambar 2.2 dengan nilai threshold T. Nilai T digunakan untuk memisahkan antara object dengan backgroundnya, maka hasil threshold dapat ditulis sebagai berikut:

Dokumen terkait