• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ULASAN TERHADAP ISU-ISU IJTIHAD DAN TAKLID

D. Pengertian Ijtihad dan Taklid Menurut NU

Masalah utama yang menarik minat Nahdlatul ulama adalah tetap masalah agama, terutama bila menyangkut pengeluaran fatwa yang didasarkan atas ajaran

mazhab. Dalam kenyataan hanyalah mazhab Syafi’i yang banyak diikuti, walau

ketiga mazhab lain diakui. Masalah pokok dalam hubungan ini ialah apakah bab ijtihad masih tetap terbuka ataukah sudah tertutup.

64

Salah satu tokoh Nahdlatul Ulama yaitu Machfoedz Siddiq, ketua umum NU, menulis sebuah buku tentang masalah ini yang didasarkannya pada tulisan seorang ulama bernama Waliy al-Lah al-Dahlawy al-Hindy (meninggal 1766M). Ia mengakui prinsip pokok bahwa semua hukum Islam harus berdasarkan

Al-Qur’an dan Hadits. Dikatakan bahwa selama abad-abad pertma setelah nabi wafat, ulama berselisih paham mengenai beberapa masalah tertentu, oleh karena belum terdapat pengumpulan Hadits dan hukum pada umumnya.

Pandangan-pandangan yang dikemukakan golongan pembaharu khususnya dalam hal pelembagaan ijtihad bagi seluruh umat Islam yang di ikuti dengan penghapusan taklid bagi orang Islam, Nahdlatul Ulama berpandangan bahwa, benar Islam menganjurkan perkembangan pemikiran agar orang Islam tidak beku akan tetapi tidak semua orang mempunyai kemampuan untuk mengembangkannya, disebabkan karena keterbatasan daya yang dimiliki tidak sama tetapi berbeda–beda dan juga tidak semua orang dikaruniai Allah sebagaimana tidak semua orang mempunyai kesempatan menuntut ilmu.65

Dalam masa yang dihadapi kini, yaitu abad keduapuluh, ketika mazhab telah jelas, Machfoedz Shiddiq berpendapat bahwa hanya keempat pendiri mazhab yang ada dapat disebut mujtahid benar-benar. Mereka adalah mujtahid mustsaqil, yaitu mereka yang “melakukan ijtihad, mengetahui/mendapatkan

ketentuan hukum dari dalil yang pokok, yakni al-Qur’an dan Hadits.

Ia menambahkan bahwa tidak perlu dipersoalkan apakah akan dipergunakan ijtihad atau taklid dalam hal-hal yang menyangkut hukum

mutawatir (yaitu yang masyhur, terkenal di kalangan umat seperti soal

65

K.H. Saifudin Zuhri, Menghidupkan Nilai-Nilai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam

sembahyang, puasa, dan zakat), tetapi semua hukum yang lain yang disebutnya

ghairu mutawatir (tidak terkenal di kalangan umat) menghendaki analisa, pemeriksaan, penyelidikan, dan pengusutan dalil-dalilnya dengan kecerdasan

yang lebih dan pengetahuan yang luas. “Dalam soal ghairu mutawatir inilah, masalah taklid dan ijtihad muncul. Menurut Shiddiq, mereka yang sanggup melaksanakan ijtihad, yaitu yang memenuhi syarat-syarat untuk itu, “wajib” melaksanakannya; kalau tidak sanggup melaksanakan Ijtihad, maka “wajiblah ia taklid”.

Machfoedz Shiddiq berkesimpulan bahwa,”oleh karena mazhab-,mazhab imam empat itu sudah cukup terkenal segala-galanya, dalil-salilnya juga, maka bagi orang awam kita yang bertaklid kepadanya tidak usah mengenal dalil

imamnya.” Dan ia sandarkan lagi pembenaran taklid itu pada ayat-ayat

Al-Qur’an.66

Oleh karena itu Nahdlatul Ulama tetap berperinsip bahwa Islam memberi kemerdekaan berpikir, tetapi di dalam kemerdekaan itu senantiasa berpegang pada prinsip bahwa kemampuan otak tidak dapat mengalahkan wahyu Ilahi dan Sunnah rasul sebab terhadap mazhab yang dikemukakan di atas justru diyakininya bahwa pendiri-pendiri mazhab tersebut adalah orang yang memungkinkan memahami

al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Yang diberi gelar dengan mujtahid yaitu : “orang yang sempurna padanya syarat ijtihad, mempunyai kemampuan mengistimbatkan hukum-hukum amaliyah dan

dalil-dalil syar’i. mereka yang dinamakan mufti dan faqih pada masa dahulu.”67

Bagi orang awam taklid atau mengikuti ulama mujtahid yang telah memahami agama secara mendalam hukumnya wajib, sebab tidak semua orang

66

Deliar Noer,Gerakan Modern Islam………,hal. 252-254

67

mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk mempelajari agama secara mendalam.

Para kaum tradisional bertaklid kepada salah satu mazhab empat yang telah dimaklumi oleh seluruh ahli ilmu, tentang keahlian dan kemampuan mereka dalam ilmu Fiqh. Di samping itu telah dimaklumi pula ketinggian akhlak dan taqwa mereka yang tidak akan menyesatkan umat. Mereka adalah orang yang takut kepada Allah SWT dan telah meletakkan hukum bersumber Al-Qur’an dan

hadits, ijma’ dan qiyas. Namun, ketika kita boleh bertaklid, bukan kemudian kita bertaklid kepada sembarang orang yang belum mutawatir kemasyhurannya. Kita bertaklid kepada ulama yang telah diakui umat, baik akhlak dan sikapnya

Taklid buta atau taklid kepada sembarang orang tentu dilarang oleh agama. Bagi mereka yang ada kesempatan dan kemampuan tentu wajib mengikuti

seluk beluk dalil yang dipergunakan oleh para fuqoha’. Namun, untuk mencapai

derajat mujtahid barangkali sulit, walaupun kemungkinan selalu ada.68

Ijtihad diperlukan setelah nabi wafat karena permasalahan selalu berkembang. Sejak abad ke II dan III Hijriyah permasalahan hukum Islam telah mulai perumusan hukum, di antaranya hasil dari al-Madzahibul-Arba’ah baik dalam ibadah maupun mu’amalah. Telah diletakkan pula qaidah-qaidah Ushul fiqh yang mampu memecahkan segala permasalahan yang timbul. Barang, kali periode saat ini adalah periode pengamalan dalam agama, bukan periode ijtihad. Walaupun, jika berijtihad itu hanya akan menghasilkan barang yang sudah

berhasil. Contohnya, dalam berwudlu’, bila ada ijtihad, maka tidak akan keluar

dari pendapat mazhab empat atau al-madzhibul arba’ah. Hal ini bukan berarti

68

ijtihad ditutup mutlak. Dalam masalah-masalah yang berkembang baru di abad teknologi ini seperti: cangkok mata, bayi tabung, dan lain-lain, ijtihad tetap dibuka dengan berpedoman pada qaidah-qaidah ulama’ yang terdahulu dalam ilmu fiqh.69

Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh

Hasyim Asy’ari, istilah "bid’ah" ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti

dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang

kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah saw. yang artinya : ”Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara baru adalah bid’ah”.

Dokumen terkait