• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT

D. HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA

Dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, memberikan pengertian Pelaku Usaha, sebagai berikut:

“Pelaku Usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Penjelasan “Pelaku Usaha” yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Pengertian pelaku usaha dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen cukup luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam UUPK tersebut memilih persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam Masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah pembuat produk jadi (finished product); penghasilan bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namanya , tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu;

importir suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan;

70 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.cit., hal. 49-50.

pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan.71

Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut akan memudahkan konsumen menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik lagi seandainya UUPK tersebut memberikan rincian sebagaimana dalam Directive (pedoman bagi negara Masyarakat Uni Eropa), sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia akan mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk. Dalam pasal 3 Directive ditentukan bahwa72

1) Produsen berarti pembuat pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang nama, mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen;

:

2) Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang yang mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau untuk leasing, atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha perdagangannya dalam Masyarakat Eropa, akan dipandang sebagai produsen dalam arti Directive, dan akan bertanggung gugat sebagai produsen;

3) Dalam hal produsen atau suatu produk tidak dikenal identitasnya, maka setiap leveransir/supplier akan bertanggung gugat sebagai produsen, kecuali ia memberitahukan orang yang menderita kerugian dalam waktu yang tidak begitu lama mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam kasus barang atau produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak menunjukkan identitas importir sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2), sekalipun nama produsen dicantumkan.

71 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Ibid., hal.9.

72 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi (Surabaya : Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2000), hal.31.

Pelaku usaha yang meliputi berbagai bentuk/jenis usaha sebagaimana yang dimaksud dalam UUPK, sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha.

Urutan-urutan tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut73

1. Yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilnya diketahui oleh konsumen yang dirugikan;

:

2. Apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri;

3. Apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut.

Urutan-urutan di atas tentu saja hanya diberlakukan jika suatu produk mengalami cacat pada saat di produksi, karena kemungkinan barang mengalami kecacatan pada saat sudah berada di luar kontrol atau di luar kesalahan pelaku usaha yang memproduksi produk tersebut.

Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada para pelaku usaha diberikan hak sebagaimana diatur dalam pasal 6 UUPK. Hak pelaku usaha adalah:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

73 Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal. 35.

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktik yang sering terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah.

Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.

Menyangkut hak pelaku usaha yang tersebut pada huruf b, c, dan d, sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)/Pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen tidak mengabaikan kepentingan pelaku usaha.74

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

Kewajiban konsumen dan hak-hak pelaku usaha yang disebutkan pada huruf b, c, dan d tersebut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan sebelumnya.

Sebagai konsekuensi dari hak konsumen, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 7 UUPK, sebagai berikut:

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

74 Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal.37.

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.

Dalam undang-undang ini terlihat jelas bahwa itikad baik lebih ditekankan kepada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.75

75 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.44.

Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapa berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.

Selain peringatan, instruksi yang ditujukan untuk menjamin efisiensi penggunaan produk juga penting untuk mencegah timbulnya kerugian bagi konsumen. pencantuman informasi bagi konsumen yang berupa instruksi atau petunjuk prosedur pemakaian suatu produk merupakan kewajiban bagi produsen agar produknya tidak dianggap cacat (karena ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai). Sebaliknya, konsumen berkewajiban untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan konsumen.

BAB III

PELABELAN PRODUK PANGAN DAN PENGATURAN LABEL PRODUK PANGAN

A. Pengertian Label

Dalam media massa baik media elektronik maupun media cetak, telah menginformasikan adanya perubahan arah yang terjadi pada industri pangan di Indonesia. Perubahan tersebut ditandai dengan bertumbuhnya industri pangan fungsional dan pangan suplemen. Pangan fungsional adalah pangan yang tidak hanya memberikan zat-zat gizi esensial pada tubuh manusia, melainkan juga memberikan efek perlindungan terhadap tubuh bahkan untuk penyembuhan terhadap beberapa gangguan penyakit. Pertumbuhan pangan fungsional ini didorong oleh meningkatnya kesadaran konsumen yang berhubungan erat dengan makanan, gizi dan kesehatan. Disamping hal tersebut, tuntutan kehidupan modern sekarang ini telah mengakibatkan konsumen menjadi sangat sibuk. Motif inilah yang digunakan oleh para produsen pangan untuk menggencarkan produk suplemen makanan.76

Penggunaan iklan pangan juga diatur dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan. Menurut Undang-Undang No.7 Tahun 1996, pemerintah

Pengedaran produk pangan baik fungsional maupun suplemen tersebut dapat terlihat dari label dan iklan produk-produk pangan yang ditawarkan oleh para produsen pangan. Akan tetapi, sampai saat ini masih banyak iklan dan label, yang menggunakan berbagai istilah yang tidak atau kurang jujur, dan cenderung menyesatkan. Bahkan sering dijumpai pula berbagai klaim yang “terkesan” atau

“seolah-olah ilmiah” sehingga membingungkan dan menyesatkan konsumen.

76 Artikel Purwiyatno Hariyadi, Gizi dan Kesehatan, Mencermati Label dan Iklan Pangan, diunduh pada tanggal 28 Mei 2013 dari situs

http://google.com/pelabelanprodukpangan/bloggerpurwiyatno/gizidankesehatanmencermatilabelda niklanpangan.

berkewajiban mengatur, mengawasi dan melakukan tindakan yang diperlukan agar iklan mengenai pangan yang diperdagangkan, tidak memuat keterangan yang menyesatkan. Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 33 UU No. 7 Tahun 1996 menyatakan, setiap label dan/atau iklan tentang pangan yang diperdagangkan, harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan.77

Khusus yang berkaitan dengan keyakinan atau agama, Pasal 34 UU No. 7 Tahun 1996 menentukan, setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan agama atau kepercayaan tersebut. Pasal ini mengacu kepada pencantuman label halal sesuai dengan Hukum Islam.78

Pasal 1 angka 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 menentukan yang dimaksud dengan “Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Label”. Akan tetapi, sebelum PP No. 69 Tahun 1999 tersebut lahir, pengaturan

Sebagaimana ditentukan Pasal 7 butir b, pelaku usaha berkewajiban memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberi penjelasan tentang penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Kewajiban Pasal 7 butir b ini ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f yang menentukan, bahwa pelaku usaha dilarang untuk memperdagangkan produk yang tidak sesuai janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan produk tersebut. Berkaitan dengan kewajiban pelaku usaha tersebut, diaturlah mengenai pelabelan dan iklan produk pangan dalam Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, sebagai peraturan pelaksanaan dari UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

77 N.H.T. Siahaan, Op.cit., hal.140.

78 Ibid.

pelabelan secara singkat telah ada dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pengertian label pangan yang sama terdapat juga pada Pasal 1 angka 15 UU No. 7 Tahun 1996 tersebut.

Pelabelan produk pangan menjadi penting karena merupakan sarana informasi dari produsen kepada konsumennya mengenai produk yang akan dijualnya. Sehingga konsumen benar-benar mengetahui bahan-bahan apa saja yang digunakan, termasuk perisa yang ditambahkan pada produk yang akan dikonsumsinya. Pelabelan yang benar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan membantu terciptanya perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab, dimana semua pihak akan memperoleh informasi yang benar mengenai suatu produk. Sehingga akan memudahkan dalam pengawasan keamanan pangan dan melindungi konsumen dari terciptanya persepsi yang salah.

B. Label Sebagai Perwujudan Dari Hak Konsumen Mendapatkan Informasi

Setiap produk pangan yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai dengan informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan/atau jasa.

Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan berbagai media atau mencantumkannya dalam atau diluar kemasan produk pangan (label pangan).79

Label pangan penting diketahui sebagai informasi yang sesungguhnya, terutama mengenai substansi dan standar pemakaian yang dilabelkan. Label ini merupakan media komunikasi antara pelaku usaha dengan konsumennya.

Komunikasi harus dilakukan untuk menyampaikan informasi yang benar, jelas dan jujur. Hal ini berarti bahwa tidak boleh ada informasi yang menjadi hak konsumen ditutup-tutupi.80

79 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.34.

80 Warta Konsumen No. 01 Th XXVII Januari 2000, hal.31.

Akan tetapi dalam praktiknya, standar pelabelan produk pangan seringkali dilanggar oleh pelaku usaha. Akibatnya, banyak konsumen yang menderita kerugian hingga menjadi korban yang menghilangkan nyawa konsumen yang mengkonsumsi produk pangan tersebut. Kendatipun para konsumen ada yang memprotesnya secara terang-terangan, tetapi lebih banyak yang berdiam diri dan tetap menjadi silent victim.

Di dalam Pasal 2 PP No. 69 Tahun 1999 mengenai Label Pangan secara umum ditentukan bahwa:

1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemas pangan.

2) Pencantuman label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca.

Kemudian pada Pasal 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 tersebut ditentukan mengenai standar isi dari label pangan bahwa:

1) Label sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan.

2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya:

a. Nama produk;

b. Daftar bahan yang digunakan;

c. Berat bersih atau isi bersih;

d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia;

e. Tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.

Banyak khalayak umum (konsumen) yang menganggap label adalah merek. Masyarakat kurang dapat membedakan label dengan merek. Dengan adanya ketentuan dari Pasal-Pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa label

berbeda dengan merek. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, menentukan bahwa yang dimaksud dengan “Merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa”. Merek memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai tanda yang dapat membedakan hasil perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain.81

Ditinjau dari fungsinya, merek berfungsi sebagai tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum dengan produksi seseorang/beberapa orang atau badan hukum lain, sebagai alat promosi, sehingga mempromosikan hasil produksinya cukup dengan menyebut mereknya serta sebagai jaminan atas mutu barangnya.82

1) Nama (brand name): Aqua, Rinso, LG, Samsung, Acer, Windows, Gucci, Versace, Calvin Klein (Ck), Sony, dan sebagainya.

Merek yang kuat ditandai dengan dikenalnya suatu merek dalam masyarakat, asosiasi merek yang tinggi pada suatu produk, persepsi positif dari pasar dan kesetiaan konsumen memakai merek yang tinggi. Merek dapat diperjelas ke dalam 3 (tiga) hal berikut:

2) Simbol (mark): gambar beruang pada susu Bear Brand, gambar kereta kuda pada California Fried Chicken (cfc), gambar orang tua berjenggot pada brand orang tua (ot) dan Tango, simbol bulatan hijau pada Sony Ericsson, simbol sayap pada motor Honda, dan masih banyak contoh-contoh lainnya yang dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.

3) Karakter Dagang (trade character): si domar pada Indomaret, burung dan kucing pada produk makanan Gery, dan sebagainya.

81 Rachmad Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual : Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal.48.

82 Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung : PT.

Citra Aditya Bakti, 2001), hal.89.

Dari ketiga hal ini, telah jelas bahwa label dan merek sangat berbeda.

Merek lebih difungsikan sebagai tanda pengenal, pembeda, alat promosi suatu produk, sedangkan label sebagai sumber informasi yang lebih lengkap bagi konsumen karena di dalamnya termuat representasi, peringatan, maupun instruksi dari suatu produk.

Informasi sebagai pengertian merupakan stimulasi yang secara konsisten menggerakkan perilaku (behavior) antara si pengirim dan penerima informasi.

Vincent Gaspersz menyatakan bahwa informasi adalah data yang telah diolah menjadi suatu yang berguna bagi si penerima dan mempunyai nilai yang nyata atau yang dapat dirasakan dalam keputusan-keputusan yang sekarang dan keputusan-keputusan yang akan datang.

Pada dasarnya informasi merupakan data yang penting yang dapat memberikan pengetahuan yang berguna dan bermanfaat. Suatu informasi tersebut berguna atau tidak tergantung kepada:

− Tujuan Si Penerima Informasi : apabila informasi itu tujuannya untuk memberi bantuan, maka informasi itu harus membantu si penerima dalam apa yang ia usahakan untuk memperolehnya.

− Ketelitian penyampaian dan pengolahan data : dalam menyampaikan dan mengolah data, inti pentingnya informasi harus dipertahankan. Jadi, dengan informasi tersebut orang akan memperoleh keterangan yang jelas mengenai sesuatu hal.

Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa merupakan kebutuhan pokok, sebelum menggunakan sumber dananya (gaji, upah, honor atau apapun nama lainnya) untuk mengadakan transaksi konsumen tentang barang dan/atau jasa tersebut. Dengan transaksi konsumen dimaksudkan diadakannya hubungan hukum (jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan sebagainya) tentang produk konsumen dengan pelaku usaha itu.

Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang dan/atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga, tentang persyaratan dan/atau cara memperolehnya, terutama jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jasa purna jual, dan lain-lain yang berkaitan dengan itu.

Diantara berbagai informasi tentang barang dan/atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen, yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan dan label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya.83

Informasi dapat memberikan dampak signifikan untuk meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiaannya terhadap produk tertentu, sehingga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yang memenuhi kebutuhannya.

Adapun label merupakan informasi yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Permendag No.22/M-DAG/PER/5/2010 tentang Kewajiban Label pada Barang.

84

Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.

Ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi) yang akan sangat merugikan konsumen.

85

Diperlukan representasi yang benar terhadap suatu produk, karena salah satu penyebab terjadinya kerugian terhadap konsumen adalah terjadinya

mis-83 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.71.

84 Ibid.

85 Agnes M. Toar, Op.cit., hal.55.

representasi terhadap produk tertentu. Kerugian yang dialami oleh konsumen di Indonesia dalam kaitannya dengan mis-representasi banyak sekali disebabkan karena tergiur oleh iklan-iklan atau brosur-brosur produk tertentu, sedangkan iklan atau brosur tersebut tidak selamanya memuat informasi yang benar karena pada umumnya hanya menonjolkan kelebihan produk yang dipromosikan, sebaliknya kelemahan produk tersebut ditutupi.86

Representasi suatu produk dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur dalam Bab IV mengenai perbuatan yang dilarang

Informasi yang diperoleh konsumen melalui brosur tersebut dapat menjadi alat bukti yang dipertimbangkan oleh Hakim dalam gugatan konsumen terhadap produsen. Bahkan tindakan produsen yang berupa penyampaian informasi melalui brosur-brosur secara tidak benar yang merugikan konsumen tersebut, dikategorikan sebagai wanprestasi. Karena brosur dikategorikan sebagai penawaran dan janji-janji yang bersifat perjanjian, sehingga isi brosur tersebut dianggap diperjanjikan dalam ikatan jual-beli meskipun tidak dinyatakan secara tegas.

Informasi yang diperoleh konsumen melalui brosur tersebut dapat menjadi alat bukti yang dipertimbangkan oleh Hakim dalam gugatan konsumen terhadap produsen. Bahkan tindakan produsen yang berupa penyampaian informasi melalui brosur-brosur secara tidak benar yang merugikan konsumen tersebut, dikategorikan sebagai wanprestasi. Karena brosur dikategorikan sebagai penawaran dan janji-janji yang bersifat perjanjian, sehingga isi brosur tersebut dianggap diperjanjikan dalam ikatan jual-beli meskipun tidak dinyatakan secara tegas.

Dokumen terkait