• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

A. 3. Pengeringan Jagung

Pada umumnya masyarakat hanya memanfaatkan jagung dalam bentuk biji segar dalam pengolahan menjadi makanan. Namun dalam industri pangan maupun pakan, jagung yang digunakan dalam bentuk yang telah dikeringkan. Pengeringan bertujuan untuk memperpanjang umur simpan dengan cara mengurangi kadar air untuk mencegah tidak ditumbuhi oleh mikroorganisme pembusuk. Dalam proses pengeringan dilakukan pengaturan terhadap suhu, kelembaban (humidity) dan aliran udara. Pengeringan jagung dapat dibedakan menjadi dua tahapan yaitu:

1. Pengeringan dalam bentuk gelondong. Pada pengeringan jagung gelondong dilakukan sampai kadar air mencapai 18% untuk memudahkan pemipilan. Penjemuran dapat dilakukan di lantai, dengan alas anyaman bambu atau dengan cara diikat dan digantung. 2. Pengeringan butiran setelah jagung dipipil. Pemipilan dapat dilakukan dengan cara

tradisional atau dengan cara yang lebih modern. Secara tradisional pemipilan jagung dapat dilakukan dengan tangan maupun alat bantu lain yang sederhana seperti kayu, pisau dan lain-lain sedangkan yang lebih modern menggunakan alat pemipil yang disebut corn sheller yang dijalankan dengan motor.

Butiran jagung hasil pipilan masih terlalu basah untuk dijual ataupun disimpan, untuk itu diperlukan satu tahapan proses yaitu pengeringan akhir. Pengeringan jagung dapat dilakukan secara alami atau buatan. Umumnya petani melakukan pengeringan biji jagung dengan penjemuran di bawah sinar matahari langsung, sedangkan pengusaha jagung (pabrikan) biasanya menggunakan alat pengering tipe batch dryer dengan kondisi temperatur udara pengering antara 50°C – 60°C dengan kelembaban relatif 40%.

Pengeringan dengan sinar matahari menjadikan mutu biji lebih baik yaitu menjadi mengkilap. Caranya adalah biji ditebarkan di lantai penjemuran di bawah terik matahari. Pengeringan ini membutuhkan tenaga kerja lebih banyak dan sangat tergantung dengan cuaca. Lama penjemuran dapat lebih dari 10 hari, tergantung dengan cuaca dan lingkungan. Selama penjemuran dilakukan pembalikkan hamparan biji 1-2 jam sekali. Jika cuaca tidak memungkinkan dapat diganti dengan hembusan udara pada pengeringan buatan. Pada tahap awal dengan suhu lingkungan selama 72-80 jam dan diteruskan dengan suhu udara 45-60˚C sampai biji kering.

5 Gambar 2 Pengeringan di bawah matahari langsung

(sumberhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24587/4/Chapter%20II.pdf)

A.

4. Nilai Ekonomi Jagung Hasil Pengeringan

Tanaman jagung memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Melihat peluang dalam produksi jagung nasional belum bisa mencukupi kebutuhan industri nasional, maka potensi pasar jagung sangat besar. Tanaman jagung ini mudah perawatan dan cepat panen. Dalam waktu 3-4 bulan, tanaman jagung sudah dapat dipanen. Tidak dibutuhkan perlakuan khusus dalam merawat tanaman ini. Tanaman jagung juga dapat bertahan terhadap segala macam cuaca, panas-dingin, hujan kering, maupun angin. Untuk kebutuhan industri pangan maupun pakan, jagung harus dikeringkan terlebih dahulu. Oleh karena itu, jagung yang sudah dikeringkan memiliki nilai ekonomi yang tinggi daripada jagung belum dikeringkan. Selain daya simpan yang lebih lama jagung yang sudah kering juga bias diambil minyaknya (dari biji), dibuat tepung (dari biji, dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari tepung biji dan tepung tongkolnya)(Wikipedia Indonesia, 2006).

B. PENGERINGAN

B.1. Teori Pengeringan

Pengeringan merupakan proses pemindahan kadar air dari bahan dan produk pertanian untuk menghasilkan produk yang berkualitas tinggi dan tahan lama untuk disimpan. Selama pengeringan tersebut terjadi dua proses yaitu proses perpindahan panas dari udara pengering ke bahan, dan proses pindah massa uap air dari permukaan bahan ke udara sekitar (Goswarmi, 1986).

Menurut Henderson dan Perry (1976), pengeringan adalah proses pengeluaran air dari suatu bahan pertanian menuju kadar air kesetimbangan dengan udara sekeliling atau pada tingkat kadar air dimana mutu bahan pertanian dapat dijaga dari serangan jamur, aktivitas serangga dan enzim. Umumnya media pengering yang digunakan adalah udara. Udara ini berfungsi antara lain untuk membawa panas masuk dalam sistem, untuk menguapkan, dan kemudian membawa uap air keluar dari sistem. Proses pengeluaran air di permukaan bahan dapat terjadi secara alamiah akibat adanya perbedaan tekanan uap antara bahan dan udara lingkungan di sekitar bahan. Meskipun proses pengeringan terjadi pada tekanan atmosfir, proses pengeringan ini dapat dipercepat dengan

6 memodifikasi kondisi udara lingkungan yaitu dengan pencampuran udara kering dan uap air. Pengkondisian udara laingkungan ini dapat dilakukan dengan pemanasan (heating), pendinginan (cooling), pelembaban (humidifying), penghilangan kelembaban (dehumidifying), dan pencampuran udara berdasarkan karakteristik fisik yang ditunjukkan dalam diagram psikometri (Goswami, 1986).

Proses pengeringan menurut Henderson dan Perry (1976) terdiri dari dua periode yaitu periode pengeringan dengan laju tetap/konstan dan periode dengan laju menurun. Periode pengeringan dengan laju tetap merupakan periode perpindahan massa air yang berasal dari permukaan bahan. Proses ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan uap air antara permukaan bahan dengan udara pengering. Proses ini akan terus berlangsung sampai air bebas pada permukaan telah hilang. Sedangkan pengeringan dengan laju menurun akan berlangsung setelah pengeringan laju konstan selesai. Kadar air diantara kedua periode tersebut disebut dengan kadar air kritis. Pengeringan dengan laju menurun akan berhenti hingga tercapai kadar air kesetimbangan. Kadar air kesetimbangan merupakan kadar air terendah yang dapat dicapai pada suhu dan kelembaban tertentu.

Selama pengeringan berlangsung terjadi penurunan suhu bola kering disertai dengan kenaikan kelembaban mutlak (H), kelembaban relatif (RH), tekanan uap dan suhu pengembunan. Sedangkan suhu bola basah dan entalpi tetap. Ilustrasi aktivitas pengeringan dapat dilihat pada kurva psikrometrik chart pada Gambar 3.

Keterangan :

(1) – (2) = proses pemanasan udara (2) – (3) = proses pengeringan

Tud = suhu udara Tp = suhu pengeringan

Gambar 3. Kurva psikrometrik chart untuk pengeringan

Metode pengeringan pangan maupun non-pangan yang umum dilakukan antara lain adalah pengeringan matahari (sun drying), oven, iradiasi surya (solar drying), microwave, dan pengeringan beku (freeze drying). Pengeringan merupakan metode pengawetan yang membutuhkan energi dan biaya yang cukup tinggi, kecuali pengeringan matahari (sun drying).

RH 1 3 Volume spesifik (m3/kguk) Entalpi (kJ/kgu ) SuhuPengemb unan h1 h2 1 2 Tud Tp K el em b ab an m u tl ak ( k gair /k guk )

7

Pengeringan Matahari (Sun Drying)

Pengeringan matahari (sun drying) merupakan salah satu metode pengeringan tradisional karena menggunakan panas langsung dari matahari dan pergerakan udara lingkungan. Pengeringan ini mempunyai laju yang lambat dan memerlukan perhatian lebih. Bahan harus dilindungi dari serangan serangga dan ditutupi pada malam hari. Selain itu pengeringan matahari sangat rentan terhadap resiko kontaminasi lingkungan, sehingga pengeringan sebaiknya jauh dari jalan raya atau udara yang kotor. Pengeringan matahari tergantung pada iklim dengan matahari yang panas dan udara atmosfer yang kering, dan biasanya dilakukan untuk pengeringan buah-buahan.

Pengeringan Rumah Kaca (Greenhouse)

Pengering efek rumah kaca adalah alat pengering berenergi surya yang memanfaatkan efek rumah kaca yang terjadi karena adanya penutup transparan pada dinding bangunan serta plat absorber sebagai pengumpul panas untuk menaikkan suhu udara ruang pengering. Lapisan transparan memungkinkan radiasi gelombang pendek dari matahari masuk ke dalam dan mengenai elemen-elemen bangunan. Hal ini menyebabkan radiasi gelombang pendek yang terpantul berubah menjadi gelombang panjang dan terperangkap dalam bangunan karena tidak dapat menembus penutup transparan sehingga menyebabkan suhu menjadi tinggi. Proses inilah yang dinamakan efek rumah kaca. (Kamaruddin et al., 1996).

Pengeringan Oven

Pengeringan oven (oven drying) untuk produk pangan membutuhkan sedikit biaya investasi, dapat melindungi pangan dari serangan serangga dan debu, dan tidak tergantung pada cuaca. Namun, pengeringan oven tidak disarankan untuk pengeringan pangan karena energi yang digunakan kurang efisien daripada alat pengering (dehydrator). Selain itu sulit mengontrol suhu rendah pada oven dan pangan yang dikeringkan dengan oven lebih rentan hangus.

Pengeringan Iradiasi Surya (Solar Drying)

Solar drying merupakan modifikasi dari sun drying yang menggunakan kolektor sinar matahari yang didesain khusus dengan ventilasi untuk keluarnya uap air. Energi matahari dikumpulkan menggunakan pengumpul energi yang berupa piringan tipis (flat plate) yang biasanya terbuat dari plastik transparan. Solar drying disebut juga iradiasi surya. Suhu pada pengeringan jenis ini umumnya 20 sampai 30°C lebih tinggi dari pada di tempat terbuka (open sun drying) dengan waktu pengeringan yang lebih singkat. Sistem solar drying juga digunakan pada pengeringan bijian, selain menggunakan sistem batch drying dan continous flow drying.

Pengeringan Beku (Freeze Drying)

Pengeringan beku merupakan salah satu cara dalam pengeringan produk pangan. Tahap awal produk pangan dibekukan kemudian diperlakukan dengan suatu proses pemanasan ringan dalam suatu lemari hampa udara. Kristal-kristal es yang terbentuk selama tahap pembekuan akan menyublim jika dipanaskan pada tekanan hampa udara yaitu berubah bentuk dari es menjadi uap tanpa melewati fase cair (Gaman dan Sherrington, 1981). Pengeringan beku atau sublimasi air dari proses pembekuan makanan menggunakan vakum dan panas digunakan pada beberapa jenis produk pangan seperti daging, ayam, makanan laut, buah, dan sayuran (Frazier dan Westhoff, 1978) dalam Noveni (2009).

8

B.2. Kadar Air

Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air per satuan bobot bahan. Metode pengukuran kadar air jagung ada dua yaitu kadar air basis basah (wet basis) dan kadar air basis kering (dry basis) (Henderson dan Perry, 1976). Kadar air basis basah adalah perbandingan antara berat air dalam bahan pangan dengan berat bahan total. Kadar air basis kering adalah perbandingan berat air dalam bahan dengan berat keringnya (padatan).

= × 100% ……… (1)

M= × 100% ……….. (2)

dimana

m = kadar air basis basah (% bb) M = kadar air basis kering (% bk) Wm = berat air (gram)

Wd = berat bahan kering (gram)

Hubungan antara kadar air basis basah dan kadar air basis kering adalah sebagai berikut:

M= × ... (3)

Kadar air kesetimbangan (Me) adalah kadar air yang menunjukkan kesetimbangan antara laju perpindahan air dari bahan ke udara sama dengan laju perpindahan air dari udara ke bahan. Kadar air ini penting untuk diketahui karena erat kaitannya dengan pengeringan dan penyimpanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar air kesetimbangan antara lain kecepatan udara pengering, suhu udara, kelembaban relatif udara (RH), dan kematangan bahan. Persamaan untuk menentukan kadar air kesetimbangan dikemukakan oleh Henderson dan Perry (1976) sebagai berikut:

1-RH = exp (1-a Meb) ……… (4) dimana

RH = kelembaban udara pada keadaan setimbangan (%) Me = kadar air kesetimbangan (%bk)

a, b = konstanta pengeringan bahan

B.3. Pengertian Laju Pengeringan

Laju pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan tiap satuan waktu atau penurunan kadar air bahan dalam satuan waktu. Penurunan kadar air produk selama proses pengeringan dinyatakan dengan

=

9 dimana

dW/dt = laju pengeringan (%bk/jam) wt = kadar air pada waktu t (%bk) wt+ t = kadar air pada waktu t + t (%bk)

t = selang waktu (jam)

B.4. Efisiensi Pengeringan

Efisiensi energi pada proses pengeringan adalah perbandingan antara total output energi pada sistem pengering dengan input energi yang terpakai oleh produk yang dikeringkan. Besarnya efisiensi pengeringan dapat dituliskan dengan persamaan berikut:

= ………(6)

dimana

np = efisiensi pengeringan (%)

Q0 = output energi yang terpakai oleh produk (kJ) Qi = input energi (kJ)

C. KARAKTERISTIK PENGERINGAN JAGUNG

Perlakuan yang dilakukan dalam pasca panen jagung adalah panen, pengeringan, pemipilan, dan penggilingan.Panen terbaik jagung perlu memperhatikan dua hal, yaitu ketetapan umur panen dan cara panen. Panen pada umur optimum akan memperoleh jagung dengan mutu terbaik, sedangkan panen lebih awal akan menghasilkan jagung dengan kadar butir keriput tinggi dan panen pada fase kelewat matang menyebabkan jagung banyak rusak. Biasanya jagung siap dipanen apabila kadar air biji mencapai 30-40%. Panen jagung dapat dibedakan menjadi dua cara tergantung kondisi wilayah. Pada daerah dengan curah hujan rendah, tongkol dibiarkan tetap pada tanaman hingga kering (kadar air 17-20%), kemudian jagung dipetik dengan meninggalkan kelobot pada tanaman. Sedangkan daerah dengan daerah curah hujan cukup tinggi, petani biasanya memanen jagung ketika masih segar (kadar air 30-40%). Batang jagung dipotong dengan sabit pada ketinggian sejajar pinggang, kemudian jagung diambil dan kelobotnya dikupas (Purwadaria, 1988) dalam Mulyantara (2008). Pengeringan jagung dilakukan dua tahap. Pengeringan pertama bertujuan agar jagung mudah dipipil dan terhindar dari kerusakan akibat kadar air yang tinggi. Pengeringan kedua dimaksudkan untuk menurunkan kadar air jagung sehingga siap disimpan untuk jangka waktu tertentu (Munarso dan Thahir, 2002) dalam Mulyantara(2008). Pada pengeringan butiran (pipilan), kadar air jagung diturunkan sampai kadar air sesuai mutu jagung yang dikehendaki. Standar mutu jagung pipilan yang dikeluarkan oleh Badan Standardidasi Nasional (BSN) dapat dilihat seperti Tabel 1 (Anonim, 1995).

10 Tabel 1.Standar Mutu Jagung Oleh Badan Standardisasi Nasional

Sumber: Standar Mutu Jagung Pipil, Badan Standardisasi Nasional (Anonim 1995)

Pengeringan jagung yang dilakukan ada berbagai macam yaitu pengeringan dengan matahari, diangin-anginkan dan dengan mesin pengering. Effendi (1980) berpendapat pengeringan dengan matahari merupakan cara terbaik, karena dengan penurunan kadar air secara berangsur-angsur tidak menurunkan kualitas biji. Pengeringan jagung yang biasa dilakukan yaitu dengan panas matahari akan tetapi pengeringan tersebut memiliki kelemahan yaitu sangat bergantung dengan cuaca sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama dan jagung banyak yang kotor. Pengeringan dengan panas buatan banyak diaplikasikan di daerah-daerah yang kurang mendapatkan panas matahari atau daerah yang mempunyai curah hujan tinggi. Selain itu pengeringan dengan cara diangin-anginkan dilakukan dengan meletakkan bahan di atas alas jemurakan tetapi tidak dalam keadaan matahari terik.

Harrison et al. (1999) dalam Wilson (2010) meneliti pengaruh pengeringan in-bin biji jagung dengan ketebalan 1.5-2.1 m pada temperature 40-70 oC terhadap daya tumbuh benih. Biji jagung dikeringkan hingga kadar air kurang dari 10% pada temperature 40-45 oC tidak akan merusak baik daya tumbuh, pertumbuhan benih atau produktivitas. Tetapi jika dikeringkan pada 50 oC benih menjadi rusak, dan pada 60 oC mengakibatkan daya tumbuh menjadi nol persen. Sedangkan Chakraverty dan Singh (2001) menyampaikan bahwa suhu udara pengeringan maksimum yang aman untuk pengeringan jagung untuk keperluan benih adalah 43oC, sedangkan untuk bahan makanan 54oC serta untuk pakan ternak sebesar 82oC.

Pengeringan biji jagung untuk benih dilakukan oleh Hossain (2008) dalam Wilson (2010) menggunakan alat pengering matahari-hibrid. Dengan kontrol aliran udara, suhu udara dapat dipertahankan pada suhu 42 ± 1 oC untuk mempertahankan daya perkemcambahan benih jagung. Hasil penelitian menunjukkan daya perkecambahan benih lebih dari 90%.

Pengeringan lapisan tebal biasanya digunakan untuk pengeringan biji-bijian (termasuk jagung) dimana bahan ditumpuk sampai ketinggian tertentu. Udara pengering bergerak dari bawah tumpukan ke bagian atas melewati bahan yang akan dikeringkan. Pengeringan lapisan tebal adalah adalah pengeringan yang di dalam prosesnya terdapat gradient kadar air pada lapisan pengeringan untuk setiap waktu (Henderson dan Perry, 1976). Brooker et al., (1974) menyatakan bahwa pada awal proses pengeringan, pengeringan terjadi pada lapisan bawah. Kemudian selanjutnya proses pengeringan terjadi pada lapisan yang ada di atasnya. Ketika pengeringan telah terjadi pada semua lapisan, semua bahan telah dikeringkan sampai terjadi kesetimbangan dengan udara pengering.

D. HASIL-HASIL PENELITIAN TENTANG PENGERINGAN JAGUNG

Pengeringan merupakan suatu teknik untuk menurunkan kadar air sampai batas aman sehingga tidak ada lagi aktifitas mikroorganisme yang merugikan. Pengeringan sudah banyak dilakukan terlebih mengenai metode. Metode pengeringan sangat diperhatikan karena akan berpengaruh terhadap jenis bahan yang dikeringkan dan kualitas hasil pengeringan. Metode yang

Komopen Utama Persyaratan Mutu (% maks)

I II III IV

Kadar air 14 14 15 17

Butir rusak 2 4 6 8

Butir warna lain 1 3 7 10

Butir pecah 1 4 3 5

11 sesuai dapat meningkatkan efisiensi pengeringan. Metode yang banyak dikembangkan saat ini adalah pengeringan buatan (artificial drying) yang memanfaatkan sumber panas bukan dari matahari atau udara sekitar.

Elfian (1985) menggunakan alat pengering lapisan tipis untuk pengeringan jagung (Zea mays L) dan kedelai (Glycine max L. Merril). Pengeringan dilakukan secara terus menerus dengan kecepatan aliran 0.1 m/detik pada suhu dan RH udara pengering konstan sampai tercapai kondisi kadar air kesetimbangan. Pada pengeringan jagung dengan suhu 400C;RH 65% dan 450C;RH 50%, terlihat adanya tendensi laju pengeringan konstan yang singkat pada awal pengeringan, sedangkan pengeringan dengan suhu 500C;RH 34% dan 550C;RH 26% seluruhnya berlangsung pada laju pengeringan menurun. Perubahan kadar air yang melonjak terjadi selama 3-4 jam pertama. Pengeringan berlangsung sampai perubahan kadar air per satuan waktu mendekati nol atau kondisi bahan telah mencapai kadar air kesetimbangan. Kadar air kesetimbangan tercapai selama 32 jam.

Surbekti (1986) mengembangkan alat pengering jagung model sumur untuk tingkat pedesaan. Pada percobaan tanpa beban dengan bahan bakar arang sekam, tempurung kelapa dan kayu bakar diperoleh bahwa pembakaran dengan tempurung kelapa menghasilkan penyebaran suhu yang lebih seragam dan tingkat suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar yang diuji coba lainnya. Dari hasil pengujian efisiensi pengeringan untuk RH 84% dan RH 90% adalah berturut-turut sebesar 13.89% dan 10.2%. Lama pengeringan adalah 11 jam dan 18 jam pada RH 90%. Kurva laju penurunan kadar air lebih mendekati bentuk eksponen negative daripada bentuk linier.

Kuncoro (1993) melakukan pengeringan kacang tanah, jagung dan kedelai menggunakan alat pengering tipe konveksi bebas. Jagung yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung tongkol dan jagung pipilan. Suhu untuk pengeringan dipertahankan pada kisaran 39-440C (rak terbawah) dengan bahan bakar tempurung kelapa. Jagung tongkol yang bobotnya 152 kg (input) dan berkadar air 34.70% bb membutuhkan waktu 54 jam untuk mencapai kadar air 19.50% dan menghasilkan 66.67% kg tempurung kelapa. Jagung pipilan yang bobotnya 92.41 kg (input) dan berkadar air 19.51% bb membutuhkan waktu pengeringan 34 jam untuk menurunkan kadar air menjadi 11.30% bb dan mengkomsumsi bahan bakar sebanyak 40.17 kg. Pengeringan ini mempersingkat waktu 4-5 hari jam kerja dibandingkan proses penjemuran (saat hujan). Laju pengeringan jagung tongkol 0.74% bk/jam dan jagung pipil 0.58% bk/jam. Efisiensi pemanasan dan efisiensi pengeringan total untuk jagung tongkol dan pipil masing-masing adalah 41,42%;16.59%, dan 35.58%;2.31%.

Jubaedah (2000) menggunakan alat pengering tipe bak untuk proses pengeringan jagung dengan terlebih dahulu dilakukan proses tempering untuk menyeragamkan kadar air akhir bahan. Bahan yang digunakan adalah jagung pipilan varietas hibrida dengan perlakuan suhu plenum dipertahankan konstan 700C, kecepatan aliran udara 0.178 m/detik dan dua level ketebalan tumpukan yaitu 60 cm dan 75 cm. Percobaan tempering dilakukan selama 12 jam. Pengeringan jagung dengan ketebalan 60 cm dari kadar air 26.8% bb hingga 14.1% bb memerlukan waktu 6 jam dengan penyusutan bahan akibat pengeringan sebesar 8.85 kg, untuk pengeringan dengan ketebalan 75 cm dari kadar air awal 27.3% bb hingga kadar air akhir 14.6% bb memerlukan waktu 7 jam dengan penyusutan bahan akibat pengeringan sebesar 11.25 kg.

E. TEORI PINDAH PANAS

Pindah panas diartikan sebagai pemancaran energi dari suatu daerah ke daerah lain karena perbedaan suhu yang terjadi antara kedua daerah tersebut. Ada tiga cara pindah panas yang dikenal yaitu konduksi, konveksi dan radiasi. Konduksi adalah pindah panas di dalam bahan atau dari suatu

12 bahan ke dalam yang lain dengan saling menukarkan energi kinetik antara molekul tanpa ada pergerakan dari molekul tersebut. Cara pindah panas ini menjelaskan aliran panas di dalam bahan pangan padat selama pemanasan atau pendinginan. Konveksi adalah transfer energi yang disebabkan oleh adanya pergerakan fluida panas. Dalam cara ini, energi dipindahkan dengan kombinasi antara konduksi panas, penyimpanan panas dan adanya pencampuran bahan. Sutau contoh konveksi yaitu pindah panas ke produk di dalam alat penukar panas tabung dimana panas dipindahkan dari dinding ke cairan secara konduksi, penyimpanan panas dan kejadian pencampuran produk. Sedangkan pindah panas karena radiasi timbul ketika energi diangkut dengan gelombang elektromagnetik dari suatu bahan bersuhu tinggi ketempat bersuhu rendah. Perbedaan suhu antara karakteristik permukan dari kedua bahan sangat penting dalam cara pindah panas ini (Singh dan Helman, 1984) dalam Hartini (2010).

Pindah panas secara konveksi adalah pindah panas yang terjadi karena adanya pergerakan molekul dari bahan yang dapat mengalir (fluida). Mekanisme ini memindahkan panas pada saat molekul-molekul berpindah dari satu titik ke titik lainnya dan menukarkan energi dengan molekul yang lain pada lokasi yang lain pula. Gerakan molekul ini ditimbulkan oleh perubahan-perubahan densitas yang terjadi dalam fluida yang dipacu oleh adanya perbedaan suhu pada titik-titik yang berbeda dalam fluida (Toledo, 1991) dalam Hartini (2010).

Pindah panas konveksi dinyatakan oleh Singh dan Helman (1984) sebagai laju panas dari panas yang berubah pada interfase antara fluida dan bahan bakar padat tempat dimana panas akan dialirkan. Laju pindah panas konveksi sebanding dengan perbedaan suhu. Koefisien pindah panas konveksi merupakan salah satu sifat termofisik yang sangat berpengaruh terhadap proses pindah panas antara udara pengering dengan bahan tetapi tidak mencirikan karakeristik dari produk tersebut. Dengan mengetahui nilai dan simulasi koefisien pindah panas konveksi (h) maka dapat ditentukan tingkat suhu dan kecepatan udara yang sesuai untuk pengeringan pada momoditi tertentu.

Koefisien pindah panas konveksi bukan merupakan sifat benda, nilainya berubah-ubah walaupun benda padat dan fluida yang terlibat sama. Nilai koefisien pindah panas konveksi dipengaruhi oleh kecepatan aliran fluida, berat jenis, kekentalan, kondutivitas panas, panas jenis fluida, geometri dan ada tidaknya buoyancy (Syarief dan Lun A, 1992) dalam Darmawan,(2003).

Dalam pindah panas secara konveksi faktor-faktor yang ikut berpengaruh antara lain adalah nilai koefisien pindah panas secara keseluruhan, suhu dari sumber panas yang mengalir di dalam serta suhu dari lingkungan sekitarnya. Nilai koefisien pindah panas keseluruhan (U) dapat dipengaruhi oleh nilai tahanan panas, koefisien pindah panas konveksi. Untuk nilai koefisien pindah panas konveksi dipengaruhi oleh bilangan Nusselt, konduktivitas udara serta luas penampang. Besarnya bilangan Nusselt dipengaruhi oleh bilangan Grasshorf dan Prandtl yang besarnya tergantung dari suhu pada bahan dan suhu pada lingkungan sekitar.

Sedangkan pindah panas secara radiasi dipengaruhi oleh luas penampang, nilai emisivitas serta perbedaan antara suhu dinding dengan suhu lingkungan sekitar.

Dokumen terkait