BAB II KERANGKA TEORI
B. Pengertian Dhu’afa, Fakir dan Miskin
Perkataan dhu’afa dalam kosa kata Al-Qur’an merupakan bentuk jamak dari kata dha’if. Kata ini berasal dari kata dhu’afa, yadh’ufu, dhu’fan atau dha’fan yang secara umum mengandung dua pengertian, lemah dan berlipat ganda. Tentu saja yang dimaksudkan dalam konteks pembahasan ini dhu’afa secara literal berarti orang-orang yang lemah. Menurut al-Ashfahani perkataan dhu’fu merupakan lawan dari quwwah yang berarti kuat. Kemudian menurut Imam Khalil, Pakar ilmu nahwu, istilah dhu’fu biasanya dimaksudkan untuk menunjukan lemah fisik, sedangkan dha’fu biasanya digunakan untuk menunjukan lemah akal.
Sejalan dengan penjelasan di atas, Al-Raghib al- Ashfahani di dalam kitab Mufradat Alfadah Al-Qur’an ketika menjelaskan makna dan maksud istilah dhi’af-an pada surat anisa ayat 9 sebagai berikut:
!" #$%&' ()*+-./0 1#2&/34 /$ 5 6!" 78% 9 :;*< $% $ :; (= >?+ ?&@ ABC D D
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya meninggalkan anak-anak yang lemah dibelakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka, maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah daan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
25
Asep Usman Ismail, dkk, Pengamalan Al-Qur’an Tentang Pemberdayaan Dhu’afa, (Jakarta: Dakwah Press, 2008), Cet. Ke-1, h. 10
Dari ayat di atas bahwa istilah dhi’af-an memiliki beberapa pengertian:
Pertama, dha’if al-jism yakni lemah secara fisik. Maksudnya, bahwa orang-orang beriman tidak boleh membiarkan anak-anak mereka memilki fisik, tubuh, atau badan yang lemah. Bagi orang Islam, makanan yang bergizi itu selain memenuhi gizi yang seimbang sebagaimana dirumuskan dalam prinsip empat sehat lima sempurna, tetapi juga harus memperhatikan syarat halalan thayyiba, yakni halal secara ilmu fikih dan berkualitas bagi kesehatan tubuh.26 Sejalan dengan ini Sajogyo menjelaskan seseorang belum dikatakan sejahtera jika belum mencukupi standar protein dan kalori tertentu, sedang menurut BPS kebutuhan minimum untuk hidup di ukur dengan pengeluaran untuk makanan setara 2.100 kalori per kapita per hari.27
Kedua, dha’if fi al-aqli yakni lemah secara intelektual. Sebenarnya setiap anak memiliki potensi kecerdasan yang hampir sama. Misalnya kelemahan intelektual anak-anak pada umumnya tidak terletak pada potensi anak itu sendiri, tetapi terletak pada kemampuan orang tua, guru dan orang dewasa disekitar kehidupan anak-anak dalam mengembangkan potensi kecerdasan mereka.
Ketiga, dha’if al-hali yakni lemah karena keadaan sosial ekonomi yang dihadapinya. Adapun yang dimaksud dengan kelemahan yang ketiga ini adalah sebagai berikut: (1) kelemahan itu tidak berkenaan dengan fisik, keterampilan hidup dan kecerdasan, tetapi berkenaan dengan kemampuan
26
Asep Usman Ismail, dkk. Pengamalan Al-Qur’an Tentang Pemberdayaan Kaum Dhu’afa, h. 19
27
Gunawan Sumodiningrat, Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, (Jakarta: IMPAC, 1999) h.10
untuk mndapat informasi dan peluang pengembangan diri. (2) Kelemahan itu berkenaan dengan kemiskinan dan masalah-masalah sosial. Anak-anak yatim dari lingkungan masyarakat fakir miskin yang cerdas dan memilki keinginan untuk maju termasuk salah satu contoh kelemahan bentuk ketiga. Seorang muslim selain diperintahkan agar senantiasa meningkatkan ketakwaan-nya kepada Allah, juga sangat ditekankan agar tidak membiarkan generasi yang lemah dilingkungan terdekatnya, terutama kaum dhu’afa seperti anak yatim, fakir miskin, anak jalanan, dan anak-anak terlantar, serta orang-orang dari keluarga yang termasuk penyandang masalah kesejahteraan sosial.
Dapat disimpulkan menurut al-Asfahani, pengertian dhu’afa yang berakar dari kata dha’afa membentuk kata dhu’afa dengan segala perubahannya di dalam Al-Qur’an mengandung pengertian: lemah secara fisik, lemah kedudukan, lemah ekonomi, lemah akal dan ilmu/ kurang pendidikan, lemah iman/ keyakinan, dan lemah jiwa.
Istilah dhu’afa ini antara lain ditemukan pada ayat Al-Qur’an, yang mengandung pengertian lemah fisik, baik karena belum cukup umur, lanjut usia maupun karena faktor kwalitas kesehatan.28
EF 7 G8 I#&/.B J= G8 KL&M &N J= G8 J= O ?3" Q O :; #R+ ST &U 0!; V W X Y Z! @ . K G8 [ (3\ N ]7!^&@ K _ `. :#Ia B UF. AB4C
Artinya: Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas al-dhu’afa/ orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku
28
Asep Usman Ismail, dkk. Pengamalan Al-Qur’an Tentang Pemberdayaan Kaum Dhu’afa, h. 18-19
ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (Q.S. al-Taubah : 91).
2.Pengertian Fakir dan Miskin
Berkenaan dengan fenomena kemiskinan, Al-Qur’an menyebut istilah miskin dalam bentuk tunggal sebanyak 11 kali dan menyebutnya dalam bentuk jamak, masakin, debanyak 12 kali. Jadi secara keseluruhan Al-Qur’an menyebut istilah miskin sebanyak 23 kali. Dilihat dari segi kebahasaannya istilah miskin berasal dari kata kerja sakana, yang akar hurufnya terdiri atas s-k-n. Perkataan sakana mengandung arti diam, tetap, jumud dan statis. al-Ashfahani mendefinisikan miskin adalah seorang yang tidak memiliki apapun.
Istilah miskin menggambarkan akibat dari keadaan diri seseorang atau sekelompok orang yang lemah. Ketika seseorang itu tidak berhasil mengembangkan potensi dirinya secara optimal, yakni potensi kecerdasaan, mental dan keterampilan, maka keadaan itu akan berakibat langsung pada kemiskinan, yakni ketidakmampuan mendapatkan, memilki dan mengakses sumber-sumber rizki sehingga ia tidak memiliki sesuatu apapun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang miskin memiliki tenaga untuk bekerja, tetapi ia tidak melatih dan membiasakan dirinya untuk menjadi pekerja yang terampil. Orang miskin juga memiliki potensi untuk mengembangkan dirinya tetapi tidak berhasil menjadi pekerja yang ulet. Mereka memilih pola hidup sakana yang berarti diam, jumud dan statis
tidak mengembangkan skill atau keterampilan dan keahlian dalam hidupnya karena malas. Akibatnya miskin.29
Namun menurut Gunawan Sumodiningrat dalam bukunya kemiskinan teori, fakta dan bijakan, penyebab kemiskinan tidak hanya disebabkan karena seseorang diam, apatis, malas dan tidak mengembangkan skillnya yang di istilahkan dengan kemiskinan Kultural/Culture of poverty, Akan tetapi juga seseorang menjadi miskin karena lebih bersifat hambatan kelembagaan atau strukturnyna memang bisa menghambat seseorang untuk meraih kesempatan-kesempatannya sehingga masyarakat tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.30 Menurut Tadjuddin Noer Effendi “ kemiskinan ini meliputi kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya, kekurangan perlindungan dari hukum dan pemerintah.31
Selanjutnya Sajogyo menggunakan satuan kilogram beras ekuivalen untuk menentukan kriteria batas garis kemiskinan penduduk.
1.Sangat Miskin
Penduduk yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang mempunyai penghasilan di bawah setara dengan 240 kg beras ekuivalen setiap orang dalam setahun untuk penduduk yang hidup di perdesaan, dan mereka yang berpenghasilan setara dengan 360 kg beras untuk penduduk yang tinggal di perkotaan.
29
Ibid, h. 20
30
Gunawan Sumodiningrat, Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, h.16
31
Tadjuddin Noer Effendi, Sumber Daya Manusia, Peluang kerja, dan kemiskinan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), h. 203
2.Miskin
Penduduk yang temasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang mempunyai penghasilan setara dengan 240 kg beras sampai 320 kg beras per tahun untuk penduduk yang tinggal di desa, dan mereka yang berpenghasilan setara dengan 360 kg beras sampai 480 kg beras per tahun untuk penduduk yang tinggal di kota.
3.Hampir Cukup
Penduduk yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang mempunyai penghasilan setara 320 kg beras sampai 480 kg beras per tahun untuk penduduk yang tinggal di desa, dan mereka yang mempunyai penghasilan setara 480 kg beras sampai 720 kg beras per tahun untuk penduduk yang tinggal di kota.
4.Cukup
Penduduk yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang mempunyai penghasilan setara dengan lebih dari 480 kg beras setiap orang selama setahun di daerah perdesaan, dan mereka yang mempunyai penghasilan setara 720 kg beras setiap orang selama setahun untuk daerah perkotaan.32
.
Sementara itu, istilah fakir di dalam bahasa Indonesia berasal dari kosa kata bahasa Arab faqir dalam bentuk tunggal dan fuqara’ dalam bentuk jamak yang secara kebahasaan, menurut Al-Raghib al-Ashfahani, memilik empat pengertian. Pertama, perkataan faqir berarti orang yang membutuhkan Allah. Kebutuhan ini merupakan eksistensial yang berkenaan
32
dengan eksistensi manusia, yakni bahwa setiap manusia secara universal membutuhkan Allah sebagaimana dinyatakan di dalam ayat yang berikut:
)b ? cd2 + ef f( g iW Z e ;:# G8j!; k _ /l mLn ? N& A4!C
“Wahai seluruh manusia kalian fuqara’ yakni membutuhkan Allah, sedangkan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Q.S. Fathir: 15).
Kedua, perkataan faqir berarti membutuhkan. Dalam pengertian bahwa setiap orang membutuhkan makanan dan minuman serta kebutuhan fisik-biologis lainnya untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Ketiga, perkataan faqir berarti tidak memilki, tidak mengakses, dan tidak mendapatkan sembilan bahan pokok (sembako) untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari sehingga ia menjadi faqir, yakni membutuhkan pertolongan dan bantuan dari yang memilki kemampuan. Keempat perkataan faqir berarti faqr al-nafs, yakni jiwa yang tidak memiliki, tidak mengakses, dan tidak mendapatkan siraman rohani untuk pengayaan batin.33
Para ulama fiqih sepeti Imam Hanafi berpendapat bahwa fakir adalah orang yang tidak memilki penghasilan tetap dan tidak ada yang memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sementara itu Imam Syafi’i berpendapat bahwa fakir adalah orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar. Sementara itu, orang miskin adalah orang yang memiliki pekerjaan tetap tetapi penghasilannya tidak dapat memenuhi kebutuhannya sehari- hari.34
33
Asep Usman Ismail, dkk. Pengamalan Al-Qur’an Tentang Pemberdayaan Kaum Dhu’afa, h. 20-21
34
Hasan Shadili, (ed), Fakir dalam Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus, Jilid 7, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), h. 3977
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa istilah fakir dan miskin pada dasarnya sama yakni seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya karena keterbatasan mereka. Namun antara fakir dan miskin ada derajat yang membedakannya yakni istilah fakir lebih rendah derajatnya dari istilah miskin.