• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

D. Pengertian Current Ratio, Debt to Equity Ratio,

1. Pengertian Current Ratio (Rasio Lancar)

Menurut Hery (2016 : 152-153) Current Ratio (CR) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memnuhi kewajiban jangka pendeknya yang segera jatuh tempo dengan menggunakan total aset lancar yang tersedia. Dengan kata lain, rasio lancar ini menggambarkan seberapa besar jumlah ketersediaan aset lancar yang dimiliki perusahaan di bandingkan dengan total kewajiban lancar. Oleh sebab itu, rasio lancar dihitung sebagai hasil bagi antara total aset lancar dengan total kewajiban lancar.

Aset lancar adalah kas dan aset lainnya yang diharapkan akan dapat di konversi menjadi kas, dijual, atau dikonsumsi dalam waktu satu tahun atau dalam satu siklus operasi normal perusahaan, tergantung mana yang paling lama. Kas (cash on hand dan cash in bank) merupakan aset yang paling likuid (lancar), lalu diikuti dengan investasi jangka pendek (surat-surat berharga), piutang usaha, piutang wesel, piutang dan lain-lain, persediaan, perlengkapan, biaya dibayar di muka, dan aset lancar lainnya.

Kewajiban lancar adalah kewajiban yang diperkirakan akan dibayar dengan menggunakan aset lancar atau menciptakan kewajiban lancar lainnya dan harus segera dilunasi dalam jangka waktu satu tahun atau dalam satu siklus operasi normal perusahaan, tergantung mana yang paling lama. Kewajiban lancar pada umumnya mencakup berbagai pos, yaitu utang usaha, utang wesel jangka pendek, beban yang masih harus dibayar, pendapatan diterima di muka, dan bagian utang jangka panjang yang lancar. yang termasuk dalam kategori beban yang masih harus dibayar adalah utang upah, utang bunga, dan utang pajak.

Perusahaan harus secara terus-menerus memantau hubungan antara besarnya kewajiban lancar dengan aset lancar. hubungan ini sangat penting terutama untuk mengevaluasi kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan menggunakan aset lancar. perusahaan yang memiliki lebih banyak kewajiban lancar dibanding aset lancar, biasanya perusahaan tersebut akan mengalami kesulitan likuiditas ketika kewajiban lancarnya jatuh tempo.

Berdasarkan hasil perhitungan rasio, perusahaan yang memiliki rasio lancar yang kecil mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut memiliki modal kerja (aset lancar) yang sedikit untuk membayar kewajiban janga pendeknya. Sebaliknya, apabila perusahaan memiliki rasio lancar yang tinggi, belum tentu perusahaan tersebut dikatakan baik. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, rasio lancar yang tinggi dapat saja terjadi karena kurang efektifnya manajemen kash dan persediaan. Oleh sebab itu, untuk dapat mengatakan apakah suatu perusahaan memiliki tingkat likuiditas yang baik atau tidak maka diperlukan suatu standar rasio, seperti standar rasio rata-rata industri dari segmen usaha yang sejenis.

Dalam praktek, standar rasio yang baik adalah 200% atau 2 : 1. Besaran rasio ini seringkali dianggap sebagi ukuran yang baik atau memuaskan bagi tingkat likuiditas suatu perusahaan. Artinya, dengan hasil perhitungan rasio sebesar itu, perusahaan sudah dapat dikatakan berada dalam posisi aman untuk jangka pendek. Namun, perlu dicatat bahwa standar ini tidaklah mutlak karena harus diperhatikan juga faktor lainnya, seperti tipe (karakteristik) industri, efisiensi persediaan, manajemen kas, dan sebagainya. Oleh karena itu, sekali lagi, diperlukan suatu standar rasio rata-rata industri sebagai rasio keuangan pembanding untuk menentukan tingkat likuiditas perusahaan yang sesungguhnya.

Ketentuan untuk menjaga tingkat rasio lancar minimum seringkali disyaratkan di dalam sebuah kontak (perjanjian) utang. Pada umumya, di dalam setiap perjanjian utang memuat suatu ketentuan bahwa kontrak utang akan dianggap batal dengan sendirinya dan peminjam harus dengan segera mengembalikan pinjamannya kepada kreditor apabila rasio lancar debitor berada di bawah tingkat tertentu yang telah disyaratkan dalam kontrak. Batasan minimum rasio

lancar ini mengharuskan peminjam (debitor) untuk menjaga tingkat likuiditasnya agar dapat memberikan jaminan kepada kreditor bahwa pinjamnnya tersebut akan dapat segera dibayar secara tepat waktu pada saat jatuh tempo. Apabila suatu batasan minimum rasio lancar dilanggar oleh debitor, kreditor memilki hak untuk memaksa debitor agar segera mengembalikan pinjamnya, atau bisa juga dilakukan negoisasi ulang atas kemungkinan pembebanan tingkat suku bunga yang lebih tinggi.

Menurut Kuswandi (2005 : 80) Beberapa kelemahan pokok rasio lancar ialah :

1) Rasio ini tidak bisa menjawab, apakah pada waktu yang akan datang, di antara kewajiban-kewajiban yang terjadwal, perusahaan mempunyai kemampuan (dari penerimaan kas) untuk meliput seluruh pembelanjaan rutin operasional dan pembelanjaan bangunan investasinya (minimal untuk satu bulan mendatang).

2) Dari rasio ini, tidak dapat diperoleh informasi, apakah kemampuan likuiditas perusahaan timbul karena prestasi perusahaan yang sehat, atau kerena telah dilakukannya berbagai jalan pintas yang tidak sehat untuk sekedar menunjukkan posisi yang likuid.

Menurut Agus Sartono (2014: 116) : “Alasan penggunaan rasio lancar yaitu lebih relevan dan akurat karena datanya tersedia sehingga mudah untuk dipahami dan dihitung. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin besar kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek”.

Menurut Suad dan Enny (2012 : 74) : “Current Ratio, rasio ini mengukur seberapa jauh aktiva lancar perusahaan bisa dipakai untuk memenuhi kewajiban lancarnya”.

Current Ratio =

2. Pengertian Debt to Equity Ratio

Menunjukkan semakin besar beban perusahaan terhadap pihak luar. Hal ini sangat memungkinkan menurunkan kinerja perusahaan, karena tingkat ketergantungan dengan pihak luar semakin tinggi.

Menurut Hery (2016 : 168 – 169) Rasio utang terhadap modal merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur besarnya proporsi utang terhadap modal. Rasio ini dihitung sebagai hasil bagiantara total utang dengan modal. Rasio ini berguna untuk mengetahui besarnya perbandingan antara jumlah dana yang disediakan oleh kreditor dengan jumlah dana yang berasal dari pemilik perusahaan. dengan kata lain, rasio ini berfungsi untuk mengetahui berapa bagian dari setiap rupiah modal yang dijadikan sebagai jaminan utang. Rasio ini memberikan petunjuk umum tentang kelayakan kredit dan risiko keunagan debitor.

Memberikan pinjaman kepada debitor yang memiliki tingkat Debt to Equity Ratio yang tinggi menimbulkan konsekuensi bagi kreditor untuk menanggung risiko yang lebih besar pada saat debitor mengalami kegagalan keuangan. Hal ini tentu saja sangat tidak menguntungkan bagi kreditor. Sebaliknya, apabila kreditor memberikan pinjaman kepada debitor yang memiliki tingkat Debt to Equity Ratio yang rendah (yang berarti tingginya tingkat pendanaan debitor yang berasal dari modal pemilik) maka hal ini dapat mengurangi risiko kreditor (dengan adanya batas pengaman yang besar) pada saat debitor mengalami kegagalan keuangan. Dengan kata lain, akan lebih aman bagi kreditor apabila memberikan pinjaman kepada debitor yang memiliki tingkat Debt to Equity Ratio yang rendah karena hal ini berarti bahwa akan semakin besar jumlah modal pemilik yang dapat dijadikan sebagai jaminan utang.

Semakin tinggi Debt to Equity Ratio maka berarti semakin kecil jumlah modal pemilik yang dapat dijadikan sebagai jaminan utang. Ketentuan umumnya adalah bahwa debitor seharusnya memiliki Debt to Equity Ratio kurang dari 0,5 namun perlu dilihat juga bahwa ketentuan ini tentu saja dapat bervariasi tergantung pada masing-masing jenis industri.

Menurut Agustina dan Silvia (2012 : 115) Semakin tinggi Debt to Equity Ratio maka perubahan laba yang diperoleh perusahaan semakin rendah. Hal ini dikarenakan Debt to Equity Ratio yang tinggi menunjukkan proporsi modal yang dimiliki lebih kecil daripada kewajiban perusahaan atau adanya ketergantungan yang tinggi terhadap pihak luar. Perusahaan dengan kewajiban yang terlampau banyak akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan tambahan dana dari luar.

Besar kecilnya Debt to Equity Ratio akan mempengaruhi tingkat perolehan laba perusahaan. Semakin tinggi Debt to Equity Ratio menunjukkan semakin besar beban perusahaan terhadap pihak luar.

Hal ini sangat memungkinkan menurunkan kinerja perusahaan, karena tingkat ketergantungan dengan pihak luar semakin tinggi.

Menurut Suad dan Enny (2012 : 72) : “Debt to Equity Ratio, rasio ini menunjukkan perbandingan antara hutang dengan modal sendiri”.

Debt to Equity Ratio =

Kewajiban adalah sesuatu yang harus dibayarkan secara tunai ke pihak lain dalam jangka waktu tertentu, berdasarkan jangka waktu pelunasannya.

Menurut Kuswandi (2005 : 98) Modal atau modal pemegang saham = total harta – total utang. Modal dapat terdiri atas saham biasa ditambah saham luar biasa di tambah kelebihan harga saham (harga pasar – harga nominal atau harga par) di tambah laba ditahan. Saham luar biasa adalah saham yang mendapatkan deviden tetap. Modal pemegang saham mencerminkan bagian laba (bunga) milik para pemegang saham.

3. Pengertian Total Assets Trun Over

Total Assets Trun Over merupakan rasio aktivitas yang digunakan untuk mengukur seberapa besar efektivitas perusahaan dalam menggunakan sumber dayanya yang berupa assets.

Menurut Hery (2016 : 187) Perputaran total aset merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur keefektifan total aset yang dimiliki perusahaan dalam menghasilkan penjualan atau dengan kata lain untuk mengukur berapa jumlah penjualan yang akan dihasilkan dari setiap rupiah dana yang yang tertanam dalam total aset. Rasio ini dihitung sebagai hasil bagi antara besarnya penjualan (tunai maupun kredit) dengan rata-rata total aset. yang dimaksud dengan rata-rata total aset adalah total aset awal tahun ditambah total aset akhir tahun lalu dibagi dengan dua. Perputaran total aset yang rendah berarti perusahaan memiliki kelebihan total aset di mana total aset yang ada belum dimanfaatkan secara maksimal untuk menciptakan penjualan.

Menurut Engelwati dan Almitra (2011 : 886) : “Rasio Total Asset Turn Over dapat digunakan untuk memprediksi laba karena total aktiva dan penjualan merupakan kompenen dalam menghasikan laba”.

Rasio Total Asset Turn Over yang tinggi biasanya menunjukkan manajemen yang baik, sebaliknya rasio yang rendah harus membuat manajemen mengevaluasi strategi pemasarannya, dan pengeluaran modalnya (investasi). Semakin besar rasio ini maka semakin baik, ini berarti bahwa aktiva dapat lebih cepat berputar dan meraih laba dan menunjukkan semakin efisien penggunaan keseluruhan aktiva dalam menghasilkan penjualan.

Menurut Rina Mandara Harahap (2014: 19) : “Total Asset Turn Over adalah kemampuan dana yang tertanam dalam keseluruhan aktiva berputar dalam suatu periode tertentu atau kemampuan modal yang diinvestasikan untuk menghasilkan revenue”.

Total Assets Trun Over =

Rumus tersebut menunjukkan hubungan antara penjualan bersih dengan total aktiva. Rasio ini menunjukkan seberapa cepat perputaran persediaan barang dalam siklus produksi normal.

Menurut Irham Fahmi (2012 : 80) : “Penjualan adalah penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan produk seperti pengiriman barang (goods) atau pemberian jasa (service) yang diberikan”.

Jika perusahaan dengan prospek penjualan positif maka perusahaan akan memperoleh laba yang positif. Sebaliknya tidak menutup kemungkinan jika perusahaan dengan prospek penjualan negatif maka perusahaan akan memperoleh laba yang negatif.

Menurut Subramannyam (2014 : 271) : “Aset merupakan sumber daya yang dikuasai oleh suatu perusahaan dengan tujuan menghasilkan laba. Aset dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu aset lancar dan aset tidak lancar”.

Menurut Arthur Keown (2008 : 75) : “Semakin tinggi rasio Total Asset Turnover, berarti semakin efisien penggunaan keseluruhan aktiva didalam menghasilkan penjualan”.

Menurut Lukman (2011: 62) : “Dengan perkataan lain jumlah aset yang sama dapat memperbesar volume penjualan apabila Total Asset Turnover ditingkatkan atau diperbesar. Sebaliknya, rasio Total Asset Turnover yang rendah menunjukkan bahwa perusahaan tidak dapat memanfatkaan aset yang dimiliki secara efisien dan optimal”.

Dokumen terkait