• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian dan Dasar Hukum ‘Urf

Dalam dokumen Konsep Ahli Waris Menurut Islam dan Adat (Halaman 43-46)

AKOMODASI BUDAYA LOKAL ( URF) PADA MASA ULAMA MUJTAHID

1. Pengertian dan Dasar Hukum ‘Urf

Kata „urf berasal dari kata „arafa, ya‟rifu sering diartikan dengan

“al-ma‟ruf” yang artinya adalah sesuatu yang dikenal. Secara etimologi, „urf berarti

sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, „urf adalah Sesuatu

yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan maupun perkataan.97

Menurut Abdul Wahhab Khallaf „Urf ialah apa-apa yang telah dibiasakan

oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan. „Urf perkataan seperti kebiasaan di satu masyarakat untuk tidak

menggunakan kata al-lahn (daging) kepada jenis ikan. „Urf berupa perbuatan

96

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang

Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Cetakan I (Jakarta Paramadina, 2000), hlm.

73

97

Abd al Karim Zaidan, al Wajiz fi Ushul al Fiqh, (Beirut: Muassasat al Risalah, 1985), hlm 247.

misalnya kebiasaan di satu masyarakat dalam transaksi jual beli kebutuhan ringan, seperti, gula, garam, minyak dan lain-lain, dengan hanya menerima barang dan menyerahkan pembayaran tanpa mengucapkan ijab dan qabul. Kebiasaan-kebiasaan seperti ini menjadi bahan pertimbangan waktu akan menetapkan hukum dalam masalah-masalah yang tidak ada ketegasan hukumnya di dalam al Qur‟an dan Sunnah.

„Urf disebut juga adat kebiasaan.98Menurut istilah para ahli syara‟ tidak ada perbedaan antara `urf dan adat kebiasaan, karena kedua kata ini pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang banyak. Namun menurut ahli ushul, walaupun sama akan tetapi antara „urf dan adat terdapat perbedaan. kata adat berasal dari bahasa Arab

ةٌةعَداعَ ; akar katanya: „ada, ya„udu ( عُدعٌْعُععَ - عَداعَ ) mengandung arti perulangan. Oleh karena itu sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Kata

„urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan

dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Dengan demikian dapat dipahami bahwa perbedaan antara „urf dan „adah adalah; „urf cenderung kepada kebiasaan yang rasional dan spesifik, sedangkan „adah adalah istilah yang digunakan bagi semua kebiasaan masyarakat tanpa mempertimbangkan baik buruknya atau pun rasional tidaknya dan lebih general (umum). dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan antara „urf dan „adah adalah; „urf cenderung kepada kebiasaan yang rasional dan spesifik, sedangkan al„adah adalah istilah yang digunakan bagi semua kebiasaan masyarakat tanpa mempertimbangkan baik buruknya atau pun rasional tidaknya dan lebih general (umum).

Adapun dalam tataran terminologi, sebagian ulama ushul memberi definisi yang sama terhadap „Urf dan 'Adat, sebagaimana definisi yang diberikan

oleh Wahbah al Zuhaily berikut ini:

فزعنا : ىينيب عاش معف مك ٍي ويه اًراسً ساننا هدات ا اي ٌى , ىنعي ىه وقلاطا اٌفراعت ظفن ًأ تغهنا وفنأت لا صاخ , و اًس دن هزيغ ردابت لاً , تعّي اًجنا ةداعنا ىنعًب ٌىً , ف زعتنا اذى مًش دقً ينٌقنا فزعناً يهًعنا فزعنا .

„Urf adalah kebiasaan manusia yang dilakukan secara terus menerus

sehingga perbuatan tersebut menjadi populer di kalangan mereka, atau mengartikan suatu lafaz dengan pengertian khusus meskipun makna asli dari lafaz yang dimaksud berlainan.99

„Urf yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum atau dalil dalam Islam

adalah „urf yang tidak bertentangan dengan al Qur‟an dan Hadis. Adapun kehujjahan „urf sebagai dalil didasarkan atas alasan-alasan sebagai berikut :100

98

Miftahul Arifin danA Faishal Haq, Ushul Fiqh : Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum

Islam, (Surabaya: CV Citra Media, 1997) Cetakan I, hlm 146

99Wahbah al Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islamy. (Beirut: Dar el- Fikr al-Mu‟ashir, 1424 H/2004 M), vol. 2, cet. II, hlm 147

100

a. Al Qur‟an firman Allah surat al A‟raf (7:199), sebagai berikut :

 Artinya: “Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.

Menurut al-Suyuti, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Yasin bin Isa al Fadani, kata „urf pada ayat di atas bisa diartikan sebagai kebiasaan atau adat. Ditegaskan lagi oleh Syaikh Yasin, adat yang dimaksudkan adalah adat yang tidak bertentangan dengan syari‟at. Namun pendapat ini dianggap lemah oleh ulama lain. Sebab jika‟urf dianggap sebagai adat istiadat, maka sangat tidak selaras dengan asbab al nuzul-nya, dimana ayat ini diturunkan dalam konteks dakwah yang dilakukan Nabi Saw kepada orang-orang Arab yang berkarakter keras dan kasar, juga kepada orang-orang yang lemah imannya.101

b. Pada dasarnya syari‟at Islam sejak awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al Qur‟an dan Sunnah Rasulullah Saw. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan.

Dalam perkembangannya, makna „urf kemudian secara general digunakan

dengan makna tradisi, yang tentu saja meliputi tradisi baik (al-„urf al shahih) dan

tradisi buruk (al-„urf al fasid). Dalam konteks ini tentu saja al-ma‟ruf bermakna

segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi yang baik. Arti baik disini adalah sesuai dengan tuntunan wahyu. Amr bi al ma‟ruf berarti memerintahkan sesama manusia

untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai wahyu dan moral etik.

Nilai yang pantas menurut suatu masyarakat merupakan manifestasi hati nurani masyarakat tersebut dalam konteks kondisi lingkungan yang melingkupi masyarakat yang bersangkutan. Kondisi lingkungan yang berbeda pada masyarakat yang berbeda akan menyebabkan variasi pada nilai-nilai kepantasan yang dianut. Karena itu, tradisi pada suatu masyarakat bisa berbeda dengan masyarakat yang lain. Nilai-nilai kepantasan itu tidak boleh bertentangan dengan dengan nilai-nilai wahyu yang terkandung dalam al Qur‟an dan Hadis.

Konsep bahwa Islam sebagai agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan lokal (hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam al-Qur‟an yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-Islam.Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

101

S. Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad saw. Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat.102

Dalam dokumen Konsep Ahli Waris Menurut Islam dan Adat (Halaman 43-46)

Dokumen terkait