• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Pengendalian Vektor

Pengendalian vektor penyakit sangat diperlukan karena pertimbangan di bawah ini (Kardinan, 2009) :

1. Penyakit belum ada obat ataupun vaksinnya, seperti penyakit yang disebabkan oleh virus

2. Bila ada obat ataupun vaksinnya sudah ada, tetapi kerja obat tadi belum efektif 3. Penyakit sering menimbulkan cacat

4. Penyakit cepat menjalar, karena vektornya bergerak cepat

Masih belum tersedianya obat dan vaksin pencengahan penyakit DBD dan filariasis, maka upaya pencengahan penyakit ini dititikberatkan pada pengendalian vektor penularnya (Aedes, spp) (Kardinan, 2009). Selama jentik masih ada, maka

akan timbul nyamuk penular yang baru. Pada program P2DBD (Pencengahan dan penanggulangan DBD), penyemprotan insektisida dilakukan untuk membatasi penyebaran dan penularan penyakit DBD (Hadinegoro dan Satari, 2004).

Tujuan pengendalian vektor adalah untuk mengurangi atau menekan populasi vektor serendah-rendahnya sehingga tidak berarti lagi sebagai penular penyakit (Margono, 2000). Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2010 mengatakan bahwa maksud dan tujuan upaya pengendalian vektor adalah untuk mencengah dan membatasi terjadinya penularan penyakit arbovirus sehingga penyakit tersebut dapat

dicengah dan dikendalikan.

Menurut Soegijanto (2006), pengendalian vektor dibagi atas 4 cara yaitu : pengendalian kimiawi, pengendalian biologi, pengendalian radiasi dan pengendalian lingkungan.

2.3.1 Pengendalian kimiawi

Sejak abad 21, zat kimia sudah banyak digunakan untuk mengendalikan nyamuk Aedes, spp. Tahun 1960 resistensi terhadap DDT mulai terjadi sehingga

insektisida yang dapat digunakan terhadap nyamuk dewasa Aedes, spp adalah

dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan (spray) terhadap rumah penduduk.

Insektisida untuk larva yaitu golongan organophosfor (temephos) yang dilarutkan dalam air tempat perindukannya (abatisasi) (soegijanto, 2004).

Bentuk pengendalian yang sering dipakai di masyarakat adalah surface spray

(IRS), kelambu berinsektisida, larvasida, space spray (pengkabutan/fogging,

insektisida rumah tangga (penggunaan repellent, anti nyamuk bakar, anti nyamuk elektrik/mat, aerosol, dll) (Kemenkes, 2010). Penggunaan insektisida yang berbahan kimia akan menimbulkan resistensi dan gangguan pada lingkungannya (Chandra, 2007). Oleh karena itu, maka perlu dipatuhi kewaspadaan keamanan yaitu tingkat kecermatan saat menggunakan insektisida, praktik kerja yang aman bagi mereka yang menggunakannya, dan penggunaannya yang tepat baik di dalam maupun disekitar rumah penghuni.

Penggunaan insektisida yang berbahan kimia sebenarnya bagai “pedang bermata dua” artinya bisa menguntungkan sekaligus juga merugikan. Jika digunakan tepat sasaran, tepat waktu, tepat dosis dapat mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatifnya bagi lingkungan dan organisme bukan target. Penggunaan dalam waktu lama dapat mengakibatkan resistensi, seperti penelitian Shinta 2006 di Jakarta dan 2009 di Denpasar dalam Achmadi, dkk, (2010), terjadi resistensi vektor terhadap insektisida yang digunakan.

2.3.2 Pengendalian Biologi

Pengendalian biologi ini diarahkan untuk mengurangi efek pencemaran lingkungan akibat penggunaan insektisida beracun (Chandra, 2007). Pengendalian biologi dilakukan mengggunakan kelompok makhluk hidup, baik dari golongan mikroorganisme, hewan invertebrata atau vertebrata (Soegijanto, 2006).

Keuntungan dari pengendalian secara biologi yaitu tidak adanya kontaminasi kimiawi terhadap lingkungan dan kekhususan terhadap organisme target (sebagai contoh, terbatas hanya pada nyamuk) sedangkan, kerugian dari pengendalian biologi ini adalah mahalnya pemeliharaan organisme, kesulitan dalam penerapan dan produksi serta keterbatasan penggunaan. Pengendalian ini hanya efektif digunakan pada tahap larva nyamuk. Penggunaan metode ini di Asia Tenggara hanya menjadi kegiatan lapangan dan berskala sangat kecil (WHO, 2005).

Pengendalian ini dapat berperan sebagai patogen, parasit, atau pemangsa. Ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia affinis) adalah pemangsa

yang cocok untuk larva nyamuk. Nematoda seperti Romanomarmus dan R.

culiciforax merupakan parasit pada larva nyamuk (Soegijanto, 2006). Beberapa

golongan virus, bakteri, fungi atau protozoa dapat berperan sebagai patogen. Bacillus

thuringiensis (Bt) merupakan species bakteri dari genus Bacillus yang sudah banyak

dikembangkan sebagai insektisida. Ada dua varitas penghasil endotoksin yaitu

Bacillus thuringiensis serotype H-14 (Bt. H-14) dan Bacillus sphaericus (Bs). Bt.H-

2.3.3 Pengendalian Radiasi

Pada penggendalian jenis ini, nyamuk jantan dewasa diradiasi dengan bahan radioaktif sehingga menjadi mandul. Kemudian nyamuk jantan yang sudah mandul itu akan dilepas ke alam bebas sehingga, meskipun kawin dengan nyamuk dewasa betina, nyamuk tersebut tidak akan dapat mengasilkan telur yang fertile. Nyamuk betina hanya kawin satu kali seumur hidup, maka nyamuk betina yang kawin dengan nyamuk jantan yang mandul tadi tidak akan dapat menghasilkan keturunan (Soegijanto, 2004).

Cara radiasi dapat dilakukan pada stadium telur, larva, pupa atau dewasa tetapi, hasil optimum dapat diperoleh apabila radiasi dilakukan pada stadium pupa. Stadium pupa merupakan stadium perkembangan dimana terjadi transformasi/perkembangan organ muda menjadi organ dewasa. Pada stadium ini umumnya spermatogenesis dan oogenesis sedang berlangsung. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa radiasi pada dosis 65 Gy yang dilakukan pada stadium pupa nyamuk A. aegypti sudah bisa memandulkan 98,53% dan 100% dengan

radiasi 70 Gy. Umur pupa pada saat diradiasi memiliki kepekaan yang berbeda-beda, semakin tua, kepekaannya terhadap radiasi akan semakin menurun (Nurhayati, 2005).

2.3.4 Pengendalian Lingkungan

Manajemen lingkungan mencakup semua perubahan yang dapat mencengah atau meminimalkan perkembangbiakan vektor sehingga kontak antara vektor dengan manusia berkurang (WHO, 2005).

Ada beberapa cara pengendalian lingkungan antara lain dengan mencengah nyamuk kontak dengan manusia yaitu dengan memasang kawat kasa pada lubang

ventilasi rumah, jendela dan pintu. Seperti program pemerintah yang dikenal dengan gerakan 3M yaitu : 1) menguras tempat penampungan air dengan menyikat dinding bagian dalam dan menyikat paling sedikit seminggu sekali, 2) menutup tempat penampungan air dengan rapat sehingga nyamuk dewasa tidak dapat masuk, 3) menanam/menimbun barang bekas/sampah yang dapat menjadi tempat perindukan nyamuk (Soegijanto, 2006).

Badan Kesehatan Dunia pada 1982 telah menetapkan 3 jenis manajemen lingkungan (Soegijanto, 2006) :

1. Modifikasi Lingkungan : perubahan fisik jangka panjang dari tempat perindukan nyamuk. Misalnya : pengaturan sistem irigasi, penimbunan tempat-tempat yang dapat menampung air dan tempat-tempat pembuangan sampah, pengaliran air yang tergenang.

2. Manipulasi Lingkungan : perubahan sementara pada tempat perindukan nyamuk sehingga menjadi kondisi yang tidak disukai nyamuk dalam perkembangbiakannya. Misalnya : melubangi pot bunga, mencabuti tumbuhan yang tumbuh di kolam, dll.

3. Perubahan pada habitat atau perilaku manusia : upaya untuk mengurangi kontak manusia dengan vektor patogen.

Dokumen terkait