• Tidak ada hasil yang ditemukan

37

D. Pengertian Matan

Pegertian kata matan secara etimologi adalah punggung atau muka jalan, tanah yang tinggi dan keras. Secara terminology matan (matnul hadits) berarti materi berita berupa sabda, perbuatan atau taqrir Nabi saw., terletak setelah sanad yang terakhir. Secara umum, matan dapat diartikan selain sesuatu pembicaraan yang berasal/ tentang Nabi saw., juga berasal/ tentang dari sahabat atau tabi’in.49

Sedangkan secara terminologis, di kalangan muhaddihsî>n matan hadis diartikan dengan sesuatu yang menjadi tempat berakhirnya sanad, atau lafaz-lafaz yang mengandung beberapa makna. Matan sebagaimana diungkapkan oleh Mahmūd aţ-Ţahhān adalah “suatu perkataan yang terletak setelah posisi sanad”.50 Menurut ‘Ajjaj al-Khaţīb, matan adalah lafaz hadis yang karenanya memiliki berbagai arti.51

Mengacu pada definisi matan yang diberikan para ulama hadis, memberikan gambaran yang jelas bahwa matan hadis adalah komposisi kata-kata yang membentuk kalimat untuk dapat dipahami maknanya.

Dalam kaitannya dengan hadis, maka naqd al-hadîts ialah pemisahan hadis-hadis yang sahîh dari yang lemah, serta penilaian para periwayatnya apakah siqah atau cacat.52 Dari penjelasan tentang kritik dan matan hadis di atas, dapat dipahami bahwa kritik hadis yang dimaksudkan disini ialah upaya untuk

49Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu hadits (Bandung : Angkasa, 1991) 21.

50Mahmūd aţ-Ţahhan, Taisīr Muşţalah al-Hadīś(Bairut: Dār Alquran al-Karīm, 1979), 15.

51‘Ajjaj al-Khaţīb, Uşūl al-Hadīś, 32

52Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), 71

38

memeriksa dan meneliti teks-teks hadis, kemudian memisahkan antara yang otentik dan yang tidak, antara yang sahih dan yang da’îf.

Kritik matan hadits merupakan kajian yang jarang dilakukan oleh muhaddithi>n, jika dibandingkan dengan kegiatan mereka terhadap kritik sanad Hadis. Tindakan tersebut bukan tanpa ulasan. Menurut mereka bagaimana mungkin dapat dikatakan Hadis Nabi saw., kalau tidak ada silsilah yang menghubungkan kita sampai kepada sumber Hadis (Nabi Muhammad saw). Kalimat yang baik susunan katanya dan kandungannya sejalan dengan ajaran Islam, belum dapat dikatakan sebagai hadits, apabila tidak ditemukan rangkaian perawi sampai kepada Rasulullah saw. Sebaliknya, tidaklah bernilai sabda hadits yang baik, apabila matan-nya tidak dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.

Ilmu kritik hadits, walaupun belakangan menjadi disiplin ilmu tersendiri dalam wilayah ilmu hadits. Cikal bakal atau praktiknya sebenarnya telah tumbuh sejak masa Rasulullah saw. Umar bin khattab umpamanya, ketika ia menerima kabar dari seseorang yang datang ke rumahnya, bahwa Rasulullah saw., telah menceraikan istri-istrinya, langsung menkonfirmasikan berita tersebut kepada Rasulullah saw., beliau menjawab, “tidak”. Umar ra., akhirnya mengetahui bahwa Rasul saw., hanya bersumpah untuk tidak mengumpuli istri-istrinya sebulan.

Pada masa Nabi saw., seperti sangat mudah, karena keputusan tentangtentitas sebuah Hadis berada di tangan beliau sendiri. Beda halnya setelah Nabi saw., wafat, kritik Hadis tidak dapat dilakukan dengan menanyakan kembali kepada Nabi saw., melainkan menanyakan kepada orang yang ikut

39

mendengar atau melihat hadits itu dari Nabi saw., seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar As-Siddiq.

Kritik matan juga tampak jelas pada periode sahabat, Aisyah binti Abu Bakar ra., misalnya pernah mengkritik Hadis Abu Hurairah (w.57 H) dengan matan yang berbunyi: (sesungguhnya mayat diazab disebabkan ratapan keluarganya). Aisyah rah., mengatakan bahwa periwayat keliru dalam menyampaikan Hadis tersebut sambil menjelaskan matan yang sesungguhnya.53

Suatu ketika Rasulullah saw., lewat pada suatu kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayat sedang meratap di atasnya. Rasulullah saw., juga bersabda : (mereka sedang meratapi si mayat, sementara si mayat sendiri sedang diazab dalam kuburnya). Lebih lanjut Aisyah rah., berkata cukuplah al-Qur’an bukti ketidakbenaran matan Hadis yang datang dari Abu Hurairah ra., maknanya bertentangan dengan al-Qur’an. Dengan mengutip surah al-An’am (6) ayat 164:

َلاَو

رِزَت

ةَرِزاَو

َرْزِو

ىَرْخ أ

artinya: dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain

Beberapa sahabat melakukan hal yang sama, seperti Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin Abbas demikian pula Abdullah bin Umar, mereka tergolong kritikus Hadis, penilaian Hadis yang mereka lakukan terfokus pada matan hadis.54 Pada masa sahabat juga telah

53Sukron Kamil, Naqd Al-H{adi>th, terj. Metode Kritik Sanad dan Matan Hadits (Pusat Penelitian Islam Al-Huda, 2000), 34.

54

40

dilakukan upaya meneliti materi hadits dengan cara mencocokkannya kembali apa yang pernah didengar sendiri dari Nabi saw., kemudian membandingkannya dengan al-Qur’an.

Pada masa tabi’in setidaknya ada tiga bentuk upaya yang dilakukan dalam menjaga otentitas hadits. Pertama, dilakukannya kodifikasi hadits oleh al-Zuhri atas perintah Umar bin Abdul al-‘Aziz. Kedua, lahirnya ilmu kritik Hadis dalam arti sesungguhnya. Ini berdasarkan pada pendapat Ibn Rajab yang mengatakan bahwa Ibn Sirin karena keluasan ilmunya, merupakan pelopor dalam kritik rawi. Ketiga, diawali oleh beberapa orang sahabat, semisal Jabir, pada periode ini terdapat semangat pelacakan hadits yang sungguh luar biasa. Untuk meneliti satu Hadis saja, mereka sampai keluar daerahnya.55

Masa atba’ al-Tabi’in (periode ketiga sebagai periode penyempurnaan) merupakan masa yang paling berkembang. Sejak masa itu, dimulailah era mempelajari hadits dari beberapa, bahkan konon mencapai ratusan ribu syekh di seluruh dunia Islam, akibatnya kritik hadits tak lagi terbatas pada ulama setempat, melainkan diseluruh tempat. Dalam melakukan kritik matan, mereka merasa lebih ditakuti atau dibenci orang dikritik dari pada disesali Nabi saw., di akhirat nanti.

Di akhir abad ke-2 H dimulailah penelitian kritik hadis mengambil bentuk sebagai ilmu hadits teoritis dan praktis. Imam Syafi’i yang pertama mewariskan

41

teori-teori ilmu haditsnya secara tertulis sebagaimana terulis dalam karya monumentalnya al-Risalah (kitab ushul fikih) dan al-Umm (kitab fikih).56

Dokumen terkait