• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN TENTANG HAK TANGGUNGAN, JAMINAN DAN KEPAILITAN

A. Tinjauan tentang perjanjian

1. Pengertian, Asas dan Syarat Perjanjian

a. Pengertian Perjanjian

Perjanjian adalah suatu hal yang sangat penting karena menyangkut kepentingan para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu hendaknya setiap perjanjian dibuat secara tertulis agar diperoleh suatu kekuatan hukum, sehingga tujuan kepastian hukum dapat terwujud. Pasal 1313 KUHPerdata memberikan definisi sebagai berikut suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut R. Setiawan rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut kurang lengkap, karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja dan juga sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan ―perbuatan‖ tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Beliau memberikan definisi sebagai berikut :14

1) Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;

14 R. Setiawan, 1994, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta, hlm. 49.

2) Menambahkan perkataan ―atau saling mengikatkan dirinya‖ dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Sehingga menurut beliau perumusannya perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Menurut Rutten, rumusan perjanjian menurut Pasal 1313 KUHP mengandung beberapa kelemahan. Karena hanya mengatur perjanjian sepihak dan juga sangat luas karena istilah perbuatan yang dipakai akan mencakup juga perbuatan melawan hukum15. Lebih lanjut menurut R.

Wirjono Prodjodikoro mengartikan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara kedua belah pihak, dalam mana satu pihak berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu16. Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313 KUHPerdata sebagai berikut, bahwa yang disebut perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan17. Para sarjana hukum perdata, pada umumnya menganggap definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata itu tidak lengkap dan terlalu luas. R.

Subekti yang menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu

15 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari Undang-Undang), Bandung : Mandar Maju, 1994, hal. 46.

16 R. Wiryono Projodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung, Sumur, 1993, hal. 9.

17 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992), hlm. 78.

saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu hubungan perikatan18

Ada dua macam teori yang membahas tentang definisi perjanjian.

Doktrin teori lama menyebutkan, yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum yang berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.

Melihat definisi tersebut telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum. Unsur-unsur perjanjian menurut teori lama yaitu:

1) Adanya suatu perbuatan hukum;

2) Perbuatan hukum tersebut terjadi karena adanya kerjasama antara dua orang atau lebih;

3) Adanya persesuaian kehendak dari beberapa orang;

4) Persesuaian kehendak (wilsverklaring) yang sesuai itu harus saling tergantung antara satu dengan lainnya.

5) Kehendak itu ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum;

6) Akibat hukum itu untuk kepentingan pihak yang satu atas beban pihak yang lain atau timbal balik;

7) Persesuaian kehendak harus dipublikasikan atau dinyatakan.19

Perjanjian memiliki beberapa unsur di dalamnya. Unsur-unsur yang ada disana dapat kita kelompok-kelompokkan dalam beberapa kelompok, yaitu sebagai berikut20:

18 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa , Jakarta 1987, hlm. 1.

19 Salim, H.S, 2003, Hukum Kontrak (Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak), Binacipta, Jakarta, hlm. 25

20 J. Satrio, 2006, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya, Bandung, hlm. 20

1) Unsur Essensialia

Essensialia adalah unsur perjanjian yang harus selalu ada di dalam suatu perjanjian. Unsur essensialia merupakan unsur mutlak, di mana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak mungkin ada.

Contohnya : dalam perjanjian jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan harga karena tanpa kesepakatan mengenai barang dan harga dalam perjanjian jual beli, perjanjian tersebut batal demi hukum karena tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan.

2) Unsur Naruralia

Naturalia adalah unsur perjanjian meskipun tidak diperjanjikan atau diatur oleh para pihak dalam perjanjian tapi dianggap ada karena undang-undang yang mengaturnya. Contohnya menanggung cacat tersembunyi bagi penjual.

3) Unsur Accidentalia

Accidentalia adalah unsur perjanjian apabila dimaksudkan dalam perjanjian harus disebut dalam perjanjian atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya.

Contohnya : pengaturan mengenai denda keterlambatan dalam klausul di perjanjian jual beli angsuran.

Menurut Prof Sudikno, perjanjian adalah ―hubungan hukum antara kedua belah pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat/ menimbulkan suatu akibat hukum‖.21

21 Sudikno Mertokusumo, op.cit, hlm 97

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari perjanjian ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan antara dua orang yang membuatnya. Bentuk perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang ditulis atau diucapkan.22 Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan sedangkan definisi perikatan itu sendiri adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang, atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.23

b. Asas-asas Perjanjian

Asas perjanjian adalah latar belakang atau aturan dasar yang mendasari pengaturan mengenai perjanjian. Dalam perjanjian dikenal beberapa asas, antara lain :

1) Asas Konsensualisme

Dasar hukumnya adalah Pasal. 1320 butir 1 KUHPerdata. Asas ini berhubungan dengan saat lahirnya perjanjian. Perjanjian lahir dengan adanya kata sepakat mengenai essentialia perjanjian. Kata sepakat terjadi ketika ada persesuaian kehendak atau persesuaian kemauan antara para

22 R. Subekti, 1995,Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, , hlm. 1

23 Ibid., hlm. 1

pihak dengan bertemunya penawaran dan penerimaan. Dalam beberapa literatur, sepakat juga disebut sebagai adanya perizinan yang bebas.

Kedua belah pihak harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan, karena kemauan yang disimpan dalam hati sanubari tidaklah berarti di dalam hukum.

Lahirnya sepakat tersebut yaitu pada saat pernyataan kemauan. Ada lima cara terjadinya pernyataan persesuaian kehendak, yaitu dengan :

a) Bahasa yang sempurna dan tertulis b) Bahasa yang sempurna secara lisan

c) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.

Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya.

d) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya

e) Diam atau membisu asal dapat diterima oleh pihak lawannya.24

Isyarat tubuh atau juga secara diam-diam misalnya jika seseorang naik bus. Secara diam-diam telah meletakkan kewajiban pada penumpang untuk membayar harga karcis dan bagi kondektur untuk mengantar ke tempat tujuan. Dalam pelaksanaannya seperti disebutkan diatas, untuk lahirnya perjanjian atau sepakat tidak diperlukan formalitas-formalitas tertentu. Sepakat atau kemauan yang bebas tersebut sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah diangggap tidak ada atau

24 Sudikno Mertokusumo, 1987, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 7

ada kemungkinan dibatalkan jika perjanjian itu terjadi karena paksaan, kekhilafan ataupun penipuan. Hampir seluruh perjanjian dalam Buku III KUHPerdata merupakan perjanjian konsensual. Pengecualian terhadap asas ini ialah pada perjanjian formil. Perjanjian formil adalah perjanjian yang dalam pembuatannya menggunakan formalitas-formalitas tertentu sesuai dengan undang-undang atau diadakan secara tertulis misalnya perjanjian perdamaian. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang tidak hanya memerlukan kata sepakat saja, tetapi juga mensyaratkan adanya penyerahan atas benda yang menjadi objek perjanjian. Bahwa perjanjian itu sudah sah dalam arti sudah mengikat, apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Misalnya jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa. Pada perjanjian jual-beli, bila sudah terjadi kesepakatan mengenai barang dan harga maka perjanjian itu sudah lahir dengan segala akibat hukumnya.

2) Asas Kebebasan Berkontrak.

Dasar hukumnya adalah Pasal 1338 KUHPerdata. Hal ini dapat dilihat dengan digunakannya kata-kata ―Semua perjanjian yang dibuat sacara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya―. Asas ini berkaitan dengan isi, bentuk, dan jenis perjanjian.

Perjanjian dilakukan untuk membuat alat bukti ketika melakukan kerja sama dengan orang lain.

Asas kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di antaranya:

a) Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;

Setiap orang bebas untuk melakukan kerja sama dengan orang lain atau bekerja sendiri, sehingga jika orang tersebut mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, tidak perlu membuat perjanjian.

b) Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;

Setiap orang bebas memilih dengan siapa ingin bekerja sama atau mengikatkan diri.

c) Bebas menentukan isi atau klausal perjanjian;

Setiap orang bebas menentukan isi perjanjian, namun terbatas karena terdapat 3 hal yang tidak boleh dilakukan berdasarkan pasal 1337 KUHPerdata, antara lain:

i. Perjanjian tidak boleh mengenai hal-hal yang dilarang undang-undang,

ii. Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, iii. Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusialaan.

iv. Bebas menentukan bentuk perjanjian;

Perjanjian bebas dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis.

Perjanjian dalam bentuk tertulis dapat dibuat dengan akta otentik atau akta di bawah tangan. Akta otentik memiliki ciri, antara lain:

dibuat dengan campur tangan pejabat yang berwenang, bentuknya

ditentukan oleh undang-undang, dan harus dibuat di wilayah kerja pejabat yang bersangkutan. Akta yang dibuat di luar wilayah kerja akan menghilangkan sifat otentisitas sehingga menjadi akta di bawah tangan meskipun dibuat oleh notaris.

v. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.25

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan perjanjian. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUHPer yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya, kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa. Hal ini sesuai dengan hukum perjanjian yang menganut sistem terbuka. Perkembangan hukum yang semakin dinamis dan semakin kompleks membuat hubungan hukum perjanjian antar manusia juga semakin bertambah, sehingga pengaturan dalam undang-undang juga tidak ada. Kenyataan tersebut yang menjadikan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian sangat penting, karena setiap perjanjian yang telah memenuhi syarat sah dengan tidak melanggar undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum maka sah disebut sebagai perjanjian.

25 R.M Suryodiningrat, 1985, Asas-Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, hlm 16

Jadi asas kebebasan berkontrak dipengaruhi oleh pasal 1320 dan 1337 KUHPer. Yakni tidak bebas mutlak, tetapi tetap harus memenuhi syarat sah perjanjian dan juga tidak melanggar kausa yang dilarang oleh undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, ada banyak sekali jenis perjanjian yang kemudian dibagi menjadi dua golongan besar yaitu perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama merupakan perjanjian yang sudah diatur secara khusus oleh pembentuk undang-undang dan diberi nama resmi. Perjanjian bernama terdiri dari

i) Perjanjian yang terdapat dalam Buku III KUH Perdata Bab V — XVIII. Contohnya: jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, perjanjian kerja, persekutuan perdata,badan hukum. Hibah, penitipan barang, pinjam-pakai, pinjaman-pakai habis, bunga tetap, persetujuan untung-untungan, pemberian kuasa, penanggung dan perdamaian ii) Perjanjian yang diatur dalam undang-undang khusus. Contoh:

perseroan terbatas, perjanjian pengangkutan udara, koperasi, dan yayasan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang belum ada hukum tambahannya sehingga kita boleh memberikan nama pada perjanjian tersebut misalnya perjanjian hagi hasil, perjanjian kredit, leasing, waralaba dan sebagainya

Kebebasan berkontrak dibatasi dengan peraturan umum yang tercantum dalam pasal 1337 KUHPerdata juga dibatasi dengan peraturan

khusus yang tercantum dalam peraturan-peraturan pemaksa atau dibatasi dalam perjanjian itu sendiri.

3) Asas mengikatnya suatu perjanjian (Pacta Sun Servanda)

Setiap orang yang membuat perjanjian, terikat untuk memenuhi kontrak tersebut yang berisi janji-janji dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Asas ini berhubungan erat dengan akibat hukum suatu perjanjian. Asas yang diatur alam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dalam kalimat ―Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.‖ tersebut mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat secara sah mempunyai kekuatan mengikat seperti undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Hal ini mengandung arti bahwa para pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian tersebut. Lebih jauh, pihak yang satu tidak dapat melepaskan diri secara sepihak dari pihak lain.

Dari pengertian tersebut diatas dapat diketahui bahwa asas pacta sunt servanda ini adalah merupakan asas kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (2) yang menyatakan bahwa

―persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu‖. Asas kepastian hukum ini dapat dipertahankan sepenuhnya apabila dalam suatu perjanjian kedudukan para pihak seimbang dan masing-masing pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian.

Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

4) Asas Itikad Baik

Setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik sebagaimana diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan. Itikad baik memiliki 2 (dua) arti :

a) Itikad baik dalam arti subyektif adalah sikap batin atau kejujuran. Hal ini terkait dengan kejujuran seseorang pada saat dimulainya hubungan hukum.

b) Itikad baik dalam arti obyektif adalah perilaku yang dapat dilihat oleh orang. Perjanjian dalam pelaksanaannya harus didasarkan pada norma kepatutan dan kesusilaan.

Itikad baik yang dimaksud oleh pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata ialah itikad baik dalam arti obyektif. Oleh karena itu, pelaksanaan perjanjian harus sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan sebagai itikad baik dalam arti obyektif.

5) Asas Kepribadian (Personalitas)

Asas ini berhubungan dengan subyek dalam perjanjian. Asas kepribadian dalam KUHPerdata diatur dalam pasal 1315 dan pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan ―pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan suatu perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri‖. Maksud dari ketentuan itu adalah untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingannya sendiri. Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya. Jadi, perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

Pengecualian terhadap berlakunya asas kepribadian yaitu mengenai janji untuk kepentingan pihak ketiga (derdenbeding) yang diatur di dalam pasal 1317 KUHPerdata. Janji untuk kepentingan pihak ketiga hanya mungkin dalam hal jika seseorang memberi sesuatu kepada orang lain dan jika seseorang dalam perjanjian membuat sesuatu janji untuk kepentingan diri sendiri yang harus diartikan sebagai menuntut sesuatu hak bagi diri sendiri.

Ketentuan Pasal 1318 KUHPerdata, merupakan perluasan terhadap asas kepribadaian mengenai pihak-pihak yang mengadakan perjanjian yaitu melipi ahli warisnya dan orang-orang yang memperolaeh hak secara khusus dari padanya. Hak dan kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian diwarisi pula oleh para ahli warisnya. Hak yang secara khusus diperoleh

ahli waris tersebut, hanya diperoleh hak-hak saja sedangkan kewajibannya tidak beRpindah dari pihak yang mengadakan perjanjian.

c. Syarat Perjanjian

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Syarat-syarat sahnya perjanjian ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata, adalah sebagai berikut:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Sepakat berarti ada kesesuaian kehendak antara dua pihak yang mengadakan hal-hal pokok dari perjanjian. Namun kesamaan kehendak saja belum melahirkan perjanjian, karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi orang lain, dan harus dapat dimengerti oleh pihak lain.26

Macam-macam teori kesepakatan antara lain :

a) Teori Pernyataan (Utingstheorie), kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Jadi dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap kesepakatan terjadi secara otomatis.

b) Teori Pengiriman (Verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram.

26 J.Satrio, op.cit, hlm. 129

c) Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie), kesepakatan terjadi apabila yang menawarkan itu mengetahui adanya penerimaan, tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung).

d) Teori Penerimaan (Ontvangstheorie), kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. Se b e l u m d i t e r i m a n y a jawaban atas tawaran tersebut, kata sepakat dianggap belum terjadi, sehingga persyaratan untuk sahnya suatu kontrak dianggap belum terpenuhi.

Sepakat yang dimaksud adalah mengenai essentialia perjanjian. Yaitu sepakat yang bebas, artinya sepakat yang terjadi bukan karena adnya hal-hal sebagai berikut :

a) Kekhilafan (dwaling)

Kekhilafan ada dua macam :

i. Error in persona yaitu khilaf dengan siapa seseorang mengikatkan diri.

ii. Error in substansia yaitu kekhilafan dengan barang yang dijadikan objek perjanjian.

b) Paksaan (dwang)

Paksaan (dwang) yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1324 KUHPerdata telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian

rupa menakutkan salah satu pihak, merugikan harta kekayaan, dan kekayaannya terancam dengan kerugian yang nyata.

c) Penipuan (bedrog)

Yaitu diatur dalam pasal 1328 KUHPerdata yaitu bila terdapat tipu muslihat yang digunakan oleh salah satu pihak sedemikian rupa, terang, dan nyata sehingga pihak yang lain tidak akan mau mengadakan suatu perjanjian jika pihak yang melakukan penipuan itu tidak menggunakan tipu muslihatnya.

Penipuan tidak cukup hanya dengan kata-kata saja, tetapi harus disertai dengan tindakan-tindakan tertentu.

d) Penyalahgunaan keadaan (misbruik van de omstandigheden)

Penyalahgunaan keadaan terjadi kalau salah satu pihak dalam perjanjian berdasarkan keunggulan secara ekonomis memaksakan kehendaknya atau melakukan suatu tekanan kepada pihak lain untuk menyetujui perjanjian.

2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Dalam pasal 1329 KUHPerdata dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Dalam pasal 1330 sub 2 KUHPerdata disebutkan bahwa yang termasuk orang yang tidak cakap adalah semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang untuk membuat sebuah perjanjian tertentu. Orang-orang yang tidak cakap tersebut antara lain :

a) Orang yang belum dewasa

Dalam pasal 330 KUHPerdata dinyatakan bahwa orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum menikah. Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang dinyatakan dalam pasal 50 ayat (1) bahwa anak yang belum dewasa adalah yang belum mencapai 18 tahun. Pengaturan lain yaitu pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 pasal 1 ayat (1) Tentang Perlindungan Anak bahwa seorang anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, dan yang masih dalam kandungan.

b) Orang-orang yang berada dibawah pengampuan. Dasarnya yaitu pasal 433 KUHPerdata, yaitu karena gila, dungu, mata gelap, lemah akal dan pemborosan.27

c) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 dalam pasal 39 ayat (1) menyebutkan batas kedewasaan adalah 18 tahun atau telah menikah ,berdasarkan asas ―lex apriori derogat lex posteori‖ (hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama) jadi berdasarkan hal tersebut maka batas usia kedewasaan 18 tahun atau sudah menikah tersebut yang dipakai

3) Suatu hal tertentu

27 Ibid, hlm. 283

Suatu hal tertentu merupakan objek perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi dalam hal ini dapat diartikan sebagai suatu hal yang harus dilaksanakan oleh pihak yang berjanji atau dalam hal para pihak saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu dalam perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnyadapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlah boleh tidak ditentukan (disebutkan) tetapi asal dapat dihitung dan ditetapkan, demikian ditentukan oleh Pasal 1333 KUHPerdata. Kemudian oleh Pasal 1332 KUHPerdata dikatakan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat dijadikan objek perjanjian.

Suatu hal tertentu sebagai salah satu syarat perjanjian jika tidak terpenuhi dalam perjanjian maka perjanjian itu dikatakan batal demi hukum (nuul and void). Sesuai dengan syarat obyektif suatu hal tertentu tersebut maka bila tidak dipenuhi perjanjian batal demi hukumn.

Pengertian hal tertentu dalam hukum perikatan adalah prestasi (kewajiban yang mesti dipenuhi oleh ke dua pihak atau lebih) yang terjadi dalam perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1234 KUHPer prestasi itu dapat berupa:

a) Menyerahkan sesuatu;

b) Berbuat sesuatu;

c) Tidak berbuat sesuatu.

Apa yang ditegaskan dalam Pasal 1234 KUHPer, bukanlah bentuk prestasi melainkan cara melakukan prestasi itu. Bentuk prestasi yang sebenarnya adalah barang yang mesti diserahkan, jasa dengan cara berbuat

Apa yang ditegaskan dalam Pasal 1234 KUHPer, bukanlah bentuk prestasi melainkan cara melakukan prestasi itu. Bentuk prestasi yang sebenarnya adalah barang yang mesti diserahkan, jasa dengan cara berbuat

Dokumen terkait