• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN

A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Pemborongan

C. Isi Perjanjian Pemborongan

D. Pengumuman dan Penjelasan Pelelangan

E. Prakualifikasi, Kualifikasi dan Klasifikasi Pemborong F. Jaminan dan Kredit Konstruksi

G. Pelelangan dan Pelulusan

BAB IV : WANPRESTASI ATAS PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No.407 K/Pdt/1998 B. Analisis Kasus

1. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Gugatan Wanprestasi Dalam Penandatanganan Surat Kontrak Pemborongan Pekerjaan

2. Akibat Hukumnya Jika Salah Satu Pihak Wanprestasi Dalam Perjanjian Pemborongan

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

B. Saran DAFTAR BACAAN LAMPIRAN.

ABSTRAK

Dalam kasus perjanjian pemborongan kerja antara PT. Hutama Karya (Persero) Wilayah I dengan PT. Bersaudara Simalungun Energi, dimana dalam perjanjian kerja tersebut ditentukan dalam peraturan perundang-undangan bahwa perjanjian tersebut ada dan mengikat para pihak apabila dituangkan dalam suatu kontrak.

Surat kontrak merupakan syarat untuk adanya suatu perjanjian pemborongan, tetapi dalam kasus tersebut kontrak kerja tidak ditandatangani oleh si pemberi proyek seperti apa yang telah dijanjikannya, karena sebelum kontrak kerja atas proyek tersebut ditandatangani, terlebih dulu ditandatangani surat penunjukan sebagai dasar dilaksanakannya pekerjaan.

Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan wanprestasi dalam penandatanganan surat kontrak pemborongan pekerjaan, bagaimana akibat hukumnya jika salah satu pihak wanprestasi dalam perjanjian pemborongan, bagaimana penyelesaian hukum dalam sengketa perjanjian pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode telaah pustaka (library research) untuk mentelaah data-data sekunder yaitu dengan menganalisis suatu kasus putusan Mahkamah Agung RI.

Berdasarkan hasil pembahasan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan wanprestasi dalam penandatanganan surat kontrak pemborongan pekerjaan menurut majelis hakim menyatakan bahwa putusan Arbitrase sudah tepat dan benar, karena dapat dibuktikan adanya pekerjaan tambahan, yang dilakukan oleh Pemohon Banding (PT. Hutama Karya), hal ini dapat dibuktikan pula dengan adanya Instruksiinstruksi lapangan yang dikeluarkan oleh pihak owner yaitu PT. Bersaudara Simalungun Energi (Termohon Banding), meskipun pekerjaan tambahan tersebut diingkari oleh PT. Bersaudara Simalungun Energi, akan tetapi dengan adanya instruksi-instruksi lapangan dari pihak pekerja, maka secara tidak langsung PT. Bersaudara Simalungun Energi menyetujui pekerjaan tambahan tersebut. Akibat hukumnya jika salah satu pihak wanprestasi dalam perjanjian pemborongan membawa akibat hukum bahwa pihak yang dirugikan meminta ganti rugi kepada pihak yang menimbulkan kerugian tersebut. Penyelesaian hukum dalam sengketa perjanjian pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun dilakukan dengan cara musyawarah jika tidak tercapai kata sepakat baru dimajukan tuntutan ganti rugi melalui arbitrase dan jika keberatan atas putusan badan arbitrase dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan, oleh karena itu dapat dikatakan hukum tentang pemborongan dan bangunan umurnya setua peradaban manusia.

Jika bangunan tersebut dibangun oleh orang lain maka prinsip-prinsip dasar hukum, pemborongan dan bangunan sudah mulai diterapkan walaupun masih dalam bentuk yang sangat sederhana.

Perkembangan kontrak tentang pemborongan bangunan sangat pesat dan kompleks, sehingga hukum tentang pemborongan berkembang terus sepanjang zaman sampai dengan saat ini. Khusus di Indonesia peraturan yang masih berlaku sampai sekarang adalah dalam KUH. Perdata dan peraturan standard AV 1941.

Dalam Buku III KUH. Perdata diatur bermacam-macam perjanjian yang pada umumnya merupakan perjanjian konsensuil yaitu perjanjian yang lahir dari kontrak atau persetujuan. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, ada perundingan atau penawaran sebagai tindakan mendahului tercapainya persetujuan yang tetap, tawaran pihak yang satu diterima oleh pihak lainnya, tercapainya kata sepakat tentang pokok perjanjian. Suatu perjanjian mempunyai kekuatan hukum, artinya mengikat para pihak yang membuatnya apabila perjanjian itu dibuat secara sah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang.

KUH. Perdata tidak banyak mengatur tentang kontrak pemborongan pekerjaan, yaitu hanya terdapat dalam 14 pasal saja, yaitu mulai dari Pasal 1604 sampai dengan Pasal 1617. “Tidak ada ketegasan dalam pasal-pasal KUH. Perdata mengenai kontrak pemborongan ini

apakah besifat memaksa atau hanya hukum mengatur, tetapi kebanyakan ketentuan tentang hukum pemborongan tersebut bersifat hukum mengatur, jadi umumnya dapat dikesampingkan para pihak”.1

Pengaturan yang dianut Buku III KUH. Perdata adalah sistem terbuka, artinya bahwa orang/para pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja baik isi, tujuan dan bentuknya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan yang baik. Bahkan orang boleh mengesampingkan peraturan-peraturan dari hukum perjanjian yang dimuat dalam Buku III KUH. Perdata, karena Buku III KUH. Perdata ini hanya berfungsi sebagai pelengkap saja, hanya melengkapi perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang telah ada.

2

M. Yahya Harahap menyatakan bahwa “perjanjian merupakan suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antar dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.

Dalam Pasal 1313 KUH. Perdata menentukan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Perumusan tersebut hanya cocok untuk perjanjian sepihak.

3

Untuk proyek pemerintah peerjanjian pemborongan dibuat secara tertulis dengan perjanjian baku. Arti perjanjian baku adalah perjanjian yang dibuat berdasarkan peraturan standard. Adapun standard untuk perjanjian pemborongan adalah AV 1941 (Algemene

Dari rumusan perjanjian tersebut di atas, maka pengertiannya menjadi luas, tidak hanya mengenai perjanjian sepihak saja tetapi juga meliputi perjanjian timbal balik dimana dalam hubungan tersebut ada hak dan kewajiban pada masing-masing pihak seperti misalnya perjanjian pekerjaan pemborongan.

1

Munir Fuady., Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1998, hal.26 2

J. Satrio., Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992, hal.128 3

Voorwarden Voor de uitvoering bij aaneming van openbare werken in Indonesia), yaitu syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di Indonesia.

Peraturan standard dalam perjanjian selain menyangkut persyaratan teknisnya juga mengatur persyaratan administratifnya, yaitu ketentuan yuridisnya. Peraturan standard tersebut selain berlaku bagi perjanjian pemborongan bangunan mengenai pekerjaan umum yang diborongkan oleh pemerintah, juga dinyatakan berlaku untuk pemborongan bangunan oleh pihak swasta.4

Mengenai bentuk perjanjian pemborongan bangunan pada asasnya adalah dibuat secara tertulis, karena selain berguna bagi kepentingan pembuktian juga dengan pengertian bahwa perjanjian pemborongan bangunan tergolong perjanjian yang mengandung resiko bahaya yang menyangkut keselamatan umum dan tertib bangunan. “Perjanjian tersebut juga didasarkan pada peraturan standard yang menyangkut segi yuridis dan segi teknisnya yang ditunjuk dalam rumusan kontrak”.5

Dalam praktek lazim ditempuh jalan bahwa sebelum kontraknya jadi, maka demi pelaksanaan pekerjaan yang cepat sesuai dengan jangka waktu yang diberikan didahului dengan membuat surat penunjukkan/surat perintah kerja. “Surat penunjukan sebagai dasar kesepakatan untuk dapat dimulainya penggarapan suatu pekerjaan. Surat penunjukan hanya sebagai penunjukan untuk pelaksanaan dari suatu pekerjaan atau merupakan surat pernyataan dari suatu perusahaan untuk menyatakan pelaksanaan pekerjaan dapat dilaksanakan”.6

Menurut ketentuan Kepres No. 16 Tahun 1994 Pasal 21 ayat 7 huruf c dan d menyebutkan bahwa, pekerjaan pemborongan yang nilainya di atas Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah) sampai dengan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) berdasarkan pemilihan langsung dengan kontrak atau cukup dengan surat perintah kerja atau surat penunjukan, yang

4

Sri Soedewi Maschjun Sofwan., Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan Bangunan. Liberty, Yogyakarta, 1982, hal.5

5

Ibid., hal.55. 6

dilakukan dengan membandingkan sekurang-kurangnya tiga penawar yang tercatat dalam Daftar Rekanan Mampu (DRM) dan melakukan negoisasi, baik teknis maupun harga, sehingga dapat diperoleh harga yang wajar dan yang secara teknis dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan untuk pekerjaan pemborongan yang nilainya lebih dari Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) harus dilaksanakan atas surat perjanjian/surat kontrak berdasarkan pelelangan umum atau pelelangan terbatas.

Dalam kasus perjanjian pemborongan kerja antara PT. Hutama Karya (Persero) sebagai pemberi proyek dan PT. Bersaudara Simalungun Energi sebagai kontraktor, dimana dalam perjanjian kerja tersebut ditentukan dalam peraturan perundang-undangan bahwa perjanjian tersebut ada dan mengikat para pihak apabila dituangkan dalam suatu kontrak, surat kontrak merupakan syarat untuk adanya suatu perjanjian pemborongan, tetapi dalam kasus tersebut kontrak kerja tidak ditandatangani oleh si pemberi proyek seperti apa yang telah dijanjikannya, karena sebelum kontrak kerja atas proyek tersebut ditandatangani, terlebih dahulu ditandatangani surat penunjukan sebagai dasar dilaksanakannya pekerjaan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan wanprestasi dalam penandatanganan surat kontrak pemborongan pekerjaan

2. Bagaimana akibat hukumnya jika salah satu pihak wanprestasi dalam perjanjian pemborongan.

3. Bagaimana penyelesaian hukum dalam sengketa perjanjian pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan wanprestasi dalam penandatanganan surat kontrak pemborongan pekerjaan.

b. Untuk mengetahui akibat hukumnya jika salah satu pihak wanprestasi dalam perjanjian pemborongan.

c. Untuk mengetahui penyelesaian hukum dalam sengketa perjanjian pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun.

2. Manfaat Penulisan

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis.

a. Secara teoretis penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan untuk pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut bagi teoretis yang ingin mengetahui dan memperdalam tentang masalah perjanjian pemborongan.

b. Secara Praktis :

1) Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat khususnya memberikan informasi ilmiah mengenai perjanjian pemborongan.

2) Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi penegak hukum dalam menyelesaikan masalah wanprestasi dalam perjanjian pemborongan pekerjaan.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Penyelesaian Sengketa Perjanjian Pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun Antara PT. Hutama Karya (Persero) Dengan PT. Bersaudara Simalungun Energi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 146 K/PDT.SUS/2012)”.

Di dalam penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan maupun media cetak maupun elektronik dan disamping itu juga diadakan penelitian. Dan sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini saya buat, maka hal itu menjadi tanggung jawab saya sendiri.

E. Tinjauan Kepustakaan

Menurut pendapat Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menyebutkan bahwa perjanjian itu adalah "suatu perbuatan hukum seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih".7

Menurut R. Wirjono Prodjodikoro menyebutkan sebagai berikut “suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.8

7

Sri Soedewi Maschoen Sofwan., Op.Cit, hal.7. 8

R. Wirjono Prodjodikoro., Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung,1992, hal.11.

Selanjutnya menurut pendapat R. Subekti bahwa perjanjian adalah "suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal".9

Perjanjian dan persetujuan adalah berbeda. Persetujuan adalah suatu kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan mengikat kedua belah pihak, sedangkan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio tidak dipakai istilah perjanjian melainkan yang dipakai adalah perikatan.

Jadi kedua istilah tersebut adalah sama artinya, tetapi menurut pendapat R. Wirjono Prodjodikoro bahwa :

10

Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu dapat menimbulkan perikatan dikalangan para pihak yang mengadakan perjanjian itu atau diantara para pihak yang bersepakat di dalam perjanjian itu. Jadi perjanjian adalah merupakan

Dari kedua definisi yang dikemukakan oleh R. Subekti dan R. Wirjono Prodjodikoro di atas pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil. Adanya perbedaan tersebut hanya terletak pada redaksi kalimat yang dipilih untuk mengutarakan maksud dan pengertiannya saja. Yang pasti dari peristiwa perjanjian itu kemudian akan menimbulkan suatu hubungan antara kedua orang atau kedua pihak tersebut.

Jadi perjanjian dapat menerbitkan perikatan diantara kedua orang atau kedua pihak yang membuatnya itu. Menampakkan atau mewujudkan bentuknya, perjanjian dapat berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau dituliskan.

9

R. Subekti., Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1992, h.1.

10

salah satu sumber perikatan di samping sumber-sumber perikatan lainnya. Perjanjian disebut sebagai persepakatan atau persetujuan, sebab para pihak yang membuatnya tentu menyetujui atau menyepakati isi dari perjanjian yang dibuat untuk melaksanakan sesuatu prestasi tertentu.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah merupakan hal yang nyata atau suatu peristiwa kongkrit. Sebab perikatan tidak dapat terlihat secara nyata melainkan hanya dapat dibayangkan, sedangkan perjanjian pada umumnya terlihat jika itu dalam bentuk tertulis dan jika hanya lisan saja, maka perjanjian dapat didengar isinya atau perkataan-perkataan yang mengandung janji tersebut.

Pemborongan pekerjaan adalah merupakan bagian tersendiri dalam KUH. Perdata yaitu yang diatur dalam pasal-pasal 1601 b dan Pasal 1604 s/d 1616 tentang persetujuan tertentu pada Buku III, bab 7 A bagian ke – 6.

Pengertian perjanjian pemborongan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu yaitu si pemborong mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain yaitu pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Demikian bunyi Pasal 1901 b KUH. Perdata. Maksud perjanjian pemborongan tersebut di atas dimana pihak yang satu dalam hal ini si pemborong berjanji kepada pihak yang memborongkan akan meyelenggarakan pekerjaan tertentu dan dengan mendapat upah tertentu.

Dalam perjanjian pemborongan pekerjaan itu selain untuk membangun juga dikenal perjanjian pemborongan pekerjaan untuk menyediakan barang-barang. Dalam pembahasan ini hanya akan membicarakan sekitar tentang masalah persetujuan pemborongan bangunan.

Pasal 1338 ayat (2) KUH.Perdata mengatakan, bahwa persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikat baik. Namun dalam prakteknya para pihak sering tidak konsekuen dengan apa yang telah diperjanjikan, maka tidak jarang suatu perjanjian pada akhirnya harus

diselesaikan di Pengadilan yang banyak memakan biaya dan waktu. Dalam hal ini perjanjian dibuat secara lisan akan mengalami kesulitan pembuktian di Pengadilan.

Perjanjian pemborongan yang dibuat para pihak akan memuat panjang lebar tentang luasnya pekerjaan, urutan tentang pekerjaan dan syarat yang disertai dengan bestek, persyaratan bahan material, tentang harga tertentu, jangka waktu penyelesaian, resiko dan lain-lain yang tersebut di atas dirumuskan secara terperinci.

Di dalam suatu perjanjian pemborongan bangunan terdapat para pihak yang saling mengikatkan diri untuk melaksanakan perjanjian yang mereka buat tersebut. Adapun pihak tersebut adalah pihak yang memborongkan yang memberi pekerjaan dan pihak yang memborong (yang mengerjakan) biasa disebut pihak kontraktor. Namun hal itu tidaklah sesederhana hal tersebut mungkin lebih dari dua pihak.

Pihak-pihak yang menjadi peserta dalam perjanjian bangunan adalah : a. Pemberi Pekerjaan

Pemberi pekerjaan dalam hal ini adalah pemerintah yang memprakarsai dan merencanakan pembangunan sesuai dengan bangunan Daftar Isian Proyek (DIP) dari masing-masing departemen. Dalam melakukan pembangunan fisik sangat erat hubungannya dengan Departemen Pekerjaan Umum sebagai pemberi pekerjaan, karena untuk proyek-proyek yang menyangkut kepentingan (kesejahteraan umum), misalnya jalan raya, jembatan dan lain-lain, tidak bisa terlepas dari tugas Departemen PU yang mengurus kepentingan umum.

Setiap pembangunan yang menyangkut kepentingan umum maka yang bertindak sebagai pemberi pekerjaan (mewakili pemerintah) adalah Departemen PU. Hubungan antara pemerintah sebagai pemberi pekerjaan dengan pemborong dari pihak swasta dituangkan dalam surat perjanjian pemborongan atau Surat Perintah Kerja (SPK).

Perencana adalah pihak yang menyusun rencana bangunan memuat arsitek sesuai dengan kehendak pemberi pekerjaan. Tugas perencanaan dalam pemborongan dilakukan oleh orang-orang dan ahli, yaitu arsitek atau insinyur.

c. Pemborong .

Pemborong adalah pihak yang bertindak sebagai pelaksana pembangunan sesuai dengan isi perjanjian. Pemborong ini bisa perseorangan, badan hukum swasta maupun pemerintah.

Dalam melaksanakan pekerjaan, pemborong yang memenangkan lelang (tender)

sering bekerjasama dengan pemborong yang lain yang biasa disebut sub kontraktor. Pekerjaan tidak boleh diserahkan kepada sub kontraktor secara keseluruhan, hanya boleh untuk sebahagian pekerjaan yang biasanya tidak menjadi keahlian pemborong setelah sebelumnya sub kontraktor ini diusulkan oleh pemborong dan dapat izin secara tertulis dari pemberi tugas.

Dalam suatu perjanjian apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, maka dikatakan wanprestasi. Dengan terjadinya wanprestasi maka pihak yang dirugikan dapat meminta atau menuntut ganti rugi dan juga dapat membatalkan perjanjian yang telah dibuat. Hal ini ditentukan dalam Pasal 1266 KUH. Perdata ayat (1) yang menyebutkan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”. Sedangkan ayat (2) menyebutkan “dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum tetapi pembatalan harus dimintakan pada hakim”.

2. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah normatif yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan dan empiris yaitu dengan mengemukakan kasus yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini..

3. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemecahan permasalahan yang dikemukakan.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah dengan melakukan analisis kasus berdasarkan relevansinya dengan permasalahan yang diteliti untuk kemudian dikaji sebagai suatui kesatuan yang utuh.

5. Analisis Data.

Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat tanpa menggunakan rumus-rumus statistik sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan tersebut secara keseluruhan dapat diuraikan, yaitu :

BAB I : Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, yaitu Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan

BAB II : Perjanjian Pada Umumnya meliputi : Pengertian Perjanjian, Unsur-Unsur Perjanjian, Syarat-Syarat Perjanjian, Asas-Asas Dalam Perjanjian, Wanprestasi dan Akibat Hukumnya.

BAB III Tinjauan Tentang Perjanjian Pemborongan Bangunan meliputi : Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Pemborongan, Jenis Perjanjian Pemborongan, Isi Perjanjian Pemborongan, Pengumuman dan Penjelasan Pelelangan, Prakualifikasi, Kualifikasi dan Klasifikasi Pemborong..

BAB IV Penyelesaian Sengketa Perjanjian Pembangunan PLTM Silau 2 Simalungun Antara PT. Hutama Karya (Persero) Dengan PT. Bersaudara Simalungun Energi meliputi : Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 146 K/PDT.SUS/2012, Analisis Kasus, Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Gugatan Wanprestasi Dalam Penandatanganan Surat Kontrak Pemborongan Pekerjaan, Akibat Hukumnya Jika Salah Satu Pihak Wanprestasi Dalam Perjanjian Pemborongan

BAB V Kesimpulan dan Saran, sebagai layaknya dalam penulisan skripsi, maka dalam penulisan ini penulis membuat suatu kesimpulan dan juga saran-saran yang menjadi bahan masukan untuk penelitian mengenai masalah ini dan dalam skripsi ini akan turut pula dimasukkan daftar bacaan dan lampiran-lampiran.

BAB II

PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian

Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.11

Menurut R. Subekti, “Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu”.

Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan istilah perjanjian tetapi memakai kata persetujuan. Yang menjadi masalah adalah apakah kedua kata tersebut yaitu perjanjian dan persetujuan memiliki arti yang sama.

12

a) Hanya menyangkut sepihak saja

Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.

Dari kedua pendapat ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian sama pengertiannya dengan persetujuan. Oleh karena itu, persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata dapat dibaca dengan perjanjian.

Menurut para sarjana, antara lain Abdul Kadir Muhammad bahwa rumusan perjanjian dalam KUH Perdata itu kurang memuaskan, karena mengandung beberapa kelemahannya yaitu.

Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.

b) Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsesus

Dokumen terkait