• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

3. Pengertian Gaya Bahasa

Keraf (2004:112) mengemukakan bahwa gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah.

Gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Pendek kata penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu (Dale [et all], 1971 : 220). Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut : kejujuran, sopan-santun, dan menarik (Keraf, 1985 : 113).

Jadi gaya bahasa merupakan ilmu kebahasaan yang mempunyai ciri yang khas yakni mengandung unsur keindahan serta unik dalam bahasanya. Pengarang mengungkapkan bahasa dalam gaya bahasa menggunakan bahasa yang menarik dan sopan dalam penyampaian supaya diperoleh bahasa yang baik pula.

4. Jenis-jenis Gaya Bahasa

Tarigan (1985:6) mengemukakan bahwa gaya bahasa dapat dikategorikan dalam berbagai cara. Lain penulis lain pula klasifikasi yang dibuatnya. Ada sekitar 60 buah gaya bahasa yang dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok besar, yaitu gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan.

Keraf (2004 :115) mengemukakan bahwa jenis-jenis gaya bahasa : “Pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat tentang gaya bahasa sejauh ini sekurang-kurangnya dapat dibedakan, pertama dilihat dari segi nonbahasa, dan kedua dilihat dari segi bahasanya sendiri.”

Dilihat dari segi nonbahasa, style (gaya bahasa) dapat dibagi atas tujuh pokok, yaitu berdasarkan pengarang, masa, medium, subjek, tempat, hadirin, dan tujuan. Dilihat dari segi bahasanya, gaya bahasa dibedakan berdasarkan (1) pilihan kata, (2) nada yang terkandung dalam wacana, (3) struktur kalimat, dan (4) langsung tidaknya makna.

1. Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata

Keraf (2004 : 117) mengemukakan bahwa gaya bahasa berdasarkan pilihan kata :

“mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat”.

Dengan kata lain, gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situai tertentu.

resmi (bukan bahasa resmi), gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan.

Perbedaan antara gaya bahasa resmi dan tak resmi sebenarnya bersifat relatif. Antara kedua ekstrim ini masih terdapat bermacam-macam perbedaan warna yang berturut-turut akan masih mengandung unsur-unsur dari gaya sebelumnya, tetapi sementara itu sudah mengandung juga unsur-unsur dari gaya tingkat berikutnya.

2. Gaya bahasa berdasarkan nada

Keraf (2004 : 121) mengemukakan bahwa gaya bahasa berdasarkan nada: “ didasarkan pada sugesti yang dipancarkan dari rangkaian kata-kata

yang terdapat dalam sebuah wacana. Sering kali sugesti ini akan lebih nyata kalau diikuti dengan sugesti suara dari pembicara, bila sajian yang dihadapi adalah bahasa lisan”.

Karena nada itu pertama-tama lahir dari sugesti yang dipancarkan oleh rangkaian kata-kata, sedangkan rangkaian kata-kata itu tunduk pada kaidah-kaidah sintaksis yang berlaku, maka nada, pilihan kata, dan struktur kalimat sebenarnya berjalan sejajar. Yang satu akan mempengaruhi yang lain. Dengan latar belakang ini, gaya bahasa dilihat dari sudut nada yang terkandung dalam sebuah wacana, dibagi atas : gaya yang sederhana, gaya mulia dan bertenaga, serta gaya menengah.

3. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat

Keraf (2004 : 124) mengemukakan bahwa gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat:

“struktur sebuah kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Struktur kalimat disini adalah kalimat bagaimana tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut”.

Ada kalimat yang bersifat periodik, bila bagian yang terpenting atau gagasan yang mendapat penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Ada kalimat yang bersifat kendur, yaitu bila bagian kalimat yang mendapat penekanan ditempatkan pada awal kalimat. Bagian-bagian yang kurang penting atau semakin kurang penting dideretkan sesudah bagian yang dipentingkan tadi. Jenis yang ketiga adalah kalimat berimbang, yaitu kalimat yang mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang kedudukannya sama tinggi atau sederajat.

Berdasarkan ketiga macam struktur kalimat sebagai yang dikemukakan di atas, maka dapat diperoleh gaya-gaya bahasa sebagai berikut: klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, repetisi.

Pengelompokkan gaya bahasa dengan menggunakan teori dari Gorys Keraf di atas digunakan karena banyak teori gaya bahasa yang sesuai dengan gaya bahasa yang ditemukan dalam slogan iklan.

4. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna

Keraf (2004 :129) mengemukakan bahwa gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu :

“apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Bila acuan yang digunakan itu masih mempertahankan makna dasar, maka bahasa itu masih bersifat polos (makna denotatif). Tetapi bila sudah ada perubahan makna, entah berupa makna konotatif atau sudah menyimpang jauh dari makna denotatifnya, maka acuan itu dianggap sudah memiliki gaya sebagai yang dimaksudkan disini”.

Gaya bahasa berdasarkan ketidakberlangsungan makna ini biasanya disebut sebagai trope atau figure of speech. Istilah trope sebenarnya berarti

“pembalikan” atau “penyimpangan”. Kata trope lebih dulu populer sampai dengan abad XVIII. Karena ekses yang terjadi sebelumnya, trope dianggap sebagai penggunaan bahasa yang indah dan menyesatkan. Sebab itu, pada abad XVIII istilah itu mulai diganti dengan figure of speech.

Terlepas dari konotasi kedua istilah itu, kita dapat mempergunakan kedua istilah itu dengan pengertian yang sama, yaitu suatu penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa, entah dalam (1) ejaan, (2) pembentukan kata, (3) konstruksi (kalimat, klausa, frasa), atau (4) aplikasi sebuah istilah, untuk memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Trope atau figure of speech dengan demikian memiliki bermacam-macam fungsi: menjelaskan, memperkuat, menghidupkan, obyek mati, menstimulasi asosiasi, menimbulkan gelak ketawa, atau untuk hiasan.

Gaya bahasa yang disebut trope atau figure of speech dalam uraian di atas dibagi atas dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris, yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna. Macam-macam gaya bahasa retoris seperti yang dimaksud di atas adalah : aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis, apastrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufemismus, litotes, histeron proteron, pleonasme, perifrasis, prolepsis pertanyaan retoris, silepsis, koreksio, hiperbola, paradoks, oksimoron. Gaya bahasa kiasan (Keraf, 2004:136) terbagi menjadi : persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel

dan fabel, personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, lironi, sinisme, dan sarkasme, satire, inuendo, pun atau paronomasia.

Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandang. Oleh sebab itu sulit diperoleh kata sepakat mengenai suatu pembagian yang bersifat menyeluruh dan dapat diterima oleh semua pihak. Pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat tentang gaya bahasa sejauh ini sekurang-kurangnya dapat dibedakan, pertama, dilihat dari segi nonbahasa, dan kedua dilihat dari segi bahasanya sendiri. Untuk melihat gaya secara luas, maka pembagian berdasarkan masalah nonbahasa tetap diperlukan. Tetapi untuk memberi kemampuan dan ketrampilan, maka uraian mengenai gaya dilihat dari aspek kebahasaan akan lebih diperlukan.

Ada bermacam gaya bahasa dan ada beragam pula cara pengelompokkannya. Menurut Tarigan (1985:6), bagian jenis gaya bahasa menjadi 4 yakni sebagai berikut.

1. Gaya Bahasa Perbandingan

Ke dalam kelompok gaya bahasa perbandingan ini paling sedikit termasuk sepuluh jenis gaya bahasa, yaitu: Perumpamaan, Metafora, Personifikasi, Depersonifikasi, Alegori, Antitesis, Pleonasme dan tautologi Perifrasis, Antisipasi atau prolepsis, Koreksio atau epanortesis.

2. Gaya Bahasa Pertentangan

Ke dalam kelompok gaya bahasa pertentangan ini paling sedikit termasuk dua puluh jenis gaya bahasa, yaitu Hiperbola, Litotes, Ironi,

Oksimoron, Paronomasia, Paralipsis, Zeugma dan silepsis, Satire, Inuendo, Antifrasis, Paradoks, Klimaks, Antiklimaks, Apostrof, Anastrof atau inversi, Apofasis atau preterisio, Histeron proteron, Hipalase, Sinisme, Sarkasme.

3. Gaya Bahasa Pertautan

Ke dalam kelompok gaya bahasa pertautan ini paling sedikit termasuk tiga belas jenis gaya bahasa, yaitu: Metonimia, Sinekdoke, Alusi, Eufemisme, Eponim, Epitet, Antonomasia, Erotesis, Paralelisme, Elipsis, Gradasi, Asindenton, Polisindenton.

4. Gaya Bahasa Perulangan

Ke dalam kelompok gaya bahasa perulangan ini paling sedikit termasuk dua belas jenis gaya bahasa, yaitu: Aliterasi, Asonansi,. Antanaklasis, Kiasmus, Epizeukis, Tautotes, Anafora, Epistrofa, Simploke, Mesodiplopsis, Epanalepsis, Anadilopsis.

Jenis-jenis gaya bahasa yang terdapat dalam penelitian kali ini terdapat gaya bahasa metafora, hiperbola, personifikasi, pertanyaan retoris, repetisi, aliterasi, asonansi, sinekdoke, elipsis, dan makna denotatif.

Berikut berupa penjelasan mengenai gaya bahasa tersebut. a. Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat : bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata dan sebagainya (Keraf, 2004 : 139).

Metafora adalah kata yang mengandung makna perbandingan dengan benda lain karena adanya persamaan sifat antara kedua benda itu. Misalnya, tangan kursi karena bagian kursi itu menyerupai tangan, demikian juga leher botol, leher baju dan sebagainya (Suyatno, 2005: 149).

Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Proses terjadinya sebenarnya sama dengan simile tetapi secara berangsur-angsur keterangan mengenai persamaan dan pokok pertama dihilangkan, misalnya :

1. Pemuda adalah seperti bunga bangsa ----→ Pemuda adalah bunga bangsa, Pemuda ---bunga bangsa.

2. Orang itu seperti buaya darat ----→ Orang itu adalah buaya darat, Orang itu ---→buaya darat.

Metafora adalah perbandingan yang impisit, jadi tanpa kata seperti atau sebagai, di antara dua hal yang berbeda (Moeliono, 1984 :3). Metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan (Poerwadarminto, 1976 : 648). b. Personifikasi

Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bersenyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Personifikasi merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Contoh :

3. Matahari baru saja kembali ke peraduannya, ketika kami tiba di sana. 4. Angin yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah lagi

ketakutan kami.

5. Kulihat ada bulan di kotamu lalu turun di bawah pohon belimbing depan rumahmu barangkali ia menyeka mimpimu.

Seperti halnya dengan simile dan metafora, personifikasi mengandung unsur persamaan. Kalau metafora membuat perbandingan dengan suatu hal yang lain, maka dalam penginsanan hal yang lain itu adalah benda-benda mati yang bertindak dan berbuat seperti manusia, atau perwatakan manusia. Pokok yang dibandingkan itu seolah-olah berwujud manusia, baik dalam tindak-tanduk, perasaan, dan perwatakan manusia lainnya.

c. Hiperbola

Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Kata hiperbola berasal dari bahasa Yunani yang berarti „pemborosan; berlebih -lebihan‟ dan diturunkan dari hyper „melebihi‟+ballien „melemparkan‟. Hiperbola merupakan suatu cara yang berlebih-lebihan mencapai efek ; suatu gaya bahasa yang di dalamnya berisi kebenaran yang direntangpanjangkan (Dale [et all], 1971 : 233). Contohnya :

6. Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir meledak aku. 7. Jika kau terlambat sedikit saja, pasti kau tidak akan diterima lagi. 8. Prajurit itu masih tetap berjuang dan sama sekali tidak tahu bahwa ia

d. Sinekdoke

Sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte). Contohnya : 9. Dalam pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Malaysia

di Stadion Utama Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3-4. 10. Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp1.000,-

e. Repetisi

Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Dalam bagian ini, hanya akan dibicarakan repetisi yang berbentuk kata atau frasa atau klausa. Karena nilainya dianggap tinggi, maka dalam oratori timbullah bermacam-macam variasi repetisi. Repetisi, seperti halnya dengan paralelisme dan antitesis, lahir dari kalimat yang berimbang. Contohnya :

11. Anggota-anggota masyarakat dalam lingkungan suatu kebudayaan

tahu akan adat istiadat, kebiasaan dan undang-undang, tahu

bagaimana ia mesti berkelakuan dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaan, dan ia tahu juga menafsirkan kelakuan sesamanya dalam masyarakat dan kebudayaan itu, sehingga ia dapat mereaksi terhadapnya dengan cara yang selayaknya.

12. Atau maukah kau pergi bersama serangga-serangga tanah, pergi bersama kecoak-kecoak, pergi bersama mereka yang menyusupi tanah, menyusupi alam ?

f. Pertanyaan retoris

Pertanyaan Retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Gaya ini biasanya dipergunakan sebagai salah satu alat yang efektif oleh para orator. Dalam pertanyaan retoris terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin. Contohnya :

13. Terlalu banyak komisi dan perantara yang masing-masing menghendaki pula imbalan jasa. Herankah saudara kalau harga-harga itu terlalu tinggi?

14. Apakah saya menjadi wali kakak saya?

15. Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di negara ini?

g. Aliterasi

Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk perhiasan atau untuk penekanan.

Misalnya :

16. Takut titik lalu tumpah.

h. Asonansi

Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang juga dalam prosa untuk memperoleh efek penekanan atau sekadar keindahan. Misalnya :

18. Ini muka penuh luka siapa punya.

19. Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. i. Elipsis

Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku.

20. Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa-apa, badanmu sehat; tetapi psikis ...

Bila bagian yang dihilangkan itu berada di tengah-tengah kalimat disebut anakoluton, misalnya :

21. Jika anda gagal melaksanakan tugasmu ... tetapi baiklah kita tidak membicarakan hal itu.

5. Slogan

Suyanto (2005:139 ) mengemukakan bahwa slogan atau themeline atau tagline yang tertuang dalam pesan iklan televisi merupakan awal kesuksesan periklanan. Slogan menjadi pernyataan standar yang mudah diterima dibenak konsumen. Slogan mempunyai dua fungsi utama, yaitu

untuk menjaga keberlangsungan serangkaian iklan dalam kampanye dan untuk menyederhanakan sebuah strategi pesan periklanan pada pernyataan positioning agar menjadi ringkas, dapat diulang, menarik perhatian, dan mudah diingat. Jika biasa mendengar kiasan „gambar merupakan seribu kata‟, sebaliknya dalam merancang slogan berlaku „kata (slogan) merupakan seribu gambar‟.

6. Iklan

Beberapa teori yang menjelaskan tentang iklan meliputi pengertian iklan, jenis-jenis iklan dan tujuan iklan.

a. Pengertian iklan

Iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi. Dalam penyampaiannya ada iklan iklan yang diucapkan secara lisan, seperti melalui radio dan media elektronik lain dan ada juga yang muncul dalam tulisan, seperti dalam surat kabar, majalah, dan papan reklame. Iklan berisi suatu pemberitahuan yang disiarkan kepada masyarakat agar masyarakat pembacanya tertarik pada isi pemberitahuan tersebut. Pada umumnya iklan berisi sesuatu yang disuguhkan, yang ditawarkan, atau yang akan dijual. Agar tawaran tersebut menarik perhatian pembacanya, pengungkapan dalam iklan tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga pembaca terbujuk ingin membeli barang dan jasa yang ditawarkan (Arifin, 1992 :3).

Menurut Shurter (1971 : 239), iklan sebenarnya merupakan perwujudan dari surat-surat niaga (sales letters).

Definisi yang lain mengatakan bahwa “periklanan merupakan cara menjual melalui penyebaran informasi”.Tentu saja tidak sembarang informasi yang perlu dikemukakan, dan tidak semua informasi merupakan iklan. Dengan demikian, periklanan itu merupakan proses komunikasi lanjutan yang membawa para khalayak ke informasi terpenting yang memang perlu mereka ketahui. Periklanan juga harus dapat membedakan mana nama produk, mana nama perusahaan, dan mana nama jenis barang. Meskipun suatu produk bisa

saja dinamakan sama dengan nama perusahaan, nama kegiatan periklanan harus mampu memilah-milahnya (Jefkins, 1996 : 16).

Tujuan periklanan televisi dapat digolongkan menurut sasarannya, yaitu untuk memberi informasi, persuasi, mengingatkan para pembeli, menambah nilai, dan membantu aktivitas lain yang dilakukan perusahaan (Suyanto, 2005 : 137).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa iklan merupakan sarana untuk menginformasikan sesuatu dengan tujuan untuk menarik perhatian orang banyak. Dalam jenis iklan, minuman dikategorikan dalam iklan konsumen. Karena produk minuman merupakan barang yang umum dibeli oleh masyarakat. Iklan juga merupakan sarana untuk menginformasikan suatu produk atau jasa supaya orang-orang atau khalayak ramai tertarik dan ingin menggunakan produk atau jasa yang ditawarkan.

b. Jenis-jenis iklan

Menurut Jefkins (1996 :39) secara garis besar, iklan dapat digolongkan menjadi enam kategori pokok, yakni

(1) Iklan konsumen (Consumer advertising)

Pada dasarnya, terdapat dua macam barang yang umum dibeli oleh masyarakat, barang konsumen (consumer goods) seperti bahan makanan, shampo, sabun, dan sebagainya serta barang tahan lama (durable goods), misalnya bangunan tempat tinggal, mobil, perhiasan, dan sebagainya. Bersama dengan jasa konsumen (consumer services), semua macam barang tersebut diiklankan lewat media sesuai lapisan sosial (social grades) tertentu

yang hendak dibidik.

(2) Iklan bisnis ke bisnis atau iklan antarbisnis (Business-to-business advertising)

Kegunaan iklan antarbisnis adalah mempromosikan barang-barang dan jasa non-konsumen. Artinya, baik pemasang maupun sasaran iklan sama-sama perusahaan. Produk yang diiklankan adalah barang antara yang harus diolah atau menjadi unsur produksi. Termasuk disini adalah pengiklanan bahan-bahan mentah, komponen suku cadang dan asesori-asesori, fasilitas pabrik dan mesin, serta jasa-jasa seperti asuransi, pasokan alat tulis kantor, dan lain-lain.

(3) Iklan Perdagangan

Secara khusus ditujukan kepada kalangan distributor, pedagang-pedagang kulakan besar, para agen, eksportir/importir, dan para pedagang-pedagang besar dan kecil. Barang-barang yang diiklankan itu adalah barang-barang untuk dijual kembali.

Tujuan iklan perdagangan adalah mendorong para pemilik toko (baik yang berupa jaringan maupun usaha pribadi) untuk menjadikan produk tersebut sebagai stok (teristimewa untuk menciptakan suatu jaringan distribusi yang memadai dalam rangka mendukung kampanye iklan konsumen), maka titik beratnya adalah keuntungan yang bisa diraih dengan cara tersebut.

(4) Iklan Eceran (retail advertising)

dan iklan barang konsumen. Sebagai contoh iklan-iklan yang dilancarkan oleh pasar swalayan atau pun toko-toko. Iklan ini dibuat dan disebarluaskan oleh pihak perusahaan/pabrik pembuat produk, dan iklan itu biasanya ditempatkan di semua lokasi yang menjual kepada produk tadi kepada para konsumen.

(5) Iklan keuangan (financial Advertising)

Iklan keuangan meliputi iklan-iklan untuk bank, jasa tabungan, asuransi, dan investasi. Sebagai pelengkap iklan yang ditujukan kepada konsumen, disertakan pula laporan keuangan perusahan yang bersangkutan, catatan investasi dalam obligasi, serta pemberitahuan mengenai berbagai hal menyangkut keuangan.

(6) Iklan lowongan kerja

Iklan jenis ini bertujuan merekrut calon pegawai (seperti anggota polisi, angkatan bersenjata, perusahaan swasta, dan badan-badan umum lainnya) dan bentuknya antara lain iklan kolom yang menjanjikan kerahasiaan pelamar atau iklan selebaran biasa. Media-media lainnya seperti radio dan televisi juga dimanfaatkan untuk memuat iklan-iklan lowongan.

c. Tujuan Iklan

Menurut Shurter (1971 :239) menyinggung sedikit tentang iklan sebagai salah satu bentuk surat niaga yang bertujuan :

1. Melakukan penjualan langsung.

2. Meminta permintaan akan layanan hasil produksi.

4. Menjangkau prospek perusahaan.

5. Mempertahankan dan menumbuhkan keagenan. 6. Mempunyai iktikad baik.

Struktur suatu iklan pada dasarnya bertopang pada empat unsur yakni: minat, hasrat, keyakinan dan tindakan. Struktur itu dirancang untuk menimbulkan reaksi pembaca. Struktur itu menurut Shurter (1971 : 243) disusun untuk :

1. Merangsang minat baca.

2. Menimbulkan hasrat akan hasil produksi.

3. Meyakinkan pembaca bahwa hasil produksi / pelayanan itu adalah yang terbaik.

4. Mendorong pembaca untuk bertindak.

Dari semua teori gaya bahasa yang telah dikemukakan di atas, peneliti menggunakan teori gaya bahasa yang dikemukakan oleh Gorys Keraf dan Tarigan. Teori yang dipaparkan tersebut sangat sesuai dengan data yang diperoleh oleh peneliti serta pengelompokannya mudah dan dapat lebih dimengerti.

7. Semantik

a. Definisi Semantik

Chaer (1995 :2) mengungkapkan bahwa kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris : semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang disini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda

linguistik (Perancis : signe linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1996), yaitu terdiri dari (!) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen

Dokumen terkait