• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : TINJAUAN TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN

A. Pengertian Pembatalan Perkawinan

Sehubungan dengan sahnya perkawinan, selain harus memenuhi syarat-syarat dan rukun perkawinan, perlu diperhatikan juga ketentuanketentuan yang ada dalam hukum perkawinan Islam. Apabila dikemudian hari diketemukan penyimpangan terhadap syarat sahnya perkawinan maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Batalnya perkawinan menjadikan ikatan perkawinan yang telah ada menjadi putus. Ini berarti bahwa perkawinan tersebut dianggap tidak ada bahkan tidak pernah ada, dan suami isteri yang perkawinannya dibatalkan dianggap tidak pernah kawin sebagai suami isteri.

Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut fasakh yang artinya merusakkan atau membatalkan. Jadi fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.45 Secara definitif, sulit untuk memberikan rumusan tentang pembatalan perkawinan, namun untuk sekedar memberikan batasan agar dipahami apa yang dimaksud pembatalan perkawinan tersebut, maka pembatalan perkawinan diartikan sebagai suatu tindakan guna memperoleh keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan batal.

45

Fasakh disebabkan oleh dua hal:

a. Disebabkan oleh perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau terdapat adanya halangan perkawinan.

b. Disebabkan terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang tidak memungkinkan rumah tangga itu dilanjutkan.46

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam.

Pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 70 hingga Pasal 76. Pasal 70 menegaskan bahwa perkawinan batal apabila:

a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena mempunyai empat orang isteri, sekalipun dari keempatnya itu dalam iddah talak Raj’i

b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang di Li’annya

c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bekas isterinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis massa iddahnya.

d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas. 2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

46

Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri. 4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan

dan bibi/paman susuan.

e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.

Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam mempertegas bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (hilang tidak diketahui beritanya).

c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain.

d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 undang-undang nomor 1 tahun 1974.

e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Permohonan pembatalan perkawinan menurut Pasal 74 Kompilasi Hukum Islam dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau tempat perceraian dilangsungkan. Disebutkan juga pada Pasal ini, batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kedudukan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

3. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22 dinyatakan dengan tegas bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.47

Di dalam penjelasannya kata “dapat” dalam Pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Adapun Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sebagaimana Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam mengatur hak-hak suami atau isteri untuk mengajukan pembatalan manakala perkawinan dilangsungkan dalam keadaan diancam, ditipu atau salah sangka.48

Istilah “batalnya” perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal (nietig) tersebut. Batal berarti

nietig zonder kracht (tidak ada ketentuan) zonder waarde (tidak ada nilai). Dapat dibatalkan berarti nietig verklaad, sedangkan absolut nietig adalah pembatalan mutlak.49

Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ini berarti dapat difasidkan, jadi relatif nietig. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.50

47

Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indoensia, Indonesia Center Publishing, Jakarta, 2002, hlm. 23

48

Ibid, hlm. 25 49

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.148 50

Ada kesan pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan itu terlanjur terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 atau hukum munakahat. Jika ini terjadi maka Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan.

Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian, ketentuan tersebut tidak memberi pengertian bahwa suatu perkawinan yang telah dilangsungkan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syaratnya.51

Adapun dengan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut undang-undang ini ada 3 kategori:

1. Persyaratan yang ditentukan oleh hukum Islam.

2. Persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang tetapi tidak ditentukan oleh hukum Islam.

3. Persyaratan yang ditentukan oleh hukum Islam dan sekaligus diatur dalam undang-undang, misalnya:

a. Pasal 8 tentang larangan perkawinan

b. Pasal 9 tentang masih terikat dengan perkawinan orang lain c. Pasal 10 tentang ruju’/kembali setelah talak tiga.52

Ada beberapa bentuk perkawinan tertentu yang menurut Pasal 26 dan Pasal 27 dapat dikategorikan sebagai kasus pembatalan perkawinan, antara lain:

1. Perkawinan yang dilangsungkan di depan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang.

2. Perkawinan yang dilangsungkan dengan wali nikah yang tidak sah 3. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua saksi.

51

Ibid, hlm.70 52

4. Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum Pengertian ancaman melanggar hukum tiada lain dari hakekat yang menghilangkan kehendak bebas dari salah seorang calon mempelai, yaitu segala macam ancaman apapun yang dapat menghilangkan hakekat bebas seseorang calon mempelai. Termasuk ancaman yang bersifat hukum sipil. Sebagai Contoh : seseorang menyerukan syarat, bahwa asal dia mau menikah, hutang orang yang diajak kawin akan dihapus, kalau tidak bersedia dikawini, hutang ini akan digugat dan meminta dilelang semua hartanya. Akan tetapi, sesuai dengan Pasal 27 ayat (3) UU Perkawinan, sifat ancaman berhenti apabila telah lewat masa 6 bulan sesudah dilangsungkan perkawinan berdasar ancaman yang melanggar hukum. Yang bersangkutan tidak mempergunakan haknya untuk pembatalan dan masih tetap hidup bersama sebagai suami isteri. Apabila dalam jangka waktu 6 bulan itu telah lewat dengan sendirinya gugurlah haknya untuk minta pembatalan.

5. Terjadi salah sangka mengenai diri suami dan isteri. Salah sangka yang dimaksud disini adalah mengenai diri orangnya atau personnya dan bukan mengenai keadaan orangnya yang menyangkut status sosial ekonominya dalam jangka waktunya pun tidak lebih dari 6 bulan. 53 Prakteknya pembatalan perkawinan karena suami melakukan poligami tanpa izin terjadi adalah karena faktor suami melakukan poligami tanpa izin isteri atau Pengadilan Agama dan melakukan manipulasi atau merekayasa statusnya, faktor wanita yang diperisteri ternyata masih memiliki status perkawinan dengan orang lain, faktor perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau wali yang tidak berhak dan perkawinan dilakukan dengan keterpaksaan.

B. Alasan Pembatalan Perkawinan

Dokumen terkait