• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM

1. Pengertian Keluarga

Dalam ilmu fikih, keluarga adalah usrah atau qārabah yang artinya kerabat.29 Keluarga dalam KBBI artinya ibu, bapak, dan anak-anaknya.30 Keluarga merupakan lingkungan sosial paling dekat dari setiap individu untuk dapat bertumbuh dan berkembang di dalamnya.

Dalam sosiologi Islam, keluarga merupakan sebuah kelompok sosial manusia yang masing-masing anggota kelompok mempunyai hubungan darah atau hubungan suami-istri.31

Menurut Tirtawinata dalam Friedman (2010:09), keluarga merupakan tempat dimana penghuninya istirahat dari suatu kepenatan aktifitas sehingga keluarga haruslah menyenangkan. Keluarga didefinisikan sebagai sistem sosial kecil yang terbuka, terdiri dari suatu rangkaian bagian yang saling bergantung dan dipengaruhi oleh struktur maupun lingkungan eksternal. Keluarga yang harmonis erat kaitannya dengan kondisi keluarga yang tenang, tidak ada gejolak, tentram, bahagia dan damai. 32 Definisi keluarga dapat dilihat dari definisi struktural, fungsional, dan transaksional. Definisi struktural keluarga adalah kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat. Hal ini memfokuskan pada siapa saja yang menjadi bagian dari keluarga. Definisi fungsional keluarga memfokuskan pada tugas-tugas yang harus dilakukan keluarga.

Artinya penekanan pada pemenuhan tugas-tugas dan fungsi-fungsi psikososial yang mencakup perawatan, sosialisasi pada anak,

29 Wusono Indarto, “Peranan keluarga Dalam Mempersiapkan Kemandirian Anak Untuk Menghadapi Masalah-Masalah Dalam Kehidupan”, Educhild, Vol. 4, No. 2, 2015, hlm. 115.

30 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia …, hlm. 659.

31 Idad Suhada, Ilmu Sosial Dasar (Bandung: CV. Insan Mandiri, 2014), hlm. 39.

32 Subhan Ajrin Sudirman, “Stres Kerja Dengan Keharmonisan Keluarga Pada Karyawan”, Jurnal Al-Qalb, edisi I, 2018, hlm. 82.

dukungan emosi dan materi, serta pemenuhan peran-peran tertentu.

Definisi transaksional keluarga diartikan sebagai pengembangan keintiman dari perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga, berupa ikatan emosi, pengalaman historis maupun cita-cita masa depan. Definisi ini fokus pada bagaimana keluarga menjalankan fungsi-fungsinya, seperti fungsi biologis, edukatif, religious, perlindungan, rekreatif, ekonomi, sosialisasi mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang mampu memegang norma kehidupan dalam keluarga dan masyarakat.33

Keluarga adalah pranata sosial pertama dan utama yang memberikan pengaruh dan pembentuk kepribadian seorang anak.

Seorang anak akan dibentuk dan dipengaruhi oleh sikap dan tindakan orang tuanya. Apabila keluarga mencurahkan kasih sayang kepada anak, memberikan pendidikan terbaik, pola dan sistem nilai keluarga itu akan melekat pada anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini sangat berpengaruh terhadap terbentuknya ketahanan keluarga. Secara ideal, perkembangan anak yang optimal terbentuk dari keluarga yang harmonis.

Keluarga merupakan media awal untuk anak mengenal lingkungan, bereksplorasi, menemukan sifat, sikap dan kemampuan dalam membedakan objek dalam lingkungannya. Penanaman kebiasaan yang keliru di masa anak-anak akan mengakibatkan buruknya pembentukan karakter dan kepribadian hingga dewasa. Usaha pembentukan karakter yang baik bukanlah hal yang mudah. Perlunya pendekatan komprehensif yang dilakukan secara ekplisit, sistematis dan berkesinambungan yang dimulai sejak kecil di lingkungan keluarga.

Pertalian kekeluargaan didasarkan pada hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah (nasab). Istilah nasab bisa diartikan sebagai ikatan keluarga sebagai hubungan darah, baik karena

33 Ahmad Sainul, “Konsep Keluarga Harmonis Dalam Islam”, Jurnal Al- Maqasid, Vol.

4, No. 1, 2018, hlm. 86.

18

hubungan darah (bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya) ke bawah (anak, cucu dan seterusnya) maupun ke samping (saudara, paman, bibi, dan lain sebagainya).34 Penetapan nasab berdampak besar terhadap seseorang tersebut, keluarga, maupun masyarakat di sekitarnya. Setiap orang hendaknya merefleksikan dalam masyarakat supaya terdapat kejelasan nasab dari seseorang tersebut. Ketidakjelasan nasab dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam perkawinan, misalnya perkawinan dengan mahram sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahram adalah orang (perempuan, laki-laki) yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antaranya.35 Seperti firman Allah SWT dalam Q.S An-Nisa’ (4): 22:

َِ ر َ ح

ََم َ

َْت

ََع َ

ََلَْي

َْمَ َ ک

َ م َ ا

َ ت ٰه

َْمَ َ ک

ََو

ََب

َ تٰن

َْمَ َ ک

َا ََوَ

ََخ

َ تۈ

َْمَ َ ک

ََو

ََع

َ تّٰم

َْمَ َ ک

ََو

َ تٰل ٰخ

َْمَ َ ک

ََو

ََب

َ تٰن

َا

َِخ ََْل

َ

ََو

ََب

َ تٰن

َا

َ ْل

َِت َْخ

ََوَ َ اََّم

َ ت ٰه

َ مَ َ ک

َّٰلا

ََاَاي َِت

ََض ْر

َْع

َن

َْمَ َ ک

َا ََوَ

َ تَ ٰو ََخ

َْمَ َ ک

ََنِ م

َ

ََّر لا

ََض

ََعَا

َِة

ََو َ

ََّم ا

َ ت ٰه

َ

ََاس َِن

َ کِءا

ََو َْمَ

ََر

ََابا

َِء َ

َ ب

َ مَ َ ک

َّٰلا

َْي َِت

َْي ََِف

َ ح َ

َ ج

َْو

َِر َ

َْمَ َ ک

َِ نَ ْنِ م

ََاس

َِءَا

َ مَ َ ک

َّٰلا

َِت

ََدَي

ََخ

َْلَ ت

َِب َْمَ

َِه

ََّن

َ

َ ُ

ََف

َْنَِا

َْمَ َََل

ََت

َْو َ ک

َْو َ ن

ََدَا

ََخ

َْلَ ت

َِب َْمَ

َِه

ََفَ ن

ََل

َ ج َ

ََحَا َن

ََع َ

ََلَْي

َْم َ َ ک

ََوَ

ََح

َِءََال

َ ل

َََا

َْبََان

َِءَا

َ مَ َ ک

ََّلا

َِذ

ََن ََْي

َ

َِم

َْن

َْص َََا

ََِب ََل

َْمَۙ َ ک

ََوَ

ََا

َْن

َْج َََت

ََم

َ ع

َْو

ََبَا

ََن َْي

َ

َ ْلا

َْخ

ََتَْي

َِن

ََِا

ََمَ ََّل

ََقَا

َْد

ََس َ

ََف ََل

َۗ

َِاَ

ََکَاللهََّن

ََنَا

َ

ََغ

َْو َ ف

ََّرا ًر

َِح ۱ََاًم َْي

Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara-saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah

34 B. Setiawan, Ensiklopedi Indonesia Jilid 4 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 2337.

35 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia …, hlm. 857.

lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.36

Dari ayat tersebut di atas, ada beberapa kriteria orang yang haram untuk dinikahi tapi juga boleh melihat bagian aurat tertentu dari wanita, yaitu:

a. Ibu tiri.

b. Ibu kandung.

c. Anak-anakmu yang perempuan.

d. Saudara-saudaramu yang perempuan.

e. Saudara-saudara bapakmu yang perempuan.

f. Saudara-saudara ibumu yang perempuan.

g. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki.

h. Anak-anak perempuanmu dari saudara-saudaramu yang perempuan.

i. Ibu-ibumu yang menyusui kamu.

j. Saudara perempuan sepersusuan.

k. Ibu-ibu istrimu (mertua).

l. Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kau campuri.

m. Istri-istri anak kandungmu (menantu).

Masalah mahram dibahas dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada pasal 8, 9, 10, dan 11 dengan istilah larangan perkawinan, yaitu:37

a. Pasal 8 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Dilarang melangsungkan perkawinan antara dua orang yang:

1) Berhubungan darah dalam satu garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah.

36 Tim penterjemah al-Qur’an Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung:

Diponegoro, 2012), hlm. 81.

37 Undang-undang Perkawinan No. 10 Tahun 1974.

20

2) Berhubungan darah dalam satu garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tuanya atau neneknya.

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.

4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan.

5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari satu.

6) Mempunyai hubungan yang oleh agama atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

b. Pasal 9 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Seseorang yang masih terikat hubungan perkawinan dengan orang lain tidak boleh kawin lagi kecuali dalam hal tersebut dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini (pengecualian poligami untuk laki-laki).

c. Pasal 10 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Antara suami istri yang telah dua kali bercerai tidak boleh menikah lagi, sepanjang tidak ada ketentuan lain dalam agama dan kepercayaannya.

d. Pasal 11 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Perempuan yang bercerai atau ditinggal mati suaminya mempunyai masa tunggu tertentu yang diatur oleh Negara melalui hakim jika tidak ada ketentuan dalam agama.

Dokumen terkait