• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG

A. Pengertian Pendidikan Akhlak

Banyak pendapat tentang definisi pendidikan. Ilmuan muslim maupun non muslim pun memberi pengertian yang berbeda-beda tentang pendidikan sesuai dengan alasan masing-masing dalam memberi pengertian kata pendidikan. Pendidikan dilihat dari istilah bahasa Arab maka pendidikan mencakup berbagai pengertian, antara lain tarbiyah, tahzib, ta‟lim, ta'dib, siyasat, mawa‟izh, 'ada ta'awwud dan tadrib. Sedangkan untuk istilah tarbiyah, tahzib dan ta'dib sering dikonotasikan sebagai pendidikan. Ta'lim diartikan pengajaran, siyasat diartikan siasat, pemerintahan, politik atau pengaturan. Muwa'izh diartikan pengajaran atau peringatan. ‟Ada Ta'awwud diartikan pembiasaan dan tadrib diartikan pelatihan.

22

Istilah tersebut sering dipergunakn oleh beberapa ilmuwan sebagaimana Ibn Miskawaih dalam bukunya berjudul Tahzibul Akhlak, Ibn Sina memberi judul salah satu bukunya kitab Al Siyasat, Ibn al-Jazzar al-Qairawani membuat judul salah satu bukunya berjudul Siyasat al-Shibyan wa Tadribuhum, dan Burhan al-Islam al-Zarnuji memberikan judul salah satu karyanya Ta'lim al- Mula'allim Tharik at-Ta'alum. Perbedaan itu tidak menjadikan penghalang dan para ahli sendiri tidak mempersoalkan penggunaan istilah di atas. Karena, pada dasarnya semua pandangan yang berbeda itu bertemu dalam suatu kesimpulan awal, bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih baik. (Afriantoni, 2007:32)

Secara istilah, tarbiyah, ta‟dib, dan ta‟lim memiliki perbedaan satu

sama lain dari segi penekanan, namun apabila dilihat dari segi unsur kandungannya, terdapat keterkaitan kandungannya yang saling mengikat satu

sama lain yakni dalam hal memelihara dan mendidik anak. Kata ta‟dib, lebih

menekankan pada penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik. Sedangkan pada at-Tarbiyah, difokuskan pada bimbingan anak supaya berdaya dan tumbuh kelengkapan dasarnya juga dapat berkembang secara sempurna. Sedangkan

kata ta‟lim, menekankan pada penyampaian ilmu pengetahuan yang benar, pemahaman, pengertian, tanggungjawab, dan pemahaman anamah kepada

23

mempunyai cakupan yang lebih luas dan sifatnya lebih umum dibanding dengan proses tarbiyah dan ta‟dib. (Nasir, 2005:53-54)

Sedangkan akhlak didapat dari bahasa arab dari kata “khuluqun” bentuk

jama‟ dari kata “khuluq” yang mempunyai arti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, kebiasaan atau adat, keperwiraan, kesatrian, kejantanan, agama dan kemarahan (al Ghodhob).

Dari kata khulqun, hal ini sangat memungkinkan bahwa tujuan dari akhlak adalah ajaran yang mengatur hubungan dari manusia kepada sang Khalik dan makhluk lain. Menurut Imam Al Gazali dalam Ihya Ulumuddin sebagai berikut :

سفننا ىف تئيه نع ةرببع كهخنبف

تخس ار

,

نيرسيو تنىهسب لبعفلاارذصت بهنع

تيؤرو ركف ينا تجبحريغ

"Akhlak adalah sebuah bentuk ungkapan yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan yang gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan” (Al-Ghazali, 1993: 86)

Menurut istilah akhlak diartikan sebagai suatu keadaan yang melekat pada diri manusia yang darinya lahir perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa melalui proses pemikiran, pertimbangan atau penelitian. Apabila yang keluar merupakan perbuatan yang baik, maka disebut dengan akhlak mahmudah atau akhlak yang terpuji. Namun sebaliknya, apabila yang dilahirkan adalah perbuatan yang buruk maka disebut akhlak madhmumah atau akhlak tercela.

24

Pengertian lain tentang akhlak diberikan oleh kaum Yahudi. Menurut mereka akhlak merupakan ajaran-ajaran Tuhan yang diberikan kepada bangsa pilihan-Nya seperti keyakinan yang dianut oleh bangsa Yahudi. Dari beberapa yang paling menonjol dari pengertian akhlak menurut agama Yahudi ini adalah yang tertulis dalam kitab Taurat yang berbunyi:

Hormatilah ayah dan ibumu agar kehidupan yang diberikan Tuhanmu di bumi ini berlangsung lama, janganlah membunuh, janganlah berzina, janganlah mencuri, janganlah menjadi saksi palsu atas tuntutan yang ditujukan kepada kerabatmu., jangan pula engkau menginginkan rumah, istri, hamba laki-laki, hamba perempuan, sapi, keledai, dan sedikitpun dari

kerabatmu.”(Kitab Taurat 19/5)

Dari pengertian agama Yahudi dari kitab Taurat tersebut tidak menekankan pada kehidupan yang kekal. Yang dimaksud dengan kehidupan kekal adalah akhirat. Berbeda dengan pengertian akhlak menurut agama Masehi yang begitu jelas menekankan pada kehidupan setelah kehidupan di dunia ini, namun mereka tidak sama sekali menekankan akhlak pada kehidupan di dunia ini (Mahmud, 2004: 19).

Pendidikan akhlak sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Miskawaih (Nata, 2001: 55), merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-perbuatan yang bernilai baik dari seseorang. Dalam pendidikan akhlak ini, kriteria benar dan salah untuk menilai perbuatan yang muncul merujuk kepada Al-Qur‟an dan Sunah sebagai sumber tertinggi dalam ajaran Islam. Dengan demikian maka pendidikan akhlak dapat dikatakan sebagai pendidikan moral dalam pendidikan Islam.

25

Kajian lebih dalam terhadap konsep akhlak yang telah dirumuskan oleh para tokoh pendidikan Islam masa lalu seperti Ibnu Miskawaih, al-Qabisi, Ibn Sina, al-Ghazali dan al-Zarnuji, menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku anak didik.

Karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia. Namun demikian dalam implementasinya, pendidikan akhlak yang dimaksud memang masih tetap cenderung pada pengajaran benar dan salah seperti halnya pendidikan moral. Menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia dengan pendidikan akhlak sebagai trade mark di satu sisi, dan menjamurnya tingkat kenakalan perilaku amoral remaja di sisi lain menjadi bukti kuat bahwa pendidikan akhlak dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam sepertinya masih belum optimal.

Dokumen terkait