• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

2.2.3 Kajian Semiotik di Media

2.2.3.1Pengertian dan Macam-macam Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang

berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu–yang atas dasar

konvensi sosial yang terbangun sebelumnya–dapat dianggap mewakili sesuatu

yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk adanya hal lain. Contohnya asap menandai adanya api, sirene mobil yang keras meraung- raung menandai adanya kebakaran di sudut kota. Secara terminologis, semiotika diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks, narasi/wacana tertentu. (Wibowo, 2011:5).

Konsep dasar yang menyatukan tradisi semiotika ini adalah „tanda‟ yang

diartikan sebagai a stimulus designating something other than itself (suatu

stimulus yang mengacu pada sesuatu yang bukan dirinya sendiri). Menurut John Powers, pesan memiliki tiga unsur, yaitu tanda dan simbol, bahasa, dan wacana (discourse) (Morrisan, 2010:173). Charles Morris memudahkan kita memahami ruang lingkup kajian semiotika. Menurutnya, kajian semiotika dapat dibedakan ke

dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquiry), yakni (Wibowo, 2011:4):

(1) Sintaktik (syntactic) atau sintaksis (syntax): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji “hubungan formal diantara satu tanda dengan tanda-tanda yang lain.

(2) Semantik (semantics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan diantara tanda-tanda dengan designata atau objek-

objek yang diacunya. Designata: tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu.

(3) Pragmatik (pragmatics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan diantara tanda-tanda dengan interpreter- interpreter atau para pemakainya.

Sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotika yang kita kenal sekarang, yaitu (Pateda dalam Sobur, 2004 : 100-101):

1) Semiotika analitik, yakni semiotik yang menganalisis sistem tanda. Charles S. Pierce menyatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, objek, dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu.

2) Semiotika deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit yang mendung menandakan bahwa hujan tidak lama lagi akan turun, dulu hingga sekarang tetap seperti itu.

3) Semiotika faunal (zoosemiotic), yakni semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, namun juga sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan manusia. Misalnya, seekor ayam betina yang berkotek-kotek menandakan ayam itu telah bertelur atau ada sesuatu yang ia takuti.

4) Semiotika kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Budaya yang terdapat dalam masyarakat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu yang membedakannya dengan masyarakat yang lain. 5) Semiotika naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam

narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Telah diketahui bahwa mitos dan cerita lisan, ada di antaranya memiliki nilai kultural tinggi.

6) Semiotika natural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan di hulu telah turun hujan, dan daun pohon-pohonan yang menguning lalu gugur.

7) Semiotika normatif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu- rambu lalu-lintas. Di ruang kereta apai sering dijumpai tanda yang bermakna dilarang merokok.

8) Semiotika sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang berwujud kata maupun lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat. Dengan kata lain, semiotik sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa.

9) Semiotika Struktural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

2.2.3.2Tokoh-tokoh Semiotika

1. Charles S. Pierce

Charles Sanders Pierce merupakan tokoh yang menjadi pendiri

pragmatisme. Pierce terkenal karena teori tandanya. „Tanda‟, menurut Pierce

adalah “…something which stands to somebody for something in some respect or

capacity”. Definisi Pierce menunjukkkan peran „subjek‟ (somebody) sebagai

bagian tak terpisahkan dari proses signifikasi. Model triadic yang digunakan

Pierce (representamen + object + interpretant = sign) memperlihatkan peran besar subjek ini dalam proses transformasi bahasa. melihat Rumus sederhana Pierce menyalahi kenyataan tentang adanya suatu fungsi tanda: tanda A menunjukkan suatu fakta (atau objek B), kepada penafsirnya yaitu C. Oleh karena itu, suatu tanda tidak pernah berupa suatu entitas yang sendirian, tetapi memiliki ketiga aspek tersebut. Pierce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari

Kepertamaan, objeknya adalah Kekeduaan, dan penafsirnya–unsur pengantara–

adalah contoh Keketigaan.

Bagi Pierce, sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam

hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini,

Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground

dibaginya menjadi (Sobur, 2004:41):

1. Hubungan penalaran dengan jenis penandanya:

a. Qualisigns : penanda yang bertalian dengan kualitas, adalah tanda- tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat.

b. Sinsign : penanda yang bertalian dengan kenyataan, adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan.

c. Legisign : penanda yang bertalian dengan kaidah, adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode.

a. icon/ikon : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk objeknya (terlihat pada gambar atau lukisan);

b. index/indeks : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya;

c. symbol/simbol : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara konvensi telah lazim digunakan dalam masyarakat.

3. Hubungan pikiran dengan jenis petandanya (berdasarkan interpretant):

a. rheme or seme : penanda yang bertalian dengan mungkin terpahaminya objek petanda bagi penafsir;

b. dicent or decisign or pheme : penanda yang menampilkan informasi tentang petandanya;

c. argument : penanda yang petandanya akhir bukan suatu benda tetapi kaidah (Sobur, 2004 : 97-98).

Triadik atau disebut sebagai teori segitiga makna (triangle meaning), yang

menurut Pierce salah satu bentuk tanda adalah kata, sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi adalah apa yang dikupas dari teori segitiga makna. Hubungan teori segitiga makna Pierce lazimnya ditampilkan dalam gambar berikut (Fiske dalam Sobur, 2004:115):

Gambar 1.2 Elemen Makna Pierce

Sign

Interpretant Object

Sumber: John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hlm.42 dalam (Sobur, 2004:115).

2. Ferdinand De Saussure

“Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik modern, dialah sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand De Saussure”. Selain sebagai seorang ahli linguistik, dia juga seorang spesialis bahasa-bahasa Indo Eropa dan Sansekerta (Wibowo, 2013:20). Saussure dilahirkan di Jenewa pada 1857 dalam sebuah keluarga yang sangat terkenal di kota itu karena keberhasilan mereka dalam bidang ilmu. Ia hidup sezaman dengan Sigmund Freud dan Emile Dukheim meski tidak banyak bukti bahwa ia sudah pernah berhubungan dengan mereka (Sobur, 2004:45).

Karyanya disusun dari tiga kumpulan catatan kuliah saat memberi kuliah linguistik umum di Universitas Jenewa pada tahun 1907, 1908-1909, dan 1910-

1911 kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Course In General

Linguistics. Kita mengenalnya dengan istilah “strukturalisme” dalam (Sobur, 2004:44). Dikatakan strukturalisme karena pada saat itu, studi bahasa hanya

berfokus pada perilaku linguistik yang nyata (Parole). Saussure justru

menggunakan pendekatan anti historis yang melihat bahasa sebagai sebuah sistem yang utuh dan harmonis secara internal atau dalam istilah Saussure disebut Langue (Wibowo, 2013:20).

Sedikitnya, ada lima pandangan dari Saussure yang di kemudian hari

menjadi peletak dasar dari strukturalisme, yaitu pandangan tentang (1) signifier

(penanda) dan signified (petanda); (2) form (bentuk) dan content (isi); (3) langue

(bahasa) dan parole (tuturan, ujaran); (4) synchronic (sinkronik) dan diachronic

(diakronik); (5) syntagmatic (sintagmatik) dan paradigmatic (paradigmatic)

(Sobur, 2004:46).

Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan

melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified

(petanda).

(1) Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis dan dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut

(2) Istilah form (bentuk) dan content (materi,isi) ini oleh Gleason (Pateda,

1994:35) diistilahkan dengan expression dan content, satu berwujud bunyi dan

yang lain berwujud ide (Sobur, 2004:47).

(3) Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa Perancis: langage,

langue (sistem bahasa) dan parole (kegiatan ujaran). Dalam pandangan Barthes

(1996:81) dalam (Sobur, 2004:50), apa yang disebut langue itu adalah langage

dikurangi parole. Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi

bahasa pada tingkat sosial budaya, atau sedangkan parole merupakan ekspresi

bahsa pada tingkat individu.

(4) Sinkronik dan diakronik merupakan konsep ruang dan waktu untuk melihat suatu gejala kebahasaan. Sinkronik yaitu keadaan yang bertepatan menurut waktu, sedangkan diakronik yaitu deskripsi tentang perkembangan (bahasa, sejarah) melalui waktu (Sobur, 2004:53).

(5) Saussure sekali lagi membahas struktur bahasa dalam konsepsi dasar yakni perbedaan tanda antara sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan-hubungan ini terdapat pada kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-kata sebagai konsep (Sobur, 2004 : 49-54).

Gambar 1.3

Elemen-Elemen Makna Saussure Sign

Composed of

Signification

Signifier Signified external reality of meaning (physical (mental concept)

existence of the sign)

Sumber: John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hlm.44 dalam (Sobur, 2004:125).

Ferdinand De Saussure (1857-1913) mengatakan bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep dimana citra bunyi disandarkan. Tanda itu sendiri merupakan manifestasi konkret dari citra bunyi dan diidentifikasikan sebagai penanda dan petanda. Dengan kata lain, dalam sebuah tanda terungkap konsep penanda dan petanda yang tak terpisahkan, kehadiran yang satu berarti pula kehadiran yang lain seperti dua sisi kertas. Bagi Saussure, hubungan antara

penanda dan petanda bersifat bebas (arbiter), yakni arbitrer dalam pengertian

penanda tidak mempunyai hubungan alamiah dengan petanda (Sobur, 2004 : 31- 32).

3. Umberto Eco

Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotika yang menghasilkan salah satu teori tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Umberto Eco lahir pada 5 Januari 1932 di Alessandria, wilayah Piedmont, Italia. Awalnya ia belajar hukum, namun kemudian mempelajari filsafat dan sastra sebelum akhirnya menjadi ahli semiotika. Ia menulis tesisnya tentang estetika Thomas Aquinas dan meraih gelar doctor dalam bidang filsafat pada 1954. Dia kemudian memasuki dunia jurnalisme sebagai editor untuk program budaya di jaringan televisi RAI.

Beberapa karya Eco yang dituangkan lewat buku, novel, esai dan tulisan

lainnya yakni: Sviluppo dell‟estetico medievale (1959); Opera apera (1962); Le

poetische di Joyce: dall “summa” al “Finnegans Wake” (1966); A Theory of Semiotics (1976); A Semiotic Landscape (1979); The Role of the Reader: Explorations in the Semiotics of Text (1981); Semiothics and the Philosophy of Languange (1984); The Name of the Rose (1983); Foucault‟s Pendulum (1988); Belief or Nonbelief? A Confrontation (1997) (Sobur, 2004:73).

Awalnya Eco menulis buku dan beberapa tulisan lainnya dilatarbelakangi oleh penyesalannya atas hilangnya keimanan dan kepercayaan beragama yang sempat dianutnya. Mulanya Eco adalah seorang katholik sampai umur dua puluh dua tahun, namun kemudian memilih untuk tidak memiliki kepercayaan apapun. Meski begitu, ia tidak marah atau bersikap anti agama setelah menjadi eks- katholik (Sobur, 2004:72). Berkaitan dengan semiotika, belakangan ini, semiotika

menunjukkan perhatian besar dalam produksi tanda yang dihasilkan oleh masyarakat linguistik dan budaya. Berbeda dengan konsep Ferdinand de Saussure tentang tanda dan pendekatan taksonomis semiotika Charles Sanders Pierce, Eco memastikan diri untuk menyelidiki sifat-sifat dinamis tanda dalam bukunya Theory of Semiothics (1976, 1979) (Sobur, 2004:75).

Pada dasarnya, fungsi tanda merupakan interaksi antara berbagai norma: “Kode memberikan kondisi untuk hubungan timbal balik fungsi-fungsi tanda secara kompleks” (Eco, 1979). Menurut Eco, sistem aturan, yaitu kode yang terdiri atas hierarki subkode-subkode yang kompleks; sebagaian darinya kuat dan stabil, sedangkan lainnya lemah dan bersifat sementara (Sobur, 2004:76).

Menurut Eco, unsur-unsur pokok dalam tipologi cara pembentukan tanda adalah (Lechte, 2001) (Sobur, 2004:78):

1. Kerja fisik, yaitu: upaya yang dilakukan untuk membuat tanda.

2. Pengenalan, yaitu: objek atau peristiwa dilihat sebagai suatu ungkapan

kandungan tanda, seperti tanda, gejala, bukti.

3. Penampilan, yaitu: suatu objek atau tindakan menjadi contoh jenis objek

atau tindakan.

4. Replika, yaitu: kecenderungan ke arah ratio difficilis secara prinsip, tetapi

mengambil kodifikasi melalui pengayaan.

5. Penemuan, yaitu: kasus yang paling jeals dari ratio difficilis sebagai yang

tidak terlihat oleh kode; menjadi landasan suatu kontinuum materi baru

Eco–sebagaimana dikutip Yasraf Amir Piliang dalam buku

“Hipersemiotika” Tafsir Cultural Studies Atas matinya Makna (2003)– menegaskan bahwa semiotika adalah teori dusta. Eco mengatakan bahwa: pada prinsipnya semiotika adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta. Dengan demikian semiotika pada prinsipnya adalah suatu disiplin yang mempelajari apapun yang dapat digunakan untuk menyatakan suatu kebohongan. Jika sesuatu itu tersebut tidak dapat digunakan untuk mengatakan kebohongan, sebaliknya tidak bisa digunakan untuk mengatakan kebenaran (Wibowo, 2011:19).

Dokumen terkait