• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGERTIAN, KEDUDUKAN, DAN HAK ANAK DI LUAR NIKAH MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Anak Diluar Nikah Menurut Hukum Islam

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa anak adalah

keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita.22 Sedangkan

anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, dan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian anak diluar nikah adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, dan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif

dan agama yang dipeluknya.23

Istilah “anak zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”, berbeda dengan pengertian anak zina yang dikenal dalam hukum perdata, sebab dalam hukum perdata, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri, dimana salah seorang atau kedua-duanya terikat satu perkawinan dengan orang lain. Oleh sebab itu, anak luar nikah yang dimaksud dalam hukum perdata adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan diluar perkawinan dan istilah lain yang tidak diartikan sebagai anak zina.

22

Abdul Manan, Aneka masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 76.

23

Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan laki-laki yang telah membenihkan anak di rahimnya. Anak tersebut tidak mempunyai kedudukan yang sempurna di mata hukum seperti anak sah pada umumnya. Dengan kata lain, anak tidak sah adalah anak yang dilahirkan di dalam atau sebagai akibat suatu perkawinan yang sah. Semakna dengan ketentuan tersebut Kompilasi Hukum

Islam, Pasal 186 menyatakan: “anak yang lahir di luar perkawinan hanya

mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak

ibunya”.

Berdasarkan defenisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka yang dimaksudkan dengan “anak zina” dalam pembahasan ini adalah anak yang janin/pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan diluar perkawinan, sebagai akibat dari perbuatan zina.

Perbedaan anak zina dengan anak luar kawin menurut Hukum Perdata adalah :

1. Apabila orang tua anak tersebut salah satu atau keduanya masih terikat

dengan perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak, maka anak tersebut adalah anak zina.

2. Apabila orang tua anak tersebut tidak terikat perkawinan lain (jejaka,

perawan, duda, dan janda) mereka melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak, maka anak tersebut adalah anak luar kawin.

Asal usul anak adalah dasar untuk menunjukkan adanya hubungan nasab (kekerabatan) dengan ayahnya. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa anak yang lahir sebagai akibat zina atau li‟an, hanya mempunya hubungan hubungan

kekerabatan dengan ibu yang melahirkannya menurut pemahaman kaum Sunni.

Lain halnya pemahaman kaum Syi‟ah anak tidak mempunyai hubungan

kekerabatan baik ayah maupun ibu yang melahirkannya, sehingga tidak dapat menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya. Namun demikian, di negara Republik Indonesia tampak pemberlakuan berbagai sistem hukum dalam masyarakat muslim seperti yang disinggung pada awal tulisan ini, sehingga perilaku

masyarakat mencerminkan ketiga sistem hukum dimaksud.24

Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan mahram (nasab) antara anak dengan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya setiap anak

yang lahir berasal dari sperma seorang laki – laki dan sejatinya harus menjadi

ayahnya, namun hukum islam memberikan ketentuan lain.

Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya memilki

hubungan nasab dengan ibunya.25

Tampaknya fikih Islam menganut pemahaman yang cukup tegas berkenaan dengan anak yang sah. Kendatipun tidak ditemukan definisi yang jelas dan tegas

berkenaan dengan anak yang sah, namun berangkat dari definisi ayat – ayat

Al-Qur‟an dan Hadis, dapat diberikan batasan, anak yang sah adalah anak yang lahir

24

Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 62

25

Dr. H. Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 276

oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah. Selain itu, disebut sebagai anak

zina (walad al-zina) yang hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.26

Secara implisit Al –Qur‟an surah Al – Mu‟minuun ayat 5-6 yang berbunyi:

































Artinya : “ Dan orang – orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri – istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tercela”. (Q.S. Al –Mu‟minuun, 5-6)

Selanjutnya di dalam surah Al-Isra‟ ayat 32:





















Artinya :“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.(Q.S Al

-Isra:32).27

Larangan – larangan Al-Qur‟an di atas, tidak saja dimaksudkan agar setiap

orang menjaga kehormatan dirinya, tetapi juga yang lebih penting menghindarkan dampak terburuk dari pelanggaran larangan itu. Lahirnya anak zina, sebenarnya

adalah akibat dari pelanggaran larangan – larangan Allah tersebut.28

Selanjutnya, kendatipun fikih islam tidak memberikan definisi tegas tentang anak yang sah, namun para ulama ada mendefinisikan anak zina sebagai kontra anak yang sah.

26

Ibid, h. 276-277

27

Depagri Ri, Al –Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: CV Adi Grafika, 1994), h.

429

28

Penduduk yang mayoritas mendiami negara Republik Indonesia beragama

Islam yang bermazhab Syafi‟i, sehingga pasal 42, 43, dan 44 Undang – Undang

Nomor 1 Tahun 1974 mengatur asal usul anak berdasarkan hukum Islam Mazhab Syafi‟i. Hal ini dijadikan dasar pada Pasal 42: “ Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Selain itu Pasal 43 berbunyi:

1. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

2. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam

Peraturan Pemerintah. Pasal 44 berbunyi:

1. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh

istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.

2. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas

permintaan pihak yang bersangkutan.29

Memerhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas waktu minimal usia kandungan. Jadi, selama bayi yang dikandung itu lahir pada saat ibunya dalam ikatan

perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah anak sah. Undang – undang

tidak mengatur batas minimal usia kandungan, baik dalam pasal – pasalnya

29

maupun dalam penjelasannya. Dalam kompilasi ditegaskan dan dirinci, apa yang

diatur dalam undang – undang perkawinan.

Pasal 99 berbunyi: Anak yang sah adalah:

1. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah

2. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan

oleh istri tersebut. Pasal 100 berbunyi:

Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pasal 101 berbunyi:

Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li‟an.

Pasal 99 di atas mengandung pembaruan hukum dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya bayi tabung, yaitu proses ovulasi yang direkayasa di luar rahim, melalui tabung yang disiapkan untuk itu, kemudian dimasukkan lagi ke dalam rahim istri, dan dilahirkan juga oleh istri tersebut. Jadi tetap dibatasi antara

suami dan istri yang terikat oleh perkawinan yang sah.30

Pasal 102 Kompilasi tidak merinci batas minimal dan maksimal usia bayi dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal sah tidaknya anak yang dilahirkan istrinya.

30

Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), h. 178 – 179.

1. Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.

2. Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak

dapat diterima.

Batasan 180 hari atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelaskan batas minimal usia kandungan, demikian juga 360 hari bukan menunjuk batas maksimal usia bayi dalam kandungan. Akan tetapi menjelaskan batas waktu untuk

mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama. Al–Qur‟an memberi petunjuk

yang jelas tentang masalah ini.

Batas minimal usia bayi dalam kandungan adalah 6 bulan dihitung dari saat akad nikah dilangsungkan. Ketentuan ini diambil dari firman Allah Swt:

اًزٍَْش َنُُثَهُث ،ًُُهَصِفََ ،ًُُهْمَحََ

Artinya : “...mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan (dua setengah tahun). (Q.S. Al-Ahqaf:15)

َح

َمه

ًُْت

ُأ

م

ًُ

،

ِهْيَماَع ِّف ،ًُُهَصِفََ ٍهٌََْ َّهَع اًىٌََْ

Artinya : “....ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah

– tambah dan menyapihnya dalam dua tahun (dua puluh empat bulan).

(Q.S. Luqman: 14).

Kedua ayat tersebut, oleh Ibn Abbas dan disetujui para ulama, ditafsirkan bahwa ayat pertama menunjukkan bahwa tenggang waktu mengandung dan

menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi disusukan secara sempurna membutuhkan waktu dua tahun atau dua puluh

empat bulan. Berarti, bayi membutuhkan waktu 30 bulan – 24 bulan = 6 bulan di

dalam kandungan.31

Oleh sebab itu, apabila bayi lahir kurang dari enam bulan, tidak bisa dihubungkan kekerabatannya kepada bapaknya kendatipun dalam ikatan perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab kepada ibu dan keluarga ibunya saja (Pasal 100 KHI). Pendapat semacam ini, boleh jadi terasa kaku. Tetapi

apabila semua pihak konsisten dengan gagasan Al-Qur‟an yang menekankan

pembinaan moral, tentu akan dapat menyadari dan memakluminya. Persoalan pokoknya, sesungguhnya terletak pada kejujuran seorang perempuan yang sedang mengandung di luar perkawinan itu sendiri, atau setidak tidaknya dalam keadaan tertentu meski telah bersuami, ia dalam hati kecilnya tahu bagaimana

sesungguhnya nasab bayi itu, jika ia melakukan selingkuh dengan laki – laki lain.

Jadi sekali lagi bahwa anak sah menurut hukum positif termasuk didalamnya Hukum Perdata Islam di Indonesia, adalah anak yang lahir dari atau akibat perkawinan yang sah. Sepanjang bayi itu lahir dari ibu yang berada dalam ikatan perkawinan yang sah, ia disebut sebagai anak yang sah. Tampaknya kompilasi juga tidak membicarakan hubungan nasab ini secara tegas, kecuali bayi yang lahir di luar ikatan perkawinan yang sah, kecuali apabila suami mengajukan li‟an. Jadi secara implisit dapat dipahami, bahwa anak yang lahir dari atau dalam ikatan perkawinan yang sah, baik perkawinan itu darurat, tambelan, penutup malu,

31

tanpa mempertimbangkan tenggang waktu antara akad nikah dan kelahiran si bayi, maka status anaknya adalah sah. Ini membawa implikasi bahwa anak yang “hakikat” nya anak zina, secara formal dianggap sebagai anak sah.32

Tenggang waktu minimal kandungan enam bulan tersebut dikuatkan oleh hadist riwayat Ibn Mas‟ud, bahwa janin yang berada di dalam kandungan itu setelah berusia empat bulan dilengkapi dengan roh dan dalam masa dua bulan

berikutnya disempurnakan bentuk (khilqah)nya. Dengan demikian, apabila bayi

lahir dalam usia enam bulan, ia sudah sempurna meskipun kurang sehat.

Dengan demikian Hukum Islam menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir

sekurang–kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang

iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus.

Mengenai tenggang waktu ini ada aliran diantara ahli fiqh yang berpendapat seorang anak lahir setelah melampaui tenggang iddah sesudah perkawinan terputus, adalah anak sah dari bekas suaminya asal dapat dianggap bahwa kelahirannya disebabkan oleh perbuatan bersetubuh antara bekas suami istri itu. Dengan adanya perbedaan pandangan tersebut, ditetapkanlah tenggang waktu maksimun selama empat tahun, asal saja nyata bahwa dalam waktu empat tahun tadi ibunya tidak ada mengeluarkan kotoran.

Dengan demikian, apabila bayi lahir kurang dari enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan kekerabatannya dengan

32

bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki

hubungan nasab dengan ibunya saja.33

Adapun pembuktian asal usul anak, Undang–undang Perkawinan

mengatur pasal 55 dan Kompilasi menjelaskannya dalam pasal 103 yang isinya sama:

1. Asal–usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat

bukti lainnya.

2. Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak

ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti

berdasarkan bukti–bukti yan sah.

3. Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2) maka instansi

Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama

tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.34

B. Kedudukan Anak di Luar Nikah

Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan tentang kriteria anak sah (anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah), sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi : “bahwa anak yang sah adalah :

1. Anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah.

2. Hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut”. 33 Ibid, h. 182 34 Ibid, h. 187

Juga dikenal anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, seperti yang

tercantum dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam bahwa “anak yang lahir di

luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Di samping itu dijelaskan juga tentang kedudukan anak dari perkawinan seorang lakilaki dengan perempuan yang dihamilinya sebelum pernikahan. Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 53 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi: “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinansetelah anak yang dikandung lahir”.

Dalam pasal 42 Bab IX Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Hasanan Muhammad Makluf membuat terminologi anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari hubungan suami isteri yang tidak sah. Hubungan suami isteri yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan

badan (senggama/wathi’) antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan yang

memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan.35

Selain itu, hubungan suami isteri yang tidak sah tersebut, dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang telah menikah ataupun belum menikah. Meskipun istilah “anak zina” merupakan istilah yang populer dan melekat dalam kehidupan masyarakat, namun

35

Abd. Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, (Jakarta, 1999), h. 40

Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus di dalamnya.

Hal tersebut bertujuan agar “Anak” sebagai hasil hubungan zina, tidak dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar (berzina) ibu kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya, sekaligus untuk menunjukkan identitas Islam tidak mengenal adanya dosa warisan. Untuk lebih mendekatkan makna yang demikian, pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 hanya menyatakan “seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut”.

Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna “anak

zina” sebagaimana defenisi yang dikemukakan oleh Hasanayn di atas, adalah istilah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah”, sebagaimana yang

terdapat pada pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak

yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

Berdasarkan defenisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka yang dimaksudkan dengan anak zina dalam pembahasan ini adalah anak yang janin atau pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan di luar perkawinan, sebagai akibat dari perbuatan zina.

C. Hak Anak Diluar Nikah

1. Pengertian Anak Dan Hak-Hak Anak Anak memiliki banyak definisi, diantaranya:

a. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Pasal 42.

“Anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.36

b. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 99

“Anak yang sah adalah : (a) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah (b) hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut”.37

c. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) Pasal

250.

“Anak sah adalah anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama

perkawinan, memperoleh suami sebagai bapaknya”.38

d. Menurut Fiqih

“Anak sah adalah anak yang dilahirkan sekurang-kurangnya dalam 6

bulan sesudah nikah, atau 4 bulan 10 hari sesudah kematian suami.39

36

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1, h.17.

37

Ibid, h..263.

38

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Jakarta: Prada Paramita, 2002), h..62

39

e. Menurut hukum adat

“Anak sah adalah anak yang dilahirkan selama dalam perkawinan yang sah”.40

Kenyataan yang ada di masyarakat luas, anak indonesia terdapat 3 macam status kelahiran

1. Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah, perkawinan yang mengikuti prosedur Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

2. Anak yang lahir di luar perkawinan.

Adalah anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya. Pengertian ini menunjukkan adanya perkawinan, dan jika dilakukan menurut agama Islam, maka perkawinan yang demikian “sah” dalam perspektif fikih Islam sepanjang memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Dengan demikian anak tersebut sah dalam kacamata agama. Disebut di luar perkawinan, karena perkawinan itu dilakukan di luar prosedur Pasal 2 ayat (2). Ini berbeda dengan perzinaan, karena perbuatan zina dilakukan sama sekali tanpa ada perkawinan. Anak yang lahir di luar perkawinan merupakan anak yang sah secara materiil namun tidak sah secara formil.

3. Anak yang lahir tanpa perkawinan (anak hasil zina).

40

adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara pria dengan wanita tanpa ada ikatan perkawinan. Anak yang lahir tanpa perkawinan merupakan anak yang tidak sah secara materiil dan juga tidak sah secara formil.

Perbedaan status kelahiran anak akan berdampak pada status hubungan nasab antara si anak dengan orang tuanya. Pada status kelahiran yang pertama (anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan sah) anak memiliki hubungan nasab dengan kedua orang tuanya yaitu laki-laki yang dipanggil dengan sebutan ayah dan perempuan yang dipanggil dengan sebutan ibu. Bahkan hubungan kekerabatan itu tidak hanya terbatas pada orang tuanya, tetapi juga terhadap keluarga dari ayah dan ibunya.

Sementara untuk status kelahiran yang kedua (anak yang lahir di luar perkawinan) dan yang ketiga ( anak yang lahir tanpa perkawinan), anak hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya. Ini sesuai dengan bunyi Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tentang Perkawinan jo. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

4. Perlindungan hukum terhadap anakPerlindungan anak menurut Arif Gosita

adalah “upaya-upaya untuk mendukung terlaksananya hak-hak dan kewajiban anak”.41

41

Seorang anak yang memperoleh dan mempertahankan hak untuk tumbuh dan berkembang dalam hidup secara berimbang dan positif, berarti mendapat perlakuan secara adil dan terhindar dari ancaman yang merugikan. Usaha-usaha perlindungan anak berupa tindakan hukum yang mempunyai akibat hukum, sehingga menghindarkan anak dari tindakan orangtua yang sewenang-wenang

Dengan demikian, perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan berkeluarga berdasarkan hukum demi perlakuan benar, adil, dan kesejahteraan anak. Melindungi anak berarti melindungi manusia, dan membangun manusia seutuhnya. Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia indonesia seutuhnya yang berbudi luhur, mengabaikan perlindungan terhadap anak, berakibat dapat menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional.

Perlindungan hukum terhadap anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Dalam hal ini, masalah perlindungan hukum bagi anak tidak hanya mencakup perlindungan hukum dalam proses peradilan, melainkan mencakup segala hal atas kebebasan si anak untuk memperoleh perlakuan yang layak seperti warga negara lainnya.

Dari beberapa uraian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap anak merupakan segala upaya untuk menjamin adanya kepastian hukum terhadap anak, sejak ia lahir hingga dewasa agar hak-haknya sebagai bagian dari masyarakat (dalam lingkup kecil) dan sebagai warga negara (dalam lingkup besar) dapat terpenuhi dan tidak dilanggar. Anak merupakan subjek hukum yang dipandang memiliki kedudukan khusus di mata

Dokumen terkait