• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

C. Kejahatan Perkelahian

1. Pengertian Kejahatan Perkelahian

menjelaskan mengapa sosial masyarakat itu terjadi, sebab-sebab, faktor-faktor yang berpengaruh dan sebagainya. Kemudian sosiologi hukum menguji kesahihan empiris dari sautu peraturan atau pernyataan hukum sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai atau tidak sesuai di masyarakat tertentu.

B. Kejahatan

1. Pengertian kejahatan

Kejahatan dalam pengertian kriminologi tidak sama dengan kejahatan dalam pengertian undang – undang pidana. Kejahatan dalam perhatian Undang- undang pidana merupakan suatu perbuatan yang melanggar Undang- undang pidana tersebut, sedangkan kejahatan dalam kriminologi umumnya tidak hanya merupakan perbuatan yang melanggar Undang- undang saja tetapi lebih lagi pada perbuatan yang menyebabkan kerugian maupun cedera pada orang lain. Mengutip Yurisal:

(https://www.academia.edu/4485186/Kejahatan_Pembunuhan_Premanisme_ Perampokan_ , akses 1 November 2014)

Dalam bukunya A. S. Alam(2010:16-17) membagi definisi kejahatan ke dalam dua sudut pandang, yaitu Pertama, dari sudut padang hukum (a crime from the legal point of view). Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap tingkah laku yang melanggar hukum pidana. Bagaimanapun

16 jeleknya suatu perbuatan sepanjang pebuatan itu tidak dilarang di dalam perundang- undangan pidana perbuatan yang bukan kejahatan.Kedua, dari sudut pandang masyarakat (a crime from the sociological point of view).Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah : setiap perbuatan yang melanggar norma- norma yang masih hidup di dalam masyarakat.

Untuk menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan ada tujuh unsur pokok yang saling berkaitan yang harus dipenuhi. Ketujuh unsur tersebut adalah(A.S.Alam, 2010: 18-19) :

1. Ada perbuatan yang menimbulkan kerugian (harm)

2. Kerugian yang ada tersebut telah diatur di dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP). Contoh, misalnya orang dilarang mencuri, dimana larangan yang menimbulkan kerugian tersebut telah diatur di dalam Pasal 362 KUHP (asas legalitas).

3. Harus ada perbuatan (criminal act).

4. Harus ada maksud jahat (criminal intent = mens rea) 5. Ada peleburan antara maksud jahat dan perbuatan jahat.

6. Harus ada perbuatan antara kerugian yang telah diatur di dalam KUHP dengan perbuatan.

7. Harus ada sanksi pidana yang mengancam perbuatan tersebut. Bonger (Topo Santoso, 2010: 14) mengemukakan bahwa :

“Kejahatan merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan- rumusan hukum (legal definitions) mengenai kejahatan.”

Dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) tidak dituliskan secara jelas mengenai definisi kejahatan, namun kejahatan ini diatur dalam buku II dari Pasal 104 sampai pada Pasal 488 KUHPidana.

17 Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kejahatan merupakan suatu perbuatan yang melanggar norma- norma tertulis baik itu norma hukum maupun norma yang hidup di dalam masyarakat, yang berakibat timbulnya reaksi dari masyarakat maupun dari negara dengan berupa pemberian hukuman. Meskipun demikian, pengertian kejahatan sangatlah relative, baik itu ditinjau dari sudut pandang hukum maupun ditinjau dari sudut pandang masyarakat.

2. Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan

Dalam perkembangan, terdapat beberapa faktor yang menjelaskan sebab- sebab kejahatan. Dari pemikiran tersebut muncullah aliran atau mzhab- mazhab dalam kriminologi. Sebab- sebab kejahatan itu sendiri sebenarnya telah dimuali sejak abad ke- 18. Dulunya, bila seseorang yang melakukan kejahatan dianggap sebagai orang yang dirasuk setan. Orang berpendapat bahwa tanpa dirasuk setan seseorang tidak akan melakukan kejahatan. Akhirnya pandangan ini ditinggalkan dan muncullah beberapa aliran diantaranya yakni, aliran klasik, aliran kartografi, aliran tipologi dan aliran sosiologi.

Aliran klasik timbul di Inggris, kemudian menyebar luas ke Eropa dan Amerika. Bagi aliran ini setiap perbuatan manusia didasarkan atas pertimbangan rasa senang dan tidak senang.Setiap manusia berhak memilih

18 mana yang baik dan mana yang buruk. Tokoh utama aliran ini adalah Beccaria(Pawawoi, 2011: 15) yang mengemukakan bahwa :

Setiap orang yang melanggar hukum telah memperhitungkan kesenangan dan rasa sakit yang diperoleh dari perbuatan tersebut.

Aliran kedua adalah kartographik, para tokoh aliran ini antara lain Quetet dan Querry. Aliran ini dikembangkan di Prancis dan menyebar ke Inggris dan Jerman.Aliran ini memperhatikan penyebaran kejahatan pada wilayah tertentu berdasarkan factor geografik dan social. Aliran ini berpendapat bahwa kejahatan merupakan perwujudan dari kondisi- kondisi social yang ada( Pawawoi, 2011: 15).

Aliran ketiga adalah sosialis yang bertolak dari ajaran Marx dan Engels, yang berkembang pada tahun 1850 dan berdasarkan pada determinisme ekonomi(Bawengan, 1974: 32). Menurut para tokoh aliran ini, kejahatan timbul disebabkan adanya system ekonomi kapitalis yang diwarnai dengan penindasan terhadap buruh, sehingga menciptakan factor- factor yang mendorong berbagai penyimpangan.

Aliran keempat adalah tipologik. Ada tiga kelompok yang termasuk dalam aliran ini yaitu Lambrossin, Mental tester, dari psikiatrik yang mempunyai kesamaan pemikiran dan mitologi, mereka mempunyai asumsi bahwa beda antara penjahat dan bukan penjahat terletak pada sifat tertentu

19 pada kepribadian yang mengakibatkan seseorang tertentu berbuat kejahatan dan seseorang lain tadi kecenderungan berbuat kejahatan mungkin diturunkan dari orang tua atau merupakan ekspresi dari sifat- sifat kepribadian dan keadaan social maupun proses- proses lain yang menyebabkan adanya potensi- potensi pada orang tersebut(Dirjosisworo, 1994: 32).

Aliran sosiologis menganalisis sebab- sebab kejahatan dengan memberikan interperestasi, bahwa kejahatan sebagai “a function of environment”.Tema sentral aliran ini adalah “that criminal behavior result from the same processes as other social behavior”. Bahwa proses terjadinya tingkah laku jahat tidak berbeda dengan tingkah laku lainnya, termasuk tingkah laku yang baik. Salah seorang tokoh aliran ini adalah Sutherland(Pawawoi, 2011:18) mengemukakan bahwa:

“Bahwa hasil dari perilaku criminal berasal dari proses yang sama dengan perilaku social lingkungannya .”

Pada awal 1960-an muncullah perspektif label. Perspektif ini memiliki perbedaan orientasi tentang kejahatan dengan teori- teori lainnya. Perspektif label diartikan dari segi pemberian nama, yaitu bahwa sebab utama kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian nama atau pemberian label oleh masyarakat untuk mengindentifikasi anggota- anggota tertentu pada masyarakatnya( Dirdjosisworo, 1994: 125).

20 Salah satu tokoh teori labeling Backer( A.S.Alam, 2010: 67) mengemukakan bahwa:

“Melihat kejahatan itu sering bergantung pada mata si pengamat Karena anggota- anggota dari kelompok- kelompok yang berbeda memiliki perbedaan konsep tentang apa yang disebut baik dan layak dalam situasi tertentu.”

Menurut kesimpulan penulis,bahwa seseorang tidak dapat langsung dikatakan bersalah karena telah melakukan suatu kejahatan. Namun haruslah seseorang yang telah melakukan kejahtan tersebut ditinjau atau dilihat dari berbagai faktor mengapa seseorang tersebut sampai melakukan suatu hal yang disebut dengan kejahatan.Menurut penulis hal yang paling mendasar dari perilaku seseorang adalah dari sisi bagaimana lingkungan sosial seseorang.Dari lingkungan sosial maka terciptalah suatu bentuk karakter atau pribadi yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang.

3. Upaya Penanggulangan Kejahatan

Dalam bukunya Prof. Dr. A. S. Alam (2010: 79-80) penanggulangan kejahatan Empirik terdiri atas tiga bagian pokok, yaitu :

1. Pre- Emtif

Yang dimaksud dengan upaya Pre- Emtif disini adalah upaya- upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha- usaha yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan

21 secara pre- emtif adalah menanamkan nilai- nilai/ norma- norma yang baik sehingga norma- norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran/ kejahatan tetapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan. Cara pencegahan ini berasal dari teori NKK, yaitu : Niat + kesempatan terjadilah Kejahatan. Contohnya, ditengah malam pada saat lampu merah lalu lintas menyala maka pengemudi itu akan berhenti dan mematuhi aturan lalulintas tersebut meskipun pada waktu itu tidak ada polisi yang berjaga. Hal ini selalu terjadi dibanyak Negara seperti Singapura, Sydney, dan kota besar lainnya di dunia. Jadi upaya pre- emtif faktor NIAT tidak terjadi.

2. Preventif

Upaya preventif ini adalah merupakan tidak lanjut dari upaya Pre- Emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan.Dalam upaya preventif yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya kejahatan. Contoh ada orang ingin mencuri motor tetapi kesempatan itu dihilangkan karena motor- motor yang ada ditempatkan di tempat penitipan motor, dengan demikian kesempatan menjadi hilang dan tidak terjadi kejahatan. Jadi dalam upaya preventif kesempatan ditutup.

22 3. Represif

Upaya yang dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana/ kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcemenet) dengan menjatuhkan hukuman.

Penanggulangan kejahatan dapat diartikan secara luas dan sempit.Dalam pengertian yang luas, maka pemerintah beserta masyarakat sangat berperan. Bagi pemerintah adalah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang- undangan dan badan- badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma- norma sentral dari masyarakat( Sudarto, 1981: 114).

Secara sempit lembaga yang bertanggung jawab atas usaha pencegahan kejahatan adalah polisi.Namun karena terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh polisi telah mengakibatkan tidak efektifnya tugas mereka.Lebih jauh polisi juga tidak memungkinkan mencapai tahap ideal pemerintah, sarana dan prasarana yang berkaitan dengan usaha pencegahan kejahatan.Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam kegiatan pencegahan kejahatan menjadi hal yang sangat diharapkan.

23 C. Kejahatan Perkelahian

1. Pengertian Kejahatan Perkelahian

Menurut R.Soesilo (“berkelahi satu lawan satu” itu adalah perkelahian dua orang dengan teratur, dengan tantangan lebih dahulu, sedangkan tempat, waktu, senjata yang dipakai, siapa saksi-saksinya ditetapkan pula. Perkelahian ini biasanya disebut “duel”.Perkelahian meskipun antara dua orang, apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, tidak masuk dalam pasal ini.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2001: 313) diberikan pengertian tentang perkelahian yaitu perihal kelahi, dimana kelahi sendiri memiliki arti :

• Pertengkaran adu kata- kata;

• Pertengkaran dengan adu kata- kata dan adu tenaga.

Sementara, kelompok dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001 : 314) berarti :

• Kumpulan (orang, binatang, dsb);

• Golongan (profesi, aliran, lapisan masyarakat, dsb); • Gugusan (bintang, pulau, dsb);

24 • Antar kumpulan manusia yang merupakan kesatuan beridentitas dengan adat istiadat dan system norma yang mengatur pola- pola interaksi antara manusia itu.

• Kumpulan orang yang memiliki atribut sama atau hubungan dengan pihak yang sama.

Dari definisi dua kata diatas penulis mengambil kesimpulan bahwa, perkelahian kelompok merupakan tindakan saling adu kata ataupun tenaga diantara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya.

Apabila seseorang melakukan perang tanding maka akan dikenakan KUHP Pasal 182-186 dengan syarat(Prodjodikoro, 1986:168)

· Perkelahian tersebut dilakukan oleh dua orang;

· Tempat, waktu, senjata yang dipakai dan saksinya telah ditentukan sebelumnya.

Dan apabila suatu perkelahian tidak memenuhi syarat-syarat yang telah dijelaskan pada di atas maka tidak dapat dijerat dengan Pasal 182-186 KUHP, karena tanpa adanya unsur-unsur di atas berarti suatu perkelahian itu tidak dapat dikatakan perang tanding.

A.F Saifuddin (1986: 14) memberikan pengertian menyangkut perkelahian antar kelompok sebagai berikut :

25 “Pengertian Perkelahian didefinisikan sebagai pertentangan yang bersifat langsung dan didasari antara individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan yang sama. hal ini disebabkan pihak lawan dianggap sangat penting dalam mencapai tujuan hal ini disebabkan karena dalam konflik orientasi ke arah pihak lebih penting daripada objek, yang hendak dicapai dalam kenyataan, karena berkembangnya rasa kebencian yang makin mendalam, maka pencapai tujuan seringkali sekunder sedangkan pihak lawan yang dihadapi jauh lebih penting”.

D. Tahanan dan Pembinaan

Dokumen terkait