• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

C. Kultur Keluarga

1. Pengertian Kultur

Istilah kultur atau budaya berasal dari disiplin ilmu antropologi. Sejak satu abad yang lalu oleh para anthropolog istilah ini digunakan

untuk menjelaskan; (1) keunikan sekelompok masyarakat dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya; (2) mengapa perilaku sekelompok masyarakat dapat bertahan dari satu generasi ke generasi lainnya. Meskipun istilah budaya dimaksudkan untuk menjelaskan kedua hal tersebut, hingga saat ini muncul berbagai definisi dari para teoritikus dan peneliti.

Kultur merupakan asumsi dasar yang ditemukan, dipahami, dan dipahami oleh anggota kelompok, karena asumsi tersebut ternyata terbukti benar saat digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh kelompok, baik masalah adaptasi dengan lingkungan eksternal organisasi maupun intergrasi dalam tubuh kelompok tersebut, maka asumsi tersebut diajarkan kepada anggota baru sebagai cara pandang, pola pikir, dan perasaan yang benar ketika menghadapi masalah di masa mendatang.

Clayde Kluckhon, sebagaimana dikutip Erez dan Early (1993: 41), menyatakan bahwa:

Culture consists of patterned ways of thinking, feeling, and reacting, required and transmitted mainly by symbols, constituting the distinctive achievement of human group, including their embodiment in artifact; the essential, core of culture consists of traditional (i.e.historycally derived and selected)ideas and their attached values)

Esensi kultur adalah nilai-nilai, nilai-nilai diderivasi dan diseleksi berdasarkan pengalaman sejarah masa lalu. Nilai merupakan hasil dari sebuah proses yang panjang. Mengingat nilai-nilai telah terinternalisir kedalam diri masing-masing anggota kelompok, maka nilai tersebut sulit

untuk berubah. Perwujudan nilai tampak dalam wujud artifak-artifak, misalnya: pola pikir, rasa, reaksi anggota kelompok. Pada umumnya pola-pola ini diartikulasikan ke dalam bentuk simbol-simbol.

Kultur merupakan bentuk pemrograma n mental secara kolektif.

Kultur membedakan anggota kelompok antara satu dengan yang lain dalam pola pikir, perasaan, dan tindakan anggota suatu kelompok. Sebagai bentuk pemrograman mental secara kolektif, kultur cenderung sulit berubah. Jikalau pun berubah, maka perubahan akan berlangsung secara perlahan-lahan (evolutif). Hal ini disebabkan bukan semata-mata karena kultur tersebut telah menjadi bagian dari diri para anggota kelompok, tetapi kultur telah terkristalisasi ke dalam lembaga yang mereka bangun.

Menurut Hofstede (1994:181-182), perbedaan kultur dapat dianalisis pada tingkatan unit ataupun sub-sub unit dalam satu organisasi. La Midjan (1995: 7) menyebutkan bahwa tingkatan dalam organisasi tersebut antara lain: struktur keluarga, struktur pendidikan, organisasi, keagamaan, asosiasi-asosiasi, bentuk organisasi kerja, lembaga hukum kepustakaan, pola tata ruang, bentuk bangunan gedung, dan juga teori-teori ilmiah.

Berdasarkan hasil pengkajiannya, Schein (1991: 6-7) menyatakan bahwa tidak ada satupun definisi kultur mengungkapkan tentang esensinya. Menurutnya kultur harusnya memuat kedalaman akan asumsi-asumsi dasar (basic assumptions) dan kenyakinan (belief) yang dianut oleh anggota -anggota organisasi, digunakan tanpa disadari, dan diterima

sebagai sesua tu yang benar (taken for granted) oleh organisasi sendiri dan lingkungannya.

2. Dimensi Kultur Keluarga

Kultur merupakan fenomena kolektif yang membedakan kelompok satu dengan kelompok lain. Subtansi perbedaan lebih tampak pada praktik kultur daripada nilai-nilai. Hofstede (1994:181-182) menyatakan bahwa perbedaan kultur tersebut selanjutnya dapat dianalisis pada tingkatan unit atau bukan sub-sub unit dalam suatu organisasi. Sebagai bentuk pemrograman mental secara kolektif, kultur suatu kelompok cenderung sulit berubah. Jikalau pun berubah, maka perubahan akan berlangsung secara evolutif (perlahan-lahan). Hal ini disebabkan bukan semata-mata karena kultur tersebut telah menjadi bagian dari para anggota kelompok.

Hofstede (1994: 10) mengklasifikasikan kultur ke dalam 6 (enam) tingkatan atau lapisan (layer) yaitu: (1) a national level, (2) a regional level etc, (3) an organization level, (4) a generation level, (5) a social class level, dan (6) an organization or corporate level. Pada tingkatan nasional tersebut kultur diukur berdasarkan dimensi-dimensi yang mencakup: power distance (from small large), collectivism versus individualism, femininity versus masculinity dan uncertainty avoidance (from week to strong).

Power distance (jarak kekuasaan) diartikan sebagai tingkat dimana tingkat kekuasaan anggota dalam institusi atau didistribusikan secara tidak

sama. Individualism (individualisme) menggambarkan suatu masyarakat dalam mana pertalian dalam individu hilang (setiap orang memikirkan diri sendiri baru orang lain). Sedangkan lawannya adalah collectivism

(kolektifisme) menunjukkan bahwa dalam mana orang-orang sejak lahir diintergrasikan secara kuat kedalam kelompok yang akhirnya mereka menjadi sangat loyal terhadap kelompok tersebut. Masculinity

(maskulinitas) menunjukkan masyarakat dalam mana peran sosial gender ada perbedaan yang sangat jelas. Sementara itu femininity menunjukkan masyarakat dalam mana peran sosial gender tumpang tindih (overlap)

sebagai contoh: baik laki-laki maupun perempuan sederhana, sabar, lemah lembut, dan memberikan perhatian terhadap kualitas hidup. Dimensi terakhir adalah uncertainty avoidance yang menunjukkan masyarakat untuk anggota akan merasa terancam dalam ketidakpastian maupun ketidaktahuan situasi.

Pada tingkat keluarga, power distance mencakup beberapa indikator antara lain: kepatuhan atau rasa hormat terhadap orang tua atau terhadap anggota keluarga lain yang lebih tua ataupun ketergantungan pada orang tua. Dimensi individualitas mencakup indikator antara lain: kebebasan menyatakan pendapat, loyalitas kepada anggota keluarga lain, keleluasaan untuk mandiri, keterikatan satu sama lain dalam keluarga, kebutuhan untuk berkomunikasi, perasaan yang muncul atas pelanggaran terhadap suatu aturan atau norma -norma tertentu. Dimensi maskulinitas mencakup indikator antara lain: dominasi penetapan aturan dalam

keluarga, perhatian anggota keluarga yang lebih kuat. Sedangkan dimensi pengindraan atas ketidakpastian mencakup indikator antara lain: tingkat kecemasan menghadapi kondisi ketidakpastian, perasaan terhadap ketidakpastian, serta ketat atau tidaknya pengaturan atas hal yang baik atau tidak baik.

Koentaraningrat (1987: 25-26) mengemukakan bahwa para individu-individu sejak kecil dekat dengan nilai-nilai yang hidup dimasyarakatnya, sehingga konsep-konsep nilai telah mengakar dalam jiwa mereka. Dampaknya, nilai-nilai budaya tersebut sukar untuk berubah dalam waktu yang singkat. Sikap dan perilaku manajemen sangat dipengaruhi oleh latar belakang mereka, baik dala m lingkungan keluarga maupun lingkungan sekitar. Nilai-nilai pribadi dan kebutuhan akan mempengaruhi sikap dan kenyakinan yang pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku seseorang. Nilai memiliki pengertian: (1) sesuatu yang dimiliki seseorang; dan (2) sesuatu yang berkaitan dengan objek. Dalam pandangan yang pertama, nilai adalah sesuatu yang ada pada manusia yaitu sesuatu yang diberikan atau dijadikan ukuran baku dalam persepsi seseorang terhadap dunia luar. Sedangkan pada pandangan kedua, nilai dianggap sesuatu yang ada pada objek dan merupakan milik objek.

Dokumen terkait