• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Pelatihan

Dalam dokumen BAB II KAJIAN PUSTAKA (Halaman 22-36)

Pelatihan dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaiki sistem organ alat-alat tubuh dan fungsinya dengan tujuan untuk mengoptimalkan penampilan atau kinerja atlet (Nala, 2008). Menurut Bompa (1990), pelatihan merupakan suatu proses sistematis dari pengulangan, suatu kinerja progresif yang juga menyangkut proses belajar serta memiliki tujuan memperbaiki sistem dan fungsi dari organ tubuh agar penampilan atlet mencapai optimal, secara fisiologis pelatihan fisik merupakan suatu proses pembentukan reflex bersyarat, proses belajar bergerak serta menghafal gerak.

Kata kunci yang harus dipahami yaitu pelatihan merupakan suatu proses yang sistematis, repetitif, durasi, progresif dan individual: (1) sistematis adalah cara atau metode pelatihan terencana secara detail; (2) repetitif adalah suatu gerakan berulang yang sama dilakukan lebih dari satu kali; (3) durasi adalah lamanya aktivitas pelatihan (termasuk istirahat) yang harus dilakukan dalam satu sesi atau sekali pelatihan; (4) progresif adalah peningkatan atau penambahan beban pelatihan yang dilakukan secara bertahap yang diawali dengan pemberian beban yang ringan kemudian ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan atlet atau dimulai dengan pelatihan yang mudah (sederhana) kemudian secara bertahap diberikan pelatihan yang semakin berat (pelatihan yang semakin sulit).

Pemberian beban pelatihan tidak dapat disamaratakan untuk setiap atlet, walaupun mereka dalam satu regu cabang olahraga (Nala, 1998). Secara garis besar pelatihan dapat dibagi atas : (1) Pelatihan fisik (physical training); (2) Pelatihan teknik (technical training); (3) Pelatihan taktik atau strategi (tactical training); (4) Pelatihan mental atau psikis termasuk rohani (psychological training) (Nala, 2002).

2.3.2 Tujuan Pelatihan

Pelatihan fisik adalah suatu aktivitas fisik yang dilakukan secara sistematis dalam jangka waktu yang lama secara individual dengan kian lama kian bertambah bebannya. Tujuan latihan fisik meningkatkan fungsi potensial yang dimiliki atlet dan mengembangkan kemampuan biomotoriknya sehingga mencapai standar tertentu (Nala, 2002). Perkembangan kondisi fisik secara menyeluruh sangatlah penting, oleh karena tanpa kondisi fisik yang baik tidak akan dapat mengikuti pelatihan dengan optimal. Dalam olahraga, pelatihan fisik diarahkan untuk meningkatkan komponen-komponen kondisi fisik. Dengan demikian pelatihan fisik bertujuan untuk meningkatkan fungsi kerja faal tubuh dan keterampilan kerja.

Tujuan pelatihan fisik meliputi tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Tujuan pelatihan jangka panjang adalah agar tercapainya status juara, sedangkan tujuan pelatihan jangka pendek berisi aspek yang terkait dengan kinerja olahraga seperti peningkatan kekuatan, daya tahan, daya ledak, kecepatan, kelentukan, reaksi, kelincahan dan sebagainya termasuk keterampilan (Nossek, 1982).

Pelatihan fisik bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fungsional fisik dan penyesuaian diri terhadap pembebanan sehingga dicapai kinerja yang tinggi. Hal ini juga didukung oleh pendapat Nossek (1982) yang mengatakan bahwa pelatihan fisik bertujuan untuk peningkatan kesiapan dan kapasitas kinerja olahragawan. Tujuan pelatihan fisik adalah untuk memperbaiki sistem dan fungsi dari organ tubuh agar penampilan atlet mencapai optimal (Bompa, 1990). Tujuan utama pelatihan fisik adalah untuk membantu memaksimalkan peningkatan keterampilan dan prestasi atlet (Harsono, 1996).

2.3.3 Prinsip Pelatihan

Latihan fisik pada hakikatnya merupakan pemberian tahanan pada tubuh secara teratur, sistematis, berkesinambungan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kinerja, oleh karena itu perlu dipahami prinsip-prinsip latihan (Brooks, 1984).

Ada beberapa prinsip latihan yang perlu dipahami dengan baik dan benar oleh para atlet yang akan meningkatkan prestasinya. Menurut pendapat beberapa ahli bahwa prinsip-prinsip pelatihan tersebut adalah:

a) Prinsip beban berlebih (the overload principle). Prinsip latihan ini bertujuan untuk mendapatkan pengaruh latihan yang baik, organ tubuh harus mendapat beban yang biasanya diterima dalam aktivitas sehari-hari. Beban yang diterima bersifat individual, tetapi pada prinsipnya diberi beban sampai mendekati maksimal.

b) Prinsip beban bertambah (the principle of progressive resistance). Prinsip latihan ini adalah beban kerja dalam latihan ditingkatkan secara bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan fisiologi dan psikologi setiap atlet.

c) Prinsip latihan beraturan (the principle of arrangement of exercise). Dalam setiap melaksanakan latihan, ada tiga tahap yang harus dilalui, yaitu : pemanasan, latihan inti dan pendinginan. Latihan hendaknya dimulai dari kelompok otot yang besar, kemudian dilanjutkan pada kelompok otot yang kecil.

d) Prinsip kekhususan (the principle of specificity). Kekhususan adalah latihan satu cabang olahraga, mengarah pada perubahan morfologi dan fungsional yang berkaitan dengan kekhususan cabang olahraga tersebut. Kekhususan tersebut meliputi kelompok otot yang dilatih dan latihan yang diberikan harus sesuai dengan keterampilan khusus.

e) Prinsip individualisasi (the principle of Individuality). Faktor individu mempunyai karakteristik yang berbeda, baik secara fisik maupun secara psikologis. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah kapasitas kerja serta perkembangan kepribadian, penyesuaian kapasitas fungsional individu dan kekhususan organisme.

f) Prinsip kembali asal (reversible principle). Kualitas yang diperoleh dari latihan akan dapat menurun apabila tidak melakukan latihan dalam waktu tertentu, demikian harus berkesinambungan.

g) Prinsip beragam (variety principle). Latihan memerlukan proses panjang yang dilakukan berulang-ulang, hal ini sering menimbulkan kebosanan.

Untuk mengatasinya pelatih harus mampu menciptakan suasana yang menyenangkan serta membuat aneka macam bentuk latihan.

Dalam melakukan pelatihan harus sesuai dengan prosedur pelatihan, yaitu sebelum melakukan pelatihan inti perlu dilakukan pemanasan yang berupa gerakan-gerakan ringan selama 5-10 menit termasuk peregangan otot-otot (Nala,1986).

Pemanasan adalah suatu latihan yang sangat bersifat fisiologis yang telah secara luas diterima dalam program olahraga. Pemanasan menghasilkan penampilan berupa latihan dengan intensitas ringan sampai sedang sebelum pertandingan dengan intensitas yang lebih tinggi. Pemanasan sangat menguntungkan penampilan karena meningkatkan suhu otot aktif. Kenaikan suhu otot memungkinkan otot berkontraksi dan mengendor lebih. Pemanasan juga mempermudah lepasnya oksigen dari hemoglobin dan menaikkan volume oksigen sehingga kebutuhan energi aerobik berkurang pada permulaan latihan keras, lagi pula pemanasan awal dapat mengurangi resiko cedera tendon dan otot.

Pemanasan atau warming up sangat perlu dilakukan oleh setiap atlet baik sebelum berlatih maupun sebelum pertandingan. Sistema tubuh pada waktu istirahat berada dalam keadaan inersia atau tidak begitu aktif (Nala, 2002). Dalam penelitian ini yaitu olahraga sepak bola, dilakukan pemanasan selama kurang lebih 10 menit, untuk meningkatkan suhu dan aliran darah ke seluruh otot lurik terutama otot-otot pada anggota gerak bawah sehingga memungkinkan unit motorik otot tungkai mempersiapkan fungsinya.

Untuk mengembalikan kondisi tubuh setelah melakukan pelatihan perlu dilakukan pendingan. Pendinginan merupakan kegiatan penutupan berisi kegiatan yang tujuannya untuk menyesuaikan keadaan tubuh secara bertahap agar kembali ke kondisi normal. Kegiatan pendinginan ini bermanfaat untuk mencegah otot terasa pegal dan kaku. Kegiatannya seperti dengan berbaring, duduk dengan kaki lebih tinggi. Bisa juga diakhiri dengan jalan kaki lamban selama 3-5 menit, atau hingga denyut jantung kembali normal (Lutan, 2002). Arti fisiologis yang dapat ditelusuri dari latihan penutupan ini ialah gerakan-gerakan ringan itu akan membantu memperlancar sirkulasi (mengaktifkan pompa vena), sehingga akan membantu mempercepat pembuangan sampah-sampah sisa olahdaya dari otot-otot yang aktif pada waktu melakukan olahraga sebelumnya.

Dengan tersingkirnya sampah-sampah sisa olahdaya, maka rasa pegal setelah olahraga dapat dicegah atau dikurangi. Itulah arti fisiologis dari latihan pendinginan yang pada hakikatnya berupa auto-massage yaitu memijit oleh diri sendiri (Giriwijoyo, 1992).

Pendinginan atau cooling down dilakukan setelah selesai melakukan pelatihan atau aktivitas fisik lainnya. Tujuan dari pendinginan adalah menarik kembali secepatnya darah yang terkumpul di otot skeletal yang telah aktif sebelumnya ke peredaran darah sentral. Selain itu, berfungsi juga untuk membersihkan darah dari sisa hasil metabolisme berupa tumpukan asam laktat yang berada di dalam otot dan darah.

Latihan pendinginan dalam penelitian ini dilakukan kurang lebih 10 menit. Kegiatan yang dilakukan dalam latihan penutupan ini adalah berjalan kaki lamban

selama 3 menit, duduk sambil melakukan peregangan statis dan pelemasan terutama pada anggota gerak tubuh bagian bawah selama 7 menit.

2.4 Hexagon Drill

2.4.1 Pengertian Hexagon Drill

Hexagon drill merupakan suatu macam latihan kelincahan yang dilakukan dengan menggunakan bentuk segi delapan. Tujuan latihan hexagon drill adalah untuk meningkatkan kekuatan, kecepatan dan kelincahan otot tungkai. Latihan ini adalah suatu latihan yang memiliki ciri khusus, yaitu kontraksi otot yang sangat kuat yang merupakan respons dari pembebanan dinamik atau regangan yang cepat dari otot-otot yang terlibat (Lubis, 2005).

Latihan hexagon drill yang dijalankan menimbulkan perubahan-perubahan dalam tubuh yang bersifat fisiologis, juga menimbulkan akumulasi nilai dari manfaat latihan sehingga akan meningkatkan “dayakarsa” untuk mengikuti latihan. Perubahan fisiologis yang terjadi akibat latihan ditandai dengan meningkatnya fungsi organ tubuh dan otot, yang pada gilirannya akan memberikan efisiensi gerak bagi pelakunya. Perubahan terjadi pada tingkat jaringan otot akibat latihan yang bersifat anaerobik meliputi: (1) peningkatan sistem ATP-PC seiring dengan meningkatnya cadangan ATP-PC, (2) peningkatan cadangan glukosa dan enzim-enzim glikolitik, (3) meningkatnya kecepatan kontraksi otot, (4) hipertropi pada serabut-serabut otot cepat, (5) meningkatnya densitas kapiler per serabut otot, (6) meningkatnya kekuatan tendon dan ligamen, (7) meningkatkan kemampuan rekruitmen motor unit, dan (8) meningkatnya berat tubuh tanpa lemak (Davis et al., 1989). Perubahan fisiologis yang lain adalah

perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur saraf motorik. Oleh Fox (1934) dinyatakan bahwa kebanyakan riset fisiologis dari latihan terfokuskan pada perubahan-perubahan dalam otot skelet, namun demikian beberapa riset yang memusatkan perhatiannya pada neuromuscular junction dan motoneuron tidak kalah pentingnya, bahkan mungkin lebih penting, karena ditemukan bahwa kedua struktur saraf ini menunjukkan perubahan sebagai akibat hasil latihan. Perubahan-perubahan ini termasuk adaptasi seluler dalam strukturnya, modifikasi-modifikasi dari transmisi dan perubahan kecepatan reflek, bahan kimia, respon biokimia dan yang terakhir dalam motoneuron itu sendiri.

Pelatihan hexagon drill ini menyebabkan perubahan dalam sistem saraf yang membuat seseorang lebih baik dalam kontrol koordinasi aktivasi kelompok ototnya, dengan demikian kelincahan dan powernya menjadi lebih tinggi. Kemungkinan terjadinya peningkatan, kelincahan dan berkaitan dengan “adaptasi saraf” (Sale, 1992). Perbaikan kontrol motorik dan peningkatan eksplosif nampaknya berkaitan dengan latihan tipe ini, yang memiliki kaitan langsung dengan perubahan susunan saraf otot dan jalur sensor motorik yang kompleks (Radcliffe&Farentinos, 1985). Menurut Sale (1986) mekanisme “adaptasi saraf” yang terjadi akibat latihan menyebabkan meningkatnya gaya kontraksi otot yang disadari (MVC) secara langsung. Peningkatan tersebut terjadi karena meningkatnya aktivasi otot-otot penggerak utama.

Peningkatan aktivasi reflex otot-otot penggerak utama merupakan peningkatan eksitasi jaringan motoneuron, yang pada gilirannya dapat menghasilkan peningkatan masukan eksitatori, mengurangi masukan inhibitori

atau kedua-duanya. Implikasinya pada atlet yang tidak terlatih tidak dapat mengaktifkan otot-ototnya secara maksimal dalam kondisi normal. Secara fungsional simpanan energinya tidak dapat segera digunakan, meskipun diduga sebagai usaha maksimal yang disadari. Gerakan tolakan seperti yang lerjadi pada latihan hexagon drill lebih memungkinkan terjadinya kelelahan. Kelelahan mempunyai pengaruh menurunkan komponen-komponen kelincahan, terutama hilangnya koordinasi (Jensen & Fisher,1979).

Dari beberapa penelitian, dikatakan bahwa dengan melakukan pelatihan hexagon drill akan meningkatkan kelincahan. Hal ini ditandai dengan adanya penurunan waktu tempuh saat melakukan shuttle run test sebanyak 0,92 detik dari sebelum melakukan pelatihan.

2.4.2 Aplikasi Hexagon Drill

Prosedur pelaksanaan hexagon drill untuk meningkatkan kelincahan sebagai berikut :

a. Cones disusun hingga berbentuk segi delapan dengan menggunakan 8 buah cones dengan jarak 1 meter.

b. Peserta berdiri di tengah-tengah segi delapan tersebut.

c. Setelah diberi aba-aba, peserta melompat ke satu titik, kemudian kembali ke tengah dan melompat ke titik yang lain.

Gambar 2.8 Latihan hexagon drill (Gilang, 2007)

2.5 Zig-Zag Run

2.5.1 Pengertian Zig-Zag Run

Zig-zag run adalah suatu macam bentuk latihan yang dilakukan dengan gerakan berkelok-kelok melewati rambu-rambu yang telah disiapkan, dengan tujuan untuk melatih kemampuan berubah arah dengan cepat. Tujuan latihan lari zig-zag adalah untuk menguasai keterampilan lari, menghindar dari berbagai halangan baik orang maupun benda yang ada di sekeliling (Saputra, 2002). Sesuai dengan tujuannya lari zig-zag dibedakan menjadi dua, yaitu:

1) Latihan lari zig-zag untuk mengukur kelincahan seseorang

2) Latihan lari zig-zag untuk merubah arah gerak tubuh atau bagian tubuh. Menurut Harsono (1988) keuntungan dan kerugian zig-zag run, yaitu: 1) Keuntungan:

a) Kemungkinan cidera lebih kecil karena sudut ketajaman berbelok arah lebih kecil (45 dan 90 derajat).

b) Banyak membutuhkan koordinasi gerak tubuh, sehingga mempermudah dalam tes kelincahan dribbling

2) Kerugian:

a) Secara psikis arah lari perlu pengingatan lebih.

b) Atlet tidak terbiasa dengan ketajaman sudut lari yang besar sehingga pada saat melakukan tes kelincahan dribbling atlet menganggap sudut lari tes kelincahan dribbling lebih sulit. Akibatnya atlet konsentrasinya terpusat pada arah belok dan bukan pada kecepatan larinya.

Dalam pelatihan zig zag run ini melibatkan otot tungkai untuk bisa menyelesaikan semua beban yang diberikan pada saat pelatihan. Gerakan yang dilakukan dalam pelatihan ini berlari kedepan dan berbelak-belok dengan secepatnya sehingga pergerakan yang dilakukan tidak semata-mata menekankan pada gerakan tungkai. Setiap kerja yang dilakukan oleh tubuh merupakan kontraksi yang terjadi pada otot. Dalam setiap pelatihan, tubuh selalu memberikan respon dan dalam jangka waktu tertentu tubuh akan mulai beradaptasi dengan pelatihan yang diberikan.

Pelatihan zig zag run ini akan membuat otot mengalami kontraksi sebagai bentuk respon terhadap beban yang diberikan. Sebagi efek dari diberikan pelatihan adalah adanya perubahan sebagai bentuk adaptasi dari tubuh terhadap pelatihan yang diberikan berupa peningkatan kemampuan kerja otot. Dengan diberikan pelatihan yang sesuai dengan prinsip pelatihan nantinya akan memberikan pengaruh secara fisiologis bagi otot khususnya otot tungkai dan dengan perubahan ini akan memberikan dampak terhadap peningkatan kecepatan dan kelincahan. (Nala, 1998).

Dengan diberikan pelatihan zig-zag run maka unsur kebugaran jasmani seperti kekuatan otot tungkai, kecepatan, fleksibilitas sendi lutut dan pinggul, elastisitas otot dan keseimbangan dinamis akan mengalami peningkatan fungsi secara fisiologis sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan kelincahan kaki. Kekuatan merupakan kemampuan neuromuskuler untuk mengatasi tahanan beban luar dan beban dalam. Akan terjadi penigkatan kemampuan dan respon fisiologis pada pelatihan ini yaitu terjadi hypertrophy (pembesaran otot), dan adaptasi persyarafan. Terjadinya hypertrophy disebabkan oleh bertambahnya jumlah myofibril pada setiap serabut otot, meningkatnya kepadatan kapiler pada serabut otot dan meningkatnya jumlah serabut otot. Terjadinya adaptasi persyarafan ditandai dengan peningkatan teknik dan tingkat keterampilan seseorang (Sukadiyanto, 2005). Kecepatan sebagai hasil perpanduan dari panjang ayunan tungkai dan jumlah langkah. Fleksibilitas merupakan kemampuan persendian untuk bergerak dalam ruang gerak sendi secara maksimal dan elastisitas merupakan kemampuan otot untuk berkontraksi dan berelaksasi secara maksimal. Dengan diberikan pelatihan zig-zag run otot-otot akan menjadi lebih elastis dan ruang gerak sendi akan semakin baik sehingga persendian akan menjadi sangat lentur sehigga menyebabkan ayunan tungkai dalam melakukan langkah-langkah menjadi sangat lebar. Keseimbangan dinamis juga akan terlatih karena dalam pelatihan ini harus mampu mengontrol keadaan tubuh saat melakukan pergerakan. Otot-otot sinergis berkontraksi lebih tepat, dan

meningkatnya inhibisi otot-otot antagonis. Dengan meningkatnya

Menurut Hanafi (2010) elastisitas otot sangat penting karena makin panjang otot tungkai dapat terulur, makin kuat dan cepat ia dapat memendek atau berkontraksi. Dengan otot yang elastis, tidak akan menghambat gerakan-gerakan otot tungkai sehingga langkah kaki dapat dilakukan dengan cepat dan panjang. Kelincahan kaki merupakan hal yang sangat penting, sebab pemain tersebut akan dapat dengan mudah untuk mengontrol keadaannya disaat melakukan teknik-teknik saat mengontrol bola. Kecepatan reaksi secara fisiologis ditentukan oleh tingkat kemampuan penerima rangsang penghantaran stimulus ke sistem syaraf pusat, penyampaian stimulus melalui syaraf sampai terjadinya sinyal, penghantaran sinyal dari sistem syaraf pusat ke otot, dan kepekaan otot menerima rangsang untuk menjawab dalam bentuk gerak (Sukadiyanto, 2005). Semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk mereaksi stimulus maka semakin baik kecepatan reaksinya. Waktu yang diperlukan untuk mereaksi stimulus akan menjadi semakin singkat karena terlatihnya kepekaan saraf sensorik dalam menghantarkan stimulus ke otak dan terlatihnya saraf motorik dalam menghantarkan perintah/sinyal dari otok ke otot. Dengan meningkatnya komponen kemampuan fisiologis tersebut maka akan menyebabkan peningkatan pada kecepatan reaksi.

Secara singkat perjalanan mulai dari ada rangsangan sampai timbul reaksi secara anatomis fisiologis adalah (1) dimulai dari munculnya rangsangan yang diterima oleh reseptor, (2) dan reseptor rangsangan ini di alirkan melalui saraf eferen sensorik menuju ke sistem saraf pusat (otak), (3) perpindahan rangsangan dari saraf eferen ke sistem saraf pusat dan menghasilkan tanda isyarat yang akan

dikirim kepada efektor, (4) menjalarnya tanda isyarat ini dari sistem saraf pusat melalui syaraf eferen motorik menuju ke otot skeletal (efektor), (5) rangsangan isyarat ini pada otot skeletal menimbulkan kontraksi, gerakan, aktivitas fisik atau kerja. Makin cepat atau pendek jalan yang ditempuh oleh rangsangan sejak dan adanya rangsangan pada reseptor sampai timbulnya reaksi dan otot, akan semakin baik waktu reaksinya (Hanafi, 2010).

Dari beberapa penelitian, dikatakan bahwa dengan melakukan pelatihan zig-zag run akan meningkatkan kelincahan. Hal ini ditandai dengan adanya penurunan waktu tempuh saat melakukan shuttle run test sebanyak 1,24 detik dari sebelum melakukan pelatihan.

2.5.2 Aplikasi Zig-Zag Run

Prosedur pelaksanaan zig-zag run untuk meningkatkan kelincahan sebagai berikut :

a. Cones disusun berbentuk garis zig-zag dengan jarak antar titik 2 meter. b. Peserta berdiri di belakang garis start.

c. Setelah ada aba-aba “ya” peserta berlari secepat mungkin mengikuti arah/cones yang telah disusun secara zig- zag sesuai dengan diagram sampai batas finish.

Gambar 2.9 Latihan zig-zag run (Gilang, 2007)

Dalam dokumen BAB II KAJIAN PUSTAKA (Halaman 22-36)

Dokumen terkait