• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan adalah suatu perlakuan atau situasi yang menyebabkan realitas aktual seseorang ada di bawah realitas potensialnya. Sedangkan rumah tangga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan keluarga dalam rumah. Sehingga dapat dinyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu perlakuan yang dialami oleh sebuah keluarga sehingga menimbulkan potensi korban tidak berkembang.

Menurut Hasbianto bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu bentuk penganiayaan secara fisik maupun emosional atau psikologis, yang merupakan suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga (Sugihastuti, 2007:173). Dalam pengertian lain kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi.

Menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 dijelaskan bahwa “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

Kekerasan dalam rumah tangga mengacu pada tindakan yang dilakukan dengan niat untuk menyakiti atau mencederai salah seorang anggota keluarga. Tindakan kekerasan tersebut bukan merupakan tindakan tunggal, akan tetapi

merupakan tindakan yang terjadi berulang-ulang bahkan dalam jangka waktu yang lama dan terhadap korban yang sama.

Jika melihat komposisi anggota di dalam sebuah rumah tangga yang biasanya terdiri ayah, ibu, dan anak-anak serta beberapa kerabat yang masih memiliki pertalian darah, maka akan terbayang suatu kehidupan yang dipenuhi kehangatan, kasih sayang dan sikap saling menghormati. Sehingga sangat mustahil apabila terjadi suatu tindakan kekerasan yang korbannya merupakan bagian dari anggota keluarga dengan pelakunya juga anggota keluarga itu sendiri.

Fenomena kekerasan dalam rumah tangga dapat dikatakan sebagai fenomena gunung es. Hal ini terjadi disebabkan korbannya sebagian besar adalah para perempuan dan anak-anak mereka. Sehingga apabila korban melaporkan tindakan kekerasan yang mereka alami, maka akan muncul ketakutan tidak akan terpenuhinya kebutuhan sehari-hari karena pelakunya adalah seorang suami yang merupakan tulang punggung keluarga.

Selain itu, keadaan sosial ekonomi yang rendah juga mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Tuntutan kebutuhan hidup yang tinggi membuat emosi seseorang mudah terpancing. Apabila hal tersebut tidak dapat diredam, maka suatu tindakan kekerasan atau bahkan penelantaran keluarga oleh seorang suami terhadap kelurganya sangat mungkin terjadi. Kurang tanggapnya keluarga terdekat dan masyarakat sekitar tempat tinggal juga menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga dianggap oleh korban sebagai suatu yang normal akibat tidak adanya respon dari lingkungan sekitarnya.

2.4.1. Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagai Masalah Sosial

Kekerasan dalam rumah tangga dapat dikatakan sebagai kekerasan yang berbasis gender. Tindakan tersebut terjadi disebabkan sebagian besar korban adalah perempuan yang identik dengan sifat pasif, sedangkan laki-laki merupakan pemimpin dalam rumah tangga yang memiliki kekuasaan penuh terhadap anggotanya dapat bertindak sesuai keinginannya .

Oleh karena itu, kekerasan dalam rumah tangga dalam studi masalah sosial juga dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perpektif masalah sosial, perilaku menyimpang tersebut terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku terhadap berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dianggap menjadi sumber masalah sosial karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur baku tersebut berarti telah menyimpang. Oleh karena itu jalur yang harus dilalui tersebut adalah jalur pranata sosial (Soetomo, 2008:94).

Kekerasan dalam rumah tangga sangat sulit terungkap, karena masyarakat menganggap bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam sebuah rumah tangga merupakan sesuatu yang sangat privasi dan tidak perlu diketahui oleh masyarakat luas. Tetapi kenyataannya bahwa berbagai kekerasan yang terjadi dalam konteks keluarga merupakan masalah sosial yang tidak dapat dibiarkan, seperti: penganiayaan fisik, seksual, dan emosional terhadap anak-anak, agresi sesama saudara kandung, dan kekerasan dalam sebuah hubungan perkawinan.

Hal tersebut di dalam studi perilaku menyimpang diidentifikasikan sebagai penyimpangan tersembunyi atau penyimpangan terselubung. Penyimpangan tersembunyi atau terselubung tersebut adalah perilaku seseorang dalam melakukan perbuatan tercela akan tetapi tidak ada yang bereaksi atau melihatnya, sehingga oleh masyarakat dianggap seolah-olah tidak ada masalah (Soekanto dalam Soetomo, 2008:95).

2.4.2. Wujud Perilaku Kekerasan dalam Rumah Tangga

Berdasarkan uraian diatas, maka tindakan kekerasan dalam rumah tangga termasuk ke dalam suatu perilaku yang menyimpang. Kekerasan dalam rumah tangga dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Kekerasan secara fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh

sakit atau luka berat.

2. Kekerasan secara seksual, yaitu setiap perbuatan yang berupa pemaksaan

hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

3. Kekerasan secara psikologis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,

hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

4. Penelantaran rumah tangga, yaitu menelantarkan anggota keluarga tanpa

memberikan kewajiban dalam hal perawatan ataupun pemeliharaan dan juga membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah tangga.

Pada umumnya kekerasan yang diderita oleh korban baik secara fisik maupun seksual bahkan penelantaran ekonomi terhadap dirinya akan berdampak besar kepada kejiwaan atau psikis korban tindak kekerasan tersebut.

2.4.3. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga

Suatu hal pada dasarnya tidak akan terjadi apabila tidak ada faktor-faktor pendukung yang dapat menyebabkan kekerasan terjadi di dalam sebuah rumah tangga, dalam hal ini kekerasan dalam rumah tangga dapat timbul dengan beberapa faktor pendorongnya, antara lain :

1. Masalah komunikasi dan kepercayaan, hal ini sangat penting dalam suatu

hubungan dan tidak menutup kemungkinan jika komunikasi dan kepercayaan tidak terbangun dengan baik akan menimbulkan suatu konflik.

2. Masalah kedudukan dari suami dan istri dalam suatu rumah tangga dimana hal

ini bukan tidak jarang merupakan salah satu faktor penyebab apalagi jika tidak ada kesepahaman antar pasangan.

3. Masalah ekonomi, dimana kecenderungan jika sebuah keluarga sedang

terhimpit masalah keuangan akan mungkin menimbulkan tindakan-tindakan yang dapat berbentuk kekerasan dan juga tidak menutup kemungkinan bagi keluarga yang dipandang cukup dari segi ekonomi bisa jadi jadi keegoisan akan muncul.

4. Masalah psikologi dari pasangan, jika salah satu dari suami istri memiliki

tempramen yang tinggi (emosional) dan bahkan dengan mudah “main tangan”, hal ini juga bisa menjadi pemicu.

5. Masalah seksual, banyak orang beranggapan istri adalah pihak yang subordinat terutama dalam hal urusan ranjang karena dianggap hanya sebagai pemuas, namun hal tersebut salah besar karena ada kesetaraan dalam hal ini. Tapi pada kenyataan ada pasangan yang tidak puas sehingga akan memunculkan kekerasan.

Dokumen terkait