• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

2.2.5 Representasi

Istilah representasi merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Representasi ini penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, kelompok, gagasan, tersebut ditampilkan dalam pemberitaan sebagaimana mestinya atau apa adanya, atau diburukkan. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan yaitu dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak.

Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang, paling tidak ada tiga proses yang dihadapi wartawan. Pertama adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Bagaimana peristiwa itu dikonstruksi sebagai realitas oleh wartawan/media. Disini, realitas selalu siap ditandakan ketika kita menangkap dan mengkonstruksi peristiwa

realitas itu digambarkan. Disini, kita menggunakan perangkat secara teknis. Dalam bahasa tulis, alat teknis itu adalah kata, kalimat atau proposisi, grafik, dan sebagainya. Pemakaian kata-kata, kalimat atau proposisi tertentu, misalnya,

membawa makna tertentu ketika diterima oleh khalayak. Ketiga, Bagaimana

kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat (Eriyanto, 2001 : 113-114).

Menurut David Croteau dan Willian Hoynes, representasi merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal-hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan pencapaian tujuan-tujuan komunikasi ideologisnya itu yang digunakan, sementara tanda-tanda lain diabaikan (Wibowo, 2011:123).

Stuart Hall (1997), menyebutkan bahwa representasi mempunyai dua

pengertian, yaitu: pertama, representasi mental. representasi ini merupakan

konsep tentang „sesuatu‟ yang ada di kepala kita masing-masing (peta

konseptual). Representasi mental ini berbentuk susuatu yang abstrak. Kedua,

representasi bahasa, berperan penting dalam konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan ke dalam bahasa yang lazim supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide dengan tanda dan simbol- simbol tertentu.

Dalam hal ini, proses pertama yang memungkinkan kita memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara „sesuatu‟, „peta konseptual‟, dan „bahasa atau simbol‟ adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses ini yang terjadi secara bersama-sama itulah yang kita sebut representasi.

Hall mengatakan bahwa ada tiga teori yang menjelaskan bagaimana produksi makna hingga penggunaan konstruksi sosial:

1. Pendekatan reflektif: bahasa berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Sebuah makna bergantung pada sebuah objek, ide, peristiwa dalam dunia nyata, dan orang. Bahasa pun berfungsi seperti cermin yaitu untuk memantulkan arti sebenarnya seperti yang telah ada di dunia. Namun, tanda visual membawa sebuah hubungan kepada bentuk dan tekstur dari objek yang dipresentasikan. Harus diingat bahwa ada begitu banyak kata-kata, suara, gambar, yang mana kita mengerti dengan jelas tetapi fiksi atau fantasi menunjuk kepada dunia yang diimajinasikan. Misalnya, kita dapat menggunakan kata „bunga mawar‟ sebagai tanaman nyata yang tumbuh di taman. Tetapi ini karena kita mengetahui kode yang terhubung dengan konsep khusus dari sebuah kata atau gambar, kita tidak bisa memikirkan, mengucapkan atau menggambarkan bunga mawar yang sesungguhnya.

2. Pendekatan intensional: kita menggunakan bahasa untuk

mengkomunikasikan sesuatu, sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Pendekatan makna yang kedua dalam representasi mendebat kasus sebaliknya. Pendekatan ini mengatakan bahwa sang pembicara, penulis, siapapun yang mengungkapkan pengertiannya yang unik ke dalam dunia melalui bahasa. Ada beberapa poin untuk argumentasi ini semenjak kita semua, sebagai individu juga menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan hal-hal yang spesial atau unik bagi kita dengan cara pandang kita terhadap dunia. Bagaimanapun juga, sebagai teori umum dari representasi bahasa, pendekatan intensional cukup rapuh. Namun esensi dari bahasa adalah komunikasi yang mana tergantung pada pembagian kode-kode linguistik.

3. Pendekatan konstruktivis: kita percaya bahwa mengkonstruksi makna

lewat bahasa yang kita pakai adalah pendekatan terakhir untuk mengenali publik, karakter sosial dari bahasa. Hal ini membenarkan bahwa, tidak ada sesuatu yang di dalam diri mereka sendiri, termasuk pengguna bahasa secara individu, dapat memastikan makna dalam bahasa. Ini tidak berarti: kita mengkonstruksikan makna menggunakan sistem representasional konsep dan tanda. Konstruktivis tidak menolak keberadaan materi dunia. Namun, bukan materi dunia yang member makna tetapi sistem bahasa atau sistem apapun yang kita gunakan untuk merepresentasikan konsep kita. Sistem representasional terdiri dari suara nyata yang kita buat dengan nada vokal kita, gambar yang kita buat pada kertas peka cahaya kamera foto, coret-coretan yang kita buat pada kanvas, dorongan digital yang ditransmisikan secara elektronik. Representasi adalah praktik sebuah jenis “kerja” yang menggunakan objek material dan efek.

2.2.5.1Bahasa

Representasi sekaligus misrepresentasi tersebut adalah peristiwa kebahasaan. Bagaimana seseorang ditampilkan dengan tidak baik, bias terjadi pertama-tama dengan menggunakan bahasa. Melalui bahasalah berbagai tindak misrepresentasi tersebut ditampilkan oleh media dalam pemberitaan. Oleh karena itu, yang perlu dikritisi disini adalah pemakaian bahasa yang ditampilkan oleh media. Bagaimana cara media memaknai realitas paling tidak ada dua proses besar yang dilakukan. Pertama, memilih fakta. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat, dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto, gambar apa, dan sebagainya (Eriyanto, 2001:116).

Pemilihan kata-kata tertentu yang dipakai tidak sekedar teknis jurnalistik,

tetapi bagian penting dari representasi. Bagaimana bahasa–yang dalam hal ini

umumnya pilihan kata-kata yang dipilih–dapat menciptakan realitas tertentu

kepada khalayak. Menurut Kenneth Burke, kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak pada masalah tertentu tetapi juga membatasi persepsi kita dan mengarahkannya pada cara berpikir dan keyakinan tertentu. Dengan kata lain, kata-kata yang dipakai dapat membatasi seseorang melihat perspektif lain, menyediakan aspek tertentu dari suatu peristiwa dan mengarahkannnya bagaimana khalayak harus memahami suatu peristiwa. Akan tetapi, yang lebih penting bagaimana kata-kata sesungguhnya dapat mengarahkan logika tertentu untuk memahami suatu persoalan (Eriyanto, 2001:113).

2.2.6 Feminisme

2.2.6.1Deskripsi Feminisme

Feminisme berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat

keperempuanan. Menurut Aida Fitalaya S. Hubies “feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibanding dengan laki-laki di masyarakat”. Akibat persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut dalam mengeliminasi dan menemukan formula

penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan

potensi mereka sebagai human being (Ardianto & Q Anees, 2007:184).

Feminisme menurut Goefe ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan organisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme muncul sebagai sebuah upaya perlawaan atas berbagai upaya kontrol laki-laki. Asumsi bahwa perempuan telah ditindas dan dieksploitasi menghadirkan anggapan bahwa feminisme merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Salah satu alasan yang mendukung hal ini adalah kenyataan bahwa feminisme tidak hanya memperjuangkan masalah gender, tetapi juga masalah kemanusiaan (Sugihastuti & Saptiawan, 2007 : 93-95).

Feminisme berbeda dengan emansipasi. Sofia dan Sugihastuti menjelaskan bahwa emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan (Sugihastuti & Saptiawan, 2007:95).

Pada hakekatnya, tujuan feminisme adalah transformasi sosial untuk menciptakan suatu keadaan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Feminisme sebagai suatu gerakan memiliki dimensi sejarah yang panjang, dimulai pada abad ke-14. Secara garis besar, perkembangan gerakan feminisme dapat

dibagi dalam tiga periode, yaitu feminisme gelombang pertama (first wave

feminism), feminisme gelombang kedua (second wave feminism), dan feminisme

gelombang ketiga (third wave feminism).

Feminisme gelombang pertama mengangkat isu-isu prinsip persamaan hak bagi perempuan. Titik tolak perjuangannya adalah dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya bidang pendidikan, politik, dan ekonomi. Feminisme gelombang pertama ini dimulai dengan pergerakan-pergerakan feminisme yang berkaitan dengan terjadinya Revolusi Perancis, yakni suatu periode dalam sejarah dimana terdapat pemikir-pemikir seperti Mary Wollstonecraft, Sejourner Truth, dan Elizabeth Cady Stanton. Mereka ini dapat dikatakan penggagas lahirnya Deklarasi Konvensi Hak-hak

Perempuan di Senca Falls. Pergerakan perempuan pada tahun 1960-an dengan cepat menjadi suatu kekuatan politik yang menyebar di Eropa dan Amerika. “Landasan-landasan teoritis yang dipakai dalam gelombang feminisme ini adalah feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme Marxis atau Sosialis” (Arivia, 2003:85).

Seiring dengan perkembangan zaman, kurang lebih seratus tahun sejak kelahirannya, feminisme memasuki gelombang kedua. Gerakan ini ditandai dengan lahirnya sebuah pemahaman bahwa perempuan memang berbeda dengan laki-laki, tetapi yang menjadi penyebab perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan adalah konstruksi sosial yang dibentuk oleh masyarakat patriarkal. Maka dari itu, isu pertama yang diusung feminisme gelombang kedua adalah perlawanan terhadap legalitas budaya patriarki (Nugroho, 2004).

2.2.6.2Aliran-aliran Feminisme

Sejauh ini ada sejumlah aliran besar feminisme. Pertama, feminisme

liberal. Feminisme liberal cenderung membatasi diri pada studi-studi tingkat mikro yang selalu berusaha melihat berbagai bentuk pembagian kerja seksual dan membongkar ketersembunyian sekaligus ketidaknampakan perempuan yang selama ini ada. Menurut Bryson diantara kelompok feminis lain, kelompok ini termasuk paling moderat, karena membenarkan perempuan bekerja bersama laki- laki di dalam semua peran tanpa ada kelompok jenis keamin yang lebih dominan (Umar dalam Ardianto & Q Anees, 2007: 186-187). Meskipun dikatakan feminisme liberal, menurut Nasarudin Umar (1999) kelompok ini menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan, kelompok ini beranggapan bahwa tidak mesti dilakukan perubahan struktural secara menyeluruh.

Kedua adalah feminisme radikal. Meskipun banyak meminjam jargon Marxisme, feminisme radikal, menurut Jaggar (1997), tidak menggunakannya secara sungguh-sungguh. Bagi mereka dasar penindasan perempuan sejak awal adalah dominasi laki-laki, dimana penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki dianggap sebagai bentuk dasar penindasan (Fakih dalam Ardianto & Q Anees, 2007:187). Dalam menjelaskan penyebab penindasan perempuan, feminisme

radikal menggunakan pendekatan ahistoris, dimana patriarki dianggap sebagai masalah universal dan mendahului segala bentuk penindasan.

Ketiga, feminisme Marxis. Teori marxis merupakan antitesis dari sistem kapitalisme yang dibangun masyarakat Eropa. Kapitalisme melahirkan kelas-kelas sosial yang pada akhirnya menciptakan eksploitasi kelas masyarakat tertentu terhadap kelas sosial lainnya. Tidak hanya sampai disitu, sistem kapitalis juga menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua yang harus menerima perlakuan diskriminatif kaum laki-laki sebagai pemilik modal. Bahkan dalam sebuah keluarga, sistem kapitalis berperan besar mengeksploitasi perempuan sehingga perempuan berfungsi sebagai miniatur kelompok pekerja yang harus tunduk terhadap kehendak kaum laki-laki sebagai kepala keluarga atau pemilik “modal” keluarga. Untuk itu, muncul gerakan feminisme yang mereduksi kesadaran kaum Marxian untuk merombak sistem kapitalis yang sudah jelas-jelas menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua karena pada umumnya laki-laki sebagai pemilik modal termasuk dalam keluarga (Ardianto & Q Anees, 2007:188).

Keempat, feminisme sosialis. Feminisme sosialis dan feminisme Marxis adalah dua bentuk gerakan penyadaran perempuan yang bersumber dari satu

penolakan terhadap terhadap sistem kelas yang diciptakan oleh sistem kapitalis.

Perbedaan keduanya menurut Mansour Fakih (1997) terletak pada kesadaran bahwa kesalahan yang diskriminatif ini ada pada sistem yang jelas-jelas menguntungkan laki-laki, yang oleh feminisme sosialis ditekankan pada kesadaran masing-masing perempuan untuk melakukan restrukturisasi sosial kemasyarakatan agar tercapai kesetaraan gender. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang dalam melihat ketertindasan perempuan. Feminisme sosialis lebih berdimensi pada penyadaran peran bahwa sistem kapitalis dibangun masyarakat Barat telah memperlakukan perempuan secara diskriminatif (Ardianto & Q Anees, 2007:189).

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Metode Penelitian

Metode penelitian ialah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui dan menyelidiki permasalahan dalam memperoleh suatu jawaban melalui langkah- langkah sistematis (Ardial, 2014:517). Sedangkan metodologi ialah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan suatu metode. Jadi, metodologi penelitian adalah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan- peraturan yang terdapat dalam penelitian (Usman & Setiady, 2009:41). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang didasarkan pada penafsiran, dengan konsep-konsep yang umumnya tidak memberikan angka numerik, seperti etnometodologi dan jenis wawancara tertentu. Penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi secara mendalam. Menurut Taylor dan Bogdan (1984), Penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti (Suyanto & Sutinah, 2005:166).

Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata dan melakukan studi pada situasi yang alami (Ardial, 2014:249). Dalam penelitian kualitatif ada dua hal yang ingin dicapai, yaitu: (1) menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut; dan (2) menganalisis makna yang ada di balik informasi, data, dan proses suatu fenomena sosial itu. Berdasarkan tujuan yang kedua, peneliti menggunakan analisis semiotika untuk metode penelitian yang sifatnya memaparkan situasi ataupun peristiwa dengan melukiskan variable satu per satu (Rakhmat, 2006:25).

Dalam kajian komunikasi, teknik penelitian dengan menggunakan analisis semiotika ini cenderung lebih banyak mengarah pada sumber penerimaan pesan. Penelitian dengan menggunakan teknik analisis semiotika selalu melibatkan dan menuntut daya pikir, pengalaman, budaya, dan emosi setiap manusia dalam

pertemuannya dengan suatu tanda. Pendekatan penelitian berbasis semiotika juga mengedepankan penyajian data secara terstruktur serta memberikan gambaran terperinci tentang objek penelitian dalam beberapa pesan komunikasi melalui bentuk tanda.

Dalam penelitian ini, analisis semiotika yang dipilih adalah semiologi Roland Barthes, yaitu penelitian yang mencari makna penanda, petanda, dan

tanda-tanda semiotik yang ada, dengan signifikasi dua tahap (two order

signification) yang menelusuri pemaknaan tanda melalui unsur denotasi (makna riil/tersurat), konotasi (makna tersirat/ungkapan), dan mitos. Hal ini disebabkan karena tanda tidak bisa berdiri sendiri tanpa ada makna di dalamnya, maka dalam hal ini peneliti ingin membongkar makna yang tersembunyi khususnya dalam

pemberitaan Malinda Dee di majalah Tempo yang terdiri dari gambar sampul dan

berita yang terkait.

Penelitian ini juga menggunakan perspektif atau paradigma konstruktivis yang menganggap bahwa tidak ada makna yang mandiri, tidak ada deskripsi yang murni objektif. Kita tidak dapat secara transparan melihat „apa yang ada disana‟ atau „apa yang ada disini‟ tanpa termediasi oleh teori, kerangka konseptual atau bahasa yang disepakati secara sosial. Ide tentang tidak adanya satu representasi dan ketersembunyian semesta membuka peluang pluralism metodologi, karena tidak adanya suatu representasi yang memiliki akses istimewa terhadap semesta. Bahasa bukan cerminan semesta tetapi sebaliknya berperan membentuk semesta. Setiap bahasa mengkonstruksi aspek-aspek spesifik dari semesta dengan caranya sendiri (Ardianto & Q Anees, 2007 : 152-153).

3.2Subjek Penelitian

Subjek penelitian menurut Amirin (1986) merupakan seseorang atau sesuatu yang mengenainya ingin diperoleh keterangan, sedangkan Suharsimi Arikunto (1989) memberi batasan subjek penelitian sebagai benda, hal, atau orang tempat data untuk variable penelitian melekat, dan yang dipermasalahkan. Subjek dalam konsep penelitian merujuk pada responden, informan yang hendak diminati informasi atau digali datanya. Maka, subjek dalam penelitian ini adalah majalah Tempo.

3.2.1 Sejarah Tempo

Suatu hari di tahun 1969, sekumpulan anak muda berangan-angan membuat sebuah majalah berita mingguan. Alhasil, terbitlah majalah berita

mingguan Ekspres. Di antara para pendiri dan pengelola awal, terdapat nama

seperti Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Christianto Wibisono, dan Usamah. Namun, akibat perbedaan prinsip antara jajaran redaksi dan pihak pemilik modal

utama, terjadilah perpecahan. Goenawan cs keluar dari Ekspres pada 1970. Di

sudut Jakarta yang lain, seorang Harjoko Trisnadi sedang mengalami masalah.

Majalah Djaja, milik Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI), yang

dikelolanya sejak 1962 macet terbit. Menghadapi kondisi tersebut, karyawan Djaja menulis surat kepada Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin, minta agar Djaja

diswastakan dan dikelola Yayasan Jaya Raya–sebuah yayasan yang berada di

bawah Pemerintah DKI. Lalu terjadi rembugan tripartite antara Yayasan Jaya

Raya –yang dipimpin Ir. Ciputra–orang-orang bekas majalah Ekspres, dan orang-

orang bekas majalah Djaja. Disepakatilah berdirinya majalah Tempo di bawah PT.

Grafiti Pers sebagai penerbitnya.

Kenapa nama Tempo? Menurut Goenawan Pemimpin Redaksi saat itu–

kata ini mudah diucapkan–terutama oleh para pengecer. Selain itu, sangat cocok

dengan sifat sebuah media berkala yang jarak terbitnya longgar, yakni mingguan. Mungkin juga karena dekat dengan nama majalah berita terbitan Amerika Serikat,

TIME–sekaligus sambil berolok-olok dengan yang sudah terkenal. Edisi perdana

majalah Tempo terbit pada 6 Maret 1971. Dengan rata-rata umur pengelola yang

masih 20-an, Tempo tampil beda dan diterima masyarakat. Dengan mengedepakan

peliputan berita yang jujur dan berimbang, serta tulisan yang disajikan dalam prosa yang menarik dan jenaka, Tempo diterima masyarakat.

Pada tahun 1982, untuk pertama kalinya Tempo dibredel. Tempo dianggap terlalu tajam mengkritik rezim Orde Baru dan kendaraan politiknya, Golkar. Saat itu tengah dilangsungkan kampanye dan prosesi Pemilihan Umum. Tapi akhirnya Tempo diperbolehkan terbit kembali setelah menandatangani semacam "janji" di atas kertas segel dengan Ali Moertopo, Menteri Penerangan saat itu (zaman Soeharto ada Departemen Penerangan yang fungsinya, antara lain mengontrol

pers). Makin sempurna mekanisme internal keredaksian Tempo, makin mengental

semangat jurnalisme investigasinya. Maka makin tajam pula daya kritik Tempo

terhadap pemerintahan Soeharto yang sudah sedemikian melumut. Puncaknya, pada Juni 1994.

Untuk kedua kalinya Tempo dibredel oleh pemerintah, melalui Menteri

Penerangan Harmoko. Tempo dinilai terlalu keras mengkritik Habibie dan

Soeharto, ihwal pembelian kapal kapal bekas dari Jerman Timur. Selepas

Soeharto lengser pada Mei 1998, mereka yang pernah bekerja di Tempo dan

tercerai berai akibat bredel, berembuk ulang. Mereka bicara ihwal perlu-tidaknya

majalah Tempo terbit kembali. Hasilnya, Tempo harus terbit kembali. Maka, sejak

12 Oktober 1998, majalah Tempo hadir kembali. Untuk meningkatkan skala dan

kemampuan penetrasi ke bisnis dunia media, maka pada tahun 2001, PT. Arsa Raya Perdanago public dan menjual sahamnya ke publik dan lahirlah PT. Tempo

Inti Media Tbk. (PT.TIM) sebagai penerbit majalah Tempo yang baru.

3.3Objek Penelitian

Objek penelitian adalah sesuatu yang merujuk pada masalah atau tema yang sedang diteliti (Idrus, 2009:91). Adapun objek dalam penelitian ini adalah:

Majalah Tempo Sampul Depan Berita Terkait

Edisi 05/40 terbit pada 04 April 2011

Gambar Karikatur

dengan Headline: “Mandi Duit Malinda:

Dengan rayuan dan blangko kosong, pegawai Citibank ini menggangsir dana

puluhan miliar rupiah”

1. Judul: a. OPINI “Rekening Gendut Malinda Dee” b. “Permainan Blangko Kosong Malinda” c. “Barbie Penggemar Ferrari”

2. Kartun pada halaman

„Malinda Fever‟ Edisi 06/40 terbit pada

11 April 2011

Gambar Karikatur

dengan Headline:

“Nasabah Kakap

Malinda: Korbannya mulai dari jenderal polisi, pengacara kondang, pengusaha, sampai mantan pejabat.” Judul: a. “Si Barbie Masih Sendiri”

b. “Proyek Inong di Luar Citi”

c. “Inong Malinda Dee

„Dalam Seminggu

Nama Saya Hancur‟ d. “Manja dengan

Fasilitas Khusus”

3.4Kerangka Analisis

Dalam penelitian ini unit analisis yang diambil adalah gambar sampul

depan yang berupa karikatur dan teks berita yang dimuat di majalah Tempo edisi

05/40 dan 06/40 April 2011 terkait pemberitaan Malinda Dee. Kemudian

penelitian ini selanjutnya dianalisis menggunakan level tanda yang terdiri dari denotasi, konotasi, dan mitos berdasarkan konsep Roland Barthes. Hal ini

digunakan untuk melihat bagaimana wanita seperti Malinda Dee, yang dicap

sebagai pelaku kejahatan yang apapun bentuk kejahatannya memang tetap saja

merupakan kejahatan, digambarkan oleh media massa Tempo. Roland Barthes

menggunakan istilah two order signification, first order of signification adalah

denotasi, dan second order of signification adalah konotasi.

Tatanan pertama mencakup penanda dan petanda yang mengarah kepada suatu tanda atau objek yang berarti tahap realitas eksternal atau makna penting nyata dari sebuah tanda atau objek itu sendiri. Dalam hal ini denotasi sering disebut dengan makna yang sebenarnya atau makna yang digeneralisasi.

Sedangkan signifikasi tahap kedua (second order of signification)

menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya, yang disebut sebagai konotasi. Penelitian ini juga ditinjau dari segi mitos, yang juga sering disebut

Dokumen terkait